Pindah

Sudah jam delapan pagi, dimana artinya Sagara sebentar lagi akan datang dan menjemput Angkasa seperti yang laki-laki itu katakan sebelumnya. Namun, Angkasa justru masih asik berleha-leha di kamar. Dia bahkan sama sekali belum berniat untuk mandi. Persetan dengan sang suami yang akan menunggunya nanti.

Selagi menyamakan posisi di atas ranjang empuknya, Angkasa lalu mencoba membuka bookmark di akun X miliknya. Angkasa tiba-tiba penasaran bagaimana AU yang direkomendasikan oleh Chandra di semesta fiksi ini.

Sayangnya, ketika Angkasa baru saja ingin membaca cerita fiksi berjudul ‘Jodoh Kedua’ itu, suara pintu kamarnya yang tiba-tiba dibuka dari luar justru merusak konsentrasinya. Terlebih lagi saat dia menoleh ke sumber suara, Angkasa seketika melihat bahwa Sagara lah yang baru saja masuk ke kamarnya tanpa izin.

“Lo ngapain masuk-masuk kamar gue sembarangan?” Protesnya.

Sagara tidak menjawab, namun dia dengan sigap menarik paksa lengan Angkasa hingga Angkasa mau tak mau bangkit dari tempat tidurnya. Meski berusaha untuk berontak, Angkasa justru dibuat berteriak kala Sagara tiba-tiba saja menggendongnya seperti karung beras hingga ia berteriak.

“Sagara! Turunin gue!”

“Gak bakal aku turunin kalau kamu gak nurut,” kata Sagara.

“Anjing lo ya!” Angkasa mendesis lalu memukul punggung Sagara dengan keras, “Turunin gak?!”

Sagara tidak peduli meski rasa nyeri telah menyiksa punggung lebarnya akibat pukulan demi pukulan yang Angkasa berikan. Dia tetap melanjutkan langkah kakinya hingga mereka tiba di depan tangga dari kamar sang suami tadi menuju lantai dasar rumah orang tua Angkasa itu.

“Kalau kamu gak mau diem, kita bakalan sama-sama jatuh di sini.”

Angkasa akhirnya terdiam dan tak lagi berontak seperti tadi. Bukan karena dia takut akan ancaman sang suami, tapi kini Angkasa justru telah merasa pusing akibat posisi kepalanya yang daritadi condong ke bawah.

“Masih gak mau nurut?” timpal Sagara saat merasakan Angkasa tak lagi berkutik beberapa saat.

“Iya, gue nurut. Cepet turunin gue. Kepala gue udah pusing banget,” Angkasa mendesis.

“Dari tadi kek,” gumam Sagara kesal sebelum menurunkan Angkasa dari gendongannya.

“Ayo,” timpal Sagara lalu meraih lengan Angkasa, namun Angkasa justru buru-buru menepisnya.

“Apaan sih? Gue belum mandi.”

“Bukan urusan aku kalau kamu belum mandi,” kata Sagara tanpa ekspresi berarti. “Lagian udah aku kasih tau kan, kalau kamu bakal aku jemput jam delapan?”

“Tadi gue kesiangan gara-gara kecapean,” Angkasa beralasan.

“Itu masalah kamu,” ucap Sagara lalu mencengkeram erat lengan Angkasa dan menyeret paksa suaminya menuruni tangga.

Meski Angkasa terus berontak, namun saat mereka telah tiba di lantai dasar rumah, Angkasa pun seketika diam ketika mendapati Ayah dan Bundanya kini tengah memerhatikan mereka tak jauh dari tangga. Terlebih, Angkasa melihat sorot mata Ayahnya yang amat tajam. Sudah pasti dia akan dimarahi setelah ini. Apalagi jika Sagara mengadu ke sang Ayah.

“Kamu nih bikin Ayah sama Bunda malu aja,” tegur Ayah sesaat setelah Angkasa dan Sagara berdiri di hadapannya. “Sagara ternyata minta kamu siap-siap sebelum jam delapan, tapi kamu malah baru bangun?”

Angkasa lantas membuang muka dengan ekspresi kecutnya. Tidak di dunia fiksi ataupun di dunia nyata, Ayahnya tetap saja kerap menganggap dia memalukan.

“Maaf ya, Nak. Bunda yang salah karena gak nanya ke Asa sebelum bobo semalem. Jadi Bunda gak tau kalau kalian janjian bakal ke rumah kalian jam delapan pagi.”

“Gak apa-apa, Nda. Aku juga lupa ngabarin Bunda sama Ayah,” kata Sagara. “Kirain Asa ngasih tau.”

Gue lagi nih yang disalahin,” kata Angkasa dalam hatinya sambil menatap sinis ke sang suami.

“Kenapa harus jam delapan sih? Kan lo bisa nunggu bentar di sini sambil gue mandi terus packing.”

“Asa!” tegur Ayah dengan sorot mata kesal, “Yang sopan sama suami kamu. Nurut sama dia.”

Angkasa menghela napas pelan. Dia sudah tidak berminat lagi untuk melanjutkan perdebatan dengan Ayahnya yang telah dia tau sangat temperamental itu.

“Kalau gitu aku sama Asa pamit dulu ya, Nda, Yah. Entar barang-barang Asa biar asisten aku aja yang ngurusin.” kata Sagara lalu merangkul pinggang Angkasa.

“Oke, kalian hati-hati ya. Sering-sering mampir juga ke sini,” kata Bunda diikuti senyum tipis, tapi raut wajahnya nampak sendu. “Sagara, tolong jaga Angkasa ya? Asa ini anak Bunda satu-satunya. Baru kali ini Asa jauh dari rumah.”

“Bunda gak usah lebay deh,” Ayah berdecak. “Sagara sama Angkasa gak bakalan pindah ke luar pulau atau luar kota. Gak jauh dari sini.”

Sagara hanya tersenyum simpul sebelum kembali berpamitan untuk yang terakhir kalinya. Dia lalu menuntun Angkasa berjalan keluar dari rumah hingga mereka sama-sama masuk ke mobilnya.

Selama dalam perjalanan menuju rumah mereka, Angkasa hanya terdiam sambil menatap ke luar jendela mobil. Suasana hatinya sudah sangat rusak pagi ini. Dia yang belum mandi dan tidak membawa barang apa-apa dari rumahnya lantas merasa seperti sandera yang kini dibawa pergi. Sama seperti Angkasa, Sagara pun hanya diam sambil terus mengemudikan mobilnya hingga mereka akhirnya tiba di tujuan.

“Ayo,” kata Sagara usai mobilnya terparkir di halaman rumahnya. Angkasa pun hanya menurut meski sambil merengut kesal.

Sagara lalu memimpin langkah hingga dia dan suaminya itu masuk ke dalam rumah. Sagara kemudian menuntun Angkasa ke lantai dua dimana kamar mereka berada. Namun, bukan berarti mereka akan tidur di kamar yang sama. Sebab, sesuai dengan apa yang telah keduanya sepakati sebagai kontrak, mereka akan tidur terpisah. Kini Sagara pun membuka pintu untuk Angkasa.

“Ini kamar kamu,” kata Sagara lalu menunjuk ke sebelah kiri kamar Angkasa degan dagunya. “Kalau kamar aku ada di sana.”

“Gak ada yang boleh tau kalau pisah ranjang, jadi tiap orang tua kita datang ke sini, kamu sama aku harus pura-pura tidur di kamar yang sama.” jelasnya.

“Aku juga udah ngasih tau maid di rumah ini kalau mereka nggak perlu bersihin kamar kamu, biar kita gak ketahuan pisah ranjang. Jadi bersihin kamar kamu sendiri dan jangan sampai maid pada tau kamu tidur di kamar ini. Paham?”

Angkasa mendelik. Sagara ini benar-benar ingin menyiksanya, pikirnya lalu menghela napas.

“Oh iya, satu lagi. Kayak yang Ayah kamu bilang tadi, kamu harus sopan sama suami kamu.” timpal Sagara, “Mulai detik ini kamu gak boleh ngomong pake ‘lo-gue’ lagi sama aku. Apalagi manggil aku pake nama doang.”

“Kalau gue gak mau, kenapa?” tantang Angkasa. “Di dalam kontrak kita gak ada persetujuan kalau gue harus nurut sama lo.”

“Dengan kamu setuju jadi suami aku, berarti kamu juga setuju buat nurut sama aku, Angkasa.”

“Tapi gue gak mau nurut.”

Sagara mengeraskan rahangnya lalu mendorong tubuh Angkasa hingga suaminya itu masuk ke dalam kamar. Sagara kemudian menjatuhkan Angkasa di atas ranjang hingga suaminya itu mulai berontak. Terlebih saat Sagara mengunci pergerakan Angkasa dengan mengungkung tubuhnya sambil mencengkram kedua pergelangan tangannya masing-masing di sisi kepala.

“Sagara, lepasin gue!”

“Kalau aku gak mau, kenapa?” kini giliran Sagara yang seolah berbalik menantang Angkasa.

“Kalau lo gak ngelepasin gue, gue bakalan teriak ya!” kata Angkasa.

“Teriak aja…” Sagara mengikis jarak wajahnya dengan Angkasa masih dengan ekspresinya yang datar. “Paling orang-orang cuma ketawa karena paham kalau kita masih pengantin baru yang lagi nyobain banyak hal di ranjang.”

“Anjing? Jangan bilang karakter tersembunyi si Sagara ini ternyata mesum lagi?” batin Angkasa panik sambil terus berusaha berontak.

“Lepasin! Tolooong!” teriak Angkasa. “Sagara KDR—”

Mata Angkasa melotot ketika Sagara tiba-tiba menciumi bibirnya. Sekujur tubuhnya pun seketika menjadi lemas saat lidah Sagara memaksa masuk ke mulut hangatnya. Angkasa benar-benar merasa dilecehkan oleh si suami.

Merasa tak ada lagi pergerakan dari Angkasa, Sagara akhirnya menyudahi ciuman itu. Sagara lalu beralih memandangi wajah Angkasa lamat sebelum berbisik.

“Aku bisa ngelakuin yang lebih dari ini kalau kamu gak nurut.”

Angkasa pun memelas. Dengan kondisi dimana dia masih lemas karena perutnya sama sekali belum terisi makanan sejak dia bangun tadi, sudah jelas bahwa tenaga Sagara jauh lebih besar. Angkasa pun akan berakhir jadi santapan laki-laki sinting itu jika dia tidak mengalah untuk kali ini.

“Jangan…” cicit Angkasa.

“Jangan apanya?”

“Jangan perkosa gue, anjing.”

“Yang sopan,” tegas Sagara dengan nada suara menuntut.

Angkasa mendesis, “Iya, aku bakalan nurut. Lepasin aku.”

“Coba panggil aku.”

“Sagara anjing,” gumam Angkasa kesal, sementara Sagara yang bisa mendengar hal itu pun telah bersiap-siap untuk kembali menciumi bibir tipis Angkasa.

Namun, sebelum hal itu terjadi, Angkasa lebih dahulu berteriak. “Gak! Gak! Aku bercanda, Mas!”

“Kamu gak musti teriak-teriak gini kalau kamu nurut dari awal,” Sagara menatap Angkasa kesal sebelum akhirnya melepaskan tautan mereka. Sagara kemudian bangkit dari posisinya dan kini telah berdiri di samping tempat tidur Angkasa. “Mandi sana.”

“Gimana bisa mandi kalau gue aja gak bawa baju ganti?” Angkasa yang masih berbaring telentang lantas berdeham saat Sagara kembali menatapnya tajam.

“Maksud aku… Aku nggak bawa baju ganti gara-gara kamu, Mas.” Angkasa memaksakan senyum.

“Itu urusan kamu,” ucap Sagara sebelum berjalan keluar dari kamar Angkasa, sementara Angkasa seketika bangkit lalu melempar bantal ke arah pintu ketika suaminya itu telah berlalu.