Kontrak
Angkasa berjalan mengendap-endap ketika dia berhasil keluar dari kamarnya. Dia kemudian menatap jam pada layar gawai yang telah menunjukkan pukul delapan malam. Seingatnya, dia mengalami tabrakan pada jam serupa. Alhasil, Angkasa lantas bernisitaif untuk mendatangi tempat dimana kecelakaan itu terjadi. Kalaupun Angkasa harus mengalami tabrakan untuk yang kedua kali, dia sudah siap. Asal dia bisa kembali ke dunia dimana dia seharusnya berada, bukan di dunia fiksi seperti sekarang ini.
Langkah Angkasa membawanya menuju garasi dimana mobilnya berada. Dengan sigap Angkasa menaiki mobilnya lalu menancap gas untuk segera keluar dari halaman rumah. Sayangnya, saat Angkasa hendak membuka pintu pagar, supir pribadi keluarganya seketika menghampiri mobilnya.
“Mas Asa mau ke mana?” tanya lelaki bernama Teguh itu, “Besok Mas Asa ada acara penting. Gak boleh keluyuran, Mas. Bahaya.”
“Saya ada urusan penting, Pak. Gak bisa ditinggalin,” Angkasa cengar-cengir, “Bentar doang.”
“Bapak sama Ibu tau gak, Mas?”
Angkasa berdeham, terpaksa dia harus berbohong. “Iya, tau kok. Minta tolong bukain pager ya, Pak. Saya buru-buru banget nih. Takut pulang kemaleman entar.”
“Baik, Mas.”
Angkasa tersenyum puas saat Pak Teguh akhirnya membuka pintu pagar untuknya. Angkasa pun buru-buru meninggalkan kediamannya itu setelahnya agar Ayah dan Bunda tak melihatnya.
Dalam perjalanannya menuju tempat dimana dia mengalami tabrakan, Angkasa diam-diam gugup. Namun, Angkasa kembali memantapkan hatinya. Dia harus kembali ke dunia dimana dia seharusnya berada, pikirnya lalu menambah kecepatan mobilnya.
Sampai saat Angkasa akhirnya tiba dimana tabrakan itu terjadi, dia refleks menginjak pedal rem ketika sebuah mobil yang sama persis dengan yang dia lihat dalam kecelakaan itu tiba-tiba datang dan memotong jalannya. Angkasa kemudian memeluk erat setir mobilnya sambil menutup mata ketakutan. Namun, Angkasa justru tidak merasakan apa-apa seperti yang sebelumnya. Suara tabrakan hebat pun tidak ada.
Angkasa yang semula menunduk kemudian mencoba mendongak untuk melihat keadaan mobil di depan mobilnya. Dan alangkah kagetnya Angkasa saat matanya mendapati bahwa Sagara lah yang turun dari mobil itu lalu menghampiri mobilnya. Sagara mengetuk-ngetuk jendela mobil Angkasa dengan keras dari luar beberapa kali sebelum Angkasa membuka jendela mobilnya itu.
Cakep juga dia…
Kalimat itu menjadi hal pertama yang terlintas di otak Angkasa ketika tatapannya dan Sagara bertemu. Sebab, Sagara nampak jauh lebih tampan daripada yang dia lihat di foto WhatsApp-nya.
Tapi kalau Sagara ini kelakuannya sama kayak yang di AU, percuma dia ganteng. Ogah gue sama dia.
Angkasa bermonolog dalam hati sambil menatap Sagara sengit.
“Cepet keluar dari mobil kamu sekarang,” titah Sagara dingin.
“Gak mau,” Angkasa menjulurkan lidah. “Lo pikir gue sama kayak si Sky yang mudah nurut sama lo?”
Sagara mengernyit, “Sky siapa?”
Lah, bener juga… Kan sekarang gue yang ada di posisi Sky, jadi Sagara gak bakal tau Sky siapa.
Angkasa berpikir lalu menghela napas kasar, “Gak penting! Lo mending parkir mobil lo di sisi jalan dah buruan. Ganggu aja.”
“Keluar dari mobil kamu, atau aku telepon Ayah sama Bunda kamu kalau anaknya ini pengen kabur. Mau?” ancam Sagara yang membuat Angkasa mendengus.
“Lo pengen apa sih dari gue?”
“Aku mau ngomongin sesuatu sama kamu,” kata Sagara.
“Ya udah, tinggal ngomong aja. Apa susahnya sih?” Angkasa memicing saat melihat Sagara merogoh saku celananya lalu mengeluarkan gawainya dari sana. Sagara lalu menekan sesuatu di sana, nampak kalau dia menelpon seseorang lalu menyalakan loud speaker agar Angkasa dapat mendengarnya.
“Halo, Om? Aku udah ketemu sama Asa,” ucap Sagara sambil menatap Angkasa dengan raut wajah datar, sedangkan Angkasa buru-buru membuka pintu mobilnya lalu berusaha untuk merebut gawai itu dari Sagara.
“Ra, maafin anak Om ya? Hari ini kamu dibikin repot mulu sama dia,” kata Ayah di seberang sana.
“Gak kok, Om. Lagian Angkasa kabur dari rumah buat ketemu aku, katanya pengen ngomongin sesuatu. Om gak usah khawatir.”
Angkasa melotot. Sagara tidak hanya bersikap menyebalkan di AU yang dia baca, tapi dia juga pandai memutar balikkan fakta.
“Entar biar aku yang nganterin Angkasa pulang ke rumah, Om.” ucap Sagara yang mendapat persetujuan dari Ayah Angkasa. Setelahnya, dia pun memutus sambungan telepon itu sebelum mencengkeram pergelangan tangan Angkasa dan menyeret calon suaminya itu ke mobilnya.
“Apaan sih? Lepasin gue!”
“Nurut sebentar aja bisa gak?”
“Gak bisa!” pekik Angkasa, tapi Sagara dengan sigap membuka pintu mobilnya lalu menuntun Angkasa untuk masuk dan duduk di seat samping bangku kemudi.
“Awas aja kalau kamu nyoba lari.”
Angkasa menggerakkan bibirnya meledek sambil memerhatikan Sagara yang berjalan di depan mobil sebelum ikut masuk dan duduk di sampingnya. Angkasa pun memutar bola mata ketika Sagara mengunci pintu mobil.
“Aku tau kamu gak suka sama perjodohan kita,” kata Sagara tanpa basa-basi. “Aku sendiri juga gak sudi dijodohin sama kamu, tapi cuma jalan ini yang bisa kita pake supaya kita bisa saling menguntungkan, Asa.”
“Saling menguntungkan apanya coba? Apa untungnya buat gue?”
“Aku tau kok, Ayah kamu nerima ajakan Papi aku buat ngejodohin kita berdua bukan tanpa alasan, tapi karena Ayah kamu butuh support Papi aku supaya Ayah kamu bisa makin dekat sama Presiden dan dipilih jadi salah satu menterinya nanti,” jelas Sagara. “Gitu juga sama aku…”
“Aku harus nurut sama Papi aku yang pengen ngejodohin kita bukan tanpa alasan, tapi supaya aku bisa nikah sebelum kakek aku tutup usia.” timpalnya. “Jadi kalau menurut kamu berumah tangga sama aku seumur hidup tanpa rasa cinta terlalu berat, kita bikin kontrak aja. Gimana?”
Angkasa memicing. Kalimat yang baru saja Sagara ucapkan sangat tidak asing. Jelas kalau apa yang kini Sagara ucapkan sama persis dengan narasi yang dia baca di AU. Angkasa pun menyeringai, sebab dia mengingat jelas narasi selanjutnya yang akan terjadi.
“Jadi lo pengen bikin kontrak kalau kita boleh cerai setahun setelah kita nikah kan?” tebak Angkasa yang membuat Sagara mengernyit sebelum bertanya.
“Kamu tau darimana kalau aku mau bikin kontrak kayak gitu?”
Angkasa berdecih diikuti senyum songong, “Gue tau sebagian jalan cerita hidup lo, Sagara. Jadi gak usah macem-macem sama gue.”
“Tapi author yang bikin karakter lo kayaknya belum ngejelasin deh kenapa kontraknya musti dalam jangka waktu setahun,” gumam Angkasa lalu kembali menatap wajah Sagara yang sedari tadi memicingkan matanya heran.
“Kamu ngomongin apa sih?”
Angkasa menggeleng, “Gak, gue penasaran aja kenapa kontrak pernikahan kita musti berakhir setelah setahun. Kenapa nggak sebulan atau dua bulan aja sih?”
“Karena aku gak tau kapan kakek aku bakal tutup usia. Kalau kata Dokter sendiri, hidup kakek aku tinggal beberapa bulan. Aku gak mau Kakek bahagia ngelihat aku nikah, tapi harus ngelihat aku cerai juga. Jadi aku cari aman aja. Lagipula… Kamu gak malu apa? Kalau kita baru sebulan nikah, terus tiba-tiba udah cerai aja?”
“Halah, gak usah jual cerita sedih soal Kakek lo ke gue deh. Lo pikir gue gak tau kalau lo musti nikah supaya lo bisa jadi CEO baru di perusahaan punya kakek lo. Iya kan?” seringai Angkasa, “Kakek lo pengen salah satu cucunya yang jadi CEO buat gantiin Om lo, tapi syaratnya harus nikah dulu kan?”
Rahang Sagara mengeras. Sagara lalu mencekik leher Angkasa dengan satu tangan, namun Angkasa justru terlihat tenang.
“Kamu gak usah sok tahu soal saya dan keluarga saya, Asa.”
“Gue gak sok tau, tapi emang tau busuk lo gimana.” Angkasa lalu tersenyum meledek, “Kenapa? Lo pengen bunuh gue ya? Silakan.”
“Lagian gue juga pengen cepet-cepet pergi dari dunia ini,” timpal Angkasa yang diam-diam frustasi karena belum juga menemukan jalan ’tuk keluar dari dunia fiksi, dan kini dia justru harus terjebak dengan karakter yang dia benci.
Cekikan Sagara di leher Angkasa pun perlahan melemah sebelum akhirnya terlepas. Sagara lalu menghela napasnya panjang.
“Jadi gimana?”
“Gimana apanya?”
“Soal kontrak yang udah kamu tau itu,” jelas Sagara. “Setuju?”
Angkasa berpikir sejenak. Jika di dalam AU Sky langsung setuju, maka dia tidak ingin seperti itu. Angkasa tidak ingin kisahnya berakhir seperti kisah klise fiksi tentang pernikahan kontrak di luaran sana; dimana dia akan jatuh cinta dengan tokoh utama. Meski Angkasa sendiri belum tahu bagaimana akhir cerita Sky dan Sagara di AU, tapi dia ingin jaga-jaga. Sebab, dari beberapa chapter yang telah Angkasa baca, nampak kalau tokoh Sky mulai menaruh perhatian pada Sagara.
“Oke, gue setuju. Tapi dengan syarat gue tetep boleh pacaran sama orang lain setelah nikah sama lo. Gue juga gak pengen kita tidur di kamar yang sama. Oh, sama satu lagi. Lo ataupun gue enggak boleh ikut campur urusan satu sama lain. Paham?”
“Terserah,” gumam Sagara.
“Bilang ‘iya’ dulu!” Angkasa berdecak kesal, “Cepetan!”
“Iya.”
“Oke. Udah kan? Buka pintu mobil lo. Gue mau keluar.”
“Entar mobil kamu biar dibawa pulang sama Pak Teguh. Kamu harus pulang sama aku,” Sagara kembali menyalakan mesin mobil lalu mendelik ke Angkasa yang kembali mengoceh dan protes karena ingin pulang sendiri.
“Dih? Kok lo maksa sih? Gue gak pengen pulang sama lo. Bukain!”
“Kalau kamu gak mau dianterin pulang sama aku, ya udah. Kita nginep aja di sini. Dalam kontrak kita, syaratnya kita nggak boleh tidur di kamar yang sama kan? Berarti kalau di mobil boleh,” ucap Sagara santai, sementara Angkasa mengepalkan tangan.
“Sagara anjing,” gumam Angkasa diikuti helaan napas gusarnya. “Ya udah, cepet anterin gue.”
Sagara pun hanya memutar bola mata malas sebelum menancap gas guna mengantar Angkasa untuk pulang ke kediamannya.