Break Up
Jeva membuka pintu rest room koas sambil membawa kantong plastik berisi makanan untuknya dan sang pacar yang telah dia pesan sebelumnya. Saat Jeva memasuki ruangan itu, dia pun mendapati Biru tengah duduk di salah satu kursi sambil berkutat dengan MacBook-nya. Jeva lalu menghampirinya sambil berkata,
“Makan siang dulu, Bi.”
Mendapati Jeva kini berjalan ke arahnya sebelum berakhir duduk di sebelahnya, Biru pun melukis segaris senyum di bibir tipisnya.
“Udah, taroh di situ aja. Entar biar aku buka sendiri,” kata Biru kala Jeva hendak mengeluarkan makanan itu dari kantongan tadi untuknya. “Kamu makan duluan aja, Jev. Aku masih kenyang kok.”
“Bi, waktu istirahat kita gak lama loh. Entar keburu kita musti balik ke poli lagi, terus kamu jadi telat makan.” kata Jeva. “Aku suapin, biar kamu bisa sambil ngetik.”
“Jev…” Biru mendesis diikuti hela napas panjang, “Aku gak makan karena gak bisa makan sambil ngetik, tapi aku emang lagi gak pengen karena masih kenyang.”
Jeva pun menatap lurus ke dalam netra kelam Biru sesaat sebelum berkata, “Ya udah, entar aja kalau gitu. Aku cuma ngingetin kamu. Jangan marah-marah lagi dong.”
“Siapa yang marah sih?”
“Kamu,” gumam Jeva lalu melahap makan siangnya.
Biru jelas masih bisa mendengar ucapan pacarnya itu. Alisnya pun berkerut melihat Jeva kini hanya diam dengan tampang cemberut. Jeva bahkan mengunyah makan siangnya dengan tidak berselera.
“Gimana aku nggak marah kalau kamu juga ngambekan mulu? Aku capek tau gak?” balas Biru kesal.
Belum sempat Jeva membalas ucapan Biru, pacarnya itu sudah lebih dulu bangkit dari kursinya.
“Kamu mau ke mana, Bi?” Jeva melembutkan suaranya agar suasana hati Biru tidak menjadi semakin buruk. “Kalau kamu gak nyaman ada aku, biar aku yang keluar dari sini. Aku minta maaf.”
Biru melirik Jeva sejenak, sorot matanya yang tadi datar lantas berubah menjadi lebih hangat. Biru pun sama. Dia berusaha melembutkan suaranya agar dia dan Jeva baik-baik saja. “Apaan sih? Orang aku mau ke toilet. Jagain HP sama MacBook aku. Jangan ke mana-mana dulu.”
Jeva pun tersenyum tipis meski masih ada yang mengganjal di relung hatinya. Akhir-akhir ini, dia dan Biru lebih sering terlibat cekcok kecil. Meskipun pada akhirnya mereka tetap saling berbaikan untuk mengindari pertengkaran hebat, namun Jeva merasa apa yang mereka lakukan justru tidak bisa memutus akar masalahnya. Sayangnya, ketika Jeva bertanya apa ada sesuatu yang mengganggu Biru, pacarnya itu justru tak pernah memberi jawaban yang Jeva harapkan.
Selagi Biru belum kembali dari toilet, layar gawai pacarnya itu lantas menyala. Sekilas Jeva pun melihat ada notifikasi masuk dan terpampang di layar kunci gawai Biru. Namun, yang membuat mata Jeva seketika memicing penasaran adalah ketika dia melihat bubble chat dari Julian.
Di sana Jeva bisa melihat pesan dimana Julian memberitahu Biru untuk mengobrol dengannya agar mereka sama-sama lega. Hal itu sontak membuat detak jantung Jeva bergemuruh. Jelas kalau Julian tahu sesuatu dari Biru, yang justru tidak diketahui olehnya. Dan itu artinya Biru mungkin lebih memilih bercerita kepada Julian dibanding dirinya.
Jeva pun menuruti intuisinya tuk membuka gawai Biru. Dia mulai membaca perlahan setiap pesan dari ruang obrolan Julian dan si pujaan hati. Namun, belum juga Jeva membaca semuanya, gawai di tangannya itu tiba-tiba saja direbut oleh seseorang. Kala Jeva menoleh, dia lantas mendapati Biru telah berdiri di sampingnya.
“Kamu ngapain sih, Jev?”
“Kenapa?” mata Jeva memerah, namun suaranya masih sangat tenang. “Aku cuma minjem hp kamu. Kok kamu kaget gitu?”
Biru melirik gawai di tangannya sejenak dimana room chat-nya dengan Julian masih terbuka. Sudah pasti Jeva telah membaca pesan antara dirinya dan Julian.
“Aku gak suka kamu baca-baca chat orang lain sembarangan di handphone aku,” kata Biru yang suaranya sudah nyaris tercekat.
Jeva tersenyum kecut, “Kenapa kamu baru bilang? Biasanya pas aku baca chat orang lain di hp kamu juga kamu biasa aja loh, Bi.”
“Ya itu karena kamu bacanya pas ada aku, kamu juga biasanya izin dulu. Ini kamu malah baca chat aku sama orang lain diem-diem,” Biru membuang napasnya kasar. “Chat aku sama orang lain tuh isinya bukan cuma privasi aku, tapi privasi mereka juga, Jeva.”
“Maaf. Aku gak bakal ngulangin lagi,” tutur Jeva sebelum kembali menatap kosong makanan yang ada di hadapannya. Dia sudah tak ada lagi niat untuk melanjutkan makan siangnya yang tertunda.
“Kamu baca apa aja tadi?” tanya Biru yang masih berdiri di sisi Jeva. Suaranya sedikit bergetar.
“Aku gak baca apa-apa kok.”
“Jangan bohongin aku, Jev.”
“Seharusnya aku yang bilang gitu sama kamu gak sih?” sahut Jeva tenang lalu menarik napasnya dalam-dalam guna meredam emosinya. Dia kemudian bangkit dari kursinya dan berdiri tepat di hadapan Biru, “Kenapa kamu gak jujur kalau kamu lagi jenuh sama aku? Meskipun aku sebenernya bisa ngerasain itu, tapi aku juga mau dengerin keluh kesah kamu gimana. Biar aku tau kurangnya aku di mana dan aku harus apa.”
“Udah berapa kali aku nanya ke kamu, apa ada yang salah? Tapi kamu selalu bilang gak apa-apa, dan sekarang aku tau kalau kamu lebih milih ngomong sama Julian. Kamu tuh nganggap aku apa, Bi?” timpal Jeva dengan suara lirih.
Sensasi perih menjalar di dada Biru kala dia melihat air mata Jeva perlahan jatuh. Biru pun membuang muka sesaat sambil menahan tangisannya yang juga nyaris terbebas. Matanya bahkan telah memanas, tapi Biru tidak ingin menangis di hadapan Jeva.
“Kenapa harus selalu kamu sih yang ngerasa kurang? Kenapa kamu yang harus ngelakuin sesuatu buat hubungan kita?” Biru akhirnya kembali menatap wajah Jeva, “Sejak awal… Kamu yang selalu berusaha buat bikin aku sayang sama kamu sampai aku juga sembuh dari trauma aku dan bikin hubungan kita works. Salah ya, kalau aku juga pengen ngelakuin sesuatu supaya aku gak terus-terusan ngerasa kalau aku useless di hubungan kita?”
“Aku gak ngasih tau kamu karena aku nyoba ngilangin rasa jenuh aku itu, biar aku bisa excited lagi tiap bareng kamu.” timpalnya dengan mata berkaca-kaca. “Aku juga gak ngasih tau kamu karena aku tau ujungnya kamu bakalan kayak gini. Kamu jadi sedih terus malah mikirin kurangnya kamu di mana. Padahal aku yang salah.”
“Aku gak pernah bilang kalau jenuh itu hal yang salah, Bi.”
“Kamu emang gak pernah bilang kalau aku salah, tapi aku yang ngerasa bersalah sama kamu.” Biru tidak mampu lagi menahan laju air matanya. “Aku tersiksa, Jev. Aku pengen ngomong sama kamu, tapi aku juga gak bisa dan nggak mau kamu sedih. Apalagi kamu selalu bikin aku ngerasa dicintai dengan sempurna, tapi aku malah kayak gini. Aku tuh jadi mikir aku nggak pantes buat kamu saking bersalahnya, Jeva.”
“Jadi kamu pengen aku ngapain?” lirih Jeva, “Cuma diem ngeliatin kamu berusaha buat keluar dari masalah ini sendirian? Sampai kapan aku harus ngerasa kalau ada jarak antara aku sama kamu padahal kita pacaran? Aku juga sama tersiksanya, Bi. Aku mau hubungan kita kayak dulu lagi, tapi kalau kamu bahkan gak mau aku ngelakuin sesuatu, terus apa gunanya aku jadi pacar kamu?”
“Kamu gak perlu jadi pacar aku lagi,” suara Biru bergetar. “Maaf udah bikin kamu tersiksa juga.”
Jeva menghapus kasar jejak air mata di pipinya. Dia kemudian memaksakan senyumnya agar percakapan mereka tak berlanjut ke arah yang tak dia harapkan.
“Kita lagi sama-sama capek, Bi. Sama-sama kalut juga,” katanya dengan lembut. “Ayo ngobrol lagi pas kita sama-sama tenang. Ya?”
“Aku udah mikirin ini mateng-mateng,” sahut Biru. “Aku gak mau nyiksa kamu lebih lama. Aku juga gak mau ngerasa egois karena nahan kamu padahal aku yang jenuh. Jadi mulai sekarang kita jalan sendiri-sendiri dulu ya, Jev? Kalaupun nanti kamu justru ketemu dan suka seseorang yang lebih baik dari aku, i’ll be happy for you. Kayak yang selalu aku bilang, bahagia kamu itu bahagia aku juga. But I feel bad that I can’t be your happiness until the end.”
“Bi…” Jeva mendadak lemas.
“Selama ini aku mungkin terlalu bergantung sama kamu, terus ngejadiin kamu satu-satunya pusat kebahagiaan aku sampai-sampai aku lupa buat luangin waktu buat diri aku sendiri.” kata Biru, “Kalau dibiarin, lama-lama kamu juga bakalan ikutan jenuh karena ngabisin rutinitas yang monoton sama aku mulu. Kamu juga bisa aja ngorbanin hal-hal yang kamu suka demi aku. Jadi aku rasa ini jalan yang terbaik buat kita untuk sekarang, Jev.”
“We never know what the future holds for us, but if we’re meant to be, then we’ll find a way to get back together again. Gitu juga sebaliknya,” Biru memaksakan senyum sambil menahan tangis.
“Aku duluan ya,” pamit Biru lalu mengambil laptop dan tasnya di atas meja. Setelahnya, dia lantas berjalan tergesa keluar dari rest room koas sambil menghapus air matanya yang mengalir deras.
Tidak jauh berbeda dengan Biru, Jeva yang sudah tak mampu lagi berdiri lantas terduduk di kursi. Dia kemudian menutup wajahnya yang telah basah karena air mata dengan kedua tangannya yang bertumpu di atas meja. Hati Jeva hancur, namun untuk memaksa Biru tetap tinggal justru hanya akan membuatnya menjadi egois. Alhasil yang bisa dia lakukan saat ini hanyalah merenungi semua yang telah terjadi sambil terisak.