Makan Malam
Jeva yang telah tiba di kediaman Biru lantas memencet bel rumah itu. Sampai tak lama berselang, si empu rumah pun datang. Sontak Jeva tersenyum ketika Biru yang telah berganti pakaian dengan setelan kaos juga celana training telah berdiri di hadapannya. Jeva kemudian mengangkat tangan kanannya yang menggenggam kantong plastik berisi dua porsi es krim sambil cengar-cengir.
Biru yang mendapati Jeva sedang memegang kantong plastik Mixue pun lantas menghela napas pasrah diikuti kekehan. Namun, anehnya, bukannya merasa amat muak seperti biasa karena Jeva lagi-lagi membawa es krim itu, Biru justru merasa seolah serpihan yang akhir-akhir ini hilang dari hidupnya kembali. Dia yang telah terbiasa dengan tingkah Jeva di sekitarnya, jujur saja, merasa asing dengan hari yang dia jalani ketika lelaki itu tidak membersamainya. Presensi Jeva yang awalnya Biru kira telah membuat dirinya jenuh justru menjadi entitas yang dia rindu dan butuhkan. Biru kemudian berpikir, mungkin kemarin dia salah menafsirkan perasaannya. Mungkin dia tak jenuh pada Jeva, Biru hanya jenuh pada keadaan yang begitu-begitu saja hingga menyalahkan dirinya yang tidak dia anggap cukup untuk Jeva.
“Bi? Lo ngelamun?”
Biru tersentak mendengar Jeva memangil namanya. Biru lantas berdeham lalu menggeleng kecil.
“Gak kok. Ayo masuk, Jev.”
Jeva mengangguk paham lalu mengekor di belakang Biru yang menuntunnya menuju ruang makan. Sesampainya di sana, Jeva lantas dibuat takjub saat melihat ada berbagai lauk yang disandingkan dengan nasi di sana. Jeva kemudian bertanya.
“Ini lo semua yang masak, Bi?”
“Gak, ada lauk yang dimasak sama Mama, terus gue panasin. Tapi kalau yang ini gue bikin sendiri tadi,” jelas Biru sambil menunjuk sayur bening, ayam bawang putih serta sambelnya.
Biru pun mempersilahkan Jeva untuk duduk dan menyantap makan malam yang telah dia siapkan. Tanpa diberitahu untuk kedua kali, Jeva lantas mencicipi makanan di hadapannya sambil sesekali bergumam takjub diikuti acungan jempolnya. Biru yang melihat hal itu sontak menahan senyumnya dengan melahap nasi juga lauk. Terlebih, ketika Jeva mulai memuji masakannya itu.
“Bi, gue gak boong. Ayam bikinan lo ini enak banget,” katanya. “Lo kalau gak jadi dokter keknya gak bakalan rugi, lo bisa buka resto. Gue yakin pelanggan lo banyak.”
“Ngawur,” kekeh Biru. “Oh iya, Jev. Pas lo balik ke RS tadi, lo bilang apa ke perawatnya? Lo diomelin juga gak sama dia?”
“Gue bilang pengen bantu nyari hasil EKG pasien yang katanya lo ilangin,” sahut Jeva. “Soalnya, gue juga sempet dengerin lo ngobrol sama Julian kemaren. Lo bilang kalau abis ngasih hasil EKG ke perawat bedah itu. Makanya gue mau buktiin kalau lo gak salah.”
“Turns out, hasil EKG pasien itu beneran keselip di berkas yang ada di mejanya.” timpal Jeva lalu menatap Biru. “Gue juga udah kenal lama sama lo, Bi. Lo itu biar pun kadang ceroboh, tapi lo gak pernah sepelein tanggung jawab atau amanah yang dikasih ke lo.”
“Ngeliat gimana anak-anak koas lain juga selalu disalahin untuk minor inconvenience, bahkan untuk hal-hal yang gak dilakuin sama mereka dan jatuhnya jadi fitnah, gue tuh khawatir kalau lo bakalan diomongin sama mereka juga sampai seisi RS pada tau, Bi.” tutur Jeva diikuti helaan napas. “Kalau aja itu kejadian, pasti gak bakalan nyaman banget jadi lo.”
Biru tersenyum, “Makasih ya.”
“Lo gak ngerasa bersalah lagi kan tapi?” ledek Jeva, sedangkan Biru terkekeh lalu mengangguk pelan.
Saat mereka melanjutkan makan malam yang diselingi obrolan tentang kesibukan di RS, Jeva tiba-tiba melirik Biru yang duduk di sebelahnya. Nampak Jeva ingin mengatakan sesuatu, tapi ragu. Biru yang memergoki Jeva telah menatapnya cukup lama seketika memicing dan lantas bertanya.
“Kenapa?”
“Pas balik ke RS tadi, gue ketemu sama Dokter Rama.” kata Jeva hati-hati, sementara Biru justru terbatuk. Buru-buru Jeva meraih gelas lalu menuangkan air untuk Biru agar segera meminumnya.
“Lo gak apa-apa, Bi?” tanya Jeva.
Biru mengangguk, “Mhm.”
“Dokter Rama bilang… Lo abis nelpon dia sebelum dia ketemu gue,” Jeva nyatanya melanjutkan pembahasan tentang si residen yang membuat Biru menegang. “Katanya… Lo ngasih tau dia supaya gak ganggu gue ya, Bi?”
Biru berdeham, “Iya, soalnya gue kasian ngeliat lo diganggu mulu yang enggak ada kaitannya sama tugas kita cuma buat deketin lo.”
“Mm, gitu.” gumam Jeva sambil menahan senyum, “Makanya lo bilang ke Dokter Rama kalau lo udah balikan sama gue ya, Bi?”
Biru memijat keningnya. Dia seketika merasa pusing karena aksi impulsifnya tadi ketahuan. Biru lalu melirik Jeva sejenak sambil gelagapan, “Gue bilang gitu biar dia gak ngarep. Itung-itung gue nolongin lo juga kan.”
“Udah deh, lo lanjutin makan lo. Abis itu pulang,” Biru tak mampu lagi bertemu pandang dengan Jeva. “Gue juga pengen lanjut nugas abis ini. Keburu ngantuk.”
“Loh, tapi kan kita belum makan mixue. Gue juga mau cuci piring dulu,” protes Jeva. “Kata Mama gue, kalau abis numpang makan di rumah orang, musti tau diri.”
“Gak perlu,” decak Biru sebelum melahap makanan di piringnya dengan suapan yang cukup besar hingga pipinya menggembung.
Jeva yang melihat hal itu hanya terkekeh lalu menghabiskan makanan di piringnya. Biru yang masih asik mengunyah suapan terakhirnya pun dibuat pasrah ketika Jeva tiba-tiba berdiri dari meja makan sambil membawa piringnya ke arah wastafel. Biru tau, Jeva kekeh untuk cuci piring.
“Udah, Jev. Biar gue aja.”
“Gak apa-apa,” kata Jeva. “Kalau lo udah selesai makan, minta tolong bawa piring lo ke sini ya.”
Biru geleng-geleng kepala, tapi pada akhirnya Biru pun tetap menuruti titah Jeva. Biru lantas membawa piring bekasnya juga beberapa piring bekas lauk tadi ke wastafel dimana Jeva sedang sibuk melakukan pekerjaannya.
Selagi Jeva masih fokus mencuci piring, Biru yang berdiri tak jauh di belakang Jeva yang kini sedang memunggunginya diam-diam memandangi Jeva lamat. Batin Biru berkecamuk. Ada sebuah pertentangan yang ingin Biru lawan, namun pada akhirnya dia memilih untuk mengalah. Biru pun perlahan melangkah maju, mendekati Jeva, hingga akhirnya kedua lengan Biru melingkar sempurna di pinggang lelaki itu.
“Bi?”
Cara Jeva memanggil Biru bukan lah rasa heran melainkan tanya yang tersirat. Jeva seolah ingin tau apa yang kini Biru inginkan.
“Gue kangen meluk lo, Jev.”
Jeva mencuci tangannya lalu mengeringkannya dengan celemek yang dia pakai. Jeva kemudian melepaskan tautan lengan Biru di pinggangnya dan beralih melepaskan celemek itu. Setelahnya, Jeva lantas berbalik hingga kini mereka berhadapan.
Tanpa mengatakan apa-apa, Jeva seketika menarik tubuh Biru ke dalam dekapannya. Pun Biru yang dengan sigap membalas pelukan Jeva tidak kalah erat.
“Maafin gue ya, Jev.” Gumam Biru, “Lo harus ngelaluin hal yang berat, bahkan patah hati karena gue. You’re enough…”
“Gue pengen jadi seseorang yang bisa lo andelin juga. Gue pengen ngebales cinta lo sebesar yang lo kasih ke gue juga,” timpal Biru. “Tapi keadaan yang gini-gini aja, yang… ‘it’s always you who do something for our relationship’ bikin gue jenuh. Bukan ke lo, tapi ke keadaan dan diri gue sendiri. And i feel i’m not enough for you.”
Jeva mengusap lembut punggung Biru sejenak sebelum menarik dirinya dari pelukan mereka. Jeva kemudian membelai pipi kanan Biru diikuti senyum manis yang kini mampu menenangkan Biru.
“You’re enough, Bi. Really…” ucap Jeva. “Tapi aku janji, pas kita balik lagi ngejalin hubungan kek dulu, aku bakalan bikin kamu ngerasa kalau aku juga ngandelin kamu. Aku bakal minta tolong, even for the smallest thing that I can’t do.”
“Aku juga bakal ngemis-ngemis perhatian sama kamu, sampai kamu bisa ngerasa kalau cinta yang kamu kasih ke aku jauuuh lebih besar dari yang aku kasih.” timpal Jeva yang membuat Biru tersenyum, “Oh, dan biar kamu gak ngerasa kalau kamu terlalu bergantung sama aku, kita bisa nyisain satu hari setiap Minggu buat diri kita sendiri, entah buat ngejalanin hobi atau istirahat.”
Biru tidak mengatakan apa-apa, namun dia lantas menarik pelan tengkuk Jeva hingga akhirnya bibir mereka bertemu. Biru lalu menciumi Jeva dengan lembut, seolah ingin melepaskan rindu yang belakangan ini menggebu.
Selagi belahan bibir keduanya saling beradu, Jeva kemudian berinisiatif mendorong pelan tubuh Biru tanpa melepaskan pagutan mereka. Sampai saat bagian belakang tubuh Biru telah terhimpit antara tubuhnya dan kitchen bar, Jeva pun menyudahi ciuman itu guna menatap Biru.
“Apa yang kamu bilang ke Dokter Rama tadi bisa kita realisasikan sekarang aja gak, Bi?” tanya Jeva.
Biru menahan senyumnya. “Apa? Kalau ngomong yang jelas, Jev.”
“Balikan sama aku ya?”
“Kamu pikir aku mau ciuman sama mantan aku?” balas Biru yang membuat Jeva tersenyum.
Jeva kemudian mengangkat tubuh Biru hingga berakhir terduduk di atas kitchen bar. Setelahnya, Jeva dan Biru pun kembali berbagi ciuman yang kian bergairah. Dari ciuman itu pula tersirat rasa bahwa mereka masih saling menginginkan dan membutuhkan presensi satu sama lain. Cinta mereka sama-sama besar. Pun ketulusan Jeva dan Biru yang tidak ingin sang pasangan merasakan kesulitan.