Semesta

Setelah mendapat pesan singkat dari sang Ayah, Angkasa seketika memutuskan untuk pulang ke rumah dengan hati yang tidak tenang. Pasalnya, nampak jelas kalau si pria paruh baya ingin membicarakan hal yang penting.

Sampai tidak lama berselang, Angkasa pun tiba di halaman rumah. Dia memarkirkan mobil yang sedari tadi dia kemudikan sembarangan sebelum bergegas masuk ke dalam rumah. Angkasa berjalan tergesa-gesa menuju ke ruang keluarga dimana Ayah dan Bunda biasanya bercengkrama.

Dan benar saja, ketika Angkasa tiba di sana, dia mendapati sang Ayah juga Bundanya duduk pada sofa. Ketika sorot mata Angkasa bertemu dengan Bundanya, dia bisa melihat raut sedu di netra kelam si wanita paruh baya. Tapi lain halnya saat Angkasa mulai mendekati sang Ayah. Pasalnya, raut wajah pria paruh baya justru menunjukkan amarah yang entah artinya apa. Angkasa pun hendak bertanya ada apa gerangan, tapi sebelum bibirnya mengucapkan sepatah kata, si Ayah sudah lebih dahulu menampar keras pipinya.

“Ayah!”

Bunda memekik keras melihat bagaimana sang anak sampai terjatuh di atas lantai akibat tamparan keras dari suaminya. Angkasa yang juga tidak pernah menyangka bahwa hal pertama yang akan dia dapatkan ketika sampai di rumah adalah sebuah tamparan pun hanya terdiam sambil mendongak ke Ayahnya dengan sorot mata kebingungan.

“Udah puas kamu bikin Ayah malu?” Suara Ayah meninggi.

“Aku salah apa, Yah?”

“Salah apa, kata kamu?”

Ayah dengan mata yang berapi-api lantas meraih lima lembar foto dari atas meja. Si Ayah lalu melemparkan foto-foto itu ke arah Angkasa yang masih belum bangkit setelah jatuh di lantai.

Angkasa pun mulai memungut lembaran foto-foto itu sebelum memandanginya. Saat itu pula jantung Angkasa seakan ingin meloncat keluar dari tempatnya kala melihat bagaimana fotonya dan si mantan pacar saat mereka berciuman terpampang di sana. Entah siapa yang mengambil foto itu hingga akhirnya bisa sampai ke orang tuanya seperti saat ini.

“Ayah dapet foto ini dari mana?” Suara Angkasa bergetar hebat.

“Gak penting fotonya darimana, yang paling itu penting gimana kamu bisa jelasin ke orang-orang kenapa kamu bisa ciuman sama laki-laki!” Ayah menghela napas gusar, “Kalau udah kayak gini, gimana? Mau ditaruh di mana muka Ayah, Asa? Ayah kan udah ingetin kalau kamu harus hati-hati sebelum bertindak, apalagi bentar lagi Ayah diangkat jadi menteri. Tapi apa-apaan ini?”

Angkasa tersenyum miring sambil menatap Ayahnya sedu.

“Jadi Ayah marah bukan karena privasi aku dilanggar, tapi Ayah takut nama baik Ayah tercoreng dan gagal diangkat jadi menteri?”

Angkasa berusaha bangkit dari posisinya lalu berdiri di hadapan sang Ayah, “Ayah selalu aja kayak gini. Ayah tuh gak pernah peduli sama aku. Ayah cuma mikirin diri Ayah dan ego Ayah sendiri kan?”

“Ayah mau tau kenapa di foto itu aku ciuman sama laki-laki?” kata Angkasa dengan mata yang telah berkaca-kaca. “Karena aku suka laki-laki, Yah. Anak Ayah ini gay.”

Satu tamparan lain pun kembali mendarat di pipi Angkasa. Sang Ayah bahkan nyaris mengulangi hal yang sama untuk kesekian kali andai saja Bunda tak buru-buru menghentikan aksinya.

“Ayah, udah! Cukup, Yah!”

“Kamu liat anak kamu sekarang?” Ayah masih dikuasai oleh emosi. “Ini akibatnya kalau kamu selalu biarin dia ngelakuin apa yang dia pengen dan nggak dengerin kita.”

Bunda menatap Angkasa dengan raut memohon, “Sa, minta maaf sama Ayah. Kamu ngomongnya gak boleh gitu. Bunda percaya kok kalau foto-foto itu settingan orang-orang yang ngelanggar privasi kamu dan berusaha buat ngejebak dan ngejatuhin kamu.”

“Foto-foto itu bukan settingan, Nda.” lirih Angkasa, “Laki-laki yang ciuman sama aku di foto itu mantan pacar aku. Sekarang, apa Ayah masih mau nerima aku jadi anak? Atau Ayah mau bunuh aku karena aku cuma malu-maluin?”

Si Ayah yang sedari tadi tengah dipeluk oleh Bunda seketika menghempaskan tautan lengan sang istri. Dia kemudian beralih memukuli wajah Angkasa tanpa ampun dan tak mendapat sedikit pun perlawanan dari anaknya itu. Bahkan ketika Angkasa telah kembali jatuh ke lantai pun, si pria paruh baya masih memberi kekerasan lain kepada Angkasa. Sementara itu, sang Bunda yang masih terkejut akan pengakuan Angkasa tadi lantas terduduk lemas di lantai sambil melihat bagaimana sang anak dipukuli oleh suaminya di depan matanya.

“Anak gak berguna!” pekik Ayah, “Pergi kamu dari rumah ini dan jangan pernah nunjukin wajah kamu di hadapan Ayah lagi!”

Angkasa yang telah babak belur berusaha bangkit meski kedua tungkainya nyaris menyerah untuk menopang tubuhnya. Namun, Angkasa ingin segera menemui mantan pacarnya untuk tahu bagaimana foto-foto mereka bisa sampai ke Ayahnya dan kemungkinan besar akan disebarkan ke kalangan luas.

Dengan langkah tertatih-tatih, Angkasa akhirnya keluar dari rumah lalu masuk ke mobilnya. Dia kemudian menancap gas kendaraan roda empat miliknya itu dengan napas yang sangat sesak. Entah karena mendengar ucapan Ayahnya atau karena hantaman yang dia dapatkan dari si pria paruh baya tadi. Angkasa pun mulai merasa pandangannya berkunang-kunang seiring air mata yang telah mengalir deras dan membasahi kedua pipinya.

Tidak pernah terpikirkan sekali pun oleh Angkasa bahwa dirinya akan memberitahu kedua orang tuanya tentang seksualitasnya. Namun, mendengar bagaimana sang Ayah malu karena melihat foto-foto dimana dia berciuman dengan laki-laki justru membuat Angkasa seketika merasa terluka. Terlebih lagi, hal pertama yang Ayahnya pikiran justru reputasi dan jabatannya, bukan dirinya.

Angkasa tahu, hidup di tengah masyarakat yang hingga saat ini masih menganggap hubungan sesama jenis adalah sesuatu yang tabu memang bukan hal yang mudah baik itu untuk orang tua dan anak. Angkasa pun paham jika kedua orang tuanya tidak bisa menerima seksualitasnya. Tapi, Angkasa selalu berharap bahwa orang tuanya masih bisa merangkulnya, bukan malah membuangnya atau menganggap dia memalukan dan tak berguna saat tahu dirinya menyukai pria.

Isakan Angkasa pun seketika terbebas bersamaan dengan bertambahnya laju kecepatan mobilnya. Diam-diam Angkasa kembali berandai-andai, jika saja dia hidup di dalam cerita fiksi boys love yang dia baca, mungkin hal semacam ini tak akan terjadi.

Namun, Angkasa paham bahwa cerita fiksi pun hanyalah bentuk manifestasi sekaligus hiburan semata. Sebab, di dunia nyata seperti sekarang ini, ada banyak hal yang tak bisa berjalan seperti apa yang dia inginkan. Angkasa pun hanya bisa menerima nasib, namun dia tidak ingin nasibnya semakin menyedihkan jika dia tidak tahu siapa orang di balik foto yang sampai ke Ayahnya.

Angkasa berusaha menghentikan tangisannya lalu menguatkan dirinya sendiri. Tujuannya saat ini hanyalah satu. Dia ingin tiba di apartemen mantan pacarnya guna mencari tahu semuanya.

Angkasa pun kian menambah kecepatan mobilnya. Namun, mobil Angkasa yang kini telah hilang kendali karena melaju dengan kecepatan tinggi lantas tidak bisa menghindari mobil lain yang tiba-tiba memotong di depannya. Saat itu pula suara tabrakan yang sangat keras tiba-tiba menggema. Mobil Angkasa dan mobil di depannya terhenti karena telah saling bertubrukan.

Angkasa yang hanya bisa berpikir bahwa hidupnya benar-benar akan berakhir pun hanya mampu tersenyum tipis sambil menyeka cairan merah yang mengalir di keningnya. Setelahnya, Angkasa memeluk setir mobilnya dengan napas yang telah terputus-putus.

Hidupnya benar-benar akan berakhir menyedihkan. Apa ini sebuah takdir atau hukuman dari semesta? Pikir Angkasa sebelum penglihatannya menjadi gelap sempurna. Namun anehnya, dia masih bisa mendengar suara di sekitarnya dengan sangat jelas.

“Sa…”

“Asa…”

“Angkasa bangun…”

“Sa… Liat Bunda, Sayang…”

“Oh? Gue belum mati ya?” tanya Angkasa dalam hati ketika mendengar suara Bundanya. Matanya masih setia terpejam.

“Perasaan… Dada, kepala sama kaki gue sakit banget deh tadi, sekarang kok udah hilang ya?”

Angkasa terus bermonolog sambil diam-diam bersiap untuk kehilangan nyawanya.

“Buset, kok gue malah dingin sih? Apa bentar lagi nyawa gue bakal dicabut sama malaikat maut ya?”

Angkasa yang heran akan reaksi tubuhnya setelah tabrakan hebat beberapa menit yang lalu lantas mencoba untuk membuka kedua matanya lagi. Namun, Angkasa seketika menahan napas saat menyadari bahwa saat ini dia justru berada di dalam kamarnya dan tengah terbaring terlentang di atas ranjang empuk miliknya.

Ketika dia menoleh ke sisi kiri, Angkasa pun mendapati Ayah berdiri di samping ranjangnya sambil menatapnya khawatir. Sementara sang Bunda yang duduk di sisinya itu menangis.

“Nda…”

“Iya, Nak? Mana yang sakit, Saa? Bilang sama Bunda,” kata Bunda.

“Kok aku ada di rumah?” tanya Angkasa, “Aku pingsannya lama banget ya pas abis tabrakan?”

Tangisan Bunda lantas terhenti sambil menatap anaknya heran. Bunda lalu bertukar pandangan yang sama dengan Ayah sebelum kembali menatap wajah Angkasa.

“Kamu tabrakan sama apaan di kolam renang, Sa?” tanya Bunda.

“Hah?” Angkasa ikut bingung. “Kok jadi kolam renang, Nda?”

“Kamu kan pingsan gara-gara hampir tenggelam di kolam renang, Sa. Bukan tabrakan,” jelas Bunda yang membuat Angkasa menahan napas beberapa detik.

“Jadi tabrakan itu cuma mimpi?”

“Tapi kok kayak nyata banget sih?”

“Terus kenapa gue bisa masuk ke kolam coba? Deket-deket ke kolam aja gue takut. Kok gue gak inget?”

Angkasa hanya mampu bertanya dalam hati sebelum memandangi kedua tangannya. Benar saja, tak ada jejak luka sedikitpun di sana. Padahal, setelah tabrakan itu, dia bisa mengingat jelas bagaimana dia memeluk erat setir mobilnya karena tidak sanggup melihat kedua tangannya terluka parah.

“Yah, kayaknya kita harus bawa Asa ke rumah sakit. Aku takut psikis Asa udah keganggu karena traumanya sama kolam renang makin parah,” usul sang Bunda.

“Ng… Gak usah, Nda. Aku baik-baik aja. Aku kayaknya mimpi buruk doang pas pingsan tadi,” Angkasa cengengesan, “Tapi… Kenapa aku tiba-tiba gak inget gimana ceritanya sampai aku bisa masuk ke kolam renang ya?”

“Tuh kan, jangan-jangan kepala kamu emang kebentur pas jatuh ke kolam tadi. Sampai-sampai kamu amnesia gini,” kata Bunda.

“Kamu jatuh ke kolam gara-gara kamu sendiri yang loncat,” kata Ayah lalu melipat lengan. “Kamu ngancem Ayah kalau kamu lebih baik mati aja daripada dijodohin.”

“Hah? Dijodohin?” Angkasa kian bingung sekaligus shock. “Emang aku mau dijodohin sama siapa?”

Bunda membekap mulutnya sendiri sesaat sebelum kembali menangis. Dia lalu memeluk sang suami, “Yah, Asa beneran hilang ingatan. Kita harus gimana, Yah?”

“Ambil positifnya aja, Nda. Dia hilang ingatan supaya nerima perjodohannya sama Sagara.”

“Sagara?” Angkasa bangkit dari posisinya. “Sagara itu cowok?”

Isakan Bunda semakin kencang, sementara Angkasa tercengang.

“Yah… Mental Asa udah kena…” Bunda menatap anaknya kasihan.

“Ya kalau cewek namanya bukan Sagara, tapi Sa-girl.” sahut Ayah yang justru membuat Angkasa tertawa di tengah kebingungan.

“Yah, jangan bercanda dulu.”

“Siapa yang bercanda sih, Sa?”

Angkasa terdiam sejenak.

“Apa ini kehidupan kedua gue setelah mati ya?” pikir Angkasa. “Gak mungkin gue jodohin sama cowok. Lah Ayah aja homophobic.”

“Terus, Sagara… Kenapa nama itu kayak gak asing banget?” Angkasa asik bermonolog di dalam hati.

“Sa, kamu terima aja ya? Lagian besok kalian udah nikah. Kenapa kamu nolaknya baru sekarang?”

Angkasa melotot, “Hah? Besok?”

“Yah, ini udah gak bener. Anak kita daritadi ngang ngong mulu,” kata Bunda sembari menghapus air matanya. “Ayo, sekarang kita bawa Asa ke rumah sakit, Yah.”

“Gak, Nda. Gak usah, aku gak apa-apa.” Angkasa memaksakan tawa. “Aku kayaknya masih shock aja abis jatuh ke kolam, makanya jadi linglung sendiri. Maafin aku.”

“Kamu yakin?”

“Iya, Ndaaa.”

Bunda mengangguk, “Kalau gitu, abis ini kamu telepon Sagara ya? Dia pasti masih khawatir sampai sekarang gara-gara tau kalau kamu hampir tenggelam tadi.”

“O-oke, Nda.”

“Gak usah macem-macem lagi,” Ayah menimpali. “Dengerin kata Ayah sama Bunda aja bisa gak?”

Angkasa menghela napas pelan. Bahkan di kehidupan barunya ini pun sikap sang Ayah masih sama.

“Iya, Yah.”

Good,” kata Ayah lalu merangkul Bunda. “Ayo, Nda. Kita keluar dari sini. Biarin Asa istirahat.”

Bunda mengangguk pelan lalu mengusap lembut kepala sang anak. “Jangan tinggalin Bunda, Sa. Bunda gak mau kamu pergi.”

Angkasa tersenyum tipis diikuti anggukan. “Maafin aku, Nda.”

“Mm, sekarang kamu istirahat. Jangan lupa entar kabarin Gara.”

“Oke,” pasrah Angkasa.