Sakit
“Halo, Pak? Udah di depan ya?” tanya Angkasa yang kini tengah menempelkan gawai di samping telinga. “Oke, saya ke sana abis ini. Pak Yanto tunggu bentar ya.”
Mengetahui sang supir telah tiba dan menunggu di depan butik, Angkasa pun bergegas keluar dari ruang kerjanya. Sejenak dia berpamitan pada karyawannya yang masih bersiap-siap untuk pulang sebelum akhirnya dia meninggalkan butik menuju ke parkiran. Sampai saat Angkasa hendak masuk ke mobil itu, dia lantas mengernyit kala melihat ada orang lain di jok belakang; dimana Angkasa akan duduk. Saat dia membuka pintu mobil, Angkasa pun mendapati bahwa Sagara lah yang berada di sana. Nampak suaminya itu sedang bersandar di jok mobil sambil memejamkan mata. Seolah tak peduli Angkasa telah datang dan duduk tepat di sebelah kirinya.
“Kirain kamu bawa mobil sendiri pas ke kantor tadi, Mas.” Angkasa melirik Sagara, “Kok sekarang dijemput sama Pak Yanto juga?”
“Aku gak enak badan.”
“Oh,” gumam Angkasa, namun saat tatapannya tidak sengaja bertemu dengan sorot mata Pak Yanto di spion tengah, dia lantas berdeham. Dia takut jika saja si supir curiga dengan interaksi mereka yang tak begitu hangat.
“Kalau gitu kamu dianterin ke rumah sakit aja dulu. Mau ya?”
Sagara membuka matanya lalu menoleh ke Angkasa, “Tumben kamu ngomongnya lembut gini.”
“Si anjing…” gerutu Angkasa dalam hati sebelum menginjak pelan kaki Sagara di bawah sana.
Angkasa kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Sagara lalu berbisik, “Emang Pak Yanto tau kalau kita cuma nikah kontrak?”
Sagara tidak menjawab. Dia justru menoleh ke Angkasa yang masih menghadap ke arahnya, mendaratkan kecupan singkat di kening suaminya itu dan berkata.
“Aku bercanda, Sayang.”
“Huekkk!” batin Angkasa sambil memaksakan senyum, sementara Sagara justru menyeringai tipis.
“Jadi Mas Sagara mau ke rumah sakit dulu ya?” tanya Pak Yanto.
“Gak usah, Pak. Demam saya gak tinggi banget kok, paling besok udah turun.” Sagara tersenyum.
Angkasa yang penasaran seketika mengikuti pikiran impulsifnya. Satu telapak tangannya tiba-tiba mendarat di kening sang suami, membuat Sagara sedikit terkejut lalu menatap Angkasa lamat.
“Gak tinggi apanya? Ini badan kamu panas banget loh, Mas.”
“Nggak apa-apa. Entar pas abis minum paracetamol juga bakal sembuh kok,” sahut Sagara lalu berdeham. “Aku mau bobo dulu, bangunin kalau udah nyampe.”
Angkasa hanya mengangguk sebagai jawaban, sementara Sagara telah menyandarkan punggungnya pada jok yang telah dia setel hingga posisi duduknya saat ini nyaris seperti orang yang sedang terlentang.
Selama dalam perjalanan pulang, sesekali Angkasa melirik Sagara. Nampak suaminya itu tertidur pulas seolah dia sedang berada di kamarnya sendiri dan tidak terganggu sama sekali. Angkasa kemudian bisa melihat betapa pucat wajah Sagara saat ini.
“Apa jangan-jangan dia demam gara-gara luka di punggungnya?” batin Angkasa sebelum realita lantas memukul telak wajahnya.
Kenapa juga dia peduli? Pikirnya lalu membuang muka ke luar jendela. Angkasa pun diam-diam memutar otak tentang rencana apa yang harus dia lakukan agar dia bisa kembali ke kehidupan aslinya. Sebab, untuk mendekati Surya meski secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh Sagara pun rasanya tidak akan mungkin. Surya terlalu terbuka kepada Sagara bahkan untuk hal kecil sekalipun. Namun, di saat Angkasa tengah memikirkan cara untuk pergi dari dunia fiksi, dia justru tiba-tiba merenung. Apa itu artinya ada seseorang yang menggantikan posisinya di dunia nyata? Atau justru dia memang telah tiada dan akan menetap di dunia fiksi ini sebagai semesta keduanya? Angkasa meringis.
Angkasa sama sekali tak memiliki petunjuk untuk pulang. Meski di dunia fiksi ini dia masih hidup dengan orang tua, teman dan juga karyawannya seperti di kehidupan aslinya, namun dia merasa hilang. Dia selalu merasa tempat ini bukan lah untuknya.
“Mas Asa?”
Angkasa terkesiap mendengar namanya dipanggil. Pak Yanto yang baru saja bersuara pun meminta maaf karena melihat Angkasa yang melamun terkejut. Saat itu pula Angkasa sadar kalau sekarang mobil yang sedari tadi dikemudikan oleh supir pribadi Sagara itu telah tiba di halaman rumah. Angkasa lalu menoleh ke suaminya, Sagara masih tertidur dengan lelap. Angkasa kemudian menepuk pelan bahu sang suami.
“Mas, bangun. Kita udah sampai.”
“Mhm,” Sagara bergumam lalu membuka kedua matanya. “Kamu masuk duluan. Entar aku nyusul.”
“Gak, biar aku bantu.” Angkasa keluar lebih dulu dari mobil itu sebelum membuka pintu yang berada di sisi kanan; dimana Sagara duduk. Angkasa meraih satu lengan Sagara dan mulai menuntunnya agar turun dari kendaraan roda empat itu.
“Pelan-pelan,” kata Angkasa.
Sagara pun hanya menurut saja ketika Angkasa membantunya masuk ke dalam rumah hingga mereka tiba di dalam kamarnya. Angkasa bahkan menuntunnya untuk berbaring di atas ranjang dan membantu melepaskan sepatunya sebelum bertanya, “Kamu bisa ganti baju sendiri gak? Mau aku ambilin kaos?”
“Kamu gak usah sok peduli sama aku,” tutur Sagara yang seketika membuat Angkasa menatap sang suami dengan raut tak percaya.
“Sekarang udah nggak ada yang ngeliatin kita di sini. Pergi sana,” lanjut Sagara lalu menutup mata.
“Aku denger dari Bintang kalau di keluarga kakek kamu tuh selalu diajarin soal sopan santun, tapi kayaknya kamu gak diajarin buat menghargai pertolongan orang lain dengan ucapan makasih ya?”
Tidak ada jawaban dari Sagara.
“Oh, atau kamu sadar kalau kamu itu sebenarnya udah jahat banget sama aku? Makanya kamu mikir kalau aku nggak mungkin baikin kamu, jadi aku cuma sok peduli?”
“Aku gak bakalan bales kejahatan dengan kejahatan kok. Aku masih punya sisi manusiawi, gak kayak kamu.” Angkasa lalu membuang napasnya kasar sebelum berlalu meninggalkan Sagara di kamar.
Angkasa pun berjalan ke arah kamarnya dengan langkah yang terhentak kuat saking kesalnya. Bahkan dia menutup pintunya dengan keras sebelum memilih untuk menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur empuknya.
“Sagara anjing,” dumel Angkasa. “Bodo amat lo mau pingsan kek, mati kek, gue gak bakal peduli!”
Angkasa mengambil satu bantal lalu meninjunya seolah benda itu adalah wajah Sagara. Namun, beberapa detik setelahnya, dia lantas memeluk bantal itu sambil meringis. “Tapi kalau dia mati di kamarnya, gue musti gimana?”
“Bisa-bisa gue yang bakalan dituduh udah ngebunuh dia,” timpal Angkasa lalu bergidik.
“Terus kalau gue dipenjara di sini, gue makin nggak bisa balik ke dunia asli gue dong?” Angkasa merengek. “Gue mau pulaaaang!”
Saat Angkasa tengah meratapi nasibnya, gawai di saku celana kanannya tiba-tiba berdenting. Angkasa pun meraihnya hingga mendapati bahwa sang Bunda lah yang baru saja mengiriminya pesan, menanyakan bagaimana keadaannya. Sejenak, Angkasa merasa tenang. Meskipun si paruh baya tidak bisa berbuat banyak saat sang Ayah mulai bersikap kasar, namun Bunda selalu mencuri-curi waktu untuk tetap menguatkannya. Tidak hanya di dunia nyata, tapi juga dunia fiksi seperti sekarang ini.
Selagi membalas pesan Bunda, Angkasa tiba-tiba mendapat ide untuk memberitahukan sang Ibu mertua tentang keadaan Sagara. Dengan begitu pula Angkasa tak perlu takut Sagara akan mati di kamarnya tanpa bantuannya.