Mertua

Malam semakin larut, namun Angkasa masih setia duduk di atas ranjang dengan pakaian yang masih belum dia ganti. Angkasa benar-benar berpikir dua kali untuk masuk kembali ke kamar sang suami, namun jika dia tidak mandi dan berganti pakaian, sudah pasti tidurnya tidak akan nyenyak malam ini.

Angkasa frustasi. Alhasil, setelah berpikir panjang, Angkasa lantas memutuskan untuk ke kamar Sagara dan berniat mengambil beberapa pakaian di walk in closet suaminya. Tentu agar keesokan harinya dia tak perlu masuk ke tempat laknat itu lagi.

Setibanya di depan kamar sang suami, Angkasa pun menghela napas pelan sebelum perlahan membuka pintu. Lampu utama kamar Sagara masih menyala, namun suaminya itu nampak telah terlelap tanpa busana di bagian atas tubuhnya. Pasalnya, Sagara sama sekali tak bergerak ketika Angkasa membuka pintu hingga kini masuk ke kamarnya.

“Apa jangan-jangan dia udah pingsan lagi?” batin Angkasa.

Meski Angkasa berusaha untuk tak peduli, tapi sebuah dorongan justru membawa langkah kakinya mendekati ranjang Sagara. Satu tangan Angkasa kemudian dia letakkan di atas kening suaminya hingga dia bisa merasakan bahwa demam Sagara masih tinggi.

Angkasa mendesis, di satu sisi, dia sangat membenci lelaki di hadapannya ini. Terlebih jika mengingat bagaimana Sagara memperlakukan Sky, yang juga adalah bagian dari dirinya di dunia fiksi. Namun di sisi lain, ada perasaan tidak tega yang entah kenapa selalu mengganggu sisi kemanusiaan Angkasa ketika melihat Sagara terbaring lemah seperti sekarang ini. Hati kecil Angkasa pun terus berperang dengan egonya sampai akhirnya dia memutuskan keluar dari kamar Sagara untuk mengambil wadah yang akan dia isi dengan air hangat guna mengompres tubuh sang suami setelahnya.

Usai menyiapkan semua yang dibutuhkan untuk mengompres Sagara, Angkasa pun duduk di tepi ranjang lalu meletakkan handuk kecil yang telah dia basahi dengan air hangat itu di kening sang suami. Sagara tak terlihat terganggu sama sekali dari tidurnya. Bahkan, beberapa menit setelah Angkasa mulai mengompres dahinya, Sagara justru mendengkur amat halus.

Menghela napas lega, Angkasa kemudian beranjak dari tempat tidur Sagara. Dia berniat untuk melanjutkan niatnya yang tadi sempat tertunda; mengambil pakaian. Namun, baru saja dia melangkah beberapa jengkal dari ranjang Sagara, suaminya tiba-tiba bergumam. “Mi… Sagara pengen lihat Mami. Sekali aja.”

Angkasa menoleh, mendapati kedua mata suaminya itu masih terpejam. Sagara jelas berbicara dalam tidurnya, entah karena bermimpi atau dia melantur karena demamnya yang tinggi. Angkasa pun hanya tersenyum meledek sebelum bergumam.

“Anak Mami lu.”

Tak ingin berlama-lama di kamar Sagara, Angkasa pun kembali meneruskan langkahnya ke walk in closet. Mengambil beberapa baju untuk persiapan esok hari lalu bergegas keluar dari kamar. Tapi, baru saja Angkasa hendak masuk ke kamarnya, dia justru samar-samar mendengar suara orang yang berbincang dari arah lift. Angkasa pun memberanikan diri untuk mengintip siapakah gerangan yang datang ke lantai dimana kamarnya dan Sagara berada, dan alangkah kagetnya Angkasa kala mendapati bahwa Mami dan Papi Sagara kini sedang berjalan ke arahnya yang bersembunyi di balik tembok.

Buru-buru Angkasa berlari ke arah kamar Sagara, masih dengan beberapa helai pakaian yang dia dekap di depan dada. Angkasa pun kembali masuk ke kamar Sagara, menyembunyikan pakaiannya asal di lemari Sagara sebelum akhirnya memposisikan diri untuk duduk di sisi si suami. Angkasa panik. Dia benar-benar tak menyangka kedua orang tua Sagara akan datang selarut ini.

Tidak lama berselang, ketukan dari arah pintu kamar seketika menggema. Angkasa menghela napas pelan lalu menghampiri sumber suara dan membuka pintu kamar dengan hati-hati.

“Eh, Mami? Papi?” Angkasa hanya berpura-pura kaget.

“Maaf ya, Sa. Mami sama Papi malah dateng ke rumah kalian malem-malem gini,” kata Mami. “Tadi Mami sama Papi masih ada urusan di luar, jadi baru sempet nyamperin kalian sekarang.”

“Gak apa-apa kok, Mi.”

“Gara gimana, Sayang?”

“Badannya masih panas, Mi. Tapi tadi abis aku kompres kok. Ayo masuk, Mi.” Kata Angkasa sambil menuntun kedua mertuanya ke arah ranjang Sagara lalu berkata.

“Mas Sagara baru aja ngelantur sambil tidur, Mi. Katanya pengen ngeliat Mami sekali aja, eh tau-tau Mami sama Papi beneran dateng.” jelas Angkasa diikuti senyum, sedang Mami lantas menoleh ke Papi. Kedua paruh baya itu berbagi tatap sejenak sebelum kembali memandangi Sagara yang terbaring lemas.

Papi pun duduk di sisi kanan Sagara lalu mengusap sayang kepala anaknya itu. “Gara, Papi sama Mami udah di sini nih.”

Sagara mendengus pelan. Dia pun perlahan membuka mata saat merasa tubuhnya sesekali diguncang oleh sang Papi. Saat itu pula dia mendapati Angkasa, Papi dan Mami berada di sisinya.

“Kita ke RS sekarang ya?” ajak Mami. “Demam kamu masih tinggi banget loh ini, Sayang.”

“Kan aku udah bilang gak usah, Mi. Entar aja ke RS-nya kalau besok lusa demam aku masih tinggi.” decak Sagara. “Lagian aku baru aja minum paracetamol nih, mana bisa langsung turun kan?”

“Ya udah,” Papi lantas merapikan selimut yang menutupi setengah badan Sagara. “Kalau gitu kamu istirahat lagi aja. Papi sama Mami juga pengen istirahat sekarang.”

“Loh, Papi sama Mami udah mau pulang?” tanya Angkasa yang sejujurnya hanyalah basa-basi.

“Gak kok, Sayang. Mami sama Papi nginep malam ini,” kata Mami yang membuat Angkasa terkejut lalu melirik Sagara yang kini juga tengah menatapnya.

“O-oh,” Angkasa tertawa hambar, “Kalau gitu biar Asa bilangin ke Bibi supaya kamar tamu di lantai bawah di bersihin dulu ya, Pi, Mi.”

“Gak usah, Papi sama Mami kalau nginep di rumah ini biasanya bobo di kamar sebelah. Sering dibersihin sama ART kok.”

Mendengar hal itu, Angkasa lantas panik. “Ng… Tapi Asa abis ngecek kamar sebelah kemarin, banyak debunya, Mi. Kalau gitu biar Asa aja yang rapiin ya? Oke?”

Angkasa cengar-cengir sebelum berlari keluar dari kamar Sagara, membuat alis si Mami juga Papi berkerut heran. Sementara itu, Sagara yang melihat tingkah Angkasa yang jelas sangat panik pun refleks menahan senyum lalu menutup kedua matanya.


Usai menyembunyikan beberapa barangnya yang ada di kamar dimana mertuanya akan tidur malam ini, Angkasa mau tidak mau harus kembali ke kamar Sagara. Sebab, sesuai dengan perjanjian mereka di dalam kontrak, dia dan Sagara harus tidur di kamar yang sama kala orang tua mereka berkunjung.

Dan di sinilah Angkasa sekarang. Dia berdiri di samping ranjang Sagara sambil memandangi sang suami yang entah sejak kapan telah memejamkan matanya lagi.

“Mas, kamu tidur ya?” Angkasa mengangkat alisnya saat tidak ada jawaban dari Sagara. “Aku izin pinjem kamar mandi kamu.”

Tak kunjung mendapat respon dari Sagara, Angkasa pun yakin suaminya itu telah terlelap—lagi. Angkasa kemudian masuk ke kamar mandi sang suami lalu membersihkan tubuhnya di sana sekaligus berganti pakaian tidur yang lebih nyaman. Setelahnya, Angkasa kembali ke samping tempat tidur Sagara, mengambil satu bantal dan berniat untuk merebahkan dirinya di atas sofa yang ada dalam kamar itu. Tapi, baru saja beberapa jengkal saat Angkasa hendak melenggang ke sofa, Sagara tiba-tiba bersuara.

“Mau ke mana?”

Sontak Angkasa menoleh hingga mendapati sang suami sedang memandanginya, “Mau ke sofa.”

“Ngapain?”

“Ya mau tidur lah.”

“Tidur di ranjang, jangan di sofa.”

Angkasa bergidik, “Gak ah, entar kamu malah ngelecehin aku lagi.”

Sagara mendengus, “Kalau gitu biar aku aja yang tidur di sofa.”

“Loh tapi kan kamu sakit, Mas.”

“Kamu tau kalau aku sakit, tapi kamu masih aja mikir kalau aku pengen ngelecehin kamu.” decak Sagara sambil menatap Angkasa datar, “Lagian kemarin-kemarin aku nyentuh kamu karena kamu sendiri yang gak mau nurut kan?”

Angkasa memicingkan matanya curiga sambil berpikir apakah dia harus mempercayai Sagara atau tidak. Namun, melihat suaminya tiba-tiba bangkit dari posisinya hingga terduduk di atas ranjang, Angkasa seketika berdeham.

“Oke, oke, aku percaya.” Angkasa kemudian menghampiri Sagara lalu duduk di atas ranjang pada sisi yang berlainan dengan sang suami. “Tapi awas aja ya kalau kamu macem-macem sama aku.”

Sagara hanya membuang napas kasar lalu menoleh ke nakas di samping ranjangnya. Dia lalu meraih salep luka yang ada di sana dan menyodorkannya ke Angkasa, “Nih, bantuin aku dulu.”

“Minta tolongnya yang bener.”

“Yang bener gimana lagi sih, Sa?”

“Mas bilangnya gini, Yang Mulia Angkasa, hamba yang sangat kotor dan hina ini memohon dengan segala kerendahan—”

Ucapan Angkasa belum selesai, namun Sagara sudah lebih dulu melemparkan salep luka yang dipegangnya itu ke depan sang suami. “Jangan bikin aku kesel.”

“Jingin bikin iki kisil,” Angkasa menggerakkan bibirnya meledek tanpa bersuara sambil meraih salep yang sudah tergeletak di depannya. Angkasa kemudian mendekat ke Sagara sebelum akhirnya mengusapkan salep itu.

“Kayaknya kamu demam gara-gara luka lebam kamu ini deh, Mas.” Angkasa berkomentar, “Nih, lukanya panas banget.”

“Jadi apa yang harus hamba lakukan, Yang Mulia?” Sahut Sagara yang lantas membuat Angkasa tertawa. “Puas kamu?”

“Kamu musti ke dokter, Mas.” kata Angkasa, “Lagian kamu nyari masalah sama siapa sih sampai kamu digebukin gini?”

“Di kantor lagi ada masalah,” Sagara akhirnya bercerita. “Warga yang udah ngejual daerah pemukimannya ke perusahaan tiba-tiba demo, nuntut ganti rugi lagi. Padahal semuanya udah clear sejak awal.”

“Karena aku rasa ada yang gak beres, makanya aku inisiatif buat datengin ketua RW tempat itu. Mau nyari tau sekaligus denger langsung point of view mereka, bukan cuma dari omongan orang di kantor. Tau-tau, pas aku ke sana, tiba-tiba ada yang mukul punggung aku pake balok. Abis itu beberapa warga ikut gebukin aku. Untung Pak Yanto ikut sama aku, jadi ada yang nolongin aku. Kalau nggak, udah mati sih aku.”

“Jadi waktu itu kamu gak ketemu sama ketua RW-nya, Mas?”

“Ketemu kok. Aku juga udah tau yang bikin warga marah sampai nuntut ganti rugi apa,” Sagara menghela napas pelan. “Tapi aku belum tau dalangnya siapa aja. Bakal aku cari tau pas aku udah resmi diangkat jadi CEO nanti.”

Angkasa yang masih mengusap pelan punggung Sagara seketika melirik wajah suaminya. Kini dia paham kenapa kesan pertama Sky tentang Sagara adalah orang baik. Pasalnya, Sagara nampak peduli dengan orang-orang kecil.

“Kamu berdedikasi banget ya,” kekeh Angkasa. “Ada untungnya kamu yang jadi CEO perusahaan kakek walau harus pake cara licik dengan nikah kontrak sama aku.”

Sagara menoleh ke Angkasa, “Untung gimana maksudnya?”

“Yaa… Karena kamu pengen nama perusahaan tetep baik dengan cara yang baik juga.” sahut Angkasa. “Kamu mau mendengar kedua pihak, gak cuma orang kantor doang. Kalau yang jadi CEO gak mikirin keluh kesah warga, paling orang-orang itu cuma dibungkam terus gak dikembalikan hak-haknya pake cara yang gak baik dan gak adil.”

“Berarti aku ini masih punya sisi manusiawi kan?” tanya Sagara.

“Iya, kalau ke orang lain. Tapi kalau ke aku, kamu kek setan.” Angkasa mendengus sebelum menyodorkan salep luka yang wadahnya telah dia tutup rapat pada Sagara. “Nih. Udah selesai.”

“Makasih,” gumam Sagara lalu berdeham. Dia pun membuang muka sebelum merebahkan tubuhnya dengan posisi menyamping, membelakangi Angkasa yang kini menatapnya sambil tersenyum mengejek.