jaesweats

Angkasa berjalan mengendap-endap ketika dia berhasil keluar dari kamarnya. Dia kemudian menatap jam pada layar gawai yang telah menunjukkan pukul delapan malam. Seingatnya, dia mengalami tabrakan pada jam serupa. Alhasil, Angkasa lantas bernisitaif untuk mendatangi tempat dimana kecelakaan itu terjadi. Kalaupun Angkasa harus mengalami tabrakan untuk yang kedua kali, dia sudah siap. Asal dia bisa kembali ke dunia dimana dia seharusnya berada, bukan di dunia fiksi seperti sekarang ini.

Langkah Angkasa membawanya menuju garasi dimana mobilnya berada. Dengan sigap Angkasa menaiki mobilnya lalu menancap gas untuk segera keluar dari halaman rumah. Sayangnya, saat Angkasa hendak membuka pintu pagar, supir pribadi keluarganya seketika menghampiri mobilnya.

“Mas Asa mau ke mana?” tanya lelaki bernama Teguh itu, “Besok Mas Asa ada acara penting. Gak boleh keluyuran, Mas. Bahaya.”

“Saya ada urusan penting, Pak. Gak bisa ditinggalin,” Angkasa cengar-cengir, “Bentar doang.”

“Bapak sama Ibu tau gak, Mas?”

Angkasa berdeham, terpaksa dia harus berbohong. “Iya, tau kok. Minta tolong bukain pager ya, Pak. Saya buru-buru banget nih. Takut pulang kemaleman entar.”

“Baik, Mas.”

Angkasa tersenyum puas saat Pak Teguh akhirnya membuka pintu pagar untuknya. Angkasa pun buru-buru meninggalkan kediamannya itu setelahnya agar Ayah dan Bunda tak melihatnya.

Dalam perjalanannya menuju tempat dimana dia mengalami tabrakan, Angkasa diam-diam gugup. Namun, Angkasa kembali memantapkan hatinya. Dia harus kembali ke dunia dimana dia seharusnya berada, pikirnya lalu menambah kecepatan mobilnya.

Sampai saat Angkasa akhirnya tiba dimana tabrakan itu terjadi, dia refleks menginjak pedal rem ketika sebuah mobil yang sama persis dengan yang dia lihat dalam kecelakaan itu tiba-tiba datang dan memotong jalannya. Angkasa kemudian memeluk erat setir mobilnya sambil menutup mata ketakutan. Namun, Angkasa justru tidak merasakan apa-apa seperti yang sebelumnya. Suara tabrakan hebat pun tidak ada.

Angkasa yang semula menunduk kemudian mencoba mendongak untuk melihat keadaan mobil di depan mobilnya. Dan alangkah kagetnya Angkasa saat matanya mendapati bahwa Sagara lah yang turun dari mobil itu lalu menghampiri mobilnya. Sagara mengetuk-ngetuk jendela mobil Angkasa dengan keras dari luar beberapa kali sebelum Angkasa membuka jendela mobilnya itu.

Cakep juga dia…

Kalimat itu menjadi hal pertama yang terlintas di otak Angkasa ketika tatapannya dan Sagara bertemu. Sebab, Sagara nampak jauh lebih tampan daripada yang dia lihat di foto WhatsApp-nya.

Tapi kalau Sagara ini kelakuannya sama kayak yang di AU, percuma dia ganteng. Ogah gue sama dia.

Angkasa bermonolog dalam hati sambil menatap Sagara sengit.

“Cepet keluar dari mobil kamu sekarang,” titah Sagara dingin.

“Gak mau,” Angkasa menjulurkan lidah. “Lo pikir gue sama kayak si Sky yang mudah nurut sama lo?”

Sagara mengernyit, “Sky siapa?”

Lah, bener juga… Kan sekarang gue yang ada di posisi Sky, jadi Sagara gak bakal tau Sky siapa.

Angkasa berpikir lalu menghela napas kasar, “Gak penting! Lo mending parkir mobil lo di sisi jalan dah buruan. Ganggu aja.”

“Keluar dari mobil kamu, atau aku telepon Ayah sama Bunda kamu kalau anaknya ini pengen kabur. Mau?” ancam Sagara yang membuat Angkasa mendengus.

“Lo pengen apa sih dari gue?”

“Aku mau ngomongin sesuatu sama kamu,” kata Sagara.

“Ya udah, tinggal ngomong aja. Apa susahnya sih?” Angkasa memicing saat melihat Sagara merogoh saku celananya lalu mengeluarkan gawainya dari sana. Sagara lalu menekan sesuatu di sana, nampak kalau dia menelpon seseorang lalu menyalakan loud speaker agar Angkasa dapat mendengarnya.

“Halo, Om? Aku udah ketemu sama Asa,” ucap Sagara sambil menatap Angkasa dengan raut wajah datar, sedangkan Angkasa buru-buru membuka pintu mobilnya lalu berusaha untuk merebut gawai itu dari Sagara.

Ra, maafin anak Om ya? Hari ini kamu dibikin repot mulu sama dia,” kata Ayah di seberang sana.

“Gak kok, Om. Lagian Angkasa kabur dari rumah buat ketemu aku, katanya pengen ngomongin sesuatu. Om gak usah khawatir.”

Angkasa melotot. Sagara tidak hanya bersikap menyebalkan di AU yang dia baca, tapi dia juga pandai memutar balikkan fakta.

“Entar biar aku yang nganterin Angkasa pulang ke rumah, Om.” ucap Sagara yang mendapat persetujuan dari Ayah Angkasa. Setelahnya, dia pun memutus sambungan telepon itu sebelum mencengkeram pergelangan tangan Angkasa dan menyeret calon suaminya itu ke mobilnya.

“Apaan sih? Lepasin gue!”

“Nurut sebentar aja bisa gak?”

“Gak bisa!” pekik Angkasa, tapi Sagara dengan sigap membuka pintu mobilnya lalu menuntun Angkasa untuk masuk dan duduk di seat samping bangku kemudi.

“Awas aja kalau kamu nyoba lari.”

Angkasa menggerakkan bibirnya meledek sambil memerhatikan Sagara yang berjalan di depan mobil sebelum ikut masuk dan duduk di sampingnya. Angkasa pun memutar bola mata ketika Sagara mengunci pintu mobil.

“Aku tau kamu gak suka sama perjodohan kita,” kata Sagara tanpa basa-basi. “Aku sendiri juga gak sudi dijodohin sama kamu, tapi cuma jalan ini yang bisa kita pake supaya kita bisa saling menguntungkan, Asa.”

“Saling menguntungkan apanya coba? Apa untungnya buat gue?”

“Aku tau kok, Ayah kamu nerima ajakan Papi aku buat ngejodohin kita berdua bukan tanpa alasan, tapi karena Ayah kamu butuh support Papi aku supaya Ayah kamu bisa makin dekat sama Presiden dan dipilih jadi salah satu menterinya nanti,” jelas Sagara. “Gitu juga sama aku…”

“Aku harus nurut sama Papi aku yang pengen ngejodohin kita bukan tanpa alasan, tapi supaya aku bisa nikah sebelum kakek aku tutup usia.” timpalnya. “Jadi kalau menurut kamu berumah tangga sama aku seumur hidup tanpa rasa cinta terlalu berat, kita bikin kontrak aja. Gimana?”

Angkasa memicing. Kalimat yang baru saja Sagara ucapkan sangat tidak asing. Jelas kalau apa yang kini Sagara ucapkan sama persis dengan narasi yang dia baca di AU. Angkasa pun menyeringai, sebab dia mengingat jelas narasi selanjutnya yang akan terjadi.

“Jadi lo pengen bikin kontrak kalau kita boleh cerai setahun setelah kita nikah kan?” tebak Angkasa yang membuat Sagara mengernyit sebelum bertanya.

“Kamu tau darimana kalau aku mau bikin kontrak kayak gitu?”

Angkasa berdecih diikuti senyum songong, “Gue tau sebagian jalan cerita hidup lo, Sagara. Jadi gak usah macem-macem sama gue.”

“Tapi author yang bikin karakter lo kayaknya belum ngejelasin deh kenapa kontraknya musti dalam jangka waktu setahun,” gumam Angkasa lalu kembali menatap wajah Sagara yang sedari tadi memicingkan matanya heran.

“Kamu ngomongin apa sih?”

Angkasa menggeleng, “Gak, gue penasaran aja kenapa kontrak pernikahan kita musti berakhir setelah setahun. Kenapa nggak sebulan atau dua bulan aja sih?”

“Karena aku gak tau kapan kakek aku bakal tutup usia. Kalau kata Dokter sendiri, hidup kakek aku tinggal beberapa bulan. Aku gak mau Kakek bahagia ngelihat aku nikah, tapi harus ngelihat aku cerai juga. Jadi aku cari aman aja. Lagipula… Kamu gak malu apa? Kalau kita baru sebulan nikah, terus tiba-tiba udah cerai aja?”

“Halah, gak usah jual cerita sedih soal Kakek lo ke gue deh. Lo pikir gue gak tau kalau lo musti nikah supaya lo bisa jadi CEO baru di perusahaan punya kakek lo. Iya kan?” seringai Angkasa, “Kakek lo pengen salah satu cucunya yang jadi CEO buat gantiin Om lo, tapi syaratnya harus nikah dulu kan?”

Rahang Sagara mengeras. Sagara lalu mencekik leher Angkasa dengan satu tangan, namun Angkasa justru terlihat tenang.

“Kamu gak usah sok tahu soal saya dan keluarga saya, Asa.”

“Gue gak sok tau, tapi emang tau busuk lo gimana.” Angkasa lalu tersenyum meledek, “Kenapa? Lo pengen bunuh gue ya? Silakan.”

“Lagian gue juga pengen cepet-cepet pergi dari dunia ini,” timpal Angkasa yang diam-diam frustasi karena belum juga menemukan jalan ’tuk keluar dari dunia fiksi, dan kini dia justru harus terjebak dengan karakter yang dia benci.

Cekikan Sagara di leher Angkasa pun perlahan melemah sebelum akhirnya terlepas. Sagara lalu menghela napasnya panjang.

“Jadi gimana?”

“Gimana apanya?”

“Soal kontrak yang udah kamu tau itu,” jelas Sagara. “Setuju?”

Angkasa berpikir sejenak. Jika di dalam AU Sky langsung setuju, maka dia tidak ingin seperti itu. Angkasa tidak ingin kisahnya berakhir seperti kisah klise fiksi tentang pernikahan kontrak di luaran sana; dimana dia akan jatuh cinta dengan tokoh utama. Meski Angkasa sendiri belum tahu bagaimana akhir cerita Sky dan Sagara di AU, tapi dia ingin jaga-jaga. Sebab, dari beberapa chapter yang telah Angkasa baca, nampak kalau tokoh Sky mulai menaruh perhatian pada Sagara.

“Oke, gue setuju. Tapi dengan syarat gue tetep boleh pacaran sama orang lain setelah nikah sama lo. Gue juga gak pengen kita tidur di kamar yang sama. Oh, sama satu lagi. Lo ataupun gue enggak boleh ikut campur urusan satu sama lain. Paham?”

“Terserah,” gumam Sagara.

“Bilang ‘iya’ dulu!” Angkasa berdecak kesal, “Cepetan!”

“Iya.”

“Oke. Udah kan? Buka pintu mobil lo. Gue mau keluar.”

“Entar mobil kamu biar dibawa pulang sama Pak Teguh. Kamu harus pulang sama aku,” Sagara kembali menyalakan mesin mobil lalu mendelik ke Angkasa yang kembali mengoceh dan protes karena ingin pulang sendiri.

“Dih? Kok lo maksa sih? Gue gak pengen pulang sama lo. Bukain!”

“Kalau kamu gak mau dianterin pulang sama aku, ya udah. Kita nginep aja di sini. Dalam kontrak kita, syaratnya kita nggak boleh tidur di kamar yang sama kan? Berarti kalau di mobil boleh,” ucap Sagara santai, sementara Angkasa mengepalkan tangan.

“Sagara anjing,” gumam Angkasa diikuti helaan napas gusarnya. “Ya udah, cepet anterin gue.”

Sagara pun hanya memutar bola mata malas sebelum menancap gas guna mengantar Angkasa untuk pulang ke kediamannya.

Setelah mendapat pesan singkat dari sang Ayah, Angkasa seketika memutuskan untuk pulang ke rumah dengan hati yang tidak tenang. Pasalnya, nampak jelas kalau si pria paruh baya ingin membicarakan hal yang penting.

Sampai tidak lama berselang, Angkasa pun tiba di halaman rumah. Dia memarkirkan mobil yang sedari tadi dia kemudikan sembarangan sebelum bergegas masuk ke dalam rumah. Angkasa berjalan tergesa-gesa menuju ke ruang keluarga dimana Ayah dan Bunda biasanya bercengkrama.

Dan benar saja, ketika Angkasa tiba di sana, dia mendapati sang Ayah juga Bundanya duduk pada sofa. Ketika sorot mata Angkasa bertemu dengan Bundanya, dia bisa melihat raut sedu di netra kelam si wanita paruh baya. Tapi lain halnya saat Angkasa mulai mendekati sang Ayah. Pasalnya, raut wajah pria paruh baya justru menunjukkan amarah yang entah artinya apa. Angkasa pun hendak bertanya ada apa gerangan, tapi sebelum bibirnya mengucapkan sepatah kata, si Ayah sudah lebih dahulu menampar keras pipinya.

“Ayah!”

Bunda memekik keras melihat bagaimana sang anak sampai terjatuh di atas lantai akibat tamparan keras dari suaminya. Angkasa yang juga tidak pernah menyangka bahwa hal pertama yang akan dia dapatkan ketika sampai di rumah adalah sebuah tamparan pun hanya terdiam sambil mendongak ke Ayahnya dengan sorot mata kebingungan.

“Udah puas kamu bikin Ayah malu?” Suara Ayah meninggi.

“Aku salah apa, Yah?”

“Salah apa, kata kamu?”

Ayah dengan mata yang berapi-api lantas meraih lima lembar foto dari atas meja. Si Ayah lalu melemparkan foto-foto itu ke arah Angkasa yang masih belum bangkit setelah jatuh di lantai.

Angkasa pun mulai memungut lembaran foto-foto itu sebelum memandanginya. Saat itu pula jantung Angkasa seakan ingin meloncat keluar dari tempatnya kala melihat bagaimana fotonya dan si mantan pacar saat mereka berciuman terpampang di sana. Entah siapa yang mengambil foto itu hingga akhirnya bisa sampai ke orang tuanya seperti saat ini.

“Ayah dapet foto ini dari mana?” Suara Angkasa bergetar hebat.

“Gak penting fotonya darimana, yang paling itu penting gimana kamu bisa jelasin ke orang-orang kenapa kamu bisa ciuman sama laki-laki!” Ayah menghela napas gusar, “Kalau udah kayak gini, gimana? Mau ditaruh di mana muka Ayah, Asa? Ayah kan udah ingetin kalau kamu harus hati-hati sebelum bertindak, apalagi bentar lagi Ayah diangkat jadi menteri. Tapi apa-apaan ini?”

Angkasa tersenyum miring sambil menatap Ayahnya sedu.

“Jadi Ayah marah bukan karena privasi aku dilanggar, tapi Ayah takut nama baik Ayah tercoreng dan gagal diangkat jadi menteri?”

Angkasa berusaha bangkit dari posisinya lalu berdiri di hadapan sang Ayah, “Ayah selalu aja kayak gini. Ayah tuh gak pernah peduli sama aku. Ayah cuma mikirin diri Ayah dan ego Ayah sendiri kan?”

“Ayah mau tau kenapa di foto itu aku ciuman sama laki-laki?” kata Angkasa dengan mata yang telah berkaca-kaca. “Karena aku suka laki-laki, Yah. Anak Ayah ini gay.”

Satu tamparan lain pun kembali mendarat di pipi Angkasa. Sang Ayah bahkan nyaris mengulangi hal yang sama untuk kesekian kali andai saja Bunda tak buru-buru menghentikan aksinya.

“Ayah, udah! Cukup, Yah!”

“Kamu liat anak kamu sekarang?” Ayah masih dikuasai oleh emosi. “Ini akibatnya kalau kamu selalu biarin dia ngelakuin apa yang dia pengen dan nggak dengerin kita.”

Bunda menatap Angkasa dengan raut memohon, “Sa, minta maaf sama Ayah. Kamu ngomongnya gak boleh gitu. Bunda percaya kok kalau foto-foto itu settingan orang-orang yang ngelanggar privasi kamu dan berusaha buat ngejebak dan ngejatuhin kamu.”

“Foto-foto itu bukan settingan, Nda.” lirih Angkasa, “Laki-laki yang ciuman sama aku di foto itu mantan pacar aku. Sekarang, apa Ayah masih mau nerima aku jadi anak? Atau Ayah mau bunuh aku karena aku cuma malu-maluin?”

Si Ayah yang sedari tadi tengah dipeluk oleh Bunda seketika menghempaskan tautan lengan sang istri. Dia kemudian beralih memukuli wajah Angkasa tanpa ampun dan tak mendapat sedikit pun perlawanan dari anaknya itu. Bahkan ketika Angkasa telah kembali jatuh ke lantai pun, si pria paruh baya masih memberi kekerasan lain kepada Angkasa. Sementara itu, sang Bunda yang masih terkejut akan pengakuan Angkasa tadi lantas terduduk lemas di lantai sambil melihat bagaimana sang anak dipukuli oleh suaminya di depan matanya.

“Anak gak berguna!” pekik Ayah, “Pergi kamu dari rumah ini dan jangan pernah nunjukin wajah kamu di hadapan Ayah lagi!”

Angkasa yang telah babak belur berusaha bangkit meski kedua tungkainya nyaris menyerah untuk menopang tubuhnya. Namun, Angkasa ingin segera menemui mantan pacarnya untuk tahu bagaimana foto-foto mereka bisa sampai ke Ayahnya dan kemungkinan besar akan disebarkan ke kalangan luas.

Dengan langkah tertatih-tatih, Angkasa akhirnya keluar dari rumah lalu masuk ke mobilnya. Dia kemudian menancap gas kendaraan roda empat miliknya itu dengan napas yang sangat sesak. Entah karena mendengar ucapan Ayahnya atau karena hantaman yang dia dapatkan dari si pria paruh baya tadi. Angkasa pun mulai merasa pandangannya berkunang-kunang seiring air mata yang telah mengalir deras dan membasahi kedua pipinya.

Tidak pernah terpikirkan sekali pun oleh Angkasa bahwa dirinya akan memberitahu kedua orang tuanya tentang seksualitasnya. Namun, mendengar bagaimana sang Ayah malu karena melihat foto-foto dimana dia berciuman dengan laki-laki justru membuat Angkasa seketika merasa terluka. Terlebih lagi, hal pertama yang Ayahnya pikiran justru reputasi dan jabatannya, bukan dirinya.

Angkasa tahu, hidup di tengah masyarakat yang hingga saat ini masih menganggap hubungan sesama jenis adalah sesuatu yang tabu memang bukan hal yang mudah baik itu untuk orang tua dan anak. Angkasa pun paham jika kedua orang tuanya tidak bisa menerima seksualitasnya. Tapi, Angkasa selalu berharap bahwa orang tuanya masih bisa merangkulnya, bukan malah membuangnya atau menganggap dia memalukan dan tak berguna saat tahu dirinya menyukai pria.

Isakan Angkasa pun seketika terbebas bersamaan dengan bertambahnya laju kecepatan mobilnya. Diam-diam Angkasa kembali berandai-andai, jika saja dia hidup di dalam cerita fiksi boys love yang dia baca, mungkin hal semacam ini tak akan terjadi.

Namun, Angkasa paham bahwa cerita fiksi pun hanyalah bentuk manifestasi sekaligus hiburan semata. Sebab, di dunia nyata seperti sekarang ini, ada banyak hal yang tak bisa berjalan seperti apa yang dia inginkan. Angkasa pun hanya bisa menerima nasib, namun dia tidak ingin nasibnya semakin menyedihkan jika dia tidak tahu siapa orang di balik foto yang sampai ke Ayahnya.

Angkasa berusaha menghentikan tangisannya lalu menguatkan dirinya sendiri. Tujuannya saat ini hanyalah satu. Dia ingin tiba di apartemen mantan pacarnya guna mencari tahu semuanya.

Angkasa pun kian menambah kecepatan mobilnya. Namun, mobil Angkasa yang kini telah hilang kendali karena melaju dengan kecepatan tinggi lantas tidak bisa menghindari mobil lain yang tiba-tiba memotong di depannya. Saat itu pula suara tabrakan yang sangat keras tiba-tiba menggema. Mobil Angkasa dan mobil di depannya terhenti karena telah saling bertubrukan.

Angkasa yang hanya bisa berpikir bahwa hidupnya benar-benar akan berakhir pun hanya mampu tersenyum tipis sambil menyeka cairan merah yang mengalir di keningnya. Setelahnya, Angkasa memeluk setir mobilnya dengan napas yang telah terputus-putus.

Hidupnya benar-benar akan berakhir menyedihkan. Apa ini sebuah takdir atau hukuman dari semesta? Pikir Angkasa sebelum penglihatannya menjadi gelap sempurna. Namun anehnya, dia masih bisa mendengar suara di sekitarnya dengan sangat jelas.

“Sa…”

“Asa…”

“Angkasa bangun…”

“Sa… Liat Bunda, Sayang…”

“Oh? Gue belum mati ya?” tanya Angkasa dalam hati ketika mendengar suara Bundanya. Matanya masih setia terpejam.

“Perasaan… Dada, kepala sama kaki gue sakit banget deh tadi, sekarang kok udah hilang ya?”

Angkasa terus bermonolog sambil diam-diam bersiap untuk kehilangan nyawanya.

“Buset, kok gue malah dingin sih? Apa bentar lagi nyawa gue bakal dicabut sama malaikat maut ya?”

Angkasa yang heran akan reaksi tubuhnya setelah tabrakan hebat beberapa menit yang lalu lantas mencoba untuk membuka kedua matanya lagi. Namun, Angkasa seketika menahan napas saat menyadari bahwa saat ini dia justru berada di dalam kamarnya dan tengah terbaring terlentang di atas ranjang empuk miliknya.

Ketika dia menoleh ke sisi kiri, Angkasa pun mendapati Ayah berdiri di samping ranjangnya sambil menatapnya khawatir. Sementara sang Bunda yang duduk di sisinya itu menangis.

“Nda…”

“Iya, Nak? Mana yang sakit, Saa? Bilang sama Bunda,” kata Bunda.

“Kok aku ada di rumah?” tanya Angkasa, “Aku pingsannya lama banget ya pas abis tabrakan?”

Tangisan Bunda lantas terhenti sambil menatap anaknya heran. Bunda lalu bertukar pandangan yang sama dengan Ayah sebelum kembali menatap wajah Angkasa.

“Kamu tabrakan sama apaan di kolam renang, Sa?” tanya Bunda.

“Hah?” Angkasa ikut bingung. “Kok jadi kolam renang, Nda?”

“Kamu kan pingsan gara-gara hampir tenggelam di kolam renang, Sa. Bukan tabrakan,” jelas Bunda yang membuat Angkasa menahan napas beberapa detik.

“Jadi tabrakan itu cuma mimpi?”

“Tapi kok kayak nyata banget sih?”

“Terus kenapa gue bisa masuk ke kolam coba? Deket-deket ke kolam aja gue takut. Kok gue gak inget?”

Angkasa hanya mampu bertanya dalam hati sebelum memandangi kedua tangannya. Benar saja, tak ada jejak luka sedikitpun di sana. Padahal, setelah tabrakan itu, dia bisa mengingat jelas bagaimana dia memeluk erat setir mobilnya karena tidak sanggup melihat kedua tangannya terluka parah.

“Yah, kayaknya kita harus bawa Asa ke rumah sakit. Aku takut psikis Asa udah keganggu karena traumanya sama kolam renang makin parah,” usul sang Bunda.

“Ng… Gak usah, Nda. Aku baik-baik aja. Aku kayaknya mimpi buruk doang pas pingsan tadi,” Angkasa cengengesan, “Tapi… Kenapa aku tiba-tiba gak inget gimana ceritanya sampai aku bisa masuk ke kolam renang ya?”

“Tuh kan, jangan-jangan kepala kamu emang kebentur pas jatuh ke kolam tadi. Sampai-sampai kamu amnesia gini,” kata Bunda.

“Kamu jatuh ke kolam gara-gara kamu sendiri yang loncat,” kata Ayah lalu melipat lengan. “Kamu ngancem Ayah kalau kamu lebih baik mati aja daripada dijodohin.”

“Hah? Dijodohin?” Angkasa kian bingung sekaligus shock. “Emang aku mau dijodohin sama siapa?”

Bunda membekap mulutnya sendiri sesaat sebelum kembali menangis. Dia lalu memeluk sang suami, “Yah, Asa beneran hilang ingatan. Kita harus gimana, Yah?”

“Ambil positifnya aja, Nda. Dia hilang ingatan supaya nerima perjodohannya sama Sagara.”

“Sagara?” Angkasa bangkit dari posisinya. “Sagara itu cowok?”

Isakan Bunda semakin kencang, sementara Angkasa tercengang.

“Yah… Mental Asa udah kena…” Bunda menatap anaknya kasihan.

“Ya kalau cewek namanya bukan Sagara, tapi Sa-girl.” sahut Ayah yang justru membuat Angkasa tertawa di tengah kebingungan.

“Yah, jangan bercanda dulu.”

“Siapa yang bercanda sih, Sa?”

Angkasa terdiam sejenak.

“Apa ini kehidupan kedua gue setelah mati ya?” pikir Angkasa. “Gak mungkin gue jodohin sama cowok. Lah Ayah aja homophobic.”

“Terus, Sagara… Kenapa nama itu kayak gak asing banget?” Angkasa asik bermonolog di dalam hati.

“Sa, kamu terima aja ya? Lagian besok kalian udah nikah. Kenapa kamu nolaknya baru sekarang?”

Angkasa melotot, “Hah? Besok?”

“Yah, ini udah gak bener. Anak kita daritadi ngang ngong mulu,” kata Bunda sembari menghapus air matanya. “Ayo, sekarang kita bawa Asa ke rumah sakit, Yah.”

“Gak, Nda. Gak usah, aku gak apa-apa.” Angkasa memaksakan tawa. “Aku kayaknya masih shock aja abis jatuh ke kolam, makanya jadi linglung sendiri. Maafin aku.”

“Kamu yakin?”

“Iya, Ndaaa.”

Bunda mengangguk, “Kalau gitu, abis ini kamu telepon Sagara ya? Dia pasti masih khawatir sampai sekarang gara-gara tau kalau kamu hampir tenggelam tadi.”

“O-oke, Nda.”

“Gak usah macem-macem lagi,” Ayah menimpali. “Dengerin kata Ayah sama Bunda aja bisa gak?”

Angkasa menghela napas pelan. Bahkan di kehidupan barunya ini pun sikap sang Ayah masih sama.

“Iya, Yah.”

Good,” kata Ayah lalu merangkul Bunda. “Ayo, Nda. Kita keluar dari sini. Biarin Asa istirahat.”

Bunda mengangguk pelan lalu mengusap lembut kepala sang anak. “Jangan tinggalin Bunda, Sa. Bunda gak mau kamu pergi.”

Angkasa tersenyum tipis diikuti anggukan. “Maafin aku, Nda.”

“Mm, sekarang kamu istirahat. Jangan lupa entar kabarin Gara.”

“Oke,” pasrah Angkasa.

Jantung Nala juga Saka seketika bergemuruh ketika orang tua di hadapan mereka hanya terdiam sambil memandangi keduanya bergantian. Nala yang seperti biasa selalu mengambil inisiatif pun melangkah lebih dahulu. Dia memberanikan diri menghampiri Mama, Papa, Bunda dan Ayah di depan pintu kamar lalu bersuara.

“Ma, Pa, Ayah, Bunda, aku bisa jelasin...” kata Naka meski para orang tua itu belum bertanya.

“Aku sama Saka emang saling suka, tapi kita berdua enggak pacaran. Aku sama Saka juga baru tau kalau ternyata kita punya perasaan ke satu sama lain sebulan belakangan,” jelas Naka. “Tapi kita udah mutusin buat saling ngelupain perasaan kita sebelum kejadian hari ini kesebar fotonya. Kita berdua ngelakuin itu karena kebawa suasana gara-gara sedih harus milih pisah supaya hubungan pertemanan kita berdua juga Mama, Papa, Bunda dan Ayah baik-baik aja. Itu yang terakhir.”

“Aku mutusin buat pindah ke LA juga supaya aku sama Saka gak ada komunikasi lagi, gak bareng mulu, supaya kita bisa move on.” timpalnya, “Aku… Bener-bener minta maaf. Aku yang awalnya ngaku kalau aku suka sama Saka.”

“Aku nyesel semuanya jadi kayak gini,” lirih Naka. “Tapi aku mohon dan berharap Mama, Papa, Ayah sama Bunda hubungannya baik-baik aja kayak biasanya. Yaaa?”

“Aku janji, abis ini, aku bakalan tunjukkin ke orang-orang kalau aku bisa berubah dan gak bikin Mama, Papa, Bunda sama Ayah malu lagi karena suka laki-laki dan itu Saka, sahabatku sendiri.”

“Aku yang salah,” Saka ikut buka suara. “Andai aja aku juga nahan diri buat enggak ikut confess ke Naka, semuanya gak bakal kayak gini. Naka pasti udah move on karena patah hati kalau dia mikir cintanya cuma bertepuk sebelah tangan. Aku juga yang hari ini inisiatif nyium Naka duluan.”

“Aku juga janji bakal ikhlasin Naka pergi abis ini,” timpalnya. “Supaya aku sama Naka bisa ngelupain perasaan ke satu sama lain dan gak malu-maluin lagi.”

“Emang Mama pernah bilang kalau Mama malu?” kata Mama.

“Bunda juga gak pernah malu.”

“Ayah juga.”

“Papa juga kok.”

Saka dan Naka pun refleks saling berbagi tatapan bingung. Naka kemudian kembali memandangi empat paruh baya di depannya.

“Mama, Papa, Bunda sama Ayah gak marah aku sama Saka kayak gini? Yang suka sama laki-laki?”

“Loh? Kenapa kita semua harus marah? Jaman udah berubah, Na. Semua manusia di bumi berhak dapetin hak hidup yang setara, termasuk soal cinta. Love is love.”

“Tapi waktu itu Mama bilang ke aku supaya aku gak kayak Naka yang batalin nikahannya dan gak main-main sama cewek, berarti Mama pengen aku nikah sama cewek kan?” Saka menimpali.

“Bukan gitu maksudnya, Saka. Mau itu kalian suka sama cowok atau cewek, sebenernya Mama gak masalah. Walaupun jujur aja kita semua kaget karena kita justru gak nyadar dan gak tau kalau kalian saling suka, tapi kita sama sekali gak menentang itu kok.” jelas Mama, “Yang Mama maksud supaya kamu gak kayak Naka waktu itu juga karena dia gak jelas pendiriannya, sukanya main-main sama pasangannya, gak mau serius. Bukan masalah cowok atau ceweknya. Lagian kalian juga seringnya ngenalin cewek ke kita semua, jadi kita mikirnya kalian suka cewek.”

Bunda mengangguk setuju lalu melipat lengannya, “Kalian ini nih ngomongnya seolah Bunda sama Mama ini kayak Ibu-ibu kejam yang ada di drama sama AU AU boys love, yang gak bakal ngerestuin anaknya jadi homo.”

Lagi, Saka dan Naka dibuat kaget atas ucapan si paruh baya. Sebab kedua wanita yang notabenenya datang dari masa dimana cinta antara dua pria masih sangat tabu justru tahu tentang drama boys love hingga cerita fiksinya.

“Bunda tau boys love dari mana?” tanya Saka sambil mengernyit.

“Gini nih emang kalau anak-anak udah gede terus gak perhatian sama orang tuanya,” sinis Mama sambil menyenggol pelan lengan Bunda. Dua wanita paruh baya itu tak beda dengan ibu-ibu lain yang selalu dramatis dan julid.

“Mama sama Bunda kalian ini lagi demen-demennya sama aktor boys love Thailand,” sahut Ayah. “Siapa, Bun? Ayah lupa.”

Bunda dan Mama pun kompak menunjukkan wallpaper gawai mereka. Di handphone Mama terpampang wajah aktor Sky Wongravee, sementara Bunda menggunakan wallpaper dengan foto Nani Hirunkit. Saat itu pula Mama dan Bunda refleks berseru

“Iminaaaaa! SkyNaniii!”

Saka dan Naka kehabisan kata. Kedua anak manusia itu refleks menganga dengan raut wajah tak percaya. Di saat mereka telah menangis bahkan dibuat gelisah tentang hubungan mereka nanti nyaris satu bulanan lamanya, hal yang di luar ekspektasi ini justru membuat mereka menjadi badut dari kehidupan yang amat kejam.

“Tapi Sky sama Nani gak main boys love perasaan,” kata Saka sambil menggaruk-garuk kepala karena masih merasa tak percaya atas apa yang tadi didengarnya.

Boys love atau enggaknya kan tergantung kepercayaan masing-masing, Sa.” decak Bunda dengan raut tak terima. “Coba deh kamu nonton series-nya, gay banget.”

Naka memijat keningnya. Meski dia bahagia karena orang tua mereka bisa menerimanya dan Saka, tapi tetap saja dia dibuat pening karena Mama dan Bunda yang diam-diam adalah fujoshi.

“Terus kenapa tadi Mama, Papa, Bunda sama Ayah natap kita berdua pake tampang sedih sih kalau emang bisa nerima kita? Aku udah takut banget tau,” kata Naka lalu menghela napas pelan.

“Gimana kita enggak sedih kalau privasi kalian malah dikuliti sama orang-orang? Mana komentar mereka jahat-jahat,” kata Bunda.

“Nah, bener. Yang paling penting sekarang kita harus nyari orang yang nyebarin foto kalian. Enak aja ngambil foto tanpa izin terus nyebarin ke media,” timpal Papa. “Mereka gak tau gimana kalian udah berusaha nutupin perasaan kalian bahkan saling ngelupain.”

“Iya, ayo kita cari orangnya. Mau Mama pukul!” Mama menggebu.

“Aku udah ketemu orangnya kok, Ma. Sempet aku pukulin juga dia.”

Papa lantas menghampiri Saka lalu menepuk-nepuk pundaknya, “Ini baru anak Papa nih. Jagoan.”

“Kalau gitu, sekarang giliran Naka yang harus Mama pukul.”

Naka melotot, “Kok aku?”

Mama mengangkat gawainya dan bersiap-siap untuk memukuli si putra semata wayang, tapi Papa, Bunda, dan Ayah seketika jadi penengah, seperti biasa. Ketiga paruh baya itu menahan Mama, sedangkan Saka menuntun Naka agar bersembunyi di belakang punggungnya. Ya. Sangat kacau.

“Mama gak marah kalau kamu suka laki-laki, tapi Mama marah karena kamu malah macarin perempuan buat nyembunyiin seksualitas kamu.” omel si Mama yang bahkan masih berusaha untuk menjangkau Naka agar pukulannya dapat mendarat. “Kamu ini emang bajingan yang suka mainin hati perempuan!”

“Ma, gak gitu. Dengerin dulu,” Saka yang menjadi benteng pertahanan antara Naka dan Mama yang masih mengamuk pun angkat bicara. “Naka gak berniat macarin cewek supaya seksualitasnya gak ketahuan, justru Naka kayak gitu karena dulunya dia masih denial kalau dia suka sama laki-laki, suka aku. Makanya Naka macarin semua cewe yang menurutnya menarik supaya bisa terdistraksi dari apa yang dia rasain ke aku, Maaa.”

“Oh, dan soal Lily.” timpal Saka, “Naka macarin Lily karena dia ngerasa Lily bisa bikin dia tenang dan gak kepikiran soal perasaan yang menurutnya aneh ke aku. Naka macarin Lily buat lupain aku juga, tapi Naka malah gak sengaja mergokin Lily selingkuh dan dia ngerasa biasa aja. Jadi, abis itu Naka putus sama Lily terus confess ke aku karena dia sadar kalau dia masih ada rasa sama aku. Gitu ceritanya, Ma.”

Mama akhirnya sedikit tenang meski napasnya telah ngos-ngosan. “Kalau gak ada Saka, udah kena pukul kamu, Na.”

“Ya lagian Mama gak mau dengerin aku dulu,” sahut Naka yang masih bersembunyi di belakang Saka. Kini ia bahkan mencengkeram kemeja Saka supaya semakin merasa aman dari amukan tiba-tiba si Mama.

“Udah, udah, daripada kita ribut-ribut gini gimana kalau kita party aja?” canda Ayah yang membuat Naka dan Saka mendengus pelan.

“Apa sih, Yah.”

Tidak kunjung mendapatkan satu pun balasan atas pesannya pada Naka sejak sore tadi membuat Saka lantas mendatangi kantor sahabatnya itu. Meski jarum jam sudah menunjuk tepat ke angka sembilan malam, tapi Saka yakin Naka masih berada di studionya.

Sesuai dugaannya, ketika Saka membuka pintu studio utama sahabatnya itu, dia mendapati Naka sedang sibuk berkutat di depan komputer. Naka jelas tak menyadari kehadirannya, sebab telinga Naka ditutupi headphone hingga dia tidak bisa mendengar apa-apa selain musik yang kini sedang dia kerjakan amat serius.

Saka lalu menghampiri Naka dan membuka pelan headphone dari telinganya sang sahabat. Saat itu pula Naka lantas mendongak dan mendapati Saka telah berdiri di sisinya sambil menatapnya lekat-lekat sejenak sebelum bersuara.

“Kenapa chat gue gak lo baca?”

Naka menghela napas, “Lo gak liat gue lagi sibuk? Kan kita bisa ngomong pas pulang ke rumah.”

At least kasih tau gue dong, Na. Bilang kalau lo ada kerjaan biar gue nggak khawatir,” lirih Saka.

Naka hanya dia sambil menatap lurus ke dalam netra madu Saka sesaat, “Gue lagi capek banget, Sa. Gak usah ngajak berantem.”

Saka tidak mengatakan apa-apa. Dia pun memilih berbalik lalu berjalan ke arah sofa panjang yang ada di dalam studio Naka. Sementara itu, Naka kembali memusatkan atensinya ke arah layar komputer di hadapannya.

Selagi Naka masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya, Saka yang duduk bersandar pada sofa pun tak henti-hentinya memandangi Naka dari arah belakang. Meski yang bisa Saka lihat hanyalah punggung Naka, tapi Saka bisa menebak bahwa sahabatnya itu sama frustasinya dengan dirinya. Nampak dari gerakan Naka yang sesekali memijat keningnya dan hembusan napasnya yang berat.

Waktu terus berjalan dan Saka masih menunggu Naka hingga sahabatnya itu selesai dengan pekerjaannya. Sudah terhitung dua puluh lima menit sejak Saka duduk di sofa sambil mengamati Naka dalam diam. Kemeja putih Saka yang awalnya terkancing rapih kini telah dibuka dari dua kancing teratas. Meski studio Naka memiliki penyejuk ruangan, namun Saka merasa pendingin itu tak mampu meredam gejolak yang ada di dalam dirinya saat ini

Ketika layar komputer di depan Naka akhirnya menjadi gelap, tanda bahwa Naka baru saja mematikan dayanya, Saka lantas menghela napas lega. Terlebih saat Naka mulai beranjak dari kursinya dan menghampiri Saka sebelum ikut duduk di atas sofa.

“Apa yang tadi gue lakuin salah ya, Na?” tanya Saka tanpa basa-basi. “Gue gak seharusnya ngasih tau lo soal perasaan gue ini ya?”

“Lo gak salah kok,” jawab Naka. “Pasti lo juga lega abis confess.”

Naka tersenyum miring, “Gue cuma bingung harus bereaksi kayak gimana. On the one hand, I feel good, but on the other hand, everything just feels so wrong…”

“Gue juga ngerti lo ngelakuin itu lagi-lagi buat gue,” timpal Naka. “Mungkin ini yang bikin gue suka sama lo ya, Sa? Bahkan di situasi yang sulit buat lo sekalipun, elo tuh selalu aja mikirin gue supaya gue gak menderita lebih dari lo.”

“Makanya gue selalu ngerasa aman sama lo,” jelas Naka.

Saka dan Naka pun berbagi senyum sejenak. Meski sorot mata mereka masih terpancar keputusasaan, namun di balik dada mereka timbul kesejukan tiap kali mereka mencoba untuk saling memahami satu sama lain.

“Mungkin ini juga yang bikin gue suka sama lo, Na.” kata Saka, “Lo selalu nyoba buat ngertiin setiap perlakuan gue dari berbagai sisi. Lo ngingetin gue kalau gue salah, gitu juga sebaliknya. Lo pun gak pernah lupa mengapresiasi gue sekecil apapun yang gue lakuin.”

“Lo gak pernah bikin gue ngerasa ditinggalin,” timpalnya lembut.

Saka lalu meraih tangan kanan Naka dan menggenggamnya erat, “Kita pulang sekarang ya? Mata lo kelihatan udah capek banget.”

Saka lantas bangkit masih sambil menggenggam erat tangan Naka, namun bokong Saka justru harus kembali mendaratkan mulus di permukaan lembut sofa itu kala Naka menariknya dengan kuat. Waktu pun terasa begitu cepat bagi Saka ketika Naka tiba-tiba mengikis jarak wajah mereka hingga berakhir mengecup bibir penuhnya. Kecupan itu pun bertahan selama beberapa saat sebelum Naka kembali menatap lamat-lamat netra madu Saka.

“Jadi gini ya rasanya ciuman sama cowok?” kekeh Naka.

“Kayaknya lo harus belajar dulu deh sama ahlinya,” ledek Saka.

“Siapa emangnya?”

“Gue,” bisik Saka sebelum meraup bibir tipis Naka.

Saka melumat lembut bibir atas dan bawah Naka bergantian. Pun Nala yang dengan sigap berusaha mengimbangi pagutan Saka yang temponya berangsur cepat. Baik itu Saka maupun Naka sama-sama memejamkan mata sambil terus berbagi rasa manis dari ciuman pertama yang tercipta di antara mereka. Mereka seolah tidak ingin memikirkan hal-hal menyakitkan yang mungkin akan mereka lewati kedepannya untuk saat ini. Saka juga Naka hanya ingin membebaskan rasa yang sudah lama mereka pendam.

Terlalu larut dalam ciuman yang semakin berantakan dan liar itu membuat Naka nyaris kehilangan akal. Di sela-sela aksinya yang menciumi rakus bibir Saka, jari Nala lantas menggerayangi satu persatu kancing kemeja Saka. Namun, sebelum dia berhasil membuka semua kancing itu, Saka lebih dulu menahannya.

Calm down,” Saka terengah-engah lalu terkekeh lembut. “Kamu gak sabaran banget.”

Mendengar Saka menggunakan sapaan ‘aku–kamu’ membuat Naka seketika pening. Dia lalu bernisitaif bangkit dari posisinya saat ini dan berakhir duduk di atas pangkuan sahabatnya itu.

Naka kemudian mencengkeram kedua pergelangan tangan Saka dan meletakkan masing-masing di samping kepala sang sahabat yang kini bersandar pada sofa. Setelahnya, Naka lantas sedikit membungkuk hingga wajahnya sejajar dengan Saka lalu berbisik.

“Lo top apa bottom, Sa?”

I can do both for you,” seringai Saka, sedang Naka menggigit bibir bawahnya sesaat sebelum kembali menciumi bibir Saka.

Ciuman Naka kemudian perlahan turun ke leher hingga dada Saka, namun lagi-lagi, Saka tiba-tiba menghentikan aksinya. Terlebih, saat Naka mencoba melepaskan celana kain yang dikenakan Saka.

“Kita gak ada persiapan apa-apa, Na. Making love sama cewek dan cowok itu beda banget loh,” kata Saka dengan suara lembutnya. “Let’s go home first. Di rumah gue ada kondom sama lubricant kok.”

“Cuma butuh dua itu kan?” tanya Naka yang dibalas anggukan oleh Saka. “Kalau gitu biar gue beli di Alfamart dulu. Lo tunggu di sini.”

Saka hanya mampu menganga melihat Naka bangkit sebelum bergegas keluar dari studionya. Naka benar-benar tak sabaran.

Sepulang dari apartemen Lily, Naka berusaha memantapkan hati bahwa setelah ini dia akan menemui Saka. Dan di sinilah Naka sekarang. Naka berdiri di depan pintu rumah sahabatnya itu dalam kondisi yang sudah jauh dari kata baik-baik saja. Sorot mata Naka sudah sangat kosong. Pun raut wajahnya yang telah menyiratkan keputusasaan.

Sejenak Naka memandangi jam di layar gawai yang ia genggam. Sudah hampir jam empat pagi, yang mana artinya tidak akan lama lagi mentari akan terbit dan menyinari bumi. Naka bisa saja menunggu Saka untuk bangun terlebih dahulu dan menemui sang sahabat pagi nanti, tapi dia benar-benar sudah nyaris hilang akal karena frustasi. Alhasil, kini Naka pun membuka kunci pintu rumah Saka lalu berjalan masuk hingga dia sampai di depan pintu kamar Saka. Diputarnya kenop pintu yang tidak terkunci itu hingga ia berhasil membukanya.

Saka nampak tertidur amat lelap, membuat Naka tidak tega untuk membangunkannya. Naka pun memilih untuk ikut berbaring di sebelah sahabatnya itu sebelum mendekap erat pinggang Saka dari samping. Meski Naka tidak bersuara, namun Saka justru terjaga saat merasakan pelukan itu. Bahkan tanpa dia membuka matanya lebih dahulu pun, Saka sudah tau bahwa sosok yang kini memeluknya erat adalah Naka.

Naka yang semula berbaring terlentang kemudian bergerak pelan guna mengubah posisinya menjadi menyamping seperti Naka. Alhasil, kini Saka dapat melihat dengan jelas wajah sahabatnya itu. Tatapan mereka pun beradu dalam diam sejenak.

“Lo baru balik dari studio?”

Naka menggeleng pelan sebagai jawaban. Sementara itu, Saka seketika mampu membaca raut wajah Naka yang amat murung.

“Lo pengen ngomong sesuatu?”

Naka menarik napas dalam-dalam sejenak lalu bersuara.

“Gue gak jadi nikah sama Lily.”

Saka melotot, “Kenapa?”

“Gue abis ngeliat dia making out sama si Malik di apartemennya.”

Saka menatap sahabatnya itu iba. Ditariknya tubuh Naka ke dalam dekapannya. Saka lalu menepuk-nepuk pelan punggung Naka dengan niat menenangkannya.

“Gue tau lo pasti lagi sedih dan kecewa banget, tapi ambil hal positifnya juga dari kejadian ini ya?” kata Saka. “Kalau aja lo gak tau ini sekarang, pasti lo bakalan lebih sakit lagi andai suatu saat lo tau semuanya pas lo sama dia udah nikah. Anggap ini cara yang di atas buat nyelamatin lo dari pernikahan yang mungkin bakal gagal kalau lo gak tau dari awal.”

Naka hanya terdiam, tapi selang beberapa menit kemudian, dia menarik dirinya dari dekapan Saka dan beralih menatap lamat wajah sahabatnya itu cukup lama sebelum kembali angkat bicara.

“Gue sebenernya udah tau kalau lo mungkin suka sama cowok...” tutur Naka yang membuat Saka terkejut. “Jujur, gue gak sengaja ngeliat lo ciuman sama Kak Yoga di UKS pas kita masih SMA dulu.”

“Tapi gue selalu denial,” timpal Naka. “Gue mikirnya mungkin lo cuma lagi iseng atau penasaran. Apalagi di umur yang segitu, kita emang pengen tau banyak hal.”

“Tapi ngelihat kejadian itu… Gue malah jadi ngerasa aneh tiap ada di dekat lo.” Naka menghindari tatapan Saka, “Gue gak suka tiap kali ngeliat lo deket-deket sama cowok. Gue ngerasa gak pengen lo deket sama cowok selain gue.”

“Gue selalu mempertanyakan apa yang gue rasain,” kata Naka. “Gue juga selalu sugesti diri gue kalau gue mungkin posesif dan protektif karena lo sahabat gue sejak kecil. Jadi gue gak pengen lo salah pergaulan di sekolah.”

“Tapi tetep aja, gue justru makin mempertanyakan apa yang gue rasain ke lo. Gue bener-bener clueless,” Suara Naka terdengar sangat putus asa. “Sejak saat itu gue mulai macarin setiap cewek yang menurut gue menarik, biar gue terdistraksi dari perasaan dan pikiran aneh gue soal elo.”

“Gue juga berusaha nyari cewek buat lo pacarin, supaya gue bisa yakinin diri gue kalau lo enggak suka sama cowok dan apa yang gue liat di UKS itu pure salah paham. Gue sendiri gak pernah nanya langsung ke lo karena gue takut denger jawaban lo, Saka.”

Naka memberanikan diri untuk kembali menatap netra Saka, “Apa yang gue alamin hari ini kayaknya karma buat gue deh, Sa. Selama ini gue macarin Lily karena gue nganggap Lily orang yang bisa bikin gue tenang dan bikin gue yakin kalau perasaan aneh gue ke lo udah hilang. Gue bener-bener pengen terbebas dari perasaan aneh yang lambat laun mulai gue pahami artinya apa, tapi gue justru takut banget mengakuinya. Sampai-sampai gue secara gak langsung jadiin Lily pelarian buat ngelupain lo.”

“Gue takut kalau lo sebenernya gak suka cowok. Gue takut kalau cara lo mandang gue pas udah tau perasaan gue bakal berubah. Dan gue takut hubungan orang tua kita juga bakal jadi renggang karena gue malah nganggap lo lebih dari sahabat, padahal kita sama-sama cowok.” jelas Naka diikuti senyum miring. “Orang tua kita itu generasi yang masih gak bisa nerima orang-orang kek kita berdua. Mereka pasti sedih.”

Naka mengulum bibirnya yang bergetar karena menahan tangis sesaat sebelum berkata, “Maafin gue ya, Sa. Kalau aja waktu itu gue gak ngeliat lo ciuman sama Kak Yoga, mungkin gue gak bakal ngeh sama perasaan gue ke lo...”

“Maaf juga karena gue selalu maksa lo buat jalan sama cewek karena gue takut perasaan gue itu bakal ke-trigger lagi kalau aja gue ngeliat lo lagi bareng sama cowok.” katanya, “Tapi gue harap lo nggak nganggap gue egois ya, Sa? Gue ngelakuin ini juga biar hubungan pertemanan kita sama orang tua kita tetep baik-baik aja. Gue gak mau kehilangan lo.”

Naka menghela napas panjang. Dia sudah merasa sedikit lebih lega sekarang, meski Saka tidak juga memberikan respon berarti. Setidaknya, Naka telah melepas apa yang selama ini dia simpan seorang diri dan membebaninya.

“Gue cuma mau bilang ini,” Naka tersenyum tipis. “Sekarang gue udah lega. Makasih udah mau dengerin gue. Oh iya, satu lagi. Gue gak kecewa kok sama lo.”

“Lo juga gak usah khawatir, gue gak bakalan minta lo buat jadi pacar gue.” kekeh Naka, namun sangat hambar. “Justru bagus kalau gue bukan tipe lo. Kalau gue abis patah hati, gue bakal move on kok. Dan gue harap lo juga masih mau menerima gue sebagai sahabat lo abis ini, Sa.”

Naka kemudian melepaskan dekapan Saka lalu bangkit dari posisinya hingga kini ia berakhir duduk di samping sang sahabat yang masih berbaring. “Gue mau pulang ke rumah gue sekarang. Lo lanjutin tidur lo gih. Anggap aja sekarang lo lagi mimpi aneh.”

Naka tersenyum tipis sebelum bersiap untuk turun dari ranjang Saka. Namun, baru saja ia hendak beranjak, Saka sudah lebih dulu menahan pergelangan tangannya lalu menariknya hingga kini dia kembali berbaring di sisi Saka.

“Lo tidur di sini aja. Bentar lagi subuh lagian,” kata Saka sambil menyelimuti tubuh Naka hingga mereka berada dalam selimut yang sama. “Udah, tutup mata lo. Kalau lo liatin gue mulu, entar lo malah makin naksir sama gue.”

“Baru kali ini gue nyesel abis confess sama seseorang,” kata Naka diikuti delikan tajam lalu mengubah posisinya menjadi berbaring menyamping hingga membelakangi Saka. Sementara itu, sang sahabat hanya terkekeh.

Saat Naka mulai memejamkan matanya yang mulai lelah dan mendambakan tidur lelap, dia justru bisa merasakan bagaimana lengan Saka tiba-tiba memeluk tubuhnya dari belakang sana.

“Jangan diemin gue lagi,” bisik Saka yang membuat segaris senyum tipis lantas menghiasi bibir Naka sebelum dia terlelap.

Jeva membuka pintu rest room koas sambil membawa kantong plastik berisi makanan untuknya dan sang pacar yang telah dia pesan sebelumnya. Saat Jeva memasuki ruangan itu, dia pun mendapati Biru tengah duduk di salah satu kursi sambil berkutat dengan MacBook-nya. Jeva lalu menghampirinya sambil berkata,

“Makan siang dulu, Bi.”

Mendapati Jeva kini berjalan ke arahnya sebelum berakhir duduk di sebelahnya, Biru pun melukis segaris senyum di bibir tipisnya.

“Udah, taroh di situ aja. Entar biar aku buka sendiri,” kata Biru kala Jeva hendak mengeluarkan makanan itu dari kantongan tadi untuknya. “Kamu makan duluan aja, Jev. Aku masih kenyang kok.”

“Bi, waktu istirahat kita gak lama loh. Entar keburu kita musti balik ke poli lagi, terus kamu jadi telat makan.” kata Jeva. “Aku suapin, biar kamu bisa sambil ngetik.”

“Jev…” Biru mendesis diikuti hela napas panjang, “Aku gak makan karena gak bisa makan sambil ngetik, tapi aku emang lagi gak pengen karena masih kenyang.”

Jeva pun menatap lurus ke dalam netra kelam Biru sesaat sebelum berkata, “Ya udah, entar aja kalau gitu. Aku cuma ngingetin kamu. Jangan marah-marah lagi dong.”

“Siapa yang marah sih?”

“Kamu,” gumam Jeva lalu melahap makan siangnya.

Biru jelas masih bisa mendengar ucapan pacarnya itu. Alisnya pun berkerut melihat Jeva kini hanya diam dengan tampang cemberut. Jeva bahkan mengunyah makan siangnya dengan tidak berselera.

“Gimana aku nggak marah kalau kamu juga ngambekan mulu? Aku capek tau gak?” balas Biru kesal.

Belum sempat Jeva membalas ucapan Biru, pacarnya itu sudah lebih dulu bangkit dari kursinya.

“Kamu mau ke mana, Bi?” Jeva melembutkan suaranya agar suasana hati Biru tidak menjadi semakin buruk. “Kalau kamu gak nyaman ada aku, biar aku yang keluar dari sini. Aku minta maaf.”

Biru melirik Jeva sejenak, sorot matanya yang tadi datar lantas berubah menjadi lebih hangat. Biru pun sama. Dia berusaha melembutkan suaranya agar dia dan Jeva baik-baik saja. “Apaan sih? Orang aku mau ke toilet. Jagain HP sama MacBook aku. Jangan ke mana-mana dulu.”

Jeva pun tersenyum tipis meski masih ada yang mengganjal di relung hatinya. Akhir-akhir ini, dia dan Biru lebih sering terlibat cekcok kecil. Meskipun pada akhirnya mereka tetap saling berbaikan untuk mengindari pertengkaran hebat, namun Jeva merasa apa yang mereka lakukan justru tidak bisa memutus akar masalahnya. Sayangnya, ketika Jeva bertanya apa ada sesuatu yang mengganggu Biru, pacarnya itu justru tak pernah memberi jawaban yang Jeva harapkan.

Selagi Biru belum kembali dari toilet, layar gawai pacarnya itu lantas menyala. Sekilas Jeva pun melihat ada notifikasi masuk dan terpampang di layar kunci gawai Biru. Namun, yang membuat mata Jeva seketika memicing penasaran adalah ketika dia melihat bubble chat dari Julian.

Di sana Jeva bisa melihat pesan dimana Julian memberitahu Biru untuk mengobrol dengannya agar mereka sama-sama lega. Hal itu sontak membuat detak jantung Jeva bergemuruh. Jelas kalau Julian tahu sesuatu dari Biru, yang justru tidak diketahui olehnya. Dan itu artinya Biru mungkin lebih memilih bercerita kepada Julian dibanding dirinya.

Jeva pun menuruti intuisinya tuk membuka gawai Biru. Dia mulai membaca perlahan setiap pesan dari ruang obrolan Julian dan si pujaan hati. Namun, belum juga Jeva membaca semuanya, gawai di tangannya itu tiba-tiba saja direbut oleh seseorang. Kala Jeva menoleh, dia lantas mendapati Biru telah berdiri di sampingnya.

“Kamu ngapain sih, Jev?”

“Kenapa?” mata Jeva memerah, namun suaranya masih sangat tenang. “Aku cuma minjem hp kamu. Kok kamu kaget gitu?”

Biru melirik gawai di tangannya sejenak dimana room chat-nya dengan Julian masih terbuka. Sudah pasti Jeva telah membaca pesan antara dirinya dan Julian.

“Aku gak suka kamu baca-baca chat orang lain sembarangan di handphone aku,” kata Biru yang suaranya sudah nyaris tercekat.

Jeva tersenyum kecut, “Kenapa kamu baru bilang? Biasanya pas aku baca chat orang lain di hp kamu juga kamu biasa aja loh, Bi.”

“Ya itu karena kamu bacanya pas ada aku, kamu juga biasanya izin dulu. Ini kamu malah baca chat aku sama orang lain diem-diem,” Biru membuang napasnya kasar. “Chat aku sama orang lain tuh isinya bukan cuma privasi aku, tapi privasi mereka juga, Jeva.”

“Maaf. Aku gak bakal ngulangin lagi,” tutur Jeva sebelum kembali menatap kosong makanan yang ada di hadapannya. Dia sudah tak ada lagi niat untuk melanjutkan makan siangnya yang tertunda.

“Kamu baca apa aja tadi?” tanya Biru yang masih berdiri di sisi Jeva. Suaranya sedikit bergetar.

“Aku gak baca apa-apa kok.”

“Jangan bohongin aku, Jev.”

“Seharusnya aku yang bilang gitu sama kamu gak sih?” sahut Jeva tenang lalu menarik napasnya dalam-dalam guna meredam emosinya. Dia kemudian bangkit dari kursinya dan berdiri tepat di hadapan Biru, “Kenapa kamu gak jujur kalau kamu lagi jenuh sama aku? Meskipun aku sebenernya bisa ngerasain itu, tapi aku juga mau dengerin keluh kesah kamu gimana. Biar aku tau kurangnya aku di mana dan aku harus apa.”

“Udah berapa kali aku nanya ke kamu, apa ada yang salah? Tapi kamu selalu bilang gak apa-apa, dan sekarang aku tau kalau kamu lebih milih ngomong sama Julian. Kamu tuh nganggap aku apa, Bi?” timpal Jeva dengan suara lirih.

Sensasi perih menjalar di dada Biru kala dia melihat air mata Jeva perlahan jatuh. Biru pun membuang muka sesaat sambil menahan tangisannya yang juga nyaris terbebas. Matanya bahkan telah memanas, tapi Biru tidak ingin menangis di hadapan Jeva.

“Kenapa harus selalu kamu sih yang ngerasa kurang? Kenapa kamu yang harus ngelakuin sesuatu buat hubungan kita?” Biru akhirnya kembali menatap wajah Jeva, “Sejak awal… Kamu yang selalu berusaha buat bikin aku sayang sama kamu sampai aku juga sembuh dari trauma aku dan bikin hubungan kita works. Salah ya, kalau aku juga pengen ngelakuin sesuatu supaya aku gak terus-terusan ngerasa kalau aku useless di hubungan kita?”

“Aku gak ngasih tau kamu karena aku nyoba ngilangin rasa jenuh aku itu, biar aku bisa excited lagi tiap bareng kamu.” timpalnya dengan mata berkaca-kaca. “Aku juga gak ngasih tau kamu karena aku tau ujungnya kamu bakalan kayak gini. Kamu jadi sedih terus malah mikirin kurangnya kamu di mana. Padahal aku yang salah.”

“Aku gak pernah bilang kalau jenuh itu hal yang salah, Bi.”

“Kamu emang gak pernah bilang kalau aku salah, tapi aku yang ngerasa bersalah sama kamu.” Biru tidak mampu lagi menahan laju air matanya. “Aku tersiksa, Jev. Aku pengen ngomong sama kamu, tapi aku juga gak bisa dan nggak mau kamu sedih. Apalagi kamu selalu bikin aku ngerasa dicintai dengan sempurna, tapi aku malah kayak gini. Aku tuh jadi mikir aku nggak pantes buat kamu saking bersalahnya, Jeva.”

“Jadi kamu pengen aku ngapain?” lirih Jeva, “Cuma diem ngeliatin kamu berusaha buat keluar dari masalah ini sendirian? Sampai kapan aku harus ngerasa kalau ada jarak antara aku sama kamu padahal kita pacaran? Aku juga sama tersiksanya, Bi. Aku mau hubungan kita kayak dulu lagi, tapi kalau kamu bahkan gak mau aku ngelakuin sesuatu, terus apa gunanya aku jadi pacar kamu?”

“Kamu gak perlu jadi pacar aku lagi,” suara Biru bergetar. “Maaf udah bikin kamu tersiksa juga.”

Jeva menghapus kasar jejak air mata di pipinya. Dia kemudian memaksakan senyumnya agar percakapan mereka tak berlanjut ke arah yang tak dia harapkan.

“Kita lagi sama-sama capek, Bi. Sama-sama kalut juga,” katanya dengan lembut. “Ayo ngobrol lagi pas kita sama-sama tenang. Ya?”

“Aku udah mikirin ini mateng-mateng,” sahut Biru. “Aku gak mau nyiksa kamu lebih lama. Aku juga gak mau ngerasa egois karena nahan kamu padahal aku yang jenuh. Jadi mulai sekarang kita jalan sendiri-sendiri dulu ya, Jev? Kalaupun nanti kamu justru ketemu dan suka seseorang yang lebih baik dari aku, i’ll be happy for you. Kayak yang selalu aku bilang, bahagia kamu itu bahagia aku juga. But I feel bad that I can’t be your happiness until the end.”

“Bi…” Jeva mendadak lemas.

“Selama ini aku mungkin terlalu bergantung sama kamu, terus ngejadiin kamu satu-satunya pusat kebahagiaan aku sampai-sampai aku lupa buat luangin waktu buat diri aku sendiri.” kata Biru, “Kalau dibiarin, lama-lama kamu juga bakalan ikutan jenuh karena ngabisin rutinitas yang monoton sama aku mulu. Kamu juga bisa aja ngorbanin hal-hal yang kamu suka demi aku. Jadi aku rasa ini jalan yang terbaik buat kita untuk sekarang, Jev.”

We never know what the future holds for us, but if we’re meant to be, then we’ll find a way to get back together again. Gitu juga sebaliknya,” Biru memaksakan senyum sambil menahan tangis.

“Aku duluan ya,” pamit Biru lalu mengambil laptop dan tasnya di atas meja. Setelahnya, dia lantas berjalan tergesa keluar dari rest room koas sambil menghapus air matanya yang mengalir deras.

Tidak jauh berbeda dengan Biru, Jeva yang sudah tak mampu lagi berdiri lantas terduduk di kursi. Dia kemudian menutup wajahnya yang telah basah karena air mata dengan kedua tangannya yang bertumpu di atas meja. Hati Jeva hancur, namun untuk memaksa Biru tetap tinggal justru hanya akan membuatnya menjadi egois. Alhasil yang bisa dia lakukan saat ini hanyalah merenungi semua yang telah terjadi sambil terisak.

Gino yang baru saja berbincang dengan sang Papa melalui pesan singkat lantas menghela napas panjang. Dia kemudian menatap Axel yang baru saja datang dari arah dapur dan menghampirinya yang sedang duduk di sofa ruang tengah. Axel membawa sebuah piring berisi buah apel yang telah dia kupas. Dia lalu menyuapi si pujaan hati sambil tersenyum. Namun, senyuman Axel itu justru memicu rasa sakit di dada Gino.

“Aku udah ngomong sama Papa soal rencana aku ke London.”

“Terus kata Papa kamu gimana?”

Gino menelan ludah, “Kayaknya aku harus nolak offering letter dari B&C, Xel. Aku gak bisa ke London dalam waktu dekat.”

“Kenapa, Gin?” Axel meletakkan piring yang sedari tadi ia pegang di atas meja. “Papa gak setuju?”

“Gak gitu,” Gino menghela napas panjang. “Tapi Papa aku khawatir kalau kedepannya bakalan timbul omongan negatif soal kita karena orang-orang tau kamu sama aku pacaran dan kita sama-sama di London. Kamu tau sendiri kan orang-orang di sini kek gimana. Meskipun nanti kita gak tinggal serumah juga tetep aja bakalan ada sentimen negatif, apalagi saingan bisnis Papaku banyak. Bukan nggak mungkin mereka bakal nyari cara buat ngejatuhin aku sama nama keluarga aku. Dan aku yakin, nama kamu sama keluarga kamu bisa ikut keseret.”

“Papa sebenernya ngasih aku solusi,” timpal Gino. “Papa… Bilang kalau kita musti nikah atau minimal tunangan supaya status kita jelas di mata orang.”

But I can’t take that solution,” Gino menatap Axel sedu. “Kita baru aja pacaran, kita juga baru nyoba buat saling nyembuhin luka yang kita punya. Menurut aku, nikah atau tunangan tuh terkesan buru-buru banget…”

“Mikirin hal itu aja udah bikin aku ke-trigger,” Gino menunduk. “Aku pernah pengalaman punya niat untuk serius sama mantan pacar aku dan berakhir gagal… Sementara kamu sendiri juga punya pengalaman ngeliat orang tua kamu pernikahannya gagal.”

“Aku takut dengan kita buru-buru ngambil keputusan itu bakalan bikin hubungan kita enggak berjalan dengan baik,” Gino mengulum bibirnya sesaat. “Masih ada banyak hal yang gak kamu lihat dari aku, begitu juga aku. Jadi aku pengen kita bisa ngelewatin setiap step itu sambil ngembangin hubungan kita ke arah yang lebih serius nantinya.”

“Ibarat kita pengen naik tangga tapi kita malah ngelangkahin lima anak tangga sekaligus, apa gak bakal jatuh?” lirih Gino lalu meraih tangan Axel sebelum menggenggam jemarinya erat.

“Aku percaya kok sama kamu, tapi aku bener-bener pengen hubungan kita works, Xel. Aku gak mau keputusan yang buru-buru bakal jadi alasan yang bikin aku kehilangan kamu nantinya.”

“Kita jalanin aja dulu ya? Kalau nanti kita ngerasa udah cukup matang buat ngelangkah ke arah yang lebih serius, aku bakalan nyusul ke London.” final Gino.

“Aku aja yang balik ke Indonesia ya?” pinta Axel, “Orang-orang di sini gak bakalan ngomongin kita kalau mereka ngeliat kita, Gin.”

“Kamu jangan gila deh, Xel. Aku tau kamu udah males balik ke Indonesia. Kamu bahkan punya banyak kenangan gak baik di sini. Tunggu bentar aja. Ya, Sayang?”

“Jadi kita harus LDR?”

Gino mengangguk lemah.

“Kamu bakalan baik-baik aja?”

Gino tidak menjawab, tapi sorot matanya menunjukkan kepiluan. Menyadari hal itu, Axel seketika berdiri lalu melenggang ke arah kamar tamu apartemen Gino. Dia meninggalkan Gino seorang diri di ruang tengah. Gino paham jika Axel marah atau kesal padanya. Hubungan jarak jauh jelas adalah hal yang membuatnya tak baik-baik saja. Namun, di sisi lain, dia justru masih takut untuk ambil langkah yang terlalu buru-buru.

Tak lama berselang, Gino lantas mendengar suara pintu kamar kembali dibuka. Dia menoleh dan mendapati sang pacar berjalan ke arahnya. Namun, saat kini Axel telah menghampirinya, Gino justru dibuat heran. Sebab, Axel tiba-tiba berlutut tepat di hadapannya. Axel kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku piyamanya. Saat itu pula Gino menahan napas. Pasalnya, Axel baru saja mengeluarkan cincin.

Axel lalu meraih tangan kanan Gino dan menggenggamnya, “Gin, aku tau kamu takut buat buru-buru melangkah. Aku pun paham keputusan ini kamu ambil karena kamu pengen hubungan kita works. Aku siap nunggu kok.”

“Tapi ngeliat gimana kamu justru gak yakin kalau kamu bakal baik-baik aja pas kita LDR nanti malah bikin aku ikutan takut juga,” kata Axel. “Gimana kalau hal yang kita takutin justru malah kejadian karena kita terpisah sama jarak?”

“Gimana kalau kita ngerasa sepi karena kita gak bisa ada buat satu sama lain secara langsung kayak orang-orang pacaran pada umumnya?” timpalnya. “Terus gimana kalau kita sama-sama kepikiran apa kita masih setia dan gak saling nge-khianatin?”

“Ada banyak kemungkinan buruk juga kalau fokus kita cuma ke hal yang bisa bikin hubungan ini gak works,” timpalnya. “Gin, gak ada kata buru-buru kalau niat kita buat melangkah ke jenjang yang lebih serius itu salah satunya juga buat saling nyembuhin dan belajar lebih jauh lagi hal yang belum kita tau satu sama lain…”

“Kita masih bisa kok ngelewatin setiap stepnya meskipun status kita udah di tahap yang serius,” Axel mengusap punggung tangan Gino dengan ibu jarinya, “Kita sama-sama punya ketakutan. Kita juga sama-sama punya luka dari masa lalu. So we’re supposed to go through the healing process together, aren’t we? Bukan LDR.”

“Kamu mungkin berpikir kalau ini terlalu cepat dan masih ada banyak hal yang belum kamu lihat dari aku, tapi aku janji bakal berusaha bikin kamu bahagia. Aku gak bisa janji kalau kita gak akan ada cekcok di masa depan, karena dalam sebuah hubungan pasti ada naik turunnya kan? But I promise you, i wont hurt you…

You deserve the world and all the good things it offers. I promise to give you mine if I fail to find that world for you,” Axel lalu menarik napas dalam-dalam. “Kamu mau ya tunangan sama aku, Sayang?”

Mata Gino berkaca-kaca. Axel kembali berhasil membuatnya berani melawan ketakutannya.

“Itu cincin buat siapa?”

“Cincin buat kamu kalau kamu mau jadi tunangan aku,” sahut Axel sambil menunggu jawaban dari si pujaan hati. “So, will you?”

“Kamu belum pakein cincin itu ke aku aja, aku udah tau kalau cincin itu bakalan kekecilan di jari manis aku, Xel.” kekeh Gino.

My bad,” Axel menatap cincin di tangannya dengan raut pasrah. “Aku ngide beli cincin tapi aku malah gak tau ukuran jari kamu. It’s my first time buying a ring to my lover, so I’m still confused.”

“Oke, dimengerti.” kekeh Gino. “Propose to me again when you buy a new one. And I’ll say yes.”

“Beneran?” mata Axel berbinar.

Gino tersenyum, “Mm.”

Axel tersenyum lebar sebelum memasangkan cincin itu ke jari manis Gino meski kekecilan. Dia lalu beranjak dari posisinya dan memeluk erat tubuh pacarnya.

“Makasih, Sayang.”

“Makasih juga ya, Xel. Kamu selalu bisa bikin aku berani ngelawan ketakutan aku. And hope I could do the same for you.”

You already did the same for me,” bisik Axel lalu mengecup lembut kepala Gino. “You’ve given me everything that I dream of, Gin.”

You’re my dream come true.”

Setelah menempuh perjalanan dari London ke Jakarta selama hampir dua puluh empat jam, Gino dan Axel akhirnya tiba di apartemen Gino tepat pukul dua pagi. Keduanya pun memutuskan untuk istirahat seharian di sana sebelum mereka menemui orang tua Gino di rumah malam nanti.

Meski demikian, waktu seharian itu justru terasa amat cepat dan singkat bagi Gino yang diam-diam cemas akan bagaimana respon orang tuanya nanti pada Axel. Bahkan, hingga kini dia dan Axel telah bersiap-siap untuk berangkat ke kediaman orang tuanya, Gino tiba-tiba gugup.

Axel yang notabenenya sangat peka akan perubahan sikap si pujaan hati pun menyadari itu. Alhasil, saat dia dan Gino telah tiba di basement dan bersiap untuk masuk ke mobil Gino, Axel bertanya. “Gin, are you seriously okay? Muka kamu pucat banget.”

“Aku takut, Xel.” jujur Gino yang membuat Axel refleks meraih tangannya lalu menggenggam jemari lentiknya erat-erat.

Everything is gonna be okay, Gin. We are gonna be okay. Trust me.” Axel menyemangati Gino, “You know, overthinking is not good for our mental health. Kamu pernah denger ini gak? You don’t have to see the whole staircase, just take the first step. It means, kita harus memulai perjalanan kita supaya bisa mencapai tujuan kita meski kita nggak bisa ngelihat gimana perjalanan lengkap kita untuk sampai ke tujuan kita itu. Right?”

“Apalagi niat kita berdua baik kok, dan Mamaku selalu bilang kalau sesuatu yang diniatkan baik pasti hasilnya akan baik juga. So, hang in there. Okay?”

Gino akhirnya bisa tersenyum dan merasa sedikit tenang usai mendengar penuturan Axel. Si lelaki berlesung pipi pun ikut tersenyum ketika Gino memberi respon dengan anggukan pelan.

“Biar aku yang nyetir,” usul Axel, “Entar kamu tunjukkin aja jalan ke rumah orang tua kamu, Gin.”

“Oke,” Gino setuju sebelum dia dan Axel masuk ke dalam mobil.

Selama dalam perjalanan menuju kediaman orang tuanya, Gino tak pernah melepaskan genggaman tangannya dengan Axel. Tautan mereka membuat Gino jauh lebih tenang. Terlebih, saat Axel mulai mengusap lembut jemarinya.

Sesampainya mobil yang Axel kemudikan di halaman rumah orang tua Gino, kedua anak manusia itu terdiam sejenak. Baik itu Gino maupun Axel sama-sama menghela napas panjang sebelum saling bertukar tatapan serius. Bahkan tanpa mengucap sepatah kata pun, mereka sudah tau makna tersirat di balik sorot mata mereka; Gino dan Axel saling menyemangati.

“Maaf ya, Xel. Seharusnya hari ini kita ada di Edinburgh, tapi kita malah dateng ke rumah orang tua aku untuk hal kayak gini.”

It’s okay, aku malah seneng mau ketemu sama calon mertua aku.”

Tatapan Gino berubah menjadi sedu, “Jangan bikin aku sedih.”

Hey, i didn’t mean that. Maaf ya?”

Gino mengangguk kecil lalu beralih memeluk erat tubuh bongsor Axel. Pun Axel yang dengan sigap membalasnya.

We can do this,” bisik Axel dan dibalas gumaman oleh Gino.

Keduanya kemudian melepas tautan mereka sebelum turun dari mobil. Gino dan Axel lalu berjalan masuk ke dalam rumah dengan jantung yang berdebar tak karuan. Terlebih saat mereka tiba di ruang keluarga dan Papa serta Mama Gino ada di sana.

Gino dan Axel pun menghampiri Papa dan Mama Gino. Namun, di luar dugaan Gino, Axel lebih dulu menyapa dan menjabat tangan orang tuanya yang kini telah berdiri dan mengamati mereka.

“Malam, Om. Tante. Saya Axel.”

“Kayaknya saya baru liat kamu,” kata Papa lalu melirik ke Gino.

Paham akan tatapan penasaran Papanya, Gino lantas menjawab. “Dia orang yang aku suka, Pa.”

“Kalian kenalnya di mana? Kenapa Papa baru liat dia?”

“Pa, biarin mereka duduk dulu.” Mama menengahi mereka, “Axel, silakan duduk. Kamu juga, Gin.”

Axel dan Gino menurut, mereka kemudian duduk di sofa panjang yang berseberangan dengan si pria paruh baya juga Mama Gino.

“Aku sama Axel kenal dari Tinder awalnya,” Gino tak ingin berbasa-basi. “Waktu itu kita sama-sama sibuk sama kerjaan kita masing-masing sampai nggak ada waktu buat kenalan atau ngobrol sama orang baru. Jadi kita pake Tinder. Terus setelah empat bulan aku kenalan sama Axel terus nemu kecocokan, aku nyamperin dia ke London buat kenalan lagi di dunia nyata. Karena sejak awal aku ngasih tau dia kalau aku gak mau suka sama orang yang aku kenal dari Tinder doang. Waktu itu Axel juga pulang ke Indonesia buat nyamperin aku, tapi malah gak ketemu gara-gara aku udah di London nggak bilang-bilang.”

Alis Papa berkerut tak nyaman. Nampak kalau dia skeptis akan keputusan sang anak yang justru melabuhkan hati ke seseorang yang dia kenal dari dating apps.

“Kamu kerja di London?” Papa menatap serius ke arah Axel. “Orang tua kamu di Indonesia?”

“Iya, Om. Saya kerja di London, tapi orang tua saya tinggal di Oxford. Mama saya udah pindah dari Indonesia ke UK sejak saya masih SMA kelas dua,” jelas Axel.

“Kamu kerja di mana?”

“Saya kerja di headquarters UL Group, Om.” jawab Axel hati-hati namun disertai senyum ramah.

“Kamu pinter ya berarti,” Papa masih menatap Axel seperti seorang hakim yang tengah menanyai terdakwa. “Lulusan Oxford apa Cambridge kamu?”

“Saya gak pinter kok, Om. Tapi puji Tuhan, orang tua saya punya privilege buat nyekolahin saya di tempat bagus. Mereka juga cuma nyuruh saya buat fokus belajar dan memperkaya pengalaman.” kata Axel. “Saya lulusan Oxford pas S-1, tapi master degree-nya ngambil di Cambridge, Om.”

Papa tersenyum simpul diikuti anggukan, namun itu tidak bisa membuat perasaan Gino tenang. Sebab Papanya itu sulit ditebak.

“Orang yang punya privilege kayak kamu seharusnya bisa ketemu sama orang-orang yang setara dengan kamu tanpa main Tinder kan?” kata Papa, “Saya yakin orang tua kamu pasti ada kenalan yang punya anak dan umurnya sepantaran kamu…”

“Saya gak akan menampik kalau Gino ini juga punya privilege dari saya dan Mamanya,” timpal Papa. “Makanya saya mau ngejodohin dia sama anak dari kenalan saya yang udah saya tau bagaimana sikap dan sifatnya. Kalaupun gak kan, saya bisa tau kedua hal itu dari orang tuanya atau orang-orang terdekatnya yang juga saya kenali. Karena jujur aja, Xel. Saya gak bisa menilai seseorang yang ingin mendekati anak saya cuma dari latar belakang pendidikan atau bahkan pekerjaannya...”

“Kalau kamu belum tau, Gino itu punya trauma karena dikhianatin sama mantan pacarnya. Padahal mantannya itu berpendidikan, pekerjaannya juga bagus. Tapi karena saya gak mengenal asal usul keluarganya dan gak tau sikap sama sifatnya dari orang terdekatnya, anak saya jadi harus nanggung rasa sakit karena salah pilih. Jadi kali ini, saya gak mau kalau sampai dia salah pilih lagi.”

Gino meraih tangan Axel lalu menggenggamnya erat. Gino seolah memberitahu Axel secara tersirat untuk tak meninggalkan dirinya setelah apa yang Papanya katakan. Paham akan hal itu, Axel lantas tersenyum lalu membalas genggaman Gino tak kalah erat.

“Om bener, Mama dan Papa saya beberapa kali pengen ngenalin saya ke anak kolega atau bahkan kenalannya. Tapi Mama saya tau kalau saya juga punya trauma, Om. Jadi beliau gak memaksa saya untuk menerima.” balas Axel, “Sama seperti Gino yang pernah dikhianati, saya juga pernah sakit karena orang yang saya suka, bahkan teman-teman yang saya sayang justru cuma mau manfaatin saya. Saya selalu dihantui ketakutan kalau saya mungkin gak akan pernah bisa ketemu orang yang tulus sayang sama saya. Tapi, pas saya kenal Gino, ketakutan saya itu mulai hilang. Gak sekalipun anak Om ini peduli saya anak siapa, saya punya apa aja. Justru Gino yang ngingetin saya supaya saya gak gampang dimanfaatin orang lain.”

“Saya paham kalau Om mungkin gak bisa segampang itu percaya sama saya, tapi tolong kasih saya kesempatan, Om. Saya mau Om sama Tante mengenal saya,” kata Axel. “Saya mau punya hubungan serius sama Gino, Om. Cuma dia yang saya mau, karena saya dan Gino saling melengkapi. Orang tua saya juga udah kenal sama Gino, jadi sekarang giliran saya yang kenal sama Om dan Tante.”

Di tengah percakapan mereka, suara bel rumah menggema. Si Asisten Rumah Tangga lantas bergegas membuka pintu hingga tak lama setelahnya, sosok pria paruh baya datang menghampiri ruang keluarga dimana Gino dan Axel juga masih duduk di sana.

Saat menyadari bahwa pria itu adalah Om Bayu atau Ayah dari Zidan, Gino seketika menatap Papanya dengan alis berkerut tidak suka. Pasalnya, dia sudah memberitahu sang Papa bahwa Axel akan datang bersamanya, dan dia tak mau Axel bertemu Zidan ataupun Om Bayu di sini.

“Eh, Gino udah balik dari London ya? Kirain masih besok, jadi Om gak ngajak Zidan.” sapa Om Bayu lalu melirik lelaki yang duduk di samping Gino. Saat itu pula mata pria paruh baya itu terbelalak.

“Loh, Axel? Ini Axel kan?”

“Iya, Om.” Axel tersenyum ramah sambil bangkit dari sofa. Dia lalu bersalaman dengan Om Bayu dan berbagi peluk sesaat. “Om Bayu apa kabar? Sehat kan, Om?”

“Sehat, Xel. Kamu gimana? Kok tiba-tiba ada di sini? Om kaget.”

“Saya juga kaget, Om.” kekeh Axel, “Saya pulang bareng Gino.”

“Kamu udah lama kenal Gino?”

“Gak, Om. Baru empat bulan yang lalu. Ini juga saya baru dateng ke rumah Gino,” katanya.

“Oh, gituuu. Mama kamu nggak ikut pulang, Xel?” tanyanya lagi.

“Gak, Om. Tadinya pengen ikut andai aja urusan kerjanya udah selesai, tapi ternyata gak bisa.”

“Kirain Mama kamu pas udah pensiun jadi Dokter pengen santai-santai aja di rumah, tapi kayaknya malah makin sibuk.” Kekeh Om Bayu lalu melirik ke arah Papa Gino yang jelas amat penasaran bagaimana mereka bisa saling kenal. “Tau dia gak? Axel ini cucunya Pak Mahardika, Mama si Axel anaknya mendiang Pak Mahardika. Dulunya Dokter, temen aku sama Mamanya Zidan sejak masih kuliah Kedokteran. Tapi dia udah pensiun pas nikah lagi sama orang asli London.”

Mulut Gino setengah terbuka. Ternyata dunia bisa menjadi sangat sempit di beberapa kesempatan. Dia benar-benar tidak pernah kepikiran kalau Om Bayu dan Mama Axel berteman.

“Maaf ya, Om. Saya permisi mau ngangkat telepon dulu.” kata Axel lalu melirik Gino saat gawainya terus berdering, “Aku ngangkat telepon dari kantor dulu ya, Gin.”

Gino mengangguk, “Oke.”

Selepas Axel melenggang pergi dari ruang keluarga, Om Bayu pun dipersilahkan untuk segera duduk oleh Papa dan Mama Gino. “Aku mampir buat ngasih ini. Kemarin abis dari Sulawesi.”

“Segala pake repot-repot banget bawa oleh-oleh,” kata Papa Gino. “Yang abis dari London aja gak bawa oleh-oleh buat Papanya.”

Gino hanya menghela napas lalu geleng-geleng kepala. Sementara itu, Om Bayu kembali bersuara.

“Om masih gak nyangka loh kamu kenal sama Axel, Gin.”

Gino hanya merespon dengan senyum tipis, sedang pria paruh baya itu melanjutkan ucapannya.

“Tapi Axel anaknya emang ramah sih ya, jadi gampang diajak buat temenan. Udah gitu baik, persis kayak Mamanya, sopan pula. Dia sejak masih kecil emang enggak pernah nakal gitu,” kata Om Bayu dibalas anggukan oleh Gino, “Om udah lama pengen ngenalin dia ke adiknya Zidan, tapi kata Mama dia, Axel gak pengen dijodohin.”

“Kamu tau gak, Axel udah punya pacar apa belum?” timpalnya.

“Udah, Om. Aku pacarnya.”

Papa, Mama begitupun Om Bayu kompak terdiam. Sementara itu, Gino lantas berdeham saat dia sadar akan apa yang baru saja dikatakannya. Pasalnya, dia sama sekali tidak berpikir panjang lagi sebelum memberitahu Om Bayu bahwa dia adalah pacar Axel. Dia hanya mengikuti kata hatinya yang diam-diam gelisah ketika mendengar Om Bayu ingin Axel berkenalan dengan adik Zidan.

Sekarang gue lagi cemburu nih? Batin Gino sambil nahan malu.

“Maaf ya, Om.” Gino mendesis. “Aku denger dari Papa kalau Om sama Papa pengen jodohin aku sama Zidan. Aku tau kok kalau Zidan gak kalah baiknya, tapi aku beneran gak bisa ninggalin Axel, Om. Aku ngerasa Axel lebih bisa mengisi sesuatu yang udah lama hilang dari diri aku. Aku sama dia punya luka yang sama, mungkin itu yang bikin aku sama dia bisa saling nerima dan melengkapi.”

Gino menatap lamat-lamat wajah Papa dan Mamanya, “Pa… Ma… Maaf ya karena aku udah jarang cerita ke Papa sama Mama soal apa yang lagi aku hadapi akhir-akhir ini. Tapi aku beneran gak mau terus-terusan bergantung sama kalian. Aku juga gak bisa ngejalanin hidup yang seolah didikte Mama sama Papa. Dan yang lebih penting, aku gak mau bikin Mama sama Papa khawatir terus bikin kesehatan kalian bisa terganggu nantinya. Jadi mulai sekarang, biarin aku nentuin pilihan aku sendiri ya? Termasuk soal laki-laki yang nantinya jadi pendamping aku. Apapun yang terjadi nantinya, i promise you i’ll be okay and i’ll try to face it. Gagal atau berhasil dalam pilihan bakal jadi pelajaran kan? And that’s life.”

“Tapi aku yakin kok, Axel bukan orang yang salah. Aku pun bisa nerima dia kayak sekarang musti ngelewatin proses yang cukup panjang sampai aku yakin kalau aku pantas buka hati buat dia,” timpalnya. “Jadi aku mohon… Jangan paksa aku buat tunangan sama Zidan. Aku mohon, Pa, Ma.”

“Om ngerti, dan Om gak akan maksa kok. Lagian Om sama Papa kamu juga pengen ngobrol soal rencana itu pas kamu udah di Indonesia, supaya kamu juga bisa memilih mau lanjut atau gak. Om aja belum ngobrol serius kok sama Zidan,” Om Bayu senyum.

Gino ikut tersenyum lega lalu beralih menatap Papa dan Mama.

“Oke, Papa percaya sama kamu dan Axel karena Om Bayu yang kenal sama dia dan orang tuanya udah tau gimana sikap Axel. Tapi, kalau di kemudian hari dia justru nyakitin kamu, Papa gak bakalan tinggal diem aja.” tegas si Papa, sedang Mama tersenyum lembut. Gino pun paham bahwa wanita paruh baya itu hanya ingin yang terbaik untuknya di masa depan.

“Makasih, Pa, Ma.”

Pada saat yang bersamaan, Axel pun kembali dan datang dari arah pintu utama rumah. Kali ini dia tidak datang dengan tangan kosong, namun dia membawa tiga buah paper bag berisi oleh-oleh yang tadinya dia simpan di mobil Gino. “Om, Tante, ini ada sedikit oleh-oleh dari London.”

“Oh, pantes Gino gak beli oleh-oleh buat Papanya. Orang udah dibeliin sama pacarnya,” kata Om Bayu usai menerima oleh-oleh yang juga Axel berikan padanya. “Makasih banyak ya, Xel. Kamu jaga Gino baik-baik. Om sampai rela batalin rencana pertunangan Gino sama anak Om demi kamu.”

Axel terkekeh, “Makasih, Om.”

Sementara itu, Gino hanya diam sambil menghindari tatapan Axel saat pandangan mereka bertemu di satu poros. Axel pasti akan bertanya tentang maksud dari ucapan Om Bayu setelah ini, pikir Gino sambil menyiapkan hati jika saja Axel meledeknya atau bahkan menggodanya nanti.

Gino dan Axel telah tiba di kota London sejak jam sebelas pagi, namun Axel sendiri harus pergi ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya yang tersisa. Axel bahkan telah memberitahu Gino sebelumnya bahwa dia mungkin akan pulang sedikit terlambat, jadi Gino tak perlu menunggunya untuk makan malam bersama.

Alhasil, setelah tadi Gino makan malam seorang diri, kini dia telah duduk di sofa ruang tengah. Gino menyalakan televisi di sana guna mengusir rasa sepinya. Pasalnya, untuk bertukar kabar dengan si sahabat di Jakarta, Denny, sudah tak memungkinkan karena zona waktu yang terpaut enam jam.

Meskipun Axel sebenarnya telah memberitahu Gino untuk keluar berjalan-jalan di area notting hill jika saja dia bosan terus-terusan di apartemen, tapi Gino memilih untuk beristirahat saja. Tiga hari mengelilingi berbagai tempat di Oxford cukup membuatnya lelah secara fisik, namun menyisakan bekas indah di relung hatinya.

Tak lama berselang, suara pintu apartemen yang dibuka seketika menggema. Gino yang semula merebahkan tubuhnya di sofa panjang pun bergegas bangkit dari posisinya sambil menanti Axel masuk ke ruang tengah.

“Hi!” sapa Axel saat dia datang dan menghampiri Gino. Dia lalu mengangkat box yang dia bawa. “Aku bawa sesuatu buat kamu.”

“Pizza ya?” Tebak Gino.

Axel mengangguk lalu duduk di sisi kanan Gino. Dia kemudian membuka dua kotak pizza yang dibawanya, “Ini pizza home made paling enak di London. Kamu udah pernah nyoba belum, Gin?”

“Belum, aku kalau ke London gak pernah nyoba beli pizza sih.” kata Gino, “Kalau di Indonesia juga aku biasanya makan pizza pas lagi pengen minum bir doang.”

“Kamu muak ya makan tepung-tepungan mulu?” kekeh Axel.

“Dikit,” Gino senyum. “Tapi aku suka pizza kok. Makasih ya, Xel.”

Axel lantas ikut tersenyum lalu mengacak-acak pelan rambut Gino, “Kalau gitu dimakan ya.”

“Di kulkas kamu masih ada bir kan? Aku boleh minta satu gak?”

“Keknya masih ada dua,” katanya. “Kamu biasanya minum berapa kaleng sampai kamu tipsy, Gin?”

“Empat atau lima.”

“Okeee, kalau gitu kamu cuma boleh minum satu.” tutur Axel, “Takut kamu tipsy terus ngasih nomor WhatsApp kamu lagi ke orang random di Instagram.”

Gino menipiskan bibirnya sambil menahan senyum lalu memukuli pelan bahu Axel, “Dibilang aku gak tipsy semalem! Lagian kan birnya emang sisa dua doang.”

Axel pun hanya tertawa sebelum mencubit gemas pipi Gino. Axel lalu bangkit dari duduknya dan berkata, “Tunggu bentar ya, biar aku ambilin birnya buat kamu.”

Gino lantas mengangguk sambil mengamati Axel yang berjalan ke arah dapur. Tak lama berselang, Axel pun kembali dengan dua kaleng bir hitam di tangannya.

Axel kembali duduk di sisi Gino, membuka satu kaleng bir hitam itu, lalu menyodorkan pada Gino.

Thanks, Xel.”

“Kamu biasanya pengen minum bir di waktu kayak gimana, Gin?”

“Tergantung sih, kalau aku lagi sedih banget, aku pasti pengen minum bir. Tapi kalau aku abis seneng banget juga aku kadang minum bir, kayak sekarang ini.”

Axel menahan senyumnya. Dia merasa sedang berada di atas awan karena Gino secara tidak langsung berkata bahwa Gino sangat senang selama perjalanan mereka di Oxford kemarin. Axel kemudian menyodorkan kaleng bir yang dipegangnya dan telah dia buka untuk Gino, “Cheers?”

Gino tersenyum manis sebelum mempertemukan kaleng birnya dengan milik Axel hingga saling bertubrukan pelan. Keduanya pun menenggak bir itu perlahan lalu meletakkannya di atas meja setelahnya; ketika dirasa cukup.

“Kalau kamu sendiri gimana, Xel?” Kini giliran Gino yang bertanya. “Kamu suka minum. bir on daily basis kah, atau?”

Axel terkekeh, “Gak, aku juga minum bir di waktu tertentu aja. Misalnya pas aku lagi capek dan stress karena kerjaan, atau pas aku lagi seneng kayak sekarang.”

Gino mengulum senyumnya lalu mengangguk paham. Gino dan Axel kemudian mulai menyantap pizza di hadapan mereka sambil bercerita. Gino lantas memulai pembicaraan mereka dengan bertanya tentang pekerjaan Axel hari ini di kantor. Pasalnya, Axel sangat hectic dan terlihat lelah. Beruntung, Axel berkata bahwa dia tak merasa stress karena itu.

“Kamu di rumah doang seharian tadi ya?” kini Axel yang bertanya.

“Mhm, kayaknya aku kecapean gara-gara pas di Oxford kemarin aku main sepedaan lama banget.”

“Tapi seneng kan?” kekeh Axel.

“Iya, seneng kok.” Gino mengulas senyum manis di bibirnya, tapi saat dia tiba-tiba mengingat satu hal, dia pun berdeham. “Xel, aku kan udah cerita sama kamu soal hubungan masa lalu aku, bahkan pengalaman buruk aku dalam hal percintaan. Kamu gak mau cerita juga gitu? Aku penasaran, jujur.”

Axel menopang kepalanya di sandaran sofa sambil menatap wajah Gino, “Aku baru pacaran satu kali selama aku hidup tau, Gin. Itupun pas aku SMA doang, gak lama sebelum aku pindah.”

Gino kaget, “Jangan bilang kamu putus sama pacar kamu gara-gara kamu musti pindah ke sini?”

“Gak,” kekeh Axel. “Aku emang udah putus sama mantan aku itu sebelum Mamaku bilang kita berdua bakalan ikut Papa ke UK.”

“Terus aku putus sama dia gara-gara aku tau kalau dia tuh cuma manfaatin aku,” Axel tersenyum kecut mengingatnya. “That’s why sekarang aku susah banget nemu orang yang cocok buat aku jadiin pacar bahkan calon pasangan hidup. Soalnya, aku selain gak pengen ketemu sama orang yang gampang kemakan kalimat manis kek suami pertama Mamaku, aku juga takut ketemu orang yang gak tulus sayang sama aku, Gin.”

“Kata orang, aku terlalu pemilih. Tapi kalau gak pemilih kek gini, aku mungkin bakalan ketemu sama orang yang gak tepat lagi kan?” timpalnya lalu terkekeh.

Gino mengangguk, “Kita emang musti jadi orang yang pemilih kalau udah menyangkut teman hidup. Aku juga kayak gitu kok.”

“Seumur hidup itu lama banget buat dijalani dengan orang yang gak tepat,” timpalnya dan dibalas anggukan setuju oleh Axel.

“Aku orang yang tepat kok, Gin.” Goda Axel, sedang Gino hanya menahan senyum lalu kembali menenggak perlahan birnya.

“Terus gimana kamu bisa yakin kalau aku ini orang yang tepat buat kamu sih, Xel?” tanya Gino.

“Karena aku sama kamu saling melengkapi, Gin.” senyum Axel kembali merekah, “Kamu punya masa lalu yang pahit dan mirip sama masa lalu Mama aku, jadi aku nggak akan mungkin biarin kamu ngalamin hal yang serupa untuk kedua kali. Karena sama aja aku nyakitin Mama aku juga kalau aku jadi orang yang kayak Papa kandungku. Aku gak mau jadi orang jahat kayak dia, Gin.”

“Dan aku… Aku juga punya masa lalu yang gak mengenakkan. Aku ngeliat gimana Papaku khianatin Mamaku, aku juga ngeliat gimana mantan pacar dan orang-orang di sekitarku cuma manfaatin aku karena aku terlalu percaya sama mereka, tapi aku yakin kamu gak bakalan bikin aku ngerasain hal yang sama lagi, Gin.” timpal Axel.

“Karena kamu pun tau gimana rasanya dikhianati. Kamu… Tau gimana sakitnya dibohongi sama orang yang kamu suka dan udah kamu percayai,” katanya. “Kita ini sama-sama korban yang mencari orang yang tepat supaya kita gak ngerasain sakit serupa lagi kan?”

We heal each other, Gin…” Axel kemudian beralih membelai pipi kanan Gino, “Sejak aku kenal dan banyak ngobrol sama kamu, aku ngerasa bahagia dan jauh lebih hidup dari sebelumnya. Aku jadi punya tujuan yang jelas, padahal kemarin-kemarin aku tuh cuma letting my life go the way it is…”

“Tapi sekarang, aku pengen jadi orang yang jauh lebih baik buat kamu. Aku mau jadi seseorang yang bisa kamu andalkan dan bisa jadi support system kamu, yang bisa bikin kamu bahagia juga, just the way you did to me.”

Gino menatap mata Axel lamat-lamat. Dia seolah mencari celah kebohongan di sana, tapi sorot mata lelaki berlesung pipit itu justru menawarkan kesungguhan yang entah kenapa enggan Gino sia-siakan. Meski jauh di lubuk hatinya masih tersimpan sebuah ketakutan, namun Gino justru mendapatkan dorongan untuk berani mencoba; yang dia sendiri tidak tahu datangnya dari mana.

Gino kemudian menghapus jarak antara wajahnya dengan Axel. Ia lalu mengecup lembut bibir Axel sambil memejamkan mata, tapi persekian sekon kemudian, Axel justru mendorong pelan tubuh Gino hingga tautan itu terlepas. Axel menatap wajah Gino panik.

“Gin? Kamu tipsy ya?”

NoI’m completely sober, Xel.”

“Kamu gak bakal nyesel kan, abis cium aku?” Axel memastikan lagi dan dibalas anggukan oleh Gino.

Meski begitu, Axel masih terlihat skeptis atau lebih tepatnya tidak menyangka bahwa Gino akan mencium bibirnya seperti tadi.

I’ll give you a chance to run to your room right now if you feel the kiss was just an accident,” wajah bahkan suara Axel amat serius.

Gino sendiri hanya menghela napasnya pelan lalu kembali mengecup singkat bibir Axel.

And do you think this was an accident for the second time?

Axel menahan senyumnya lalu menggenggam tangan kanan Gino dengan tangan kirinya.

“Kamu udah gak ada kesempatan buat lari sekarang,” bisik Axel lalu menarik pelan tengkuk Gino dengan tangan kanannya. Kedua anak manusia itu pun akhirnya berbagi ciuman lembut, namun perlahan menjadi amat intens.

Selagi Axel memagut bibir Gino dan sesekali memiringkan kepala ke kiri dan kanan guna mencari posisi yang paling nyaman untuk melahap habis bibir manis Gino, ibu jari Axel pun tak henti-henti mengusap lembut punggung tangan si pujaan hati yang sedari tadi dia genggam. Melalui setiap usapan itu pula Axel seolah ingin mencoba memberitahu Gino secara tersirat bahwa Gino akan aman bersamanya dan tak perlu khawatir karena ada dirinya yang akan selalu menenangkannya.

Cukup lama saling berbagi saliva, Axel kemudian menyudahi lebih dahulu ciuman mereka. Dia lalu menatap wajah Gino yang telah memerah itu lamat lalu bertanya,

What are we?

Gino yang masih mencoba untuk mengatur napasnya tersenyum tipis lalu berkata, “More than friends, less than boyfriends, no?

“Tapi kita udah ciuman,” balas Axel, “Aku cuma pengen nyium pacar atau pasangan hidup aku, tau. Gimana dong? Kamu harus jadi pacar aku. Tanggung jawab.”

Gino terkekeh sebelum memeluk tengkuk Axel. Wajahnya pun dia tenggelamkan sejenak di pundak Axel, sementara Axel membalas dekapan Gino dengan memeluk erat pinggang rampingnya masih dalam posisi duduk di atas sofa.

“Kasih aku waktu dikit lagi ya, Xel?” gumam Gino sebelum menarik dirinya dari pelukan Axel guna melihat raut wajah lelaki di hadapannya itu. “Aku gak bisa ngebohongin diri aku sendiri kalau setelah beberapa hari aku ngabisin waktu aku di sini bareng kamu, aku tuh sadar kalau aku udah suka sama kamu.”

“Kamu nggak ada bedanya sama Axel yang aku kenal dari Tinder,” katanya. “You give me butterflies, and you make me feel safe here.

“Tapi aku justru belum siap buat ngubah status kita, bukan karena aku masih gak yakin atau enggak percaya sama kamu, tapi aku gak mau ketakutan yang masih ada di hati aku justru bakal jadi masalah dalam hubungan kita nanti.” kata Gino. “Aku… Khawatir kalau rasa takut aku itu bakalan jadi alasan aku kehilangan kamu yang udah bikin aku berani buat buka hati lagi. Aku nggak mau kehilangan orang yang aku sayang untuk kedua kali karena kesalahan aku.”

“Gin, aku ngerti kalau emang kamu belum siap buat ngubah status kita. I’ll be waiting for you. But pleaseCan you stop blaming yourself? Aku udah pernah bilang kan sama kamu? Kalau mantan kamu itu pergi ya karena emang dianya aja yang nggak bisa setia sama kamu. Aku gak suka kalau kamu ngomong gini soal diri kamu sendiri.” Axel menatap wajah Gino dengan raut sedu, “It hurts me. You are enough, Gin.”

Gino tersenyum haru diikuti anggukan kecil, “Thanks, Xel.”

“Jadi kamu udah suka aku kan?”

“Mhm,” gumam Gino sebelum menenggak habis birnya yang tersisa, pasalnya Axel tak henti-henti menatap wajahnya lamat sambil menyeringai tipis. Gino jelas salah tingkah dibuatnya.

“Pelan-pelan aja minumnya, aku gak bakalan minum bir itu dari mulut kamu kok.” goda Axel yang membuat Gino refleks terbatuk.

Axel lantas panik lalu mengusap punggung Gino, “Are you okay?”

“Kayaknya aku udah ngantuk deh, Xel.” Gino berdeham pelan, “Aku ke kamar duluan ya. Bye.”

“Okee. Sweet dreams, Sayang.”

Gino yang baru saja bangkit dari sofa seketika mendelik ke arah Axel sebelum memukuli lelaki yang dia sukai itu dengan bantal.

“Kita belum pacaran ya, gak usah manggil-manggil sayang segala.”

Axel tertawa, “Kan latihan, Gin.”

“Bodo ah,” gumam Gino sebelum bergegas meninggalkan ruang tengah menuju kamar tamu. Sementara Axel justru refleks merebahkan tubuhnya di sofa sambil menggeliat seperti ulat karena gemas sekaligus bahagia.

Setelah bersiap-siap, Gino lantas keluar dari kamar, dan alangkah kagetnya dia saat mendapati si lelaki berlesung pipi kini telah berdiri tepat di hadapannya. Axel cengar-cengir sebelum bersuara.

“Udah siap?”

Gino mengangguk, namun atensi Gino kemudian beralih ke kunci yang sedang dipegang oleh Axel.

“Kamu pengen bawa mobil?”

“Iya, coffeeshop-nya lumayan jauh kalau kita jalan kaki, Gin.”

“Aku pengen naik bus,” kata Gino. “Orang-orang London biasanya naik bus kan? Aku pengen nyoba kebiasaan orang London, mana tau aku tertarik pindah ke sini.”

Axel refleks mengulum bibirnya guna menahan senyum. Dia lalu mengangguk dan memasukkan kunci mobilnya ke dalam saku baju hangatnya. “Oke, kalau gitu kita naik bus. As you wish, cutie.”

“Oh iya, kamu ada kartu Oyster atau Travelcard gak?” timpalnya.

“Aku ada Travelcard kok, Xel.”

“Oke, kalau gitu kita berangkat sekarang yuk.” ajak Axel yang dibalas anggukan oleh Gino.

Kedua anak manusia itu pun berjalan beriringan keluar dari unit apartemen Axel hingga mereka sampai ke jalan raya. Axel menuntun Gino menuju halte bus sambil sesekali bercerita tentang kehidupan kerjanya selama di London. Pun Gino yang berbagi pengalaman.

Sampai saat mereka telah tiba di halte, Axel dan Gino dibuat kaget saat mendengar suara seorang wanita memekik. Axel dan Gino pun menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang wanita tua yang kiranya telah berusia lima puluhan sedang bergegas memungut belanjaannya yang berjatuhan tak jauh dari halte.

Buru-buru Axel menghampiri wanita tua tersebut, begitu juga Gino yang berniat menolongnya. Axel dan Gino kemudian saling melemparkan senyuman manis selagi mereka membantu wanita tadi memungut belanjaannya. Sebab, tanpa mengucap sepatah kata pun, mereka justru kompak berinisiatif untuk membantu di saat orang lain yang berlalu lalang di sana terlihat tak peduli.

Axel kemudian mengajak wanita itu berbincang hingga mereka tahu bahwa penyebab belanjaan si paruh baya berjatuhan tidak lain karena paper bag-nya sobek.

Where are you going?

There. My house is across that street,” kata wanita itu diikuti senyum ramahnya. “Thanks for helping me. You guys must be in a hurry. Go on. I can carry all this.

No, you have a lot of groceries. You need a new paper bag. Wait for me here for a minute,” kata Axel lalu menepuk pelan pundak Gino. “Bentar ya, Gin. I’ll be back.”

Gino mengangguk sambil terus memandangi Axel yang tiba-tiba berlari ke arah salah satu toko di pinggir jalan, tak jauh dari halte. Tanpa sadar, senyum merekah di bibir ranum Gino, hingga wanita tua yang masih berdiri di sisinya itu ikut tersenyum lalu bertanya.

Your boyfriend?”

Gino tersadar dari lamunannya lalu menggeleng diikuti senyum tipis, “No, he’s… My bestfriend.”

You guys look great together. So, I thought you guys were boyfriends, I’m sorry,” ucap wanita tua itu.

It’s okay. No worries.”

Tidak lama setelahnya, Axel akhirnya kembali dengan satu paper bag besar di tangannya. Dia dan Gino kemudian mulai memasukkan belanjaan wanita tua ke dalam paper bag baru itu hingga semua belanjaannya yang berjatuhan tadi masuk ke sana.

Thank you very much,” wanita tua itu tak henti mengucapkan rasa terima kasihnya pada Gino dan Axel. “I owe you guys big one.”

We’re happy to help,” kata Axel lalu melirik ke Gino, “Right?”

Gino mengangguk setuju diikuti senyum. “Take care on the way.”

Setelah si wanita tua berpamitan dan mulai menyebrangi jalan di depan mereka, Gino pun melirik Axel yang justru masih menatap wanita itu dengan tatapan yang seolah ingin memastikan apa wanita itu akan baik-baik saja. Persekian detik kemudian, Axel akhirnya kembali menoleh ke arah Gino yang berada tepat di hadapannya. Axel dibuat sedikit salah tingkah melihat Gino diam sambil terus memandanginya.

“Kamu kenapa ngeliatin aku kayak gitu?” Axel terkekeh.

“Kamu nyuri paper bag tadi ya?” canda Gino, sedang Axel tertawa. “Lari kamu tadi kenceng banget.”

“Gak, tapi aku beli ini.” jawab Axel sambil membuka syal berwarna biru malam yang ada di lehernya.

Axel kemudian melilitkan syal itu ke leher Gino, “Tadi aku bingung pengen beliin apa buat kamu, tapi aku inget kamu gak pernah pake syal. Padahal bentar lagi musim dingin. Semoga kamu suka ini ya. Oh, dan jangan salah paham. Meskipun paper bag Ibu tadi gak robek, aku emang mau beli sesuatu buat kamu sebagai kenang-kenangan. Diterima ya?”

“Tadinya aku gak pengen nerima, tapi karena kamu udah masangin syal ini di leher aku, ya udah deh aku terima. Thanks, Mr. Nice guy.”

Axel memicing, “Mr. What?”

“Busnya udah dateng tuh,” Gino tidak ingin mengulang apa yang baru saja dia ucapkan. “Ayo, Xel.”

Axel mengulum senyumnya lalu mengikuti Gino yang kini telah melangkah lebih dulu ke arah bus berwarna merah itu. Mereka kemudian masuk sebelum duduk bersisian dengan Gino yang berada tepat di samping jendela.

Ketika bus itu mulai melanjutkan perjalannya, Axel mengeluarkan air pod dari saku baju hangatnya. Dia lalu memasangkan satu air pod itu ke telinga kanan Gino, sedangkan satunya lagi dia pakai untuk dirinya sendiri. Gino sama sekali tidak berkutik saat Axel melakukan hal itu. Dia justru diam-diam menahan senyum sambil menunggu lagu apa yang akan mereka dengar bersama.

Persekian sekon berselang, Gino justru menahan tawa ketika Axel mulai memutar musik dari gawai di tangannya. Gino kemudian menoleh ke Axel lalu memukuli bahu lelaki di sisinya itu pelan. Pasalnya, Axel justru memutar lagu dangdut, seolah sengaja mengingatkan Gino tentang pekerjaan yang ia akui di Tinder.

Axel begitu juga Gino sama-sama menahan tawa agar penumpang lain tidak terganggu. Setelahnya, Axel pun mengganti lagu yang ia putar tadi dengan lagu romantis.

“Gimana? Kamu suka lagunya?”

“Mm, aku suka lagu Eric Benét.”

“Kalau aku gimana? Suka gak?”

Gino menahan senyum, “Belum, gak tau besok atau lusa gimana.”

Axel mengulum bibirnya hingga hanya lesung pipinya yang kini tersenyum. Sebab, meski Gino masih enggan memberi jawaban pasti, namun kali ini Gino seolah memberinya sedikit titik terang bahwa masih ada harapan untuk Gino bisa menyukainya.


Usai perjalanan singkat mereka dengan bus berakhir, Axel dan Gino kembali berjalan bersisian menuju coffeeshop dimana Axel telah mengatur janji dengan teman-teman semasa kuliahnya yang juga berasal dari Indonesia. Saat memasuki coffeshop, Axel lantas tidak butuh waktu lama untuk menemukan mereka. Yogi, Jerry, dan Dean duduk tak jauh dari pintu masuk coffeshop itu. Mereka seketika melambaikan tangan sambil tersenyum saat melihat Axel dan Gino datang.

“Hai! Gino kan?”

Jerry yang paling bersemangat mengajak Gino berjabat tangan saat Axel dan Gino menghampiri meja mereka. Namun, Axel buru-buru menepis kuat tangan Jerry.

“Biarin Gino duduk dulu.” kata Axel lalu menarik satu kursi untuk Gino, “Ayo duduk, Gin.”

Thanks,” ucap Gino sebelum duduk pada kursi itu, Axel pun ikut duduk di samping kirinya.

We’ve been waiting for this,” kata Dean. “Welcome, Gino. Kenalin aku Dean, dia Jerry, itu Yogi.”

“Salam kenal semuanya,” balas Gino diikuti senyuman ramah.

“Gino, kamu cakep bangeeet.” kata Jerry sambil memandangi Gino dengan tatapan takjub, “Ngeliat foto kamu di Tinder aja kita udah kaget, apalagi dilihat secara langsung gini, Ya Tuhan.”

“Emangnya Axel nunjukin foto aku ke kalian ya?” tanya Gino lalu melirik Axel sekilas, sementara Axel sendiri hanya geleng-geleng kepala pasrah melihat reaksi teman-temannya tentang Gino.

“Iya, gue dukun soalnya. Jadi si Axel minta gue ngirim pelet buat lo, soalnya elo gak bisa suka—”

“HEH!”

“HEH!”

“HEH!”

Axel, Dean dan Jerry kompak menghentikan Yogi. Sementara sang tersangka justru tertawa sebelum berkata, “Bercanda ya, Gin. Gue bukan dukun sumpah.”

“Dia emang gitu tuh, Gin. Suka asbun, mana kalau lagi asbun dia ngomongnya kek serius banget. Kadang ada orang yang beneran kegocek tau nggak?” jelas Jerry, sedang Gino hanya terkekeh.

“Axel nunjukin foto kamu ke kita bertiga sekaligus curhat waktu dia unmatch kamu di Tinder,” Dean kembali mengambil alih percakapan itu, “Glad you’re here now. Akhirnya kalian ketemu.”

“Udah, gak usah ngebahas soal Tinder.” Axel buka suara. “Gino belum pesen minum loh, btw.”

“Gak usah dibahas biar lo gak malu kan?” Yogi meledek Axel.

“Pesen gih, Gin. Axel yang bayar,” Jerry menimpali guna menggoda Axel yang lantas mengepalkan tangan ke arahnya dan Yogi.

“Gin, kamu pengen apa? Biar aku yang pesenin,” Axel menawarkan.

“Americano decaf aja, Xel.”

“Oke, kamu tunggu di sini bentar ya.” Axel kemudian berdiri dari kursinya. “Lo bertiga jangan ngomong yang aneh-aneh ke Gino. Takut dia gak nyaman.”

“Yeee, padahal yang dari tadi bikin Gino gak nyaman kan lu.” canda Yogi, “Iya nggak, Gin?”

Gino tidak menjawab, namun dia mengajak Yogi untuk high five. Sontak tawa meledak di meja itu, sedang Axel yang masih berdiri di sana berkata, “Oh gitu yaa?”

Gino terkekeh pelan lalu meraih tangan kiri Axel, “Bercanda, Xel.”

“Cieeee!” Jerry refleks memekik, tapi berhasil dibungkam Dean.

Axel pun tersenyum tipis lalu mengacak-acak pelan rambut Gino saat lelaki itu melepaskan genggaman di tangan kirinya. Setelahnya, Axel lantas berjalan menjauhi meja mereka menuju meja pemesanan sekaligus kasir.

“Jadi gimana Axel menurut kamu setelah kalian ketemu langsung?” Dean menopang pipinya sendiri sambil tersenyum ke arah Gino.

“Gak ada bedanya dari yang aku kenal di Tinder sih,” kekeh Gino. “Flirty, but such a polite cat, enak diajak sharing, dan care banget.”

“Berarti temen aku itu udah ada kesempatan buat disukain sama kamu belum, Gin?” canda Jerry.

“Aku… Masih gak yakin,” jujur Gino. “Aku punya pengalaman buruk dalam percintaan, so…”

“Axel juga cerita kok soal itu, Gin.” Dean menatap Gino iba. “I’m so sorry to hear that. That’s must be a traumatic experience.”

Thanks, aku udah baik-baik aja kok sekarang. Tapi ya gitu, aku malah jadi punya trust issue.”

“Gue ngerti kalau lo mungkin masih ragu sama Axel karena pengalaman buruk lo, apalagi kalian awal kenalannya dari dating apps,” Yogi mulai ikut bersuara, “Tapi serius ya, Gin. Biar kata si Axel tampang sama mulutnya kayak playboy kelas kakap, dia tuh sebenernya cupu banget soal cinta-cintaan gini.”

“Makanya kita bertiga, sahabat-sahabatnya nih, kasian banget sebenernya sama dia.” timpal Yogi, “Soalnya dia gak pernah nemu seseorang yang sesuai tipenya di real life, eh sekalinya ketemu malah di dating apps.”

“Bener kata Yogi, Gin.” timpal Jerry, “Axel baik kok anaknya. Minusnya Axel tuh cuma satu, dia kalau pengen deketin orang pasti flirty banget, tapi sekalinya orang itu gampang kemakan sama kata-kata manisnya, eh malah dia ghosting terus nyari yang lain. Makanya dia ngejar lo banget soalnya ya lo tuh tipe dia yang selama ini dia selalu cari.”

“Axel kayak gitu juga karena ada pengalaman buruk, tapi dia gak pernah cerita detailnya ke kita.” kata Dean, “Terus dia flirty kayak gitu nggak sekaligus ke banyak orang. Dia ngejadiin itu alat buat nyeleksi orang yang pengen dia deketin, ibarat nggak memenuhi passing grade, ya auto gak lolos.”

Gino, Yogi, dan Jerry kompak tertawa karena ucapan Dean.

“Eh, Gin. Tapi jangan bilang ke Axel kalau kita ngasih tau lo ini ya?” pinta Yogi, “Dia gak suka banget sebenernya kalau kita ikut campur ke urusan private life dia. Axel juga udah wanti-wanti kita bertiga, kalau dia pengen ngenalin lo ke kita ya supaya kita juga bisa temenan sama lo. Apalagi kita bertiga tuh awalnya juga gak percaya sama lo karena si Axel kenal lo di Tinder.”

“Tapi ngeliat gimana Axel waktu itu ngejelasin how happy he is when he talked to you sambil nangis pas dia nge-unmatch lo, terus, dia juga cerita kalau lo gak peduli dia siapa dan punya apa, kita bertiga jadi percaya kalau lo bener orang baik dan tulus yang bisa bikin dia bahagia,” katanya.

Hush, anaknya udah dateng.” Jerry memberi kode agar Yogi segera menyudahi percakapan itu. “Gimana kerjaan kamu, Gin?”

Jerry mengedipkan satu matanya ke Gino, tanda agar Gino ikut berpura-pura bahwa sejak tadi mereka membahas hal yang lain.

“O-oh… Aku udah resign,” Gino berdeham lalu menoleh ke Axel yang baru saja duduk di sisinya.

“Mereka gak ngomongin yang aneh-aneh soal aku kan, Gin?”

“Gak adaaa,” kata Gino.

“Apaan sih, Xel. Kegeeran amat,” ledek Jerry, “Orang dari tadi kita ngegombal Gino di belakang lo.”

“Gombal aja. Lo pikir Gino bisa kemakan sama gombalan lo?”

“Lah kok tau? Udah berapa lama pengalaman nice try-nya, Pak?” ledek Yogi yang membuat Gino, Dean dan Jerry tertawa, sedang Axel lantas melempar sahabat karibnya itu dengan satu french fries yang ada di meja mereka.