Journal
Selepas mandi dan berganti baju dengan piyama yang nyaman dia pakai untuk tidur, Angkasa justru tiba-tiba teringat akan moment dimana Sagara menyembunyikan sebuah buku di laci dalam ruang kerjanya. Ekspresi wajah Sagara yang jelas begitu panik ketika dia datang dan masuk ke ruangan itu benar-benar mengganggunya. Angkasa yakin ada sesuatu dalam buku itu yang ingin dirahasiakan Sagara darinya. Alhasil, dengan keberanian yang telah Angkasa kumpulkan, dia pun keluar dari kamarnya sebelum melenggang ke lift menuju lantai tiga rumah. Sesampainya di sana, Angkasa pun buru-buru masuk ke ruang kerja Sagara yang gelap gulita dan tidak terkunci sama sekali.
Dengan bantuan senter, Angkasa kemudian mencari buku itu di dalam laci. Jantung Angkasa kian berdetak kencang saat akhirnya dia menemukan buku dengan sampul berwarna hitam itu. Saat Angkasa meraihnya, kedua mata Angkasa justru memicing ketika dia melihat sebuah foto yang ada di bawah buku itu. Dalam foto itu nampak Sagara yang jelas masih remaja dan memakai seragam putih abu-abu sedang berpose dengan seorang lelaki yang tak Angkasa ketahui siapa. Namun, saat memerhatikan foto itu lebih jelas, Angkasa bisa melihat ada sebuah tulisan “Bumi ♡ Gara” yang ditulis dengan tinta putih.
“Bumi ini pacarnya Sagara apa ya?” batin Angkasa, “Apa mantan Sagara? Terus karena putus sama mantannya ini, dia jadi bajingan yang gak pernah serius sama satu cowok lagi? Damn… What a loser.”
Terlalu asik menebak-nebak apa hubungan Sagara dengan lelaki bernama Bumi itu, Angkasa pun nyaris lupa tujuan utamanya. Dia pun buru-buru meletakkan buku yang sedari tadi telah dia pegang di atas meja lalu membukanya.
Halaman pertama yang Angkasa lihat dari buku itu adalah lembar dimana pembatas buku berada. Kedua tangan Angkasa lantas mendadak dingin. Dia sangat penasaran, namun juga ada rasa takut untuk membaca tulisan Sagara yang ada di halaman itu.
“Hari ini berat banget… Di kantor tadi aku dihakimi sepihak, dituduh melakukan hal yang nggak pernah aku lakukan. Tapi… Rasanya jauh lebih berat lagi karena aku justru merasa ingin didengarkan oleh orang yang selalu aku harapkan tidak pernah memberi perhatian dan peduli padaku. Aku takut rasa nyaman saat didengarkan dan dipedulikan itu berubah menjadi rasa tidak ingin kehilangannya…”
Bait pertama yang Angkasa baca itu membuatnya menelan ludah. Dia gugup. Angkasa kemudian menarik napas panjang sebelum kembali melanjutkan bacaannya.
“Dia marah. Marah sampai aku bisa tahu caranya menatapku sangat berbeda dari biasanya. Seharusnya aku lega, karena ini yang aku mau. Dengan begitupula dia tidak akan peduli lagi padaku.”
“Ini maksudnya gue gak sih?” celetuk Angkasa lalu memukul kepalanya sendiri. “Asa, fokus!”
“Tapi kenapa rasanya hampa? Apa rasa kasihan dan rasa bersalahku padanya kemarin-kemarin telah berganti menjadi rasa nyaman tanpa aku sadari? Bahkan aku merasa terganggu saat dia bilang aku tidur dengan laki-laki lain…”
Kedua tungkai Angkasa seketika lemas. Mungkin firasatnya akhir-akhir ini memang benar kalau si suami diam-diam mulai menaruh hati padanya. Angkasa mendadak pening memikirkan semuanya.
“Aku tidak ingin dia suka, apalagi jatuh cinta padaku. Tapi kenapa justru aku yang sepertinya mulai suka padanya? Aku sangat takut.”
Tangan Angkasa lantas bergetar, tapi dia tetap berusaha untuk membuka lembaran lain yang berada di halaman sebelumnya. Saat itu pula Angkasa sadar kalau buku ini adalah jurnal harian si suami. Angkasa pun masih ingat Surya pernah berkata bahwa Sagara suka membuat jurnal.
“Hari ini aku marah… Marah ke diriku sendiri karena aku lagi-lagi mengatakan hal menyakitkan ke Angkasa karena ketakutanku sendiri. Aku sebenarnya sudah sangat lelah untuk terus-terusan bersikap seolah aku membencinya, padahal aku ini membenci diriku sendiri. Aku benci diriku karena takut rasa peduli dan kasihanku ke Angkasa berganti menjadi rasa nyaman, suka, bahkan cinta. Aku juga benci diriku karena takut ketika aku mencintainya, aku juga harus kehilangannya. Dan aku benci diriku sendiri karena takut ketika Angkasa suka padaku, aku akan membuatnya ada di dalam bahaya yang jauh lebih besar dari saat ini. Lalu, pada akhirnya, dia akan meninggalkanku juga…”
“Dengan aku menikahi Angkasa saja sudah membuatnya ada pada garis tipis antara hidup dan mati. Tugasku sekarang hanya untuk menjaganya, bukan menyukainya. Begitu juga Angkasa. Dia tak boleh menyukaiku sampai kontrak yang sudah kami sepakati berakhir. Aku ingin semuanya berjalan seperti yang aku harapkan, tapi kenapa rasanya sangat berat sekarang?”
Angkasa mengernyit dia tidak mengerti apa yang Sagara maksud membuatnya berada di dalam bahaya, bahkan di antara hidup dan mati. Angkasa kian pening sekaligus ketakutan. Dia merasa semakin hilang di dunia fiksi yang entah akan membawa dirinya ke mana setelah ini.
Lagi. Angkasa kembali membaca lembaran sebelumnya dari buku jurnal itu. Dan di sana terdapat tulisan Sagara lagi. Bedanya, ada sebuah gambar yang berbentuk seperti wadah salep luka di sudut bawah halaman. Ketika membaca isinya, Angkasa lantas menerka bahwa Sagara mungkin menulis jurnal saat sedang sakit kemarin.
“Hari ini aku bingung… Sejak kemarin, aku merasa ada yang aneh dalam diriku. Apalagi saat Angkasa kembali memberitahuku bahwa dia hanya mencintai sosok Sagara yang menolongnya dulu dan dia tidak memiliki perasaan apa-apa lagi padaku sekarang. Seharusnya aku lega, tapi aku justru merasa terganggu. Saat pulang dari kantor dan Angkasa memberiku perhatian pun, aku tetap merasa aneh. Aku selalu menyugesti diriku sendiri kalau Angkasa benar-benar tidak suka padaku lagi, tapi kenapa sikap pedulinya justru menggangguku?”
“Lalu semalam, saat aku berharap dia marah karena aku menyebut dirinya ‘sok peduli’ dan tak sudi untuk memerhatikanku lagi, dia justru diam-diam merawatku saat aku tertidur. Angkasa juga sempat mendengarkan ceritaku dan jujur saja, itu membuatku merasa lega. Rasanya aku tidak pernah merasa senyaman ini ketika berbincang dengan orang lain, tapi Angkasa selalu punya kemampuan ajaib yang akhirnya membuatku luluh.”
“Asa bilang, caranya membantuku lumrah antara sesama manusia, tapi aku justru ragu. Aku mencoba mencari tau apa dia benar-benar tidak menyimpan rasa apa-apa lagi padaku. Aku mencium kening Angkasa, dia terlihat kaget. Tapi saat aku bertanya kembali, apa sebenarnya dia masih menyukai aku, dia kembali menjawab tidak. Aku lega,meski tetap saja sedikit menggangguku. Sampai akhirnya aku harus kembali berbohong dan memberitahu Angkasa kalau aku tidak mengingat anak yang dulu pernah aku tolong di pantai saat masih kecil agar dia membenciku.”
Angkasa memicing. Berbohong katanya? Apa itu artinya Sagara sebenarnya mengingat kejadian saat mereka bertemu dahulu?
Buru-buru Angkasa membuka lembaran lain, yang sekiranya dapat menjawab pertanyaannya itu. Sampai akhirnya, Angkasa lantas menemukan halaman yang Sagara hiasi dengan gambar laut dan dua manusia yang berdiri berdampingan di sudut bawah kertas itu. Angkasa lalu kembali membaca tulisan Sagara di sana.
“Hari ini aku menyesal… Setelah tadi aku dibuat terkejut karena Angkasa tiba-tiba berkata ingin membatalkan perjodohan kami, aku kembali dibuat terkejut saat tahu kalau dia benar-benar ingin mencoba untuk mati agar kami tidak jadi menikah esok hari. Tapi yang membuatku lebih terkejut lagi, saat aku ke rumahnya untuk mencegahnya bunuh diri, aku… Justru melihat foto masa kecilnya di ruang keluarga. Aku ingat anak kecil bermata besar yang ada di bingkai itu. Dia anak yang sama, yang pernah aku temui di pantai puluhan tahun lalu, anak kecil yang juga nyaris mati karena hampir tenggelam. Namun, saat aku menolongnya, anak kecil itu berkata, “Harusnya kakak biarin aku tenggelam aja...” Aku masih mengingat betapa hancur hatiku mendengar anak sekecil itu justru tidak punya harapan hidup lagi.”
“Dan hari ini… Anak kecil yang sudah tumbuh dewasa itu kembali mengatakan hal serupa usai aku menolongnya. Angkasa… Ternyata ini bukan pertama kalinya aku menyelamatkan nyawanya. Aku benar-benar sangat menyesal karena sempat mengira bahwa dia menerima perjodohan denganku demi harta dan tahta seperti Ayahnya. Aku juga amat menyesal karena telah mengatakan hal-hal menyakitkan yang membuat dia ingin mengakhiri hidupnya saja.”
“Aku juga merasa bersalah karena tahu bahwa dia menyukaiku. Aku pun merasa kasihan setelah tahu bawa Ayahnya benar-benar tidak peduli dengan anaknya dan hanya memanfaatkan Angkasa demi ego dan ambisinya. Aku harap setelah ini dia tidak pernah menyukaiku lagi, seperti yang dia katakan saat hendak pergi dari apartemenku. Aku hanya akan menjaganya, sampai kontrak pernikahan kami berakhir nanti. Aku juga ingin dia bebas dari Ayahnya setelah ini…”
“Senang melihatnya telah tumbuh dengan baik, tapi aku… Menyesal.”
Angkasa menghela napas pelan. Dia benar-benar sudah semakin lemas sekarang. Masih banyak halaman yang belum dia baca, namun dia merasa tak mampu mencari tahu lebih jauh lagi. Sebab, sudah terlalu banyak hal yang sedang diproses kepalanya saat ini. Setidaknya, dia telah paham mengapa sikap Sagara padanya sangat sulit ditebak, terutama beberapa hari terakhir.
Angkasa lalu buru-buru menutup buku itu dan menyimpannya di laci seperti semula. Dia takut andai saja Sagara telah datang lalu tiba-tiba masuk ke ruang kerjanya. Alhasil, usai meletakkan buku jurnal Sagara, Angkasa lantas bergegas keluar dari sana.