Sarapan
Angkasa mencebikkan bibirnya kesal tepat setelah membaca chat Sagara di WhatsApp. Dia lalu meletakkan gawainya di atas meja makan lalu menoleh ke arah Mami yang masih berkutat di dapur. Si Ibu mertua sedang membuat bubur ayam untuk Sagara. Sebelumnya pun Angkasa telah menawarkan bantuan dan Mami menyuruhnya memotong daun bawang. Meskipun Angkasa hanya melakukan hal sederhana, tapi dia tidak terima kalau Sagara mengiranya hanya sok sibuk.
Angkasa kemudian beranjak dari posisinya. Dia menghampiri si Mami sambil membawa daun bawang yang telah dia potong-potong tadi. “Mi, kayak gini gak?”
Mami menoleh, menatap daun bawang yang Angkasa letakkan dalam mangkuk itu diikuti senyum tipis. “Wah, kamu udah makin pinter ya, Sa. Padahal pas kamu bantu-bantu Mami di dapur dua hari sebelum kamu sama Sagara nikah, cara kamu motong daun bawang masih belum serapih ini. Bentar lagi kamu bakal jago masak nih.”
“Makasih, Mi.”
“Buburnya juga udah jadi, kamu cobain ya?” Mami menawarkan.
“Boleh, Mi.”
Angkasa meraih sendok yang disodorkan oleh Mami lalu mencoba sedikit bubur ayam itu.
“Enak banget, Mi.” puji Angkasa. “Gak heran Mas Sagara bisa jago masak, pasti nurun dari Mami.”
Mami mengangkat alisnya diikuti senyum penuh arti, “Sagara udah pernah masak buat kamu ya, Sa?”
“Iya, Mi. Waktu itu Mas Sagara masak udang mentega.” kata Angkasa, “Kapan-kapan ajarin Asa masak udang mentega ya, Mi? Enak banget. Gak boong.”
“Biar Gara aja yang ngajarin,” kekeh Mami. “Sagara itu pinter masak, bahkan lebih jago dari Mami, tau. Tapi anaknya jarang masak buat orang lain. Masak buat Mami sama Papi aja baru berapa kali. Bisa dihitung jari.”
Mendengar ucapan si Mami, Angkasa seketika mengingat dengan apa yang dikatakan oleh Bi Asih. Kedua paruh baya itu mengatakan hal yang sama.
“Sa, jujur aja… Mami sempet skeptis pas awal-awal kamu sama Gara dijodohin.” timpal si wanita paruh baya. “Apalagi, pas pengen makan malam keluarga sebelum pernikahan kalian waktu itu, Sagara malah gak pulang ke rumah, dan itu bikin Mami jadi khawatir sama kalian berdua. Mami takut kehidupan pernikahan kalian rumit karena kalian gak saling suka sejak awal. Tapi ngeliat gimana Sagara udah ngelakuin hal yang jarang dia lakuin ke orang lain pas bareng kamu, Mami yakin kalau dia udah mulai buka hati sama kamu, Sa. Mami harap kamu juga gitu ya, Sayang? Mami doain semoga kalian berdua hidup bahagia.”
Angkasa memaksakan senyum. Di satu sisi, dia merasa bersalah melihat betapa tulusnya doa sang Ibu mertua agar mereka bahagia. Padahal, pernikahannya dan Sagara hanya akan bertahan setahun sesuai kontrak, bahkan bisa lebih singkat andai saja hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Namun, di sisi lain, Angkasa juga kian khawatir andai saja Sagara benar-benar telah membuka hati padanya. Angkasa benar-benar tidak ingin hal itu terjadi.
“Sa, kamu ngelamun ya?”
“Eh, gak kok, Mi.”
“Kamu bangunin Sagara gih, tanyain anaknya pengen ikut sarapan bareng kita apa pengen sarapan di kamar aja.” titah si paruh baya yang disanggupi oleh Angkasa. Namun, baru saja dia hendak meninggalkan ruang makan yang tidak jauh dari dapur, Sagara dan Papi justru sudah datang; bahkan sedang berjalan beriringan ke arahnya.
“Aku baru aja mau ngecek kamu di kamar, Mas.” kata Angkasa lalu berdeham, “Gimana demamnya?”
“Udah reda, kan aku udah bilang. Kamunya aja tuh yang panikan.”
Papi tersenyum melihat interaksi keduanya, “Gimana gak cepet sembuh kalau dirawat sama suami. Abis nikah enak kan? Kalau sakit, ada yang jagain.”
“Biasa aja,” jawab Sagara datar lalu berjalan melewati Angkasa, “Kamu sama Mami masak apa? Aku sama Papi udah laper nih.”
“Nih, Mami masakin bubur ayam buat kamu.” sahut Mami yang kini sedang sibuk menyajikan menu sarapan di atas meja.
Papi duduk di salah satu kursi yang berseberangan dengan Sagara dengan Mami di sisinya. Pun Angkasa yang mau tak mau harus duduk di sisi suaminya.
Merasa bubur ayam buatan si mertua masih sangat panas, Angkasa lantas memutuskan untuk meraih buah terlebih dahulu. Dia mengambil pisau dan apel lalu mulai mengupasnya.
“Tangan kamu bisa luka kalau cara ngupasnya kayak gitu,” decak Sagara lalu merebut pisau dan apel itu dari tangan sang suami. “Nih, perhatiin baik-baik.”
Angkasa mendelik. Sagara yang melihat hal itu pun kembali bersuara, “Mau merhatiin gak?”
“Iya, iya,” pasrah Angkasa, sedang Mami juga Papi yang diam-diam mengamati mereka tersenyum.
“Pisaunya diarahin ke sini,” kata Sagara sambil mengupas apel. “Kamu kalau di rumah orang tua kamu gak pernah ngupas apel?”
“Gak pernah, makan di rumah aja jarang.” Angkasa tersenyum getir.
Sagara melirik Angkasa sekilas, “Pantes kamu juga jarang mau makan di rumah bareng aku.”
Angkasa tertawa hambar sambil menatap Mami dan Papi yang kini memandanginya lekat-lekat. Sorot mata kedua paruh baya itu seolah menodongnya dengan pertanyaan tersirat. “Gak gitu, Mas. Tapi kan kemarin-kemarin aku tuh banyak kerjaan di butik.”
“Sa,” Papi menengahi. “Sesibuk apapun kamu, jangan sampai skip makan ya? Efeknya mungkin gak kerasa sekarang, tapi kebiasaan kayak gitu lama kelamaan bisa ganggu kesehatan kamu loh.”
Angkasa tersenyum tipis diikuti anggukan. Dia tiba-tiba merasa terharu karena mendapatkan perhatian dari sang mertua, yang tidak pernah diberikan Ayahnya. Sementara itu, Sagara seketika menyodorkan piring berisi potongan buah apel yang telah dia kupas tadi ke depan Angkasa.
“Makasih, Mas.”
“Hari ini kamu ke butik gak?”
“Iya, Mas. Kenapa emangnya?”
“Aku pengen ikut.”
“Ngapain?” Angkasa menatap Sagara sinis. Namun, saat sadar bahwa kedua mertuanya sedang memerhatikan mereka, Angkasa lantas memaksakan tawa lalu berkata. “Maksud aku, Mas kan belum sepenuhnya pulih. Masih harus istirahat biar demamnya gak balik lagi. Ngapain ikut kan? Mending di rumah aja hari ini.”
“Aku pengen kamu bikin baju khusus buat aku, biar bisa aku pake pas peresmian jabatan baru aku.” kata Sagara. “Bisa kan?”
Gak bisa, anjing!
Gak mauuu!
“Bisa, Mas. Tapi gak usah hari ini juga,” Angkasa menendang kaki Sagara di bawah meja. “Masih banyak waktu kok. Tenang aja.”
Sagara memicing. “Emang hari ini kamu ada kerjaan apa, Sa?”
“Ya banyak. Aku pengen ngecek semua baju yang Minggu depan bakalan aku bikinin katalog. Aku juga harus mastiin kesiapan tim aku buat photoshoot. Pokoknya hari ini aku bakalan hectic, Mas.”
“Ya udah, biar sekalian Minggu depan aja. Pas aku ikut kamu ke butik buat mantau photoshoot.”
Angkasa menghela napas, “Iya.”
“Mantau doang?” Papi terkekeh lalu beralih menatap Angkasa. “Sa, kalau kamu kekurangan model, pake aja suami kamu. Sagara waktu masih muda dulu pernah loh ikut photoshoot gitu.”
“Asa udah tau, Pi.” ujar si Mami. “Pas kita makan malam keluarga di rumah dua hari sebelum acara pernikahan Asa sama Sagara, aku sempet bawa Asa ke kamar Gara buat ganti baju. Terus Asa ngeliat foto kecil Sagara sampai foto-foto pas Sagara ikut photoshoot.”
“Oh, makan malam keluarga tapi Sagara justru gak ikut ya?” tanya Papi yang jelas bernada sarkas.
“Kan waktu itu Sagara sibuk, Pi.”
Angkasa tersenyum meledek mendengarnya. Sebab, dia tau bahwa waktu itu Sagara justru sedang bersama lelaki lain di apartemennya. Ucapan Mami tadi pun membuat Angkasa akhirnya menemukan jawaban mengapa Sky, begitu juga dirinya, bisa tau bahwa si cinta pertama yang selalu dia cari adalah Sagara. Pasalnya, dia nyatanya telah melihat foto-foto sang suami sejak kecil di kamar.
“Terus Papi tau gak Asa bilang apa pas ngeliat foto-foto lama Sagara? Katanya Sagara grew up so well,” kekeh Mami. “Kecilnya udah ganteng, gedenya ternyata jauh lebih ganteng lagi. Kan, Sa?”
“Aku bilang gitu, Mi?” Angkasa menatap Mami tidak percaya.
“Iya. Masa kamu lupa, Sayang?”
Angkasa seketika mual. Dia tak habis pikir mengapa dia harus memuji laki-laki seperti Sagara.
“Kenapa Mami malah ngajakin Asa ke kamar aku sih?” Protes Sagara yang baru tau hal ini.
“Soalnya cuma baju kamu yang bisa dipinjem sama Asa. Mami juga pengen Asa milih sendiri baju kamu yang cocok sama dia yang mana,” sahut Mami. “Waktu itu baju Asa tuh basah gara-gara ketumpahan kuah sup. Untung kuahnya udah gak panas, jadi badan Asa gak kenapa-napa.”
“Kasian banget Asa malam itu,” timpal Papi. “Udah capek-capek masak sampai ketumpahan kuah sup kek gitu, tapi calon suaminya malah enggak pulang ke rumah.”
“Aku kan udah minta maaf, Pi.”
“Minta maaf ke Asa, gimana?”
“Udah juga,” kata Sagara.
“Bohong, Pi. Mas Gara belum minta maaf,” seringai Angkasa ketika Sagara menoleh padanya.
Sagara memutar bola matanya melihat tatapan menuntut Papi, juga senyuman usil Angkasa.
“Aku minta maaf, Sa.”
“Suaminya dicium dong, Ra.” Papi tersenyum, sementara Angkasa lantas mengibaskan tangannya.
“Gak apa-apa, Pi. Udah Asa maafin kok,” kata Angkasa.
Namun, hanya beberapa detik setelah Angkasa mengatakan hal itu, dia justru dibuat melotot kala Sagara tiba-tiba membingkai wajahnya dengan dua tangan. Sagara kemudian mendaratkan kecupan di kening Angkasa dan hal itu bertahan beberapa menit.
Mami dan Papi pun terkekeh. Seolah sangat puas menikmati interaksi pengantin baru itu. Angkasa sendiri hanya terdiam sambil mati-matian menahan hasrat untuk tidak mengamuk.