jaesweats

Angkasa yang beberapa saat lalu diberitahu Surya bahwa dia telah berada di jalan menuju butiknya lantas menunggu sang fotografer di lantai dasar butik. Angkasa pun memanfaatkan waktu untuk melihat-lihat koleksinya yang sekiranya sudah terjual habis dan ingin Angkasa ganti koleksi lain.

Tak lama berselang, pintu butik lantas terbuka. Sontak Angkasa menoleh dan mendapati Surya sedang berjalan memasuki butik bersama Bintang. Angkasa pun refleks membuang napas kasar kala matanya bertemu pandang dengan si kakak ipar. Apalagi jika mengingat terakhir kali Bintang menghubunginya via WhatsApp yang seketika membuat Angkasa memblokir kontak Bintang.

“Hi, Sa!” Sapa Surya.

Angkasa menyambut Surya dan Bintang dengan senyuman tipis, “Hi, Mas. Macet banget ya tadi?”

“Iya nih, Sa. Maaf bikin nunggu.”

“Gak kok, kebetulan aku juga lagi ngecek koleksi butik aku sambil nungguin kamu,” sahut Angkasa.

Selagi Angkasa dan Surya saling bertukar sapa, Bintang diam-diam memerhatikan isi butik. Hal itu pun tak luput dari ekor mata Angkasa yang juga mengawasi.

“Kayaknya design kamu terlalu monoton ya, Sa.” kata Bintang lalu terkekeh, “Nothing special.”

Angkasa memaksakan senyum, meski dia tau Bintang sedang mencoba menguji kesabarannya dengan mengkritik design-nya.

“Wah, jadi Mas Bintang pernah sekolah fashion juga ya?” balas Angkasa, “Dulu di mana, Mas?”

“Aku gak pernah sekolah fashion, tapi aku ngomong as customer dan penikmat fashion,” katanya.

“Oh gitu,” Angkasa mengangguk, “Kalau ngomong as customer or fashion enthusiast, mungkin itu lebih ke preferensi kali ya, Mas. Berarti design aku tuh target pasarnya bukan Mas Bintang.”

Bintang menatap Angkasa sinis, sementara yang diperlakukan demikian justru tersenyum lebar lalu kembali menatap Surya. “Kalau gitu kita ke studio aku sekarang ya, Mas. Lewat sana.”

Angkasa menuntun Surya dan Bintang ke lift yang kemudian membawa mereka ke studio di lantai tiga. Sesampainya mereka di studio itu, Surya lantas mulai melihat-lihat perlengkapan yang akan digunakan saat photoshoot.

“Sa, kayaknya aku masih perlu softbox deh kalau kamu pengen hasil fotonya kayak contoh yang kamu kirim ke emailku kemarin.”

“Oke, Mas. Kalau gitu entar biar aku ngasih tau karyawan aku ya buat nambahin softbox. Kamu perlu berapa sama ukuran yang gimana, Mas? Yang kek gini aja?”

“Gak usah, Sa. Aku cuma perlu dua kok. Temen aku punya dua softbox gede. Studio temen aku juga deket dari sini,” balas Surya. “Aku ke sana bentar ya, biar abis ini bisa langsung aku pasang.”

“Loh, Mas. Gak apa-apa?” Desis Angkasa, “Aku enggak enak nih ngerepotin kamu. Atau kalau gak, biar karyawan aku yang ke sana.”

“Gak apa-apa, Saaa. Gak banyak kok. Udah, biar aku aja. Aku juga excited banget tau mau bantuin kamu, enggak repot sama sekali.”

Angkasa tersenyum tipis lalu mengangguk paham. Surya sendiri menepuk pelan pundak Bintang sambil berkata, “Kamu di sini aja ya. Aku gak bakalan lama.”

“Mm, hati-hati.”

Mata Angkasa memicing melihat interaksi keduanya. Namun, dia buru-buru membuang muka ke arah lain saat si kakak ipar sadar bahwa dia sedang mengamati.

Saat Surya telah pergi, Bintang lantas keluar dari studio tidak lama setelahnya. Pun Angkasa yang mengekor di belakang si kakak ipar, “Mas Bintang mau ngopi gak? Aku ada pantry kok.”

“Gak,” sahut Bintang lalu masuk ke dalam lift. “Kamu ngapain sih ngikutin aku? Aku mau nunggu Surya di lantai dasar butik aja.”

Angkasa yang kini berdiri di sisi Bintang dalam lift itu seketika menyeringai tipis. “Kamu sama sepupu kamu punya lumayan banyak kesamaan ya. Mas Sagara juga gampang banget kegeeran.”

“Jangan samain aku sama dia,” Bintang menatap Angkasa datar.

“Okay…” Angkasa mengangkat bahu, “Aku juga mau ke bawah buat ngecek koleksi aku yang design-nya monoton itu btw. Bukan ngikutin Mas Bintang.”

Bintang hanya mendengus lalu buru-buru keluar dari lift saat mereka telah tiba di lantai dasar. Bintang kemudian duduk di salah satu sofa yang tak jauh dari pintu masuk. Sementara itu, Angkasa melenggang ke salah satu spot koleksi yang tadi belum sempat dia lihat. Namun, beberapa saat kemudian, pintu butik kembali terbuka dengan sosok Sagara yang kini berjalan masuk dan hendak menghampiri Angkasa.

Melihat ada Bintang di sana, Sagara pun menghentikan langkahnya dan bertukar pandang dengan sang sepupu. Angkasa sendiri menghampiri Sagara yang berdiri tak jauh dari sofa dimana Bintang duduk.

“Mas.” Angkasa baru saja hendak memberitahu Sagara mengapa Bintang ada di butiknya, namun Bintang lebih dulu menghampiri mereka dan membuka suara.

“Wah, ngeliat dua orang serakah sekaligus secara langsung gini di depan mata aku ternyata drained energy banget ya,” Bintang lalu melirik tas belanja yang dibawa Sagara diikuti seringai meledek.

“Sekarang kamu lagi mendalami peran sebagai suami yang baik ya, Ra?” timpal Bintang sebelum melirik Angkasa, “Aneh sih kalau Asa percaya kamu suami yang baik. Mungkin dia emang udah dibutakan sama harta dan tahta.”

“Jaga ucapan kamu, Mas.” sela Angkasa, tapi Sagara buru-buru menggenggam erat tangannya. Seolah memberi kode agar dia tidak mengatakan apa-apa lagi.

“Kenapa, Saa?” tanya Bintang, “Emang yang aku bilang salah? Kamu udah tau kan suami kamu itu bajingan yang nikahin kamu karena keserakahannya, tapi kamu terima-terima aja karena kamu juga sama serakahnya.”

“Oh apa kamu belum tau kalau suami kamu itu pembunuh?” timpal Bintang yang membuat Angkasa menatap si kakak ipar dengan sorot mata tak percaya. “Kamu masih bisa nerima gak kira-kira? Gak takut mati juga?”

“Mas Bintang!”

“Asa, tenang.” Sagara semakin mengencangkan genggaman tangannya dengan Angkasa ketika suaminya itu meninggikan suara. Meski begitu, Angkasa sadar, Sagara pun terlihat tak nyaman dengan ucapan Bintang.

Sagara lalu beralih menatap Bintang, “Kamu udah selesai?”

Bintang tidak menjawab. Dia hanya mengeraskan rahangnya sebelum bergegas keluar dari butik. Sementara itu, Sagara yang melihat Angkasa sedang mengatur napasnya karena emosi pun bertanya. “Kamu baik-baik aja? Mau duduk dulu?”

“Kita ke ruangan aku aja, Mas.”

Angkasa kemudian menuntun Sagara ke ruang kerjanya dengan kepala yang sudah sangat penuh. Beruntung karyawannya sudah pulang hingga tak menyaksikan apa yang baru saja terjadi.

Bohong jika Angkasa tidak memikirkan apa yang Bintang katakan tadi. Terlebih, saat dia mengingat apa yang dituliskan Sagara di buku jurnal hariannya dimana Sagara berkata bahwa menikahinya membuatnya ada di garis tipis antara hidup dan mati.

Sampai ketika dan Sagara telah tiba dan masuk di ruangannya, Angkasa lantas duduk di kursi kerjanya sambil menghela napas kasar. Sagara yang melihat wajah Angkasa terlihat sangat lelah pun duduk di hadapan sang suami sambil meletakkan kantongan belanja yang dia bawa sedari tadi.

“Aku bawa makan malam sama cemilan buat kamu, Sa.” katanya. “Aku gak tau kamu suka Bento apa gak, tapi cobain dikit ya?”

Sagara mengeluarkan sekotak bento yang dia beli tadi lalu meletakkannya di atas meja Angkasa. Melihat bagaimana Sagara terlihat biasa saja setelah apa yang Bintang katakan tadi membuat Angkasa tak habis pikir dengan suami. Dia pun bertanya.

“Mas, kenapa tadi kamu gak ngelawan sih? Gimana dia gak nginjek-injek kamu mulu coba?”

“Udah, makan dulu. Bento yang ini enak tau. Udah jadi langganan aku sejak kecil,” balas Sagara, sedang Angkasa hanya diam sambil menatapnya lamat-lamat.

Sagara terkekeh, “Kenapa? Kamu enggak mau makan karena takut aku naroh racun di bento kamu?”

“Kamu ngomong apaan sih, Mas.” Decak Angkasa sebelum mulai menyantap bento di hadapannya.

“Tapi di bento itu emang ada racunnya,” ucap Sagara dengan nada dan tatapan mata serius.

“Aku gak takut mati.”

Sagara mendengus, “Saking gak takutnya sampe mau bunuh diri.”

“Tuh, kamu tau.” Angkasa lalu menyodorkan salmon yang dia jepit dengan sumpit ke arah Sagara. “Mas, aku gak suka ini.”

Tanpa disuruh, Sagara lantas melahap salmon itu. Angkasa pun tersenyum puas melihatnya.

“Sekarang kamu juga udah makan racun. Rasain,” canda Angkasa yang membuat Sagara nyaris terbatuk karena tertawa.

“Pelan-pelan, Mas. Awas ya kalau kamu bikin meja aku kotor,” kata Angkasa sambil membuka satu botol air mineral untuk suaminya itu, “Nih. Mas minum dulu dikit.”

Sagara pun menenggak air yang Angkasa berikan, sedang sang suami kembali sibuk melahap makanannya. Nampak kalau Angkasa memang kelaparan.

“Sa.”

“Mm?” Angkasa melirik Sagara.

“Kenapa kamu gak nanya alasan Bintang ngomong kek tadi apa?”

“Kamu kelihatan gak nyaman pas dia ngomong gitu soalnya, Mas.”

Sagara menatap lurus ke dalam netra legam Angkasa, “Kamu takut nggak, kalau aku bilang aku ini emang pembunuh, Sa?”

“Enggak.”

“Kenapa?” Sagara mengernyit.

“Udah dibilang aku nggak takut mati,” Angkasa menipiskan bibir.

“Jujur aja, awalnya aku gak bisa percaya sama kamu, Mas. Apalagi kamu juga yang waktu itu nyuruh aku mati aja,” timpalnya. “Tapi…Setelah aku ngenal kamu lebih jauh, bagi aku, kamu punya sisi baik yang gak kamu tunjukkin secara terang-terangan. Jadi aku yakin, kalaupun emang kamu itu pembunuh, niat kamu mungkin gak kayak gitu. Tapi karena keadaan terpaksa dan tidak sengaja atau kamu sendiri bahkan ada di dalam bahaya.”

Sagara berdeham pelan lalu membuang muka. “Aku kebelet nih. Aku ke toilet dulu ya, Sa.”

Angkasa mengangguk. Dia bisa melihat bagaimana mata Sagara berkaca-kaca meski sang suami berusaha menyembunyikannya.

Sebenernya apa yang lagi kamu sembunyiin sih, Mas? Batinnya.

Selepas mandi dan berganti baju dengan piyama yang nyaman dia pakai untuk tidur, Angkasa justru tiba-tiba teringat akan moment dimana Sagara menyembunyikan sebuah buku di laci dalam ruang kerjanya. Ekspresi wajah Sagara yang jelas begitu panik ketika dia datang dan masuk ke ruangan itu benar-benar mengganggunya. Angkasa yakin ada sesuatu dalam buku itu yang ingin dirahasiakan Sagara darinya. Alhasil, dengan keberanian yang telah Angkasa kumpulkan, dia pun keluar dari kamarnya sebelum melenggang ke lift menuju lantai tiga rumah. Sesampainya di sana, Angkasa pun buru-buru masuk ke ruang kerja Sagara yang gelap gulita dan tidak terkunci sama sekali.

Dengan bantuan senter, Angkasa kemudian mencari buku itu di dalam laci. Jantung Angkasa kian berdetak kencang saat akhirnya dia menemukan buku dengan sampul berwarna hitam itu. Saat Angkasa meraihnya, kedua mata Angkasa justru memicing ketika dia melihat sebuah foto yang ada di bawah buku itu. Dalam foto itu nampak Sagara yang jelas masih remaja dan memakai seragam putih abu-abu sedang berpose dengan seorang lelaki yang tak Angkasa ketahui siapa. Namun, saat memerhatikan foto itu lebih jelas, Angkasa bisa melihat ada sebuah tulisan “Bumi ⁠♡ Gara” yang ditulis dengan tinta putih.

“Bumi ini pacarnya Sagara apa ya?” batin Angkasa, “Apa mantan Sagara? Terus karena putus sama mantannya ini, dia jadi bajingan yang gak pernah serius sama satu cowok lagi? Damn… What a loser.”

Terlalu asik menebak-nebak apa hubungan Sagara dengan lelaki bernama Bumi itu, Angkasa pun nyaris lupa tujuan utamanya. Dia pun buru-buru meletakkan buku yang sedari tadi telah dia pegang di atas meja lalu membukanya.

Halaman pertama yang Angkasa lihat dari buku itu adalah lembar dimana pembatas buku berada. Kedua tangan Angkasa lantas mendadak dingin. Dia sangat penasaran, namun juga ada rasa takut untuk membaca tulisan Sagara yang ada di halaman itu.

“Hari ini berat banget… Di kantor tadi aku dihakimi sepihak, dituduh melakukan hal yang nggak pernah aku lakukan. Tapi… Rasanya jauh lebih berat lagi karena aku justru merasa ingin didengarkan oleh orang yang selalu aku harapkan tidak pernah memberi perhatian dan peduli padaku. Aku takut rasa nyaman saat didengarkan dan dipedulikan itu berubah menjadi rasa tidak ingin kehilangannya…”

Bait pertama yang Angkasa baca itu membuatnya menelan ludah. Dia gugup. Angkasa kemudian menarik napas panjang sebelum kembali melanjutkan bacaannya.

“Dia marah. Marah sampai aku bisa tahu caranya menatapku sangat berbeda dari biasanya. Seharusnya aku lega, karena ini yang aku mau. Dengan begitupula dia tidak akan peduli lagi padaku.”

“Ini maksudnya gue gak sih?” celetuk Angkasa lalu memukul kepalanya sendiri. “Asa, fokus!”

“Tapi kenapa rasanya hampa? Apa rasa kasihan dan rasa bersalahku padanya kemarin-kemarin telah berganti menjadi rasa nyaman tanpa aku sadari? Bahkan aku merasa terganggu saat dia bilang aku tidur dengan laki-laki lain…”

Kedua tungkai Angkasa seketika lemas. Mungkin firasatnya akhir-akhir ini memang benar kalau si suami diam-diam mulai menaruh hati padanya. Angkasa mendadak pening memikirkan semuanya.

“Aku tidak ingin dia suka, apalagi jatuh cinta padaku. Tapi kenapa justru aku yang sepertinya mulai suka padanya? Aku sangat takut.”

Tangan Angkasa lantas bergetar, tapi dia tetap berusaha untuk membuka lembaran lain yang berada di halaman sebelumnya. Saat itu pula Angkasa sadar kalau buku ini adalah jurnal harian si suami. Angkasa pun masih ingat Surya pernah berkata bahwa Sagara suka membuat jurnal.

“Hari ini aku marah… Marah ke diriku sendiri karena aku lagi-lagi mengatakan hal menyakitkan ke Angkasa karena ketakutanku sendiri. Aku sebenarnya sudah sangat lelah untuk terus-terusan bersikap seolah aku membencinya, padahal aku ini membenci diriku sendiri. Aku benci diriku karena takut rasa peduli dan kasihanku ke Angkasa berganti menjadi rasa nyaman, suka, bahkan cinta. Aku juga benci diriku karena takut ketika aku mencintainya, aku juga harus kehilangannya. Dan aku benci diriku sendiri karena takut ketika Angkasa suka padaku, aku akan membuatnya ada di dalam bahaya yang jauh lebih besar dari saat ini. Lalu, pada akhirnya, dia akan meninggalkanku juga…”

“Dengan aku menikahi Angkasa saja sudah membuatnya ada pada garis tipis antara hidup dan mati. Tugasku sekarang hanya untuk menjaganya, bukan menyukainya. Begitu juga Angkasa. Dia tak boleh menyukaiku sampai kontrak yang sudah kami sepakati berakhir. Aku ingin semuanya berjalan seperti yang aku harapkan, tapi kenapa rasanya sangat berat sekarang?”

Angkasa mengernyit dia tidak mengerti apa yang Sagara maksud membuatnya berada di dalam bahaya, bahkan di antara hidup dan mati. Angkasa kian pening sekaligus ketakutan. Dia merasa semakin hilang di dunia fiksi yang entah akan membawa dirinya ke mana setelah ini.

Lagi. Angkasa kembali membaca lembaran sebelumnya dari buku jurnal itu. Dan di sana terdapat tulisan Sagara lagi. Bedanya, ada sebuah gambar yang berbentuk seperti wadah salep luka di sudut bawah halaman. Ketika membaca isinya, Angkasa lantas menerka bahwa Sagara mungkin menulis jurnal saat sedang sakit kemarin.

“Hari ini aku bingung… Sejak kemarin, aku merasa ada yang aneh dalam diriku. Apalagi saat Angkasa kembali memberitahuku bahwa dia hanya mencintai sosok Sagara yang menolongnya dulu dan dia tidak memiliki perasaan apa-apa lagi padaku sekarang. Seharusnya aku lega, tapi aku justru merasa terganggu. Saat pulang dari kantor dan Angkasa memberiku perhatian pun, aku tetap merasa aneh. Aku selalu menyugesti diriku sendiri kalau Angkasa benar-benar tidak suka padaku lagi, tapi kenapa sikap pedulinya justru menggangguku?”

“Lalu semalam, saat aku berharap dia marah karena aku menyebut dirinya ‘sok peduli’ dan tak sudi untuk memerhatikanku lagi, dia justru diam-diam merawatku saat aku tertidur. Angkasa juga sempat mendengarkan ceritaku dan jujur saja, itu membuatku merasa lega. Rasanya aku tidak pernah merasa senyaman ini ketika berbincang dengan orang lain, tapi Angkasa selalu punya kemampuan ajaib yang akhirnya membuatku luluh.”

“Asa bilang, caranya membantuku lumrah antara sesama manusia, tapi aku justru ragu. Aku mencoba mencari tau apa dia benar-benar tidak menyimpan rasa apa-apa lagi padaku. Aku mencium kening Angkasa, dia terlihat kaget. Tapi saat aku bertanya kembali, apa sebenarnya dia masih menyukai aku, dia kembali menjawab tidak. Aku lega,meski tetap saja sedikit menggangguku. Sampai akhirnya aku harus kembali berbohong dan memberitahu Angkasa kalau aku tidak mengingat anak yang dulu pernah aku tolong di pantai saat masih kecil agar dia membenciku.”

Angkasa memicing. Berbohong katanya? Apa itu artinya Sagara sebenarnya mengingat kejadian saat mereka bertemu dahulu?

Buru-buru Angkasa membuka lembaran lain, yang sekiranya dapat menjawab pertanyaannya itu. Sampai akhirnya, Angkasa lantas menemukan halaman yang Sagara hiasi dengan gambar laut dan dua manusia yang berdiri berdampingan di sudut bawah kertas itu. Angkasa lalu kembali membaca tulisan Sagara di sana.

“Hari ini aku menyesal… Setelah tadi aku dibuat terkejut karena Angkasa tiba-tiba berkata ingin membatalkan perjodohan kami, aku kembali dibuat terkejut saat tahu kalau dia benar-benar ingin mencoba untuk mati agar kami tidak jadi menikah esok hari. Tapi yang membuatku lebih terkejut lagi, saat aku ke rumahnya untuk mencegahnya bunuh diri, aku… Justru melihat foto masa kecilnya di ruang keluarga. Aku ingat anak kecil bermata besar yang ada di bingkai itu. Dia anak yang sama, yang pernah aku temui di pantai puluhan tahun lalu, anak kecil yang juga nyaris mati karena hampir tenggelam. Namun, saat aku menolongnya, anak kecil itu berkata, “Harusnya kakak biarin aku tenggelam aja...” Aku masih mengingat betapa hancur hatiku mendengar anak sekecil itu justru tidak punya harapan hidup lagi.”

“Dan hari ini… Anak kecil yang sudah tumbuh dewasa itu kembali mengatakan hal serupa usai aku menolongnya. Angkasa… Ternyata ini bukan pertama kalinya aku menyelamatkan nyawanya. Aku benar-benar sangat menyesal karena sempat mengira bahwa dia menerima perjodohan denganku demi harta dan tahta seperti Ayahnya. Aku juga amat menyesal karena telah mengatakan hal-hal menyakitkan yang membuat dia ingin mengakhiri hidupnya saja.”

“Aku juga merasa bersalah karena tahu bahwa dia menyukaiku. Aku pun merasa kasihan setelah tahu bawa Ayahnya benar-benar tidak peduli dengan anaknya dan hanya memanfaatkan Angkasa demi ego dan ambisinya. Aku harap setelah ini dia tidak pernah menyukaiku lagi, seperti yang dia katakan saat hendak pergi dari apartemenku. Aku hanya akan menjaganya, sampai kontrak pernikahan kami berakhir nanti. Aku juga ingin dia bebas dari Ayahnya setelah ini…”

“Senang melihatnya telah tumbuh dengan baik, tapi aku… Menyesal.”

Angkasa menghela napas pelan. Dia benar-benar sudah semakin lemas sekarang. Masih banyak halaman yang belum dia baca, namun dia merasa tak mampu mencari tahu lebih jauh lagi. Sebab, sudah terlalu banyak hal yang sedang diproses kepalanya saat ini. Setidaknya, dia telah paham mengapa sikap Sagara padanya sangat sulit ditebak, terutama beberapa hari terakhir.

Angkasa lalu buru-buru menutup buku itu dan menyimpannya di laci seperti semula. Dia takut andai saja Sagara telah datang lalu tiba-tiba masuk ke ruang kerjanya. Alhasil, usai meletakkan buku jurnal Sagara, Angkasa lantas bergegas keluar dari sana.

Jeva yang telah tiba di kediaman Biru lantas memencet bel rumah itu. Sampai tak lama berselang, si empu rumah pun datang. Sontak Jeva tersenyum ketika Biru yang telah berganti pakaian dengan setelan kaos juga celana training telah berdiri di hadapannya. Jeva kemudian mengangkat tangan kanannya yang menggenggam kantong plastik berisi dua porsi es krim sambil cengar-cengir.

Biru yang mendapati Jeva sedang memegang kantong plastik Mixue pun lantas menghela napas pasrah diikuti kekehan. Namun, anehnya, bukannya merasa amat muak seperti biasa karena Jeva lagi-lagi membawa es krim itu, Biru justru merasa seolah serpihan yang akhir-akhir ini hilang dari hidupnya kembali. Dia yang telah terbiasa dengan tingkah Jeva di sekitarnya, jujur saja, merasa asing dengan hari yang dia jalani ketika lelaki itu tidak membersamainya. Presensi Jeva yang awalnya Biru kira telah membuat dirinya jenuh justru menjadi entitas yang dia rindu dan butuhkan. Biru kemudian berpikir, mungkin kemarin dia salah menafsirkan perasaannya. Mungkin dia tak jenuh pada Jeva, Biru hanya jenuh pada keadaan yang begitu-begitu saja hingga menyalahkan dirinya yang tidak dia anggap cukup untuk Jeva.

“Bi? Lo ngelamun?”

Biru tersentak mendengar Jeva memangil namanya. Biru lantas berdeham lalu menggeleng kecil.

“Gak kok. Ayo masuk, Jev.”

Jeva mengangguk paham lalu mengekor di belakang Biru yang menuntunnya menuju ruang makan. Sesampainya di sana, Jeva lantas dibuat takjub saat melihat ada berbagai lauk yang disandingkan dengan nasi di sana. Jeva kemudian bertanya.

“Ini lo semua yang masak, Bi?”

“Gak, ada lauk yang dimasak sama Mama, terus gue panasin. Tapi kalau yang ini gue bikin sendiri tadi,” jelas Biru sambil menunjuk sayur bening, ayam bawang putih serta sambelnya.

Biru pun mempersilahkan Jeva untuk duduk dan menyantap makan malam yang telah dia siapkan. Tanpa diberitahu untuk kedua kali, Jeva lantas mencicipi makanan di hadapannya sambil sesekali bergumam takjub diikuti acungan jempolnya. Biru yang melihat hal itu sontak menahan senyumnya dengan melahap nasi juga lauk. Terlebih, ketika Jeva mulai memuji masakannya itu.

“Bi, gue gak boong. Ayam bikinan lo ini enak banget,” katanya. “Lo kalau gak jadi dokter keknya gak bakalan rugi, lo bisa buka resto. Gue yakin pelanggan lo banyak.”

“Ngawur,” kekeh Biru. “Oh iya, Jev. Pas lo balik ke RS tadi, lo bilang apa ke perawatnya? Lo diomelin juga gak sama dia?”

“Gue bilang pengen bantu nyari hasil EKG pasien yang katanya lo ilangin,” sahut Jeva. “Soalnya, gue juga sempet dengerin lo ngobrol sama Julian kemaren. Lo bilang kalau abis ngasih hasil EKG ke perawat bedah itu. Makanya gue mau buktiin kalau lo gak salah.”

Turns out, hasil EKG pasien itu beneran keselip di berkas yang ada di mejanya.” timpal Jeva lalu menatap Biru. “Gue juga udah kenal lama sama lo, Bi. Lo itu biar pun kadang ceroboh, tapi lo gak pernah sepelein tanggung jawab atau amanah yang dikasih ke lo.”

“Ngeliat gimana anak-anak koas lain juga selalu disalahin untuk minor inconvenience, bahkan untuk hal-hal yang gak dilakuin sama mereka dan jatuhnya jadi fitnah, gue tuh khawatir kalau lo bakalan diomongin sama mereka juga sampai seisi RS pada tau, Bi.” tutur Jeva diikuti helaan napas. “Kalau aja itu kejadian, pasti gak bakalan nyaman banget jadi lo.”

Biru tersenyum, “Makasih ya.”

“Lo gak ngerasa bersalah lagi kan tapi?” ledek Jeva, sedangkan Biru terkekeh lalu mengangguk pelan.

Saat mereka melanjutkan makan malam yang diselingi obrolan tentang kesibukan di RS, Jeva tiba-tiba melirik Biru yang duduk di sebelahnya. Nampak Jeva ingin mengatakan sesuatu, tapi ragu. Biru yang memergoki Jeva telah menatapnya cukup lama seketika memicing dan lantas bertanya.

“Kenapa?”

“Pas balik ke RS tadi, gue ketemu sama Dokter Rama.” kata Jeva hati-hati, sementara Biru justru terbatuk. Buru-buru Jeva meraih gelas lalu menuangkan air untuk Biru agar segera meminumnya.

“Lo gak apa-apa, Bi?” tanya Jeva.

Biru mengangguk, “Mhm.”

“Dokter Rama bilang… Lo abis nelpon dia sebelum dia ketemu gue,” Jeva nyatanya melanjutkan pembahasan tentang si residen yang membuat Biru menegang. “Katanya… Lo ngasih tau dia supaya gak ganggu gue ya, Bi?”

Biru berdeham, “Iya, soalnya gue kasian ngeliat lo diganggu mulu yang enggak ada kaitannya sama tugas kita cuma buat deketin lo.”

“Mm, gitu.” gumam Jeva sambil menahan senyum, “Makanya lo bilang ke Dokter Rama kalau lo udah balikan sama gue ya, Bi?”

Biru memijat keningnya. Dia seketika merasa pusing karena aksi impulsifnya tadi ketahuan. Biru lalu melirik Jeva sejenak sambil gelagapan, “Gue bilang gitu biar dia gak ngarep. Itung-itung gue nolongin lo juga kan.”

“Udah deh, lo lanjutin makan lo. Abis itu pulang,” Biru tak mampu lagi bertemu pandang dengan Jeva. “Gue juga pengen lanjut nugas abis ini. Keburu ngantuk.”

“Loh, tapi kan kita belum makan mixue. Gue juga mau cuci piring dulu,” protes Jeva. “Kata Mama gue, kalau abis numpang makan di rumah orang, musti tau diri.”

“Gak perlu,” decak Biru sebelum melahap makanan di piringnya dengan suapan yang cukup besar hingga pipinya menggembung.

Jeva yang melihat hal itu hanya terkekeh lalu menghabiskan makanan di piringnya. Biru yang masih asik mengunyah suapan terakhirnya pun dibuat pasrah ketika Jeva tiba-tiba berdiri dari meja makan sambil membawa piringnya ke arah wastafel. Biru tau, Jeva kekeh untuk cuci piring.

“Udah, Jev. Biar gue aja.”

“Gak apa-apa,” kata Jeva. “Kalau lo udah selesai makan, minta tolong bawa piring lo ke sini ya.”

Biru geleng-geleng kepala, tapi pada akhirnya Biru pun tetap menuruti titah Jeva. Biru lantas membawa piring bekasnya juga beberapa piring bekas lauk tadi ke wastafel dimana Jeva sedang sibuk melakukan pekerjaannya.

Selagi Jeva masih fokus mencuci piring, Biru yang berdiri tak jauh di belakang Jeva yang kini sedang memunggunginya diam-diam memandangi Jeva lamat. Batin Biru berkecamuk. Ada sebuah pertentangan yang ingin Biru lawan, namun pada akhirnya dia memilih untuk mengalah. Biru pun perlahan melangkah maju, mendekati Jeva, hingga akhirnya kedua lengan Biru melingkar sempurna di pinggang lelaki itu.

“Bi?”

Cara Jeva memanggil Biru bukan lah rasa heran melainkan tanya yang tersirat. Jeva seolah ingin tau apa yang kini Biru inginkan.

“Gue kangen meluk lo, Jev.”

Jeva mencuci tangannya lalu mengeringkannya dengan celemek yang dia pakai. Jeva kemudian melepaskan tautan lengan Biru di pinggangnya dan beralih melepaskan celemek itu. Setelahnya, Jeva lantas berbalik hingga kini mereka berhadapan.

Tanpa mengatakan apa-apa, Jeva seketika menarik tubuh Biru ke dalam dekapannya. Pun Biru yang dengan sigap membalas pelukan Jeva tidak kalah erat.

“Maafin gue ya, Jev.” Gumam Biru, “Lo harus ngelaluin hal yang berat, bahkan patah hati karena gue. You’re enough…”

“Gue pengen jadi seseorang yang bisa lo andelin juga. Gue pengen ngebales cinta lo sebesar yang lo kasih ke gue juga,” timpal Biru. “Tapi keadaan yang gini-gini aja, yang… ‘it’s always you who do something for our relationship’ bikin gue jenuh. Bukan ke lo, tapi ke keadaan dan diri gue sendiri. And i feel i’m not enough for you.”

Jeva mengusap lembut punggung Biru sejenak sebelum menarik dirinya dari pelukan mereka. Jeva kemudian membelai pipi kanan Biru diikuti senyum manis yang kini mampu menenangkan Biru.

You’re enough, Bi. Really…” ucap Jeva. “Tapi aku janji, pas kita balik lagi ngejalin hubungan kek dulu, aku bakalan bikin kamu ngerasa kalau aku juga ngandelin kamu. Aku bakal minta tolong, even for the smallest thing that I can’t do.”

“Aku juga bakal ngemis-ngemis perhatian sama kamu, sampai kamu bisa ngerasa kalau cinta yang kamu kasih ke aku jauuuh lebih besar dari yang aku kasih.” timpal Jeva yang membuat Biru tersenyum, “Oh, dan biar kamu gak ngerasa kalau kamu terlalu bergantung sama aku, kita bisa nyisain satu hari setiap Minggu buat diri kita sendiri, entah buat ngejalanin hobi atau istirahat.”

Biru tidak mengatakan apa-apa, namun dia lantas menarik pelan tengkuk Jeva hingga akhirnya bibir mereka bertemu. Biru lalu menciumi Jeva dengan lembut, seolah ingin melepaskan rindu yang belakangan ini menggebu.

Selagi belahan bibir keduanya saling beradu, Jeva kemudian berinisiatif mendorong pelan tubuh Biru tanpa melepaskan pagutan mereka. Sampai saat bagian belakang tubuh Biru telah terhimpit antara tubuhnya dan kitchen bar, Jeva pun menyudahi ciuman itu guna menatap Biru.

“Apa yang kamu bilang ke Dokter Rama tadi bisa kita realisasikan sekarang aja gak, Bi?” tanya Jeva.

Biru menahan senyumnya. “Apa? Kalau ngomong yang jelas, Jev.”

“Balikan sama aku ya?”

“Kamu pikir aku mau ciuman sama mantan aku?” balas Biru yang membuat Jeva tersenyum.

Jeva kemudian mengangkat tubuh Biru hingga berakhir terduduk di atas kitchen bar. Setelahnya, Jeva dan Biru pun kembali berbagi ciuman yang kian bergairah. Dari ciuman itu pula tersirat rasa bahwa mereka masih saling menginginkan dan membutuhkan presensi satu sama lain. Cinta mereka sama-sama besar. Pun ketulusan Jeva dan Biru yang tidak ingin sang pasangan merasakan kesulitan.

Angkasa mencebikkan bibirnya kesal tepat setelah membaca chat Sagara di WhatsApp. Dia lalu meletakkan gawainya di atas meja makan lalu menoleh ke arah Mami yang masih berkutat di dapur. Si Ibu mertua sedang membuat bubur ayam untuk Sagara. Sebelumnya pun Angkasa telah menawarkan bantuan dan Mami menyuruhnya memotong daun bawang. Meskipun Angkasa hanya melakukan hal sederhana, tapi dia tidak terima kalau Sagara mengiranya hanya sok sibuk.

Angkasa kemudian beranjak dari posisinya. Dia menghampiri si Mami sambil membawa daun bawang yang telah dia potong-potong tadi. “Mi, kayak gini gak?”

Mami menoleh, menatap daun bawang yang Angkasa letakkan dalam mangkuk itu diikuti senyum tipis. “Wah, kamu udah makin pinter ya, Sa. Padahal pas kamu bantu-bantu Mami di dapur dua hari sebelum kamu sama Sagara nikah, cara kamu motong daun bawang masih belum serapih ini. Bentar lagi kamu bakal jago masak nih.”

“Makasih, Mi.”

“Buburnya juga udah jadi, kamu cobain ya?” Mami menawarkan.

“Boleh, Mi.”

Angkasa meraih sendok yang disodorkan oleh Mami lalu mencoba sedikit bubur ayam itu.

“Enak banget, Mi.” puji Angkasa. “Gak heran Mas Sagara bisa jago masak, pasti nurun dari Mami.”

Mami mengangkat alisnya diikuti senyum penuh arti, “Sagara udah pernah masak buat kamu ya, Sa?”

“Iya, Mi. Waktu itu Mas Sagara masak udang mentega.” kata Angkasa, “Kapan-kapan ajarin Asa masak udang mentega ya, Mi? Enak banget. Gak boong.”

“Biar Gara aja yang ngajarin,” kekeh Mami. “Sagara itu pinter masak, bahkan lebih jago dari Mami, tau. Tapi anaknya jarang masak buat orang lain. Masak buat Mami sama Papi aja baru berapa kali. Bisa dihitung jari.”

Mendengar ucapan si Mami, Angkasa seketika mengingat dengan apa yang dikatakan oleh Bi Asih. Kedua paruh baya itu mengatakan hal yang sama.

“Sa, jujur aja… Mami sempet skeptis pas awal-awal kamu sama Gara dijodohin.” timpal si wanita paruh baya. “Apalagi, pas pengen makan malam keluarga sebelum pernikahan kalian waktu itu, Sagara malah gak pulang ke rumah, dan itu bikin Mami jadi khawatir sama kalian berdua. Mami takut kehidupan pernikahan kalian rumit karena kalian gak saling suka sejak awal. Tapi ngeliat gimana Sagara udah ngelakuin hal yang jarang dia lakuin ke orang lain pas bareng kamu, Mami yakin kalau dia udah mulai buka hati sama kamu, Sa. Mami harap kamu juga gitu ya, Sayang? Mami doain semoga kalian berdua hidup bahagia.”

Angkasa memaksakan senyum. Di satu sisi, dia merasa bersalah melihat betapa tulusnya doa sang Ibu mertua agar mereka bahagia. Padahal, pernikahannya dan Sagara hanya akan bertahan setahun sesuai kontrak, bahkan bisa lebih singkat andai saja hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Namun, di sisi lain, Angkasa juga kian khawatir andai saja Sagara benar-benar telah membuka hati padanya. Angkasa benar-benar tidak ingin hal itu terjadi.

“Sa, kamu ngelamun ya?”

“Eh, gak kok, Mi.”

“Kamu bangunin Sagara gih, tanyain anaknya pengen ikut sarapan bareng kita apa pengen sarapan di kamar aja.” titah si paruh baya yang disanggupi oleh Angkasa. Namun, baru saja dia hendak meninggalkan ruang makan yang tidak jauh dari dapur, Sagara dan Papi justru sudah datang; bahkan sedang berjalan beriringan ke arahnya.

“Aku baru aja mau ngecek kamu di kamar, Mas.” kata Angkasa lalu berdeham, “Gimana demamnya?”

“Udah reda, kan aku udah bilang. Kamunya aja tuh yang panikan.”

Papi tersenyum melihat interaksi keduanya, “Gimana gak cepet sembuh kalau dirawat sama suami. Abis nikah enak kan? Kalau sakit, ada yang jagain.”

“Biasa aja,” jawab Sagara datar lalu berjalan melewati Angkasa, “Kamu sama Mami masak apa? Aku sama Papi udah laper nih.”

“Nih, Mami masakin bubur ayam buat kamu.” sahut Mami yang kini sedang sibuk menyajikan menu sarapan di atas meja.

Papi duduk di salah satu kursi yang berseberangan dengan Sagara dengan Mami di sisinya. Pun Angkasa yang mau tak mau harus duduk di sisi suaminya.

Merasa bubur ayam buatan si mertua masih sangat panas, Angkasa lantas memutuskan untuk meraih buah terlebih dahulu. Dia mengambil pisau dan apel lalu mulai mengupasnya.

“Tangan kamu bisa luka kalau cara ngupasnya kayak gitu,” decak Sagara lalu merebut pisau dan apel itu dari tangan sang suami. “Nih, perhatiin baik-baik.”

Angkasa mendelik. Sagara yang melihat hal itu pun kembali bersuara, “Mau merhatiin gak?”

“Iya, iya,” pasrah Angkasa, sedang Mami juga Papi yang diam-diam mengamati mereka tersenyum.

“Pisaunya diarahin ke sini,” kata Sagara sambil mengupas apel. “Kamu kalau di rumah orang tua kamu gak pernah ngupas apel?”

“Gak pernah, makan di rumah aja jarang.” Angkasa tersenyum getir.

Sagara melirik Angkasa sekilas, “Pantes kamu juga jarang mau makan di rumah bareng aku.”

Angkasa tertawa hambar sambil menatap Mami dan Papi yang kini memandanginya lekat-lekat. Sorot mata kedua paruh baya itu seolah menodongnya dengan pertanyaan tersirat. “Gak gitu, Mas. Tapi kan kemarin-kemarin aku tuh banyak kerjaan di butik.”

“Sa,” Papi menengahi. “Sesibuk apapun kamu, jangan sampai skip makan ya? Efeknya mungkin gak kerasa sekarang, tapi kebiasaan kayak gitu lama kelamaan bisa ganggu kesehatan kamu loh.”

Angkasa tersenyum tipis diikuti anggukan. Dia tiba-tiba merasa terharu karena mendapatkan perhatian dari sang mertua, yang tidak pernah diberikan Ayahnya. Sementara itu, Sagara seketika menyodorkan piring berisi potongan buah apel yang telah dia kupas tadi ke depan Angkasa.

“Makasih, Mas.”

“Hari ini kamu ke butik gak?”

“Iya, Mas. Kenapa emangnya?”

“Aku pengen ikut.”

“Ngapain?” Angkasa menatap Sagara sinis. Namun, saat sadar bahwa kedua mertuanya sedang memerhatikan mereka, Angkasa lantas memaksakan tawa lalu berkata. “Maksud aku, Mas kan belum sepenuhnya pulih. Masih harus istirahat biar demamnya gak balik lagi. Ngapain ikut kan? Mending di rumah aja hari ini.”

“Aku pengen kamu bikin baju khusus buat aku, biar bisa aku pake pas peresmian jabatan baru aku.” kata Sagara. “Bisa kan?”

Gak bisa, anjing!

Gak mauuu!

“Bisa, Mas. Tapi gak usah hari ini juga,” Angkasa menendang kaki Sagara di bawah meja. “Masih banyak waktu kok. Tenang aja.”

Sagara memicing. “Emang hari ini kamu ada kerjaan apa, Sa?”

“Ya banyak. Aku pengen ngecek semua baju yang Minggu depan bakalan aku bikinin katalog. Aku juga harus mastiin kesiapan tim aku buat photoshoot. Pokoknya hari ini aku bakalan hectic, Mas.”

“Ya udah, biar sekalian Minggu depan aja. Pas aku ikut kamu ke butik buat mantau photoshoot.”

Angkasa menghela napas, “Iya.”

“Mantau doang?” Papi terkekeh lalu beralih menatap Angkasa. “Sa, kalau kamu kekurangan model, pake aja suami kamu. Sagara waktu masih muda dulu pernah loh ikut photoshoot gitu.”

“Asa udah tau, Pi.” ujar si Mami. “Pas kita makan malam keluarga di rumah dua hari sebelum acara pernikahan Asa sama Sagara, aku sempet bawa Asa ke kamar Gara buat ganti baju. Terus Asa ngeliat foto kecil Sagara sampai foto-foto pas Sagara ikut photoshoot.”

“Oh, makan malam keluarga tapi Sagara justru gak ikut ya?” tanya Papi yang jelas bernada sarkas.

“Kan waktu itu Sagara sibuk, Pi.”

Angkasa tersenyum meledek mendengarnya. Sebab, dia tau bahwa waktu itu Sagara justru sedang bersama lelaki lain di apartemennya. Ucapan Mami tadi pun membuat Angkasa akhirnya menemukan jawaban mengapa Sky, begitu juga dirinya, bisa tau bahwa si cinta pertama yang selalu dia cari adalah Sagara. Pasalnya, dia nyatanya telah melihat foto-foto sang suami sejak kecil di kamar.

“Terus Papi tau gak Asa bilang apa pas ngeliat foto-foto lama Sagara? Katanya Sagara grew up so well,” kekeh Mami. “Kecilnya udah ganteng, gedenya ternyata jauh lebih ganteng lagi. Kan, Sa?”

“Aku bilang gitu, Mi?” Angkasa menatap Mami tidak percaya.

“Iya. Masa kamu lupa, Sayang?”

Angkasa seketika mual. Dia tak habis pikir mengapa dia harus memuji laki-laki seperti Sagara.

“Kenapa Mami malah ngajakin Asa ke kamar aku sih?” Protes Sagara yang baru tau hal ini.

“Soalnya cuma baju kamu yang bisa dipinjem sama Asa. Mami juga pengen Asa milih sendiri baju kamu yang cocok sama dia yang mana,” sahut Mami. “Waktu itu baju Asa tuh basah gara-gara ketumpahan kuah sup. Untung kuahnya udah gak panas, jadi badan Asa gak kenapa-napa.”

“Kasian banget Asa malam itu,” timpal Papi. “Udah capek-capek masak sampai ketumpahan kuah sup kek gitu, tapi calon suaminya malah enggak pulang ke rumah.”

“Aku kan udah minta maaf, Pi.”

“Minta maaf ke Asa, gimana?”

“Udah juga,” kata Sagara.

“Bohong, Pi. Mas Gara belum minta maaf,” seringai Angkasa ketika Sagara menoleh padanya.

Sagara memutar bola matanya melihat tatapan menuntut Papi, juga senyuman usil Angkasa.

“Aku minta maaf, Sa.”

“Suaminya dicium dong, Ra.” Papi tersenyum, sementara Angkasa lantas mengibaskan tangannya.

“Gak apa-apa, Pi. Udah Asa maafin kok,” kata Angkasa.

Namun, hanya beberapa detik setelah Angkasa mengatakan hal itu, dia justru dibuat melotot kala Sagara tiba-tiba membingkai wajahnya dengan dua tangan. Sagara kemudian mendaratkan kecupan di kening Angkasa dan hal itu bertahan beberapa menit.

Mami dan Papi pun terkekeh. Seolah sangat puas menikmati interaksi pengantin baru itu. Angkasa sendiri hanya terdiam sambil mati-matian menahan hasrat untuk tidak mengamuk.

Malam semakin larut, namun Angkasa masih setia duduk di atas ranjang dengan pakaian yang masih belum dia ganti. Angkasa benar-benar berpikir dua kali untuk masuk kembali ke kamar sang suami, namun jika dia tidak mandi dan berganti pakaian, sudah pasti tidurnya tidak akan nyenyak malam ini.

Angkasa frustasi. Alhasil, setelah berpikir panjang, Angkasa lantas memutuskan untuk ke kamar Sagara dan berniat mengambil beberapa pakaian di walk in closet suaminya. Tentu agar keesokan harinya dia tak perlu masuk ke tempat laknat itu lagi.

Setibanya di depan kamar sang suami, Angkasa pun menghela napas pelan sebelum perlahan membuka pintu. Lampu utama kamar Sagara masih menyala, namun suaminya itu nampak telah terlelap tanpa busana di bagian atas tubuhnya. Pasalnya, Sagara sama sekali tak bergerak ketika Angkasa membuka pintu hingga kini masuk ke kamarnya.

“Apa jangan-jangan dia udah pingsan lagi?” batin Angkasa.

Meski Angkasa berusaha untuk tak peduli, tapi sebuah dorongan justru membawa langkah kakinya mendekati ranjang Sagara. Satu tangan Angkasa kemudian dia letakkan di atas kening suaminya hingga dia bisa merasakan bahwa demam Sagara masih tinggi.

Angkasa mendesis, di satu sisi, dia sangat membenci lelaki di hadapannya ini. Terlebih jika mengingat bagaimana Sagara memperlakukan Sky, yang juga adalah bagian dari dirinya di dunia fiksi. Namun di sisi lain, ada perasaan tidak tega yang entah kenapa selalu mengganggu sisi kemanusiaan Angkasa ketika melihat Sagara terbaring lemah seperti sekarang ini. Hati kecil Angkasa pun terus berperang dengan egonya sampai akhirnya dia memutuskan keluar dari kamar Sagara untuk mengambil wadah yang akan dia isi dengan air hangat guna mengompres tubuh sang suami setelahnya.

Usai menyiapkan semua yang dibutuhkan untuk mengompres Sagara, Angkasa pun duduk di tepi ranjang lalu meletakkan handuk kecil yang telah dia basahi dengan air hangat itu di kening sang suami. Sagara tak terlihat terganggu sama sekali dari tidurnya. Bahkan, beberapa menit setelah Angkasa mulai mengompres dahinya, Sagara justru mendengkur amat halus.

Menghela napas lega, Angkasa kemudian beranjak dari tempat tidur Sagara. Dia berniat untuk melanjutkan niatnya yang tadi sempat tertunda; mengambil pakaian. Namun, baru saja dia melangkah beberapa jengkal dari ranjang Sagara, suaminya tiba-tiba bergumam. “Mi… Sagara pengen lihat Mami. Sekali aja.”

Angkasa menoleh, mendapati kedua mata suaminya itu masih terpejam. Sagara jelas berbicara dalam tidurnya, entah karena bermimpi atau dia melantur karena demamnya yang tinggi. Angkasa pun hanya tersenyum meledek sebelum bergumam.

“Anak Mami lu.”

Tak ingin berlama-lama di kamar Sagara, Angkasa pun kembali meneruskan langkahnya ke walk in closet. Mengambil beberapa baju untuk persiapan esok hari lalu bergegas keluar dari kamar. Tapi, baru saja Angkasa hendak masuk ke kamarnya, dia justru samar-samar mendengar suara orang yang berbincang dari arah lift. Angkasa pun memberanikan diri untuk mengintip siapakah gerangan yang datang ke lantai dimana kamarnya dan Sagara berada, dan alangkah kagetnya Angkasa kala mendapati bahwa Mami dan Papi Sagara kini sedang berjalan ke arahnya yang bersembunyi di balik tembok.

Buru-buru Angkasa berlari ke arah kamar Sagara, masih dengan beberapa helai pakaian yang dia dekap di depan dada. Angkasa pun kembali masuk ke kamar Sagara, menyembunyikan pakaiannya asal di lemari Sagara sebelum akhirnya memposisikan diri untuk duduk di sisi si suami. Angkasa panik. Dia benar-benar tak menyangka kedua orang tua Sagara akan datang selarut ini.

Tidak lama berselang, ketukan dari arah pintu kamar seketika menggema. Angkasa menghela napas pelan lalu menghampiri sumber suara dan membuka pintu kamar dengan hati-hati.

“Eh, Mami? Papi?” Angkasa hanya berpura-pura kaget.

“Maaf ya, Sa. Mami sama Papi malah dateng ke rumah kalian malem-malem gini,” kata Mami. “Tadi Mami sama Papi masih ada urusan di luar, jadi baru sempet nyamperin kalian sekarang.”

“Gak apa-apa kok, Mi.”

“Gara gimana, Sayang?”

“Badannya masih panas, Mi. Tapi tadi abis aku kompres kok. Ayo masuk, Mi.” Kata Angkasa sambil menuntun kedua mertuanya ke arah ranjang Sagara lalu berkata.

“Mas Sagara baru aja ngelantur sambil tidur, Mi. Katanya pengen ngeliat Mami sekali aja, eh tau-tau Mami sama Papi beneran dateng.” jelas Angkasa diikuti senyum, sedang Mami lantas menoleh ke Papi. Kedua paruh baya itu berbagi tatap sejenak sebelum kembali memandangi Sagara yang terbaring lemas.

Papi pun duduk di sisi kanan Sagara lalu mengusap sayang kepala anaknya itu. “Gara, Papi sama Mami udah di sini nih.”

Sagara mendengus pelan. Dia pun perlahan membuka mata saat merasa tubuhnya sesekali diguncang oleh sang Papi. Saat itu pula dia mendapati Angkasa, Papi dan Mami berada di sisinya.

“Kita ke RS sekarang ya?” ajak Mami. “Demam kamu masih tinggi banget loh ini, Sayang.”

“Kan aku udah bilang gak usah, Mi. Entar aja ke RS-nya kalau besok lusa demam aku masih tinggi.” decak Sagara. “Lagian aku baru aja minum paracetamol nih, mana bisa langsung turun kan?”

“Ya udah,” Papi lantas merapikan selimut yang menutupi setengah badan Sagara. “Kalau gitu kamu istirahat lagi aja. Papi sama Mami juga pengen istirahat sekarang.”

“Loh, Papi sama Mami udah mau pulang?” tanya Angkasa yang sejujurnya hanyalah basa-basi.

“Gak kok, Sayang. Mami sama Papi nginep malam ini,” kata Mami yang membuat Angkasa terkejut lalu melirik Sagara yang kini juga tengah menatapnya.

“O-oh,” Angkasa tertawa hambar, “Kalau gitu biar Asa bilangin ke Bibi supaya kamar tamu di lantai bawah di bersihin dulu ya, Pi, Mi.”

“Gak usah, Papi sama Mami kalau nginep di rumah ini biasanya bobo di kamar sebelah. Sering dibersihin sama ART kok.”

Mendengar hal itu, Angkasa lantas panik. “Ng… Tapi Asa abis ngecek kamar sebelah kemarin, banyak debunya, Mi. Kalau gitu biar Asa aja yang rapiin ya? Oke?”

Angkasa cengar-cengir sebelum berlari keluar dari kamar Sagara, membuat alis si Mami juga Papi berkerut heran. Sementara itu, Sagara yang melihat tingkah Angkasa yang jelas sangat panik pun refleks menahan senyum lalu menutup kedua matanya.


Usai menyembunyikan beberapa barangnya yang ada di kamar dimana mertuanya akan tidur malam ini, Angkasa mau tidak mau harus kembali ke kamar Sagara. Sebab, sesuai dengan perjanjian mereka di dalam kontrak, dia dan Sagara harus tidur di kamar yang sama kala orang tua mereka berkunjung.

Dan di sinilah Angkasa sekarang. Dia berdiri di samping ranjang Sagara sambil memandangi sang suami yang entah sejak kapan telah memejamkan matanya lagi.

“Mas, kamu tidur ya?” Angkasa mengangkat alisnya saat tidak ada jawaban dari Sagara. “Aku izin pinjem kamar mandi kamu.”

Tak kunjung mendapat respon dari Sagara, Angkasa pun yakin suaminya itu telah terlelap—lagi. Angkasa kemudian masuk ke kamar mandi sang suami lalu membersihkan tubuhnya di sana sekaligus berganti pakaian tidur yang lebih nyaman. Setelahnya, Angkasa kembali ke samping tempat tidur Sagara, mengambil satu bantal dan berniat untuk merebahkan dirinya di atas sofa yang ada dalam kamar itu. Tapi, baru saja beberapa jengkal saat Angkasa hendak melenggang ke sofa, Sagara tiba-tiba bersuara.

“Mau ke mana?”

Sontak Angkasa menoleh hingga mendapati sang suami sedang memandanginya, “Mau ke sofa.”

“Ngapain?”

“Ya mau tidur lah.”

“Tidur di ranjang, jangan di sofa.”

Angkasa bergidik, “Gak ah, entar kamu malah ngelecehin aku lagi.”

Sagara mendengus, “Kalau gitu biar aku aja yang tidur di sofa.”

“Loh tapi kan kamu sakit, Mas.”

“Kamu tau kalau aku sakit, tapi kamu masih aja mikir kalau aku pengen ngelecehin kamu.” decak Sagara sambil menatap Angkasa datar, “Lagian kemarin-kemarin aku nyentuh kamu karena kamu sendiri yang gak mau nurut kan?”

Angkasa memicingkan matanya curiga sambil berpikir apakah dia harus mempercayai Sagara atau tidak. Namun, melihat suaminya tiba-tiba bangkit dari posisinya hingga terduduk di atas ranjang, Angkasa seketika berdeham.

“Oke, oke, aku percaya.” Angkasa kemudian menghampiri Sagara lalu duduk di atas ranjang pada sisi yang berlainan dengan sang suami. “Tapi awas aja ya kalau kamu macem-macem sama aku.”

Sagara hanya membuang napas kasar lalu menoleh ke nakas di samping ranjangnya. Dia lalu meraih salep luka yang ada di sana dan menyodorkannya ke Angkasa, “Nih, bantuin aku dulu.”

“Minta tolongnya yang bener.”

“Yang bener gimana lagi sih, Sa?”

“Mas bilangnya gini, Yang Mulia Angkasa, hamba yang sangat kotor dan hina ini memohon dengan segala kerendahan—”

Ucapan Angkasa belum selesai, namun Sagara sudah lebih dulu melemparkan salep luka yang dipegangnya itu ke depan sang suami. “Jangan bikin aku kesel.”

“Jingin bikin iki kisil,” Angkasa menggerakkan bibirnya meledek tanpa bersuara sambil meraih salep yang sudah tergeletak di depannya. Angkasa kemudian mendekat ke Sagara sebelum akhirnya mengusapkan salep itu.

“Kayaknya kamu demam gara-gara luka lebam kamu ini deh, Mas.” Angkasa berkomentar, “Nih, lukanya panas banget.”

“Jadi apa yang harus hamba lakukan, Yang Mulia?” Sahut Sagara yang lantas membuat Angkasa tertawa. “Puas kamu?”

“Kamu musti ke dokter, Mas.” kata Angkasa, “Lagian kamu nyari masalah sama siapa sih sampai kamu digebukin gini?”

“Di kantor lagi ada masalah,” Sagara akhirnya bercerita. “Warga yang udah ngejual daerah pemukimannya ke perusahaan tiba-tiba demo, nuntut ganti rugi lagi. Padahal semuanya udah clear sejak awal.”

“Karena aku rasa ada yang gak beres, makanya aku inisiatif buat datengin ketua RW tempat itu. Mau nyari tau sekaligus denger langsung point of view mereka, bukan cuma dari omongan orang di kantor. Tau-tau, pas aku ke sana, tiba-tiba ada yang mukul punggung aku pake balok. Abis itu beberapa warga ikut gebukin aku. Untung Pak Yanto ikut sama aku, jadi ada yang nolongin aku. Kalau nggak, udah mati sih aku.”

“Jadi waktu itu kamu gak ketemu sama ketua RW-nya, Mas?”

“Ketemu kok. Aku juga udah tau yang bikin warga marah sampai nuntut ganti rugi apa,” Sagara menghela napas pelan. “Tapi aku belum tau dalangnya siapa aja. Bakal aku cari tau pas aku udah resmi diangkat jadi CEO nanti.”

Angkasa yang masih mengusap pelan punggung Sagara seketika melirik wajah suaminya. Kini dia paham kenapa kesan pertama Sky tentang Sagara adalah orang baik. Pasalnya, Sagara nampak peduli dengan orang-orang kecil.

“Kamu berdedikasi banget ya,” kekeh Angkasa. “Ada untungnya kamu yang jadi CEO perusahaan kakek walau harus pake cara licik dengan nikah kontrak sama aku.”

Sagara menoleh ke Angkasa, “Untung gimana maksudnya?”

“Yaa… Karena kamu pengen nama perusahaan tetep baik dengan cara yang baik juga.” sahut Angkasa. “Kamu mau mendengar kedua pihak, gak cuma orang kantor doang. Kalau yang jadi CEO gak mikirin keluh kesah warga, paling orang-orang itu cuma dibungkam terus gak dikembalikan hak-haknya pake cara yang gak baik dan gak adil.”

“Berarti aku ini masih punya sisi manusiawi kan?” tanya Sagara.

“Iya, kalau ke orang lain. Tapi kalau ke aku, kamu kek setan.” Angkasa mendengus sebelum menyodorkan salep luka yang wadahnya telah dia tutup rapat pada Sagara. “Nih. Udah selesai.”

“Makasih,” gumam Sagara lalu berdeham. Dia pun membuang muka sebelum merebahkan tubuhnya dengan posisi menyamping, membelakangi Angkasa yang kini menatapnya sambil tersenyum mengejek.

“Halo, Pak? Udah di depan ya?” tanya Angkasa yang kini tengah menempelkan gawai di samping telinga. “Oke, saya ke sana abis ini. Pak Yanto tunggu bentar ya.”

Mengetahui sang supir telah tiba dan menunggu di depan butik, Angkasa pun bergegas keluar dari ruang kerjanya. Sejenak dia berpamitan pada karyawannya yang masih bersiap-siap untuk pulang sebelum akhirnya dia meninggalkan butik menuju ke parkiran. Sampai saat Angkasa hendak masuk ke mobil itu, dia lantas mengernyit kala melihat ada orang lain di jok belakang; dimana Angkasa akan duduk. Saat dia membuka pintu mobil, Angkasa pun mendapati bahwa Sagara lah yang berada di sana. Nampak suaminya itu sedang bersandar di jok mobil sambil memejamkan mata. Seolah tak peduli Angkasa telah datang dan duduk tepat di sebelah kirinya.

“Kirain kamu bawa mobil sendiri pas ke kantor tadi, Mas.” Angkasa melirik Sagara, “Kok sekarang dijemput sama Pak Yanto juga?”

“Aku gak enak badan.”

“Oh,” gumam Angkasa, namun saat tatapannya tidak sengaja bertemu dengan sorot mata Pak Yanto di spion tengah, dia lantas berdeham. Dia takut jika saja si supir curiga dengan interaksi mereka yang tak begitu hangat.

“Kalau gitu kamu dianterin ke rumah sakit aja dulu. Mau ya?”

Sagara membuka matanya lalu menoleh ke Angkasa, “Tumben kamu ngomongnya lembut gini.”

“Si anjing…” gerutu Angkasa dalam hati sebelum menginjak pelan kaki Sagara di bawah sana.

Angkasa kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Sagara lalu berbisik, “Emang Pak Yanto tau kalau kita cuma nikah kontrak?”

Sagara tidak menjawab. Dia justru menoleh ke Angkasa yang masih menghadap ke arahnya, mendaratkan kecupan singkat di kening suaminya itu dan berkata.

“Aku bercanda, Sayang.”

“Huekkk!” batin Angkasa sambil memaksakan senyum, sementara Sagara justru menyeringai tipis.

“Jadi Mas Sagara mau ke rumah sakit dulu ya?” tanya Pak Yanto.

“Gak usah, Pak. Demam saya gak tinggi banget kok, paling besok udah turun.” Sagara tersenyum.

Angkasa yang penasaran seketika mengikuti pikiran impulsifnya. Satu telapak tangannya tiba-tiba mendarat di kening sang suami, membuat Sagara sedikit terkejut lalu menatap Angkasa lamat.

“Gak tinggi apanya? Ini badan kamu panas banget loh, Mas.”

“Nggak apa-apa. Entar pas abis minum paracetamol juga bakal sembuh kok,” sahut Sagara lalu berdeham. “Aku mau bobo dulu, bangunin kalau udah nyampe.”

Angkasa hanya mengangguk sebagai jawaban, sementara Sagara telah menyandarkan punggungnya pada jok yang telah dia setel hingga posisi duduknya saat ini nyaris seperti orang yang sedang terlentang.

Selama dalam perjalanan pulang, sesekali Angkasa melirik Sagara. Nampak suaminya itu tertidur pulas seolah dia sedang berada di kamarnya sendiri dan tidak terganggu sama sekali. Angkasa kemudian bisa melihat betapa pucat wajah Sagara saat ini.

“Apa jangan-jangan dia demam gara-gara luka di punggungnya?” batin Angkasa sebelum realita lantas memukul telak wajahnya.

Kenapa juga dia peduli? Pikirnya lalu membuang muka ke luar jendela. Angkasa pun diam-diam memutar otak tentang rencana apa yang harus dia lakukan agar dia bisa kembali ke kehidupan aslinya. Sebab, untuk mendekati Surya meski secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh Sagara pun rasanya tidak akan mungkin. Surya terlalu terbuka kepada Sagara bahkan untuk hal kecil sekalipun. Namun, di saat Angkasa tengah memikirkan cara untuk pergi dari dunia fiksi, dia justru tiba-tiba merenung. Apa itu artinya ada seseorang yang menggantikan posisinya di dunia nyata? Atau justru dia memang telah tiada dan akan menetap di dunia fiksi ini sebagai semesta keduanya? Angkasa meringis.

Angkasa sama sekali tak memiliki petunjuk untuk pulang. Meski di dunia fiksi ini dia masih hidup dengan orang tua, teman dan juga karyawannya seperti di kehidupan aslinya, namun dia merasa hilang. Dia selalu merasa tempat ini bukan lah untuknya.

“Mas Asa?”

Angkasa terkesiap mendengar namanya dipanggil. Pak Yanto yang baru saja bersuara pun meminta maaf karena melihat Angkasa yang melamun terkejut. Saat itu pula Angkasa sadar kalau sekarang mobil yang sedari tadi dikemudikan oleh supir pribadi Sagara itu telah tiba di halaman rumah. Angkasa lalu menoleh ke suaminya, Sagara masih tertidur dengan lelap. Angkasa kemudian menepuk pelan bahu sang suami.

“Mas, bangun. Kita udah sampai.”

“Mhm,” Sagara bergumam lalu membuka kedua matanya. “Kamu masuk duluan. Entar aku nyusul.”

“Gak, biar aku bantu.” Angkasa keluar lebih dulu dari mobil itu sebelum membuka pintu yang berada di sisi kanan; dimana Sagara duduk. Angkasa meraih satu lengan Sagara dan mulai menuntunnya agar turun dari kendaraan roda empat itu.

“Pelan-pelan,” kata Angkasa.

Sagara pun hanya menurut saja ketika Angkasa membantunya masuk ke dalam rumah hingga mereka tiba di dalam kamarnya. Angkasa bahkan menuntunnya untuk berbaring di atas ranjang dan membantu melepaskan sepatunya sebelum bertanya, “Kamu bisa ganti baju sendiri gak? Mau aku ambilin kaos?”

“Kamu gak usah sok peduli sama aku,” tutur Sagara yang seketika membuat Angkasa menatap sang suami dengan raut tak percaya.

“Sekarang udah nggak ada yang ngeliatin kita di sini. Pergi sana,” lanjut Sagara lalu menutup mata.

“Aku denger dari Bintang kalau di keluarga kakek kamu tuh selalu diajarin soal sopan santun, tapi kayaknya kamu gak diajarin buat menghargai pertolongan orang lain dengan ucapan makasih ya?”

Tidak ada jawaban dari Sagara.

“Oh, atau kamu sadar kalau kamu itu sebenarnya udah jahat banget sama aku? Makanya kamu mikir kalau aku nggak mungkin baikin kamu, jadi aku cuma sok peduli?”

“Aku gak bakalan bales kejahatan dengan kejahatan kok. Aku masih punya sisi manusiawi, gak kayak kamu.” Angkasa lalu membuang napasnya kasar sebelum berlalu meninggalkan Sagara di kamar.

Angkasa pun berjalan ke arah kamarnya dengan langkah yang terhentak kuat saking kesalnya. Bahkan dia menutup pintunya dengan keras sebelum memilih untuk menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur empuknya.

“Sagara anjing,” dumel Angkasa. “Bodo amat lo mau pingsan kek, mati kek, gue gak bakal peduli!”

Angkasa mengambil satu bantal lalu meninjunya seolah benda itu adalah wajah Sagara. Namun, beberapa detik setelahnya, dia lantas memeluk bantal itu sambil meringis. “Tapi kalau dia mati di kamarnya, gue musti gimana?”

“Bisa-bisa gue yang bakalan dituduh udah ngebunuh dia,” timpal Angkasa lalu bergidik.

“Terus kalau gue dipenjara di sini, gue makin nggak bisa balik ke dunia asli gue dong?” Angkasa merengek. “Gue mau pulaaaang!”

Saat Angkasa tengah meratapi nasibnya, gawai di saku celana kanannya tiba-tiba berdenting. Angkasa pun meraihnya hingga mendapati bahwa sang Bunda lah yang baru saja mengiriminya pesan, menanyakan bagaimana keadaannya. Sejenak, Angkasa merasa tenang. Meskipun si paruh baya tidak bisa berbuat banyak saat sang Ayah mulai bersikap kasar, namun Bunda selalu mencuri-curi waktu untuk tetap menguatkannya. Tidak hanya di dunia nyata, tapi juga dunia fiksi seperti sekarang ini.

Selagi membalas pesan Bunda, Angkasa tiba-tiba mendapat ide untuk memberitahukan sang Ibu mertua tentang keadaan Sagara. Dengan begitu pula Angkasa tak perlu takut Sagara akan mati di kamarnya tanpa bantuannya.

Baskara buru-buru menaruh gawainya di atas nakas ketika melihat Tara kini telah berjalan masuk ke kamar mereka. Sang suami kemudian menghampiri Baskara yang terduduk di atas ranjang sambil tersenyum tipis.

“Kamu udah skincare-an, Bas?”

“Belum,” sahut Baskara. “Sikat gigi sama cuci muka aja belum.”

“Kok belum sih?”

“Ya aku nungguin kamu lah, tapi kamu lama banget nyusul aku ke kamar.” decak Baskara, sedang Tara geleng-geleng kepala.

“Ya udah, ayo.”

Tara kembali berdiri lalu menarik tangan suaminya itu agar ikut dengannya ke kamar mandi. Di depan wastafel kamar mandi itu pula lah Baskara dan Tara mulai menggosok gigi bersama. Tara yang awalnya fokus menatap pantulan dirinya di cermin sambil terus membersihkan giginya lalu melirik sejenak ke arah Baskara. Saat itu pula dia dibuat heran, sebab dia justru mendapati suaminya itu tengah sibuk memandanginya lamat.

“Apa?” tanya Tara dengan busa yang masih ada dalam mulutnya.

“Gak apa-apa,” jawab Baskara sebelum berkumur-kumur dan mencuci mukanya lebih dahulu.

“Aku tunggu di ranjang ya, Tar.” pamit Baskara yang telah selesai dengan rutinitas mereka itu.

“Oke,” jawab Tara yang masih asik memijat mukanya yang kini dipenuhi busa facial wash-nya.

Setelah selesai membersihkan muka dan mengeringkannya, Tara pun keluar dari kamar mandi. Sejenak, Tara mengambil beberapa skincare dari atas meja riasnya terlebih dahulu sebelum menghampiri Baskara yang telah menunggunya di atas ranjang.

“Kamu udah?”

“Belum, aku mau dipakein sama kamu.” Baskara cengar-cengir, sementara Tara mengernyit.

“Kamu manja banget sih.”

Tara protes, tapi pada akhirnya dia tetap saja mengindahkan keinginan suaminya. Dia pun mulai mengusapkan produk perawatan kulit yang biasa mereka pakai di wajah Baskara.

Selagi Tara sibuk mengurusi bayi besarnya itu, Baskara sendiri justru kembali memandangi wajah sang suami lekat-lekat. Kepala Baskara penuh, sebab dia diam-diam sedang merangkai kata untuk mengucap maafnya.

Namun, sebanyak apapun kata yang telah Baskara pikirkan, hal pertama yang dia lakukan justru mengikis jarak wajahnya dengan Tara lalu mengecup bibir tipis sang suami. Kecupannya itu pun bertahan selama beberapa saat sebelum ia kembali memandangi Tara dengan tatapan bersalah.

“Apaan sih, Bas? Moisturizer di muka kamu belum kering nih, sampai pindah ke muka aku. Entar aja kiss-nya,” omel Tara lalu mengangkat wajahnya di depan Baskara. “Sekarang giliran kamu yang pakein ke aku. Awas kalau urutannya sampai salah ya, Bas.”

Baskara terkekeh, “Sekarang siapa yang manja banget coba?”

Tara hanya tersenyum lembut, sedang Baskara mulai melakukan hal yang sama seperti yang Tara lakukan sebelumnya padanya. Baskara kemudian bertanya,

“Pulang kantor besok… Kita shopping bareng yuk, Tar.”

“Kamu pengen beli apa emang?”

“Gak ada sih, tapi mana tau kamu pengen beli sesuatu kan.” sahut Baskara lalu berdeham pelan. “Sekalian quality time juga, Tar.”

Tara memicing, “Kamu aneh banget. Abis kesambet apa?”

“Kamu kok ngomongnya gitu sih, emang selama ini aku gak pernah ngajakin kamu quality time apa?”

“Gak gitu, tapi biasanya kamu langsung ngajakin aku ke mana doang gitu. Kayak akamsi yang ngajak maen. Gak sampai yang ngasih tau aku kalau kamu tuh pengen quality time,” kekeh Tara lalu menunjuk Baskara. “Kamu abis selingkuh jangan-jangan?”

“Kamu jangan asbun kayak gitu ah, aku gak suka.” cebik Baskara bersamaan dengan selesainya tugas dia untuk memakaikan skincare di wajah suaminya.

Tara hanya menahan senyum melihat Baskara bangkit dari ranjang lalu menyimpan skincare yang telah mereka gunakan tadi di meja rias seperti semula. Setelahnya, Baskara pun kembali dan ikut merebahkan tubuhnya di samping Tara yang sudah berbaring terlentang lebih dulu.

“Sayang.”

Tara menoleh hingga pandangan mereka kembali bertemu, “Hm?”

Baskara menelan ludahnya lalu meraih tangan kanan Tara. Dia menggenggam jemari lentik suaminya itu sebelum berkata.

“Maaf, aku lupa kalau hari ini wedding anniversary kita.”

It’s okay,” Tara tersenyum lalu ikut menggenggam tangan sang suami. “Kan aku udah bilang, gak penting kamu inget atau enggak. “As long as you’re still with me, i’m sooooo happy. Jangan berubah ya, Bas? Let’s be together till we die.”

But still…” Baskara mendesis, “Kamu sedih gak sih, gara-gara Ersya pamer kalau Harith excited banget nungguin anniversary mereka yang masih bulan depan, sementara suami kamu sendiri justru gak inget anniversary kita.”

“Gak ah, biasa aja. Lagian tahun-tahun sebelumnya juga kita udah gak rayain wedding anniversary lagi kan? Tapi kita masih bahagia tuh, masih langgeng juga. Udah lewat masanya kali ya?” Kekeh Tara. “Kalau Ersya sama Harith sih wajar, mereka kan baru nikah setahun. Masih anget-angetnya. Mereka kayaknya juga belum pernah sampai di tahap yang berantem gede, tapi satu jam setelahnya malah ngewe as if nothing had happened before.”

Baskara tertawa saat mengingat kembali kejadian dimana dia dan Tara bertengkar hebat, namun satu jam setelahnya, mereka justru sudah ada di atas ranjang dan saling bercumbu mesra.

“Tapi si Harith kayaknya bakal ngerayain wedding anniversary dia sama Ersya sampai mereka kakek nenek deh, Tar. Dia kan romantis, gak kayak aku.” kata Baskara lalu membuang muka.

“Emang,” sahut Tara.

Baskara pun kembali menatap suaminya tidak terima. “Kok malah diiyain sih? Harusnya kamu bujuk aku. Bilang, aku meskipun gak romantis, tapi selama ini aku udah jadi suami yang baik buat kamu. Gituuu.”

“Haus pujian banget, heran.” Cibir Tara sambil mendelik. “Udah, ah. Bobo. Aku ngantuk.”

Baskara tersenyum usil lalu memeluk Tara seperti guling.

“Kan hari ini wedding anniversary kita, kalo dirayain dengan ngewe kayaknya enak ya?” goda Baskara lalu mengulum daun telinga sang suami. Namun, Tara buru-buru menghempaskan tubuh Baskara hingga tautan mereka terlepas.

“Gak ada! Gak usah dirayain.”

“Sayang…”

Good night,” ucap Tara sebelum menutup matanya, sementara Baskara lantas berdecak kesal.

“Terus kiss buat aku mana?”

Tara menghela napas pelan lalu kembali membuka matanya. Dia pun menoleh lalu memberikan kecupan singkat di bibir sang suami dan berkata, “Udah kan?”

“Gitu doang gak cukup,” seringai Baskara lalu mengubah posisinya hingga berada di atas Tara. Dia mengungkung suaminya itu lalu mulai menciumi bibir Tara yang hanya bisa pasrah di bawahnya.

Baskara melumat bibir Tara seperti orang kelaparan yang baru menemukan makanannya. Suara kecipak saliva yang saling beradu pun tidak terhindarkan.

“Mmh!” Tara bergumam sambil menahan tangan Baskara yang diam-diam telah menyelusup ke dalam bajunya. “Dibilang enggak. Kalau pengen ngewe besok aja.”

“Beneran?” Baskara sumringah.

“Iyaa. Sekarang aku beneran udah ngantuk banget, Bas.”

“Oke, Sayang.”

Baskara mengecup kening Tara sejenak lalu kembali berbaring di samping suami tercintanya itu. Tidak lupa pula dia menarik Tara ke dalam dekapannya sebelum memejamkan mata, pun Tara yang menerima kehangatan dari Baskara itu dengan senang hati.

Tepat pada jam lima sore, Sagara benar-benar datang menjemput Angkasa di butik. Angkasa yang telah menerima pesan singkat dari suaminya agar dia segera keluar dari butiknya pun lantas menurut. Angkasa kemudian masuk ke mobil Sagara tanpa sepatah kata hingga kendaraan milik sang suami melaju dan perlahan meninggalkan area itu.

“Kamu mau olahraga di mana?”

Angkasa akhirnya angkat bicara setelah terdiam dan tidak ada percakapan dengan Sagara sama sekali sejak meninggalkan butik. Pasalnya, mobil Sagara kini justru melaju ke arah rumah mereka.

“Di rumah,” singkat Sagara.

Kedua bola mata Angkasa pun melotot mendengarkan jawaban sang suami. Dia lantas menatap Sagara curiga sebelum berkata.

“Jangan bilang olahraga yang kamu maksud itu olahraga di ranjang ya? Kamu mau perkosa aku?” pekik Angkasa lalu meraih sebuah pensil dari dalam tasnya.

“Kalau kamu berani macam-macam sama aku, mata kamu bakalan aku colok!” timpal Angkasa sambil menodong Sagara dengan pensil runcing itu, namun yang diperlakukan demikian hanya menghela napas pelan diikuti gelengan kepala.

“Kok diem? Berarti bener kan?”

“Aku gak nafsu sama kamu,” kata Sagara lalu mendelik ke Angkasa.

“Ya terus kenapa olahraganya malah di rumah?” decak Angkasa.

“Kan di rumah ada home gym.”

“Kirain kamu mau main golf?”

“Emang tadi aku bilang kalau aku pengen ditemenin main golf?”

“Enggak sih, tapi kata Mas—” Angkasa berdeham, sebab dia hampir saja keceplosan bahwa Surya yang memberitahunya tentang hobi Sagara bermain golf. “Maksud aku, kata orang-orang nih ya, konglomerat kayak kamu pasti hobinya main golf.”

“Kamu kalau mau tau hobi aku, atau sesuatu tentang aku, ya tanya langsung sama aku. Gak usah nanya ke orang lain,” sahut Sagara lalu menoleh ke Angkasa dengan sorot mata datar. “Tadi Surya ngasih tau aku kalau kamu nge-chat dia buat nanyain itu.”

“Kamu juga gak perlu masak buat aku,” timpal Sagara, sementara itu Angkasa berdecak kesal. Dia lupa memberitahu Surya untuk tidak bercerita kepada Sagara tentang hal yang dia tanyakan tadi. Apalagi semua itu modus Angkasa untuk mendekati Surya.

“Kamu masih sayang sama aku kan?” tanya Sagara yang sontak membuat Angkasa menganga.

“Hah? Masih? Sayang?” Angkasa terbahak-bahak. “Dih, emang aku pernah bilang kalau aku sayang sama kamu apa? Najis banget!”

“Pura-pura lupa ingatan itu coping mechanism kamu apa gimana?” Sagara tersenyum miring. “Bunda kamu juga cerita kalau pas kamu sadar waktu abis jatuh ke kolam renang kemarin, kamu kayak gak inget apa-apa.”

Angkasa terdiam sejenak. Apa ada hal yang tidak dia ketahui sebelum dia akhirnya masuk ke dunia fiksi ini? Pikirnya. Apalagi dari potongan AU yang dia baca, karakter Sky awalnya memang diceritakan ingin bunuh diri karena tidak ingin menerima perjodohannya dengan Sagara. Namun, setelah kedua tokoh membuat kontrak pernikahan, Sky justru terlihat menaruh perhatian kepada suaminya meski hanya secara diam-diam.

Awalnya, Angkasa berpikir Sky mungkin saja telah perlahan jatuh hati kepada Sagara. Dan hal itu pula yang membuat Angkasa kesal saat membaca AU-nya. Sebab, sang author seolah tidak memberi pendirian kuat pada karakter Sky yang terkesan mudah jatuh hati pada tokoh Sagara yang sama sekali tidak memberinya perhatian. Tapi setelah Angkasa pikir-pikir lagi, mungkin memang ada alasan yang membuat Sky tidak bisa menerima Surya di dalam AU dan lebih memilih suaminya.

“Apa jangan-jangan yang Chandra bilang plot twist ada kaitannya sama ini, tapi ada di part yang belum sempet gue baca?” Batin Angkasa lalu menatap Sagara.

“Kalau aku sayang sama kamu, aku gak bakalan nyoba bunuh diri karena gak pengen dijodohin sama kamu, Mas.” kata Angkasa.

“Awalnya kamu emang gitu kan? Kamu menerima perjodohan kita dengan baik,” sahut Sagara. “Tapi sehari sebelum kita nikah, kamu nge-gep aku abis making out sama cowok lain di apartemen. Abis itu kamu minta penjelasan soal aku yang nerima dijodohin sama kamu karena aku pengen jadi CEO, gara-gara kamu denger omongan Papanya Bintang sama kakek aku pas kamu ke rumah. Di apartemen aku juga kamu jujur soal perasaan kamu sama aku.”

Sagara melirik Angkasa sekilas diikuti senyum meledek. “Jujur aja aku masih penasaran, apa sih yang bikin kamu malah sayang sama laki-laki bajingan kayak aku sampai sekarang? Padahal aku pikir, kamu awalnya nerima buat dijodohin sama aku karena aku cucu konglomerat berpengaruh.”

“Jadi aku kaget pas kamu tiba-tiba bilang ke aku kalau kamu mau nolak perjodohan kita,” timpal Sagara, namun Angkasa justru tak mengatakan apa-apa selama beberapa menit. “Aku juga kaget karena apa yang aku bilang sama kamu di apartemen aku pagi itu bener-bener bikin kamu nyari cara buat mati, tapi kamu malah pake cara konyol.”

“Emang kamu bilang apa aja?” Angkasa menatap Sagara datar. “Coba ulangin sekali lagi, biar aku makin benci sama kamu.”

“Aku gak suka sama kamu,” kata Sagara. “Apa yang kamu denger dari Om aku bener, aku emang cuma mau manfaatin kamu biar aku bisa jadi CEO dan gantiin dia. Jadi kalau kamu gak mau nikah tanpa ada cinta dalam rumah tangga kita nantinya, jalan satu-satunya ya kamu harus mati. Aku gak pengen keluarga besar aku dibikin malu kalau kamu tiba-tiba nolak perjodohan kita. Aku juga yakin Ayah kamu bakalan marah besar kalau tau soal ini.”

“Aku bilang gitu,” timpal Sagara.

Angkasa mengepalkan kedua tangannya di atas paha, sedang rahangnya kini telah mengeras.

“Tepiin mobil kamu, Mas.”

“Kenapa?”

“Tepiin aja, atau kita bakal mati bareng abis ini.” kata Angkasa, sedang Sagara yang heran lantas menepikan mobilnya seperti yang suaminya itu inginkan.

Namun, hanya sepersekian detik setelah Sagara menepikan mobil dan mematikan mesinnya, sang suami tiba-tiba saja menjambak rambutnya sambil berteriak.

“Gue tau lo bajingan, tapi gue gak nyangka lo tuh sebajingan ini ya, anjing! Sky gak pantes dapet laki kayak lo,” Angkasa tidak peduli dengan pekikan Sagara yang jelas kesakitan akan ulahnya. “Gue gak bakalan kayak si Sky yang sayang sama lo, anjing! Lo aja yang mati!”

Setelah cukup puas menjambak rambut Sagara, Angkasa lantas buru-buru keluar dari mobil itu sebelum berlari ke arah trotoar. Di sana, dia lalu menahan taksi sambil sesekali menoleh ke arah Sagara yang telah mengejarnya.

Beruntung, Angkasa bisa masuk ke dalam taksi sebelum suaminya itu berhasil menangkapnya. Dia pun menyuruh supir taksi agar segera menancap gas ke arah rumahnya dan Sagara. Meski nantinya mereka akan tetap bertemu, tapi Angkasa tidak peduli. Dia hanya tidak ingin berdua di dalam mobil dengan Sagara lebih lama lagi. Emosi Angkasa benar-benar terkuras setelah mengetahui semuanya.

“Jadi ini plot twist-nya? Alasan Sky pengen bunuh diri bukan semata-mata karena dia gak suka Sagara sampai gak mau dijodohin, tapi justru karena dia emang udah mulai sayang sama Sagara, terus si anjing malah bilang kayak gitu sama dia?” batin Angkasa kesal.

“Tapi apa yang bikin si Sky bisa suka sama laki-laki bajingan kek Sagara sejak awal sih? Apa Sky emang dimanipulasi sama Sagara sebelum motif Sagara yang cuma pengen manfaatin Sky ketahuan?”

“Tau ah!” Angkasa mendesis frustasi, “Kenapa gue harus masuk ke AU ini sih, anjing?”

Mendengar Angkasa berteriak sendiri di jok belakang sontak membuat supir taksi berdeham pelan. Angkasa yang menyadari hal itu pun seketika tersenyum kikuk lalu menundukkan kepala sebagai gesture meminta maaf.

Tak lama berselang, taksi yang Angkasa tumpangi pun tiba di kediamannya dan Sagara. Mobil sang suami yang sedari tadi mengekor di belakang taksi itu pun tiba persekian detik setelah Angkasa turun dari sana. Tanpa membuang waktu, Angkasa lalu bergegas masuk ke dalam rumah sebelum Sagara ikut keluar dari mobilnya. Namun, sebelum dia masuk ke lift menuju lantai kamar mereka, Sagara sudah lebih dahulu menjegal lengannya.

“Kamu kenapa sih, Sa?” tanya Sagara dengan napas tersengal-sengal. Jelas kalau sebelumnya dia berlari; mengejar Angkasa.

“Kamu masih nanya aku kenapa setelah kamu ngomong kayak tadi?” Angkasa menatap Sagara dengan raut wajah tak percaya.

“Dengan kamu marah kayak gini, berarti bener kalau kamu masih sayang sama aku.” tutur Sagara sambil menatap lurus ke dalam netra Angkasa, “Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau kamu bakal ngelupain perasaan kamu ke aku pagi itu, pas kamu minta perjodohan kita dibatalin, Sa?”

Angkasa menganga lalu tertawa hambar. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan watak Sagara.

“Aku marah bukan karena aku masih sayang sama kamu, tapi aku marah sama diri aku yang sebelumnya karena malah suka sama laki-laki brengsek kayak kamu.” kata Angkasa, “Oh iya, biar sekalian aku kasih tau juga. Aku nanyain hobi kamu ke Surya bukan karena aku ini masih suka sama kamu, tapi aku justru suka Surya. Makanya aku musti pake alasan kek gitu biar dia gak risih dideketin suami dari temennya.”

“Aku bersyukur banget kalau kamu udah gak ada perasaan apa-apa sama aku terus udah buka hati buat orang lain,” balas Sagara sambil menatap Angkasa datar. “Tapi kenapa harus dia?”

“Loh, kenapa? Surya itu temen deket kamu, jadi kamu pasti udah percaya sama dia dong?” sahut Angkasa. “Di dalam kontrak kita, kamu harus tau orang yang mau aku pacarin siapa, biar kontrak pernikahan kita enggak bakalan dibocorin atau ketahuan kan?”

“Jadi kalau aja nanti Surya juga udah suka sama aku, dia enggak mungkin ngerusak kepercayaan kamu kan?” timpal Angkasa lalu melipat lengan di depan dada.

“Satu lagi. Aku nggak bisa masak. Aku nanyain ke Surya kamu suka makanan apa bukan karena aku pengen masak buat kamu, tapi aku pengen tau dia suka makan apa. Jadi gak usah kegeeran deh,” timpal Angkasa sebelum berlalu meninggalkan Sagara yang masih berdiri di tempatnya sejak awal.

Sudah jam delapan pagi, dimana artinya Sagara sebentar lagi akan datang dan menjemput Angkasa seperti yang laki-laki itu katakan sebelumnya. Namun, Angkasa justru masih asik berleha-leha di kamar. Dia bahkan sama sekali belum berniat untuk mandi. Persetan dengan sang suami yang akan menunggunya nanti.

Selagi menyamakan posisi di atas ranjang empuknya, Angkasa lalu mencoba membuka bookmark di akun X miliknya. Angkasa tiba-tiba penasaran bagaimana AU yang direkomendasikan oleh Chandra di semesta fiksi ini.

Sayangnya, ketika Angkasa baru saja ingin membaca cerita fiksi berjudul ‘Jodoh Kedua’ itu, suara pintu kamarnya yang tiba-tiba dibuka dari luar justru merusak konsentrasinya. Terlebih lagi saat dia menoleh ke sumber suara, Angkasa seketika melihat bahwa Sagara lah yang baru saja masuk ke kamarnya tanpa izin.

“Lo ngapain masuk-masuk kamar gue sembarangan?” Protesnya.

Sagara tidak menjawab, namun dia dengan sigap menarik paksa lengan Angkasa hingga Angkasa mau tak mau bangkit dari tempat tidurnya. Meski berusaha untuk berontak, Angkasa justru dibuat berteriak kala Sagara tiba-tiba saja menggendongnya seperti karung beras hingga ia berteriak.

“Sagara! Turunin gue!”

“Gak bakal aku turunin kalau kamu gak nurut,” kata Sagara.

“Anjing lo ya!” Angkasa mendesis lalu memukul punggung Sagara dengan keras, “Turunin gak?!”

Sagara tidak peduli meski rasa nyeri telah menyiksa punggung lebarnya akibat pukulan demi pukulan yang Angkasa berikan. Dia tetap melanjutkan langkah kakinya hingga mereka tiba di depan tangga dari kamar sang suami tadi menuju lantai dasar rumah orang tua Angkasa itu.

“Kalau kamu gak mau diem, kita bakalan sama-sama jatuh di sini.”

Angkasa akhirnya terdiam dan tak lagi berontak seperti tadi. Bukan karena dia takut akan ancaman sang suami, tapi kini Angkasa justru telah merasa pusing akibat posisi kepalanya yang daritadi condong ke bawah.

“Masih gak mau nurut?” timpal Sagara saat merasakan Angkasa tak lagi berkutik beberapa saat.

“Iya, gue nurut. Cepet turunin gue. Kepala gue udah pusing banget,” Angkasa mendesis.

“Dari tadi kek,” gumam Sagara kesal sebelum menurunkan Angkasa dari gendongannya.

“Ayo,” timpal Sagara lalu meraih lengan Angkasa, namun Angkasa justru buru-buru menepisnya.

“Apaan sih? Gue belum mandi.”

“Bukan urusan aku kalau kamu belum mandi,” kata Sagara tanpa ekspresi berarti. “Lagian udah aku kasih tau kan, kalau kamu bakal aku jemput jam delapan?”

“Tadi gue kesiangan gara-gara kecapean,” Angkasa beralasan.

“Itu masalah kamu,” ucap Sagara lalu mencengkeram erat lengan Angkasa dan menyeret paksa suaminya menuruni tangga.

Meski Angkasa terus berontak, namun saat mereka telah tiba di lantai dasar rumah, Angkasa pun seketika diam ketika mendapati Ayah dan Bundanya kini tengah memerhatikan mereka tak jauh dari tangga. Terlebih, Angkasa melihat sorot mata Ayahnya yang amat tajam. Sudah pasti dia akan dimarahi setelah ini. Apalagi jika Sagara mengadu ke sang Ayah.

“Kamu nih bikin Ayah sama Bunda malu aja,” tegur Ayah sesaat setelah Angkasa dan Sagara berdiri di hadapannya. “Sagara ternyata minta kamu siap-siap sebelum jam delapan, tapi kamu malah baru bangun?”

Angkasa lantas membuang muka dengan ekspresi kecutnya. Tidak di dunia fiksi ataupun di dunia nyata, Ayahnya tetap saja kerap menganggap dia memalukan.

“Maaf ya, Nak. Bunda yang salah karena gak nanya ke Asa sebelum bobo semalem. Jadi Bunda gak tau kalau kalian janjian bakal ke rumah kalian jam delapan pagi.”

“Gak apa-apa, Nda. Aku juga lupa ngabarin Bunda sama Ayah,” kata Sagara. “Kirain Asa ngasih tau.”

Gue lagi nih yang disalahin,” kata Angkasa dalam hatinya sambil menatap sinis ke sang suami.

“Kenapa harus jam delapan sih? Kan lo bisa nunggu bentar di sini sambil gue mandi terus packing.”

“Asa!” tegur Ayah dengan sorot mata kesal, “Yang sopan sama suami kamu. Nurut sama dia.”

Angkasa menghela napas pelan. Dia sudah tidak berminat lagi untuk melanjutkan perdebatan dengan Ayahnya yang telah dia tau sangat temperamental itu.

“Kalau gitu aku sama Asa pamit dulu ya, Nda, Yah. Entar barang-barang Asa biar asisten aku aja yang ngurusin.” kata Sagara lalu merangkul pinggang Angkasa.

“Oke, kalian hati-hati ya. Sering-sering mampir juga ke sini,” kata Bunda diikuti senyum tipis, tapi raut wajahnya nampak sendu. “Sagara, tolong jaga Angkasa ya? Asa ini anak Bunda satu-satunya. Baru kali ini Asa jauh dari rumah.”

“Bunda gak usah lebay deh,” Ayah berdecak. “Sagara sama Angkasa gak bakalan pindah ke luar pulau atau luar kota. Gak jauh dari sini.”

Sagara hanya tersenyum simpul sebelum kembali berpamitan untuk yang terakhir kalinya. Dia lalu menuntun Angkasa berjalan keluar dari rumah hingga mereka sama-sama masuk ke mobilnya.

Selama dalam perjalanan menuju rumah mereka, Angkasa hanya terdiam sambil menatap ke luar jendela mobil. Suasana hatinya sudah sangat rusak pagi ini. Dia yang belum mandi dan tidak membawa barang apa-apa dari rumahnya lantas merasa seperti sandera yang kini dibawa pergi. Sama seperti Angkasa, Sagara pun hanya diam sambil terus mengemudikan mobilnya hingga mereka akhirnya tiba di tujuan.

“Ayo,” kata Sagara usai mobilnya terparkir di halaman rumahnya. Angkasa pun hanya menurut meski sambil merengut kesal.

Sagara lalu memimpin langkah hingga dia dan suaminya itu masuk ke dalam rumah. Sagara kemudian menuntun Angkasa ke lantai dua dimana kamar mereka berada. Namun, bukan berarti mereka akan tidur di kamar yang sama. Sebab, sesuai dengan apa yang telah keduanya sepakati sebagai kontrak, mereka akan tidur terpisah. Kini Sagara pun membuka pintu untuk Angkasa.

“Ini kamar kamu,” kata Sagara lalu menunjuk ke sebelah kiri kamar Angkasa degan dagunya. “Kalau kamar aku ada di sana.”

“Gak ada yang boleh tau kalau pisah ranjang, jadi tiap orang tua kita datang ke sini, kamu sama aku harus pura-pura tidur di kamar yang sama.” jelasnya.

“Aku juga udah ngasih tau maid di rumah ini kalau mereka nggak perlu bersihin kamar kamu, biar kita gak ketahuan pisah ranjang. Jadi bersihin kamar kamu sendiri dan jangan sampai maid pada tau kamu tidur di kamar ini. Paham?”

Angkasa mendelik. Sagara ini benar-benar ingin menyiksanya, pikirnya lalu menghela napas.

“Oh iya, satu lagi. Kayak yang Ayah kamu bilang tadi, kamu harus sopan sama suami kamu.” timpal Sagara, “Mulai detik ini kamu gak boleh ngomong pake ‘lo-gue’ lagi sama aku. Apalagi manggil aku pake nama doang.”

“Kalau gue gak mau, kenapa?” tantang Angkasa. “Di dalam kontrak kita gak ada persetujuan kalau gue harus nurut sama lo.”

“Dengan kamu setuju jadi suami aku, berarti kamu juga setuju buat nurut sama aku, Angkasa.”

“Tapi gue gak mau nurut.”

Sagara mengeraskan rahangnya lalu mendorong tubuh Angkasa hingga suaminya itu masuk ke dalam kamar. Sagara kemudian menjatuhkan Angkasa di atas ranjang hingga suaminya itu mulai berontak. Terlebih saat Sagara mengunci pergerakan Angkasa dengan mengungkung tubuhnya sambil mencengkram kedua pergelangan tangannya masing-masing di sisi kepala.

“Sagara, lepasin gue!”

“Kalau aku gak mau, kenapa?” kini giliran Sagara yang seolah berbalik menantang Angkasa.

“Kalau lo gak ngelepasin gue, gue bakalan teriak ya!” kata Angkasa.

“Teriak aja…” Sagara mengikis jarak wajahnya dengan Angkasa masih dengan ekspresinya yang datar. “Paling orang-orang cuma ketawa karena paham kalau kita masih pengantin baru yang lagi nyobain banyak hal di ranjang.”

“Anjing? Jangan bilang karakter tersembunyi si Sagara ini ternyata mesum lagi?” batin Angkasa panik sambil terus berusaha berontak.

“Lepasin! Tolooong!” teriak Angkasa. “Sagara KDR—”

Mata Angkasa melotot ketika Sagara tiba-tiba menciumi bibirnya. Sekujur tubuhnya pun seketika menjadi lemas saat lidah Sagara memaksa masuk ke mulut hangatnya. Angkasa benar-benar merasa dilecehkan oleh si suami.

Merasa tak ada lagi pergerakan dari Angkasa, Sagara akhirnya menyudahi ciuman itu. Sagara lalu beralih memandangi wajah Angkasa lamat sebelum berbisik.

“Aku bisa ngelakuin yang lebih dari ini kalau kamu gak nurut.”

Angkasa pun memelas. Dengan kondisi dimana dia masih lemas karena perutnya sama sekali belum terisi makanan sejak dia bangun tadi, sudah jelas bahwa tenaga Sagara jauh lebih besar. Angkasa pun akan berakhir jadi santapan laki-laki sinting itu jika dia tidak mengalah untuk kali ini.

“Jangan…” cicit Angkasa.

“Jangan apanya?”

“Jangan perkosa gue, anjing.”

“Yang sopan,” tegas Sagara dengan nada suara menuntut.

Angkasa mendesis, “Iya, aku bakalan nurut. Lepasin aku.”

“Coba panggil aku.”

“Sagara anjing,” gumam Angkasa kesal, sementara Sagara yang bisa mendengar hal itu pun telah bersiap-siap untuk kembali menciumi bibir tipis Angkasa.

Namun, sebelum hal itu terjadi, Angkasa lebih dahulu berteriak. “Gak! Gak! Aku bercanda, Mas!”

“Kamu gak musti teriak-teriak gini kalau kamu nurut dari awal,” Sagara menatap Angkasa kesal sebelum akhirnya melepaskan tautan mereka. Sagara kemudian bangkit dari posisinya dan kini telah berdiri di samping tempat tidur Angkasa. “Mandi sana.”

“Gimana bisa mandi kalau gue aja gak bawa baju ganti?” Angkasa yang masih berbaring telentang lantas berdeham saat Sagara kembali menatapnya tajam.

“Maksud aku… Aku nggak bawa baju ganti gara-gara kamu, Mas.” Angkasa memaksakan senyum.

“Itu urusan kamu,” ucap Sagara sebelum berjalan keluar dari kamar Angkasa, sementara Angkasa seketika bangkit lalu melempar bantal ke arah pintu ketika suaminya itu telah berlalu.

Hari yang tidak pernah Angkasa bayangkan akan tiba justru telah ada di depan mata. Hari dimana dia akan menikah dengan sosok pria bernama Sagara. Padahal, di kehidupan aslinya dulu, Angkasa kerap berandai-andai. Jika saja pernikahan sesama jenis bisa diterima, maka sudah pasti dia bisa menikah dengan lelaki yang dicintainya. Tapi, sekarang, di saat dia berada di dunia dimana pernikahan sesama jenis sangat diterima, Angkasa justru harus menikah dengan lelaki yang tak dia suka. Nasibnya benar-benar menyedihkan di setiap semesta.

Di ruang tunggu mempelai yang didominasi warna putih beserta ornamen bunga mawar, Angkasa kini duduk di sofa panjang sambil menatap kosong ke arah pintu. Tidak lama lagi Ayahnya akan kembali ke ruangan itu untuk menjemputnya sebelum nanti mendampinginya ke aula dimana resepsi pernikahan antara dia dan Sagara akan dilangsungkan.

Pasrah menjadi satu-satunya kata yang bersarang di kepala Angkasa saat ini. Sebab, dia tak punya lagi ide lain untuk bisa membatalkan pernikahannya dengan Sagara. Namun, Angkasa yakin akan ada jalan keluar agar dia bisa kembali ke dunianya; tak hidup dengan Sagara selamanya.

Saat pintu ruang tunggu itu tiba-tiba berderit, Angkasa seketika menghela napas pelan. Dia tahu pernikahan ini hanya ada dunia fiksi, tapi dia justru merasa gugup tanpa sebab. Namun, kala Angkasa mendapati bahwa sosok yang baru saja membuka pintu bukanlah Ayahnya, dia memicing.

Pasalnya, Angkasa sama sekali tidak mengenali pria yang kini berjalan ke arahnya. Lelaki yang Angkasa tebak sebaya atau satu tahun lebih tua darinya itu pun menatapnya dengan sorot mata tidak ramah. Angkasa kemudian mencoba untuk mengingat-ingat siapa saja tokoh dalam AU yang pernah dia baca sampai akhirnya dia mengingat satu nama yang berperan sebagai sepupu Sagara.

“Apa dia yang namanya Bintang ya?” tanya Angkasa dalam hati.

“Gimana perasaan kamu, Asa?” lelaki itu menyeringai. “Pasti seneng banget ya bisa nikah sama cucu konglomerat?”

“Lo siapa?” tanya Angkasa.

Lelaki yang berdiri di hadapan Angkasa itu memutar bola matanya malas, “Kamu gak inget kita pernah ketemu pas Sagara ngenalin kamu ke kakek aku?”

“Nah kan. Bener. Dia Bintang.”

Angkasa berdeham, “Oh, maaf. Gue gampang lupa nama orang. Lo sepupunya Sagara kan ya?”

“Iya, dan seharusnya kamu bisa bicara sopan sama aku. Aku ini calon kakak sepupu kamu loh,” kata Bintang. “Dalam keluarga besar kakek aku pun kita selalu diajari buat bertutur kata sopan. Jadi mulai sekarang kamu harus ngelakuin hal yang sama supaya bisa diterima sebagai menantu.”

“Dih? Apaan sih, ni orang? Gak Sagara, gak sepupunya sama-sama ngeselin. Mana suka ngatur lagi,” julid Angkasa dalam hati sambil menatap Bintang sinis.

“Kenapa? Kamu keberatan?”

Angkasa menghela napas pelan, “Kamu pengen apa dari aku?”

“Emang orang kayak kamu ini bisa ngasih aku apa?” Bintang tertawa, namun dengan raut wajah meledek. Angkasa yang melihat hal itu lantas emosi, namun dia berusaha menahan diri agar tak memukuli Bintang.

“Aku gak pengen apa-apa dari kamu kok, Sa.” timpal Bintang, “Justru aku kasian sama kamu karena kamu justru nikah sama laki-laki sampah kayak Sagara.”

Angkasa membuang mukanya sesaat lalu bergumam, “Gue juga kasihan sama diri gue sendiri.”

“Kamu tau gak kalau dia nikahin kamu tuh karena keserakahan dia yang pengen jadi CEO dan ngerebut harta kakek aku, Sa?”

Angkasa kembali memandangi wajah Bintang lalu bangkit dari sofa. Dia pun tersenyum cerah sebelum berkata, “Iya, tau kok. Jadi kalau kamu ngasih tau aku semua ini supaya aku benci sama dia, kamu gak usah repot. Kalau aja nih ya, di dunia ini ada wadah perkumpulan haters Sagara, aku yang bakalan jadi ketuanya. Aku juga benci sama dia, tapi please gak usah bawa-bawa aku ke dalam urusan keluarga kamu.”

“Semoga sukses deh ya rebutan warisannya. Aku mau ke toilet,” timpal Angkasa sebelum berjalan meninggalkan Bintang yang kini menatapnya kesal, juga heran.


Resepsi pernikahan Sagara dan Angkasa kini telah berlangsung. Kedua mempelai pun sedari tadi sibuk menyapa para tamu yang datang. Namun, Angkasa yang diam-diam menanti kehadiran Surya yang tampangnya entah bagaimana lantas sibuk menelisik satu persatu tamu undangan. Dia berharap di antara orang-orang dalam aula ini ada sosok Surya.

Sampai saat seorang tamu lagi-lagi datang menghampirinya dan Sagara, Angkasa lantas bertanya ke sang suami tentang siapa kah laki-laki itu. Sayangnya, jawaban Sagara bukan lah nama Surya.

“Kamu ngapain sih dari tadi nanyain nama orang mulu?” tanya Sagara yang sudah lelah dengan pertanyaan Angkasa setiap kali ada tamu yang datang dan ingin mengucapkan selamat.

Angkasa berdecak, “Ya biar gue kenal sama keluarga besar lo atau gak kolega-kolega lo lah.”

“Kamu gak perlu kenal mereka.”

Tatapan datar nan dingin sang suami membuat Angkasa tiba-tiba bergidik. Dia sebenarnya ingin menanyakan Surya sedari tadi, tapi jawaban Sagara sudah pasti tak akan sesuai ekspektasi.

Angkasa berdeham, “Ya udah, eh tapi kok gue gak ada ngeliat Mas Surya daritadi ya? Dia ke mana?”

“Terus kamu pikir yang daritadi fotoin kita di depan sana siapa?”

“Hah?”

Angkasa melotot lalu menoleh ke arah seorang pria yang daritadi menjadi fotografer khusus untuk dirinya dan Sagara. Nampak pria berperawakan tinggi itu sesekali tersenyum saat mengambil foto mereka. Angkasa pun tersenyum dibuatnya. Sebab, akhirnya dia telah menemukan Surya. Bahkan tampang Surya masuk ke kriteria tipe idealnya; manly dan dewasa.

“Kenapa Sky di AU malah gak mau sama Surya ya? Udah baik, cakep, pekerja keras lagi.” kata Angkasa dalam hati lalu melirik Sagara sinis. “Author AU-nya juga kenapa malah jadiin si Sagara anjing ini main character AU coba? Aneh.”

“Kamu ini kenapa sih?” tanya Sagara heran. “Aneh banget.”

“Ng… Nggak,” Angkasa gelagapan lalu berdeham. “Kameranya Mas Surya kegedean, jadi gue gak liat wajah dia tadi. Tapi kenapa dia malah jadi fotografer di nikahan kita deh? Bukannya dia teman lo terus kerja di kantor lo juga ya?”

“Bukan urusan kamu,” singkat Sagara sebelum memusatkan atensinya ke arah para tamu.

Sementara itu, Angkasa hanya berdecih pelan sebelum kembali menatap Surya. Dia harus bisa menemukan cara agar mereka bisa berbincang-bincang. Dia pun ingin mendapatkan kontak Surya agar mereka kian dekat.

Angkasa kemudian memutar otak hingga semua ide tiba-tiba muncul di kepalanya. Angkasa lalu melambaikan tangannya ke arah Surya lalu memberi isyarat agar Surya naik ke panggung dimana dia dan Sagara berada.

“Kamu ngapain sih?” tanya sang suami heran, sedang Angkasa lantas tersenyum meledek.

“Ada apa, Sa?” tanya Surya.

“Mas, aku boleh minta tolong buat fotoin aku sama Mas Sagara gak?” Angkasa memberikan penekanan ketika menyebut nama suaminya. “Tapi foto yang agak close up gitu loh, Mas. Bisa?”

Surya tersenyum, “Bisa kok. Mau potrait apa landscape nih, Sa?”

“Landscape aja, Mas.”

“Oke, kalau gitu kalian coba agak deketan dikit.” Surya memberi arahan yang langsung dipatuhi oleh Angkasa. Sementara itu, Sagara yang melihat tingkah sang suami seketika berbisik.

“Kamu sebenernya pengen bikin masalah apa lagi?” kata Sagara.

“Gue gak perlu bikin masalah, soalnya masalah terbesar hidup gue udah jadi suami gue.” balas Angkasa bersamaan dengan bahunya dan Sagara yang telah menempel. “Senyum, Mas Gara.”

Angkasa menyebut bahkan memanggil Sagara dengan sebutan Mas meski dengan nada sarkas. Meski suaminya itu terkesan ogah-ogahan untuk berfoto dengannya, tapi Angkasa tidak peduli. Sebab hal ini hanya bagian dari rencananya yang ingin lebih dekat dengan Surya.

“Oke, good!”

Setelah beberapa kali berganti pose, Angkasa pun bertanya. “Mas, aku boleh cek fotonya?”

“Boleh kok,” kata Surya sebelum menunjukan hasil jepretannya. “Gimana? Apa pengen diulang?”

“Gak usah, Mas. Ini udah bagus banget,” Angkasa cengar-cengir, “Aku boleh minta tolong lagi gak, Mas? Aku pengen dikirimin foto-foto ini ke WhatsApp aku. Bisa?”

“Mm…” Surya terlihat berpikir sejenak sambil memandangi Sagara dengan tatapan bingung. “Sebenernya semua foto kalian bakal aku masukin ke drive terus aku kasih ke Sagara pas resepsi pernikahan kalian udah selesai. Biar kalian bisa milih dulu foto mana aja yang pengen dicetak.”

“Tapi aku pengen foto ini, Mas. Pengen aku upload ke sosial media aku abis ini,” Angkasa terus berusaha mencari alasan.

“Boleh deh kalau gitu,” Surya akhirnya setuju lalu merogoh saku celana dan mengeluarkan gawainya dari sana. “Mana sini nomor WhatsApp kamu, Sa.”

Angkasa tersenyum puas lalu melirik sejenak ke arah Sagara. Suaminya itu hanya diam sambil memandanginya dengan sorot mata datar sebelum buang muka.

Usai mengetikkan nomornya di handphone Surya dan mengirim chat agar dia tahu nomor lelaki di hadapannya itu, Angkasa pun mengembalikan gawai Surya.

Thanks in advance, Mas.” Ucap Angkasa, “Maaf ya ngerepotin.”

No worries, Sa. Lagian aku ini temennya suami kamu dan dia soon to be atasan aku di kantor,” goda Surya, sementara Sagara hanya memutar bola matanya. “Kalau gitu aku balik ke sana ya.”

“Oke, Mas Surya. Semangat!”

“Sok asik,” gumam Sagara yang masih bisa didengar Angkasa.

“Siapa?” Angkasa memicing, tapi Sagara tak merespon tanyanya.

Angkasa pun hanya mendengus sambil menatap Sagara sinis sebelum memusatkan atensinya ke Surya yang telah kembali ke tempatnya semula. Namun, baru beberapa menit berlalu setelah Angkasa dibuat senang karena dia berhasil mendapatkan nomor HP Surya, dia justru dibuat kesal ketika melihat Bintang tiba-tiba menghampiri Surya. Bahkan sepupu Sagara itu bergelayut manja di lengan kanan Surya.

“Sepupu lo sama Mas Surya ada hubungan apa?” tanya Angkasa ke Sagara, namun suaminya itu tidak menggubris. Angkasa pun hanya mampu menghela napas panjang sambil memerhatikan Bintang dan Surya di depan sana.

“Gak Sagara, gak sepupunya, mereka jadi masalah doang di hidup gue.” monolog Angkasa.