Pembunuh
Angkasa yang beberapa saat lalu diberitahu Surya bahwa dia telah berada di jalan menuju butiknya lantas menunggu sang fotografer di lantai dasar butik. Angkasa pun memanfaatkan waktu untuk melihat-lihat koleksinya yang sekiranya sudah terjual habis dan ingin Angkasa ganti koleksi lain.
Tak lama berselang, pintu butik lantas terbuka. Sontak Angkasa menoleh dan mendapati Surya sedang berjalan memasuki butik bersama Bintang. Angkasa pun refleks membuang napas kasar kala matanya bertemu pandang dengan si kakak ipar. Apalagi jika mengingat terakhir kali Bintang menghubunginya via WhatsApp yang seketika membuat Angkasa memblokir kontak Bintang.
“Hi, Sa!” Sapa Surya.
Angkasa menyambut Surya dan Bintang dengan senyuman tipis, “Hi, Mas. Macet banget ya tadi?”
“Iya nih, Sa. Maaf bikin nunggu.”
“Gak kok, kebetulan aku juga lagi ngecek koleksi butik aku sambil nungguin kamu,” sahut Angkasa.
Selagi Angkasa dan Surya saling bertukar sapa, Bintang diam-diam memerhatikan isi butik. Hal itu pun tak luput dari ekor mata Angkasa yang juga mengawasi.
“Kayaknya design kamu terlalu monoton ya, Sa.” kata Bintang lalu terkekeh, “Nothing special.”
Angkasa memaksakan senyum, meski dia tau Bintang sedang mencoba menguji kesabarannya dengan mengkritik design-nya.
“Wah, jadi Mas Bintang pernah sekolah fashion juga ya?” balas Angkasa, “Dulu di mana, Mas?”
“Aku gak pernah sekolah fashion, tapi aku ngomong as customer dan penikmat fashion,” katanya.
“Oh gitu,” Angkasa mengangguk, “Kalau ngomong as customer or fashion enthusiast, mungkin itu lebih ke preferensi kali ya, Mas. Berarti design aku tuh target pasarnya bukan Mas Bintang.”
Bintang menatap Angkasa sinis, sementara yang diperlakukan demikian justru tersenyum lebar lalu kembali menatap Surya. “Kalau gitu kita ke studio aku sekarang ya, Mas. Lewat sana.”
Angkasa menuntun Surya dan Bintang ke lift yang kemudian membawa mereka ke studio di lantai tiga. Sesampainya mereka di studio itu, Surya lantas mulai melihat-lihat perlengkapan yang akan digunakan saat photoshoot.
“Sa, kayaknya aku masih perlu softbox deh kalau kamu pengen hasil fotonya kayak contoh yang kamu kirim ke emailku kemarin.”
“Oke, Mas. Kalau gitu entar biar aku ngasih tau karyawan aku ya buat nambahin softbox. Kamu perlu berapa sama ukuran yang gimana, Mas? Yang kek gini aja?”
“Gak usah, Sa. Aku cuma perlu dua kok. Temen aku punya dua softbox gede. Studio temen aku juga deket dari sini,” balas Surya. “Aku ke sana bentar ya, biar abis ini bisa langsung aku pasang.”
“Loh, Mas. Gak apa-apa?” Desis Angkasa, “Aku enggak enak nih ngerepotin kamu. Atau kalau gak, biar karyawan aku yang ke sana.”
“Gak apa-apa, Saaa. Gak banyak kok. Udah, biar aku aja. Aku juga excited banget tau mau bantuin kamu, enggak repot sama sekali.”
Angkasa tersenyum tipis lalu mengangguk paham. Surya sendiri menepuk pelan pundak Bintang sambil berkata, “Kamu di sini aja ya. Aku gak bakalan lama.”
“Mm, hati-hati.”
Mata Angkasa memicing melihat interaksi keduanya. Namun, dia buru-buru membuang muka ke arah lain saat si kakak ipar sadar bahwa dia sedang mengamati.
Saat Surya telah pergi, Bintang lantas keluar dari studio tidak lama setelahnya. Pun Angkasa yang mengekor di belakang si kakak ipar, “Mas Bintang mau ngopi gak? Aku ada pantry kok.”
“Gak,” sahut Bintang lalu masuk ke dalam lift. “Kamu ngapain sih ngikutin aku? Aku mau nunggu Surya di lantai dasar butik aja.”
Angkasa yang kini berdiri di sisi Bintang dalam lift itu seketika menyeringai tipis. “Kamu sama sepupu kamu punya lumayan banyak kesamaan ya. Mas Sagara juga gampang banget kegeeran.”
“Jangan samain aku sama dia,” Bintang menatap Angkasa datar.
“Okay…” Angkasa mengangkat bahu, “Aku juga mau ke bawah buat ngecek koleksi aku yang design-nya monoton itu btw. Bukan ngikutin Mas Bintang.”
Bintang hanya mendengus lalu buru-buru keluar dari lift saat mereka telah tiba di lantai dasar. Bintang kemudian duduk di salah satu sofa yang tak jauh dari pintu masuk. Sementara itu, Angkasa melenggang ke salah satu spot koleksi yang tadi belum sempat dia lihat. Namun, beberapa saat kemudian, pintu butik kembali terbuka dengan sosok Sagara yang kini berjalan masuk dan hendak menghampiri Angkasa.
Melihat ada Bintang di sana, Sagara pun menghentikan langkahnya dan bertukar pandang dengan sang sepupu. Angkasa sendiri menghampiri Sagara yang berdiri tak jauh dari sofa dimana Bintang duduk.
“Mas.” Angkasa baru saja hendak memberitahu Sagara mengapa Bintang ada di butiknya, namun Bintang lebih dulu menghampiri mereka dan membuka suara.
“Wah, ngeliat dua orang serakah sekaligus secara langsung gini di depan mata aku ternyata drained energy banget ya,” Bintang lalu melirik tas belanja yang dibawa Sagara diikuti seringai meledek.
“Sekarang kamu lagi mendalami peran sebagai suami yang baik ya, Ra?” timpal Bintang sebelum melirik Angkasa, “Aneh sih kalau Asa percaya kamu suami yang baik. Mungkin dia emang udah dibutakan sama harta dan tahta.”
“Jaga ucapan kamu, Mas.” sela Angkasa, tapi Sagara buru-buru menggenggam erat tangannya. Seolah memberi kode agar dia tidak mengatakan apa-apa lagi.
“Kenapa, Saa?” tanya Bintang, “Emang yang aku bilang salah? Kamu udah tau kan suami kamu itu bajingan yang nikahin kamu karena keserakahannya, tapi kamu terima-terima aja karena kamu juga sama serakahnya.”
“Oh apa kamu belum tau kalau suami kamu itu pembunuh?” timpal Bintang yang membuat Angkasa menatap si kakak ipar dengan sorot mata tak percaya. “Kamu masih bisa nerima gak kira-kira? Gak takut mati juga?”
“Mas Bintang!”
“Asa, tenang.” Sagara semakin mengencangkan genggaman tangannya dengan Angkasa ketika suaminya itu meninggikan suara. Meski begitu, Angkasa sadar, Sagara pun terlihat tak nyaman dengan ucapan Bintang.
Sagara lalu beralih menatap Bintang, “Kamu udah selesai?”
Bintang tidak menjawab. Dia hanya mengeraskan rahangnya sebelum bergegas keluar dari butik. Sementara itu, Sagara yang melihat Angkasa sedang mengatur napasnya karena emosi pun bertanya. “Kamu baik-baik aja? Mau duduk dulu?”
“Kita ke ruangan aku aja, Mas.”
Angkasa kemudian menuntun Sagara ke ruang kerjanya dengan kepala yang sudah sangat penuh. Beruntung karyawannya sudah pulang hingga tak menyaksikan apa yang baru saja terjadi.
Bohong jika Angkasa tidak memikirkan apa yang Bintang katakan tadi. Terlebih, saat dia mengingat apa yang dituliskan Sagara di buku jurnal hariannya dimana Sagara berkata bahwa menikahinya membuatnya ada di garis tipis antara hidup dan mati.
Sampai ketika dan Sagara telah tiba dan masuk di ruangannya, Angkasa lantas duduk di kursi kerjanya sambil menghela napas kasar. Sagara yang melihat wajah Angkasa terlihat sangat lelah pun duduk di hadapan sang suami sambil meletakkan kantongan belanja yang dia bawa sedari tadi.
“Aku bawa makan malam sama cemilan buat kamu, Sa.” katanya. “Aku gak tau kamu suka Bento apa gak, tapi cobain dikit ya?”
Sagara mengeluarkan sekotak bento yang dia beli tadi lalu meletakkannya di atas meja Angkasa. Melihat bagaimana Sagara terlihat biasa saja setelah apa yang Bintang katakan tadi membuat Angkasa tak habis pikir dengan suami. Dia pun bertanya.
“Mas, kenapa tadi kamu gak ngelawan sih? Gimana dia gak nginjek-injek kamu mulu coba?”
“Udah, makan dulu. Bento yang ini enak tau. Udah jadi langganan aku sejak kecil,” balas Sagara, sedang Angkasa hanya diam sambil menatapnya lamat-lamat.
Sagara terkekeh, “Kenapa? Kamu enggak mau makan karena takut aku naroh racun di bento kamu?”
“Kamu ngomong apaan sih, Mas.” Decak Angkasa sebelum mulai menyantap bento di hadapannya.
“Tapi di bento itu emang ada racunnya,” ucap Sagara dengan nada dan tatapan mata serius.
“Aku gak takut mati.”
Sagara mendengus, “Saking gak takutnya sampe mau bunuh diri.”
“Tuh, kamu tau.” Angkasa lalu menyodorkan salmon yang dia jepit dengan sumpit ke arah Sagara. “Mas, aku gak suka ini.”
Tanpa disuruh, Sagara lantas melahap salmon itu. Angkasa pun tersenyum puas melihatnya.
“Sekarang kamu juga udah makan racun. Rasain,” canda Angkasa yang membuat Sagara nyaris terbatuk karena tertawa.
“Pelan-pelan, Mas. Awas ya kalau kamu bikin meja aku kotor,” kata Angkasa sambil membuka satu botol air mineral untuk suaminya itu, “Nih. Mas minum dulu dikit.”
Sagara pun menenggak air yang Angkasa berikan, sedang sang suami kembali sibuk melahap makanannya. Nampak kalau Angkasa memang kelaparan.
“Sa.”
“Mm?” Angkasa melirik Sagara.
“Kenapa kamu gak nanya alasan Bintang ngomong kek tadi apa?”
“Kamu kelihatan gak nyaman pas dia ngomong gitu soalnya, Mas.”
Sagara menatap lurus ke dalam netra legam Angkasa, “Kamu takut nggak, kalau aku bilang aku ini emang pembunuh, Sa?”
“Enggak.”
“Kenapa?” Sagara mengernyit.
“Udah dibilang aku nggak takut mati,” Angkasa menipiskan bibir.
“Jujur aja, awalnya aku gak bisa percaya sama kamu, Mas. Apalagi kamu juga yang waktu itu nyuruh aku mati aja,” timpalnya. “Tapi…Setelah aku ngenal kamu lebih jauh, bagi aku, kamu punya sisi baik yang gak kamu tunjukkin secara terang-terangan. Jadi aku yakin, kalaupun emang kamu itu pembunuh, niat kamu mungkin gak kayak gitu. Tapi karena keadaan terpaksa dan tidak sengaja atau kamu sendiri bahkan ada di dalam bahaya.”
Sagara berdeham pelan lalu membuang muka. “Aku kebelet nih. Aku ke toilet dulu ya, Sa.”
Angkasa mengangguk. Dia bisa melihat bagaimana mata Sagara berkaca-kaca meski sang suami berusaha menyembunyikannya.
Sebenernya apa yang lagi kamu sembunyiin sih, Mas? Batinnya.