Jeva dan Biru yang berangkat lebih dulu lantas telah tiba dan menunggu Sean juga Daffa di depan studio. Keduanya pun asik bercengkerama dengan jemari mereka yang saling bertautan. Sampai tidak lama berselang, Daffa dan Sean akhirnya tiba. Mereka lalu menghampiri kedua sejoli itu sambil tersenyum tipis.
“Kalian udah nunggu lama ya?” sapa Sean bersamaan dengan Jeva dan Biru yang kini kompak bangkit dari posisi mereka tadi.
“Gak kok, Kak. Kita baru nyampe sepuluh menit yang lalu keknya,” sahut Biru diikuti senyum. Biru kemudian melirik ke arah Daffa sekilas, sebab ini menjadi kali pertama mereka bertemu meski saat koas di kardiologi dulu, Sean sempat bercerita tentang Daffa. Jadi, Biru notabenenya sudah tau sedikit tentang Daffa serta apa hubungannya dengan si residen.
“Ini pacarnya Kak Sean ya?” Jeva menyeletuk. Biru sontak kaget lalu menyikut pelan lengan sang pacar. Seharusnya dia memberi briefing kepada Jeva sebelumnya, batin Biru sambil menatap Sean dengan raut wajah tidak enak.
Sementara itu, Sean justru hanya terkekeh pelan lalu buka suara. “Bukan, Jev. Kenalin, ini Daffa. Dia sahabat aku sejak SMA dulu.”
“Masa sih, Kak? Yang beneeer?” goda Jeva dengan kedua mata memicing meledek, “Tapi pas Kak Sean ngajak kita meet up, Kak Sean bilang sekalian mau double date. Berarti kan Kak—”
“Jev…” bisik Biru pelan namun penuh penekanan; memotong apa yang ingin Jeva katakan.
“Kenapa, Bi?” tanya Jeva dengan raut polos. “Kamu pengen pipis?”
Biru hanya menatap Jeva pasrah lalu melirik Sean diikuti senyum yang dipaksakan, “Maaf ya, Kak.”
“Ngapain minta maaf, Bi?” kekeh Sean, “Santai aja deh sama kita.”
Biru tersenyum tipis.
“Pacar Kak Sean cakep ya.”
Lagi, Jeva menyeletuk. Dia sama sekali belum paham dengan apa yang ingin sang pacar sampaikan secara tersirat tadi; untuk tidak menanyakan status Daffa Sean.
“Sekarang aku ngerti deh kenapa Sean bilang kalau Jeva ngingetin dia sama aku pas SMA dulu,” kata Daffa sambil memandangi Jeva dengan segaris senyum di bibir.
“Karena kita sama-sama ganteng ya, Kak Daf?” Jeva cengar-cengir.
“Gak, tapi kamu bawel. Aku juga suka dipanggil bawel sama Sean.”
“Lucu banget,” kata Jeva dengan nada gemas. Sontak Daffa, Sean dan tidak terkecuali Biru hanya mampu diam sambil menatap Jeva pasrah karena responnya yang justru sangat tidak biasa.
“Udah ah,” Sean menengahi, “Yuk kita masuk ke studio sekarang. Bentar lagi filmnya mulai loh.”
Jeva mengangguk paham lalu bergelayut di lengan Biru. Daffa juga Sean yang melihat hal itu pun lantas geleng-geleng kepala, sedang Biru hanya mendengus.
“Kalian duluan aja,” titah Sean agar Jeva dan Biru melangkah lebih dulu. Kedua koas itu pun menurut. Mereka lantas berjalan mendahuluinya dan Daffa yang masih berdiri di tempat semula.
“Ayo, Yan.” Ajak Daffa, namun dia dibuat heran selama beberapa saat. Pasalnya, kini Sean justru mencengkeram bagian pinggang kemeja yang sedang dipakainya.
“Aku juga pengen gandengan kek mereka, tapi kamu bukan pacar aku. Jadi aku megang baju kamu aja,” kata Sean lalu tersenyum.
Daffa mendengus pelan diikuti senyum tipis. Dia lalu melirik ke kanan juga ke kiri dan mendapati bahwa saat ini hanya ada mereka berdua di depan studio. Alhasil, Daffa meraih jemari Sean yang semula mencengkeram bajunya. Dia menautkan jemari mereka lalu menggenggamnya amat erat.
“Gak ada orang di sini,” katanya. “Di studio juga udah gelap, jadi gak bakal ada yang ngeliat kita terus ngelaporin kita ke Mama Papa kamu atau Ayah aku, Yan.”
Sean tersenyum meledek lalu mengikuti langkah Daffa yang kini menuntunnya masuk ke dalam studio yang telah gelap. Mereka kemudian mencari kursi mereka yang berada tak jauh dari Jeva dan Biru lalu duduk di sana.
Setelah film yang mereka tonton selesai, Daffa, Sean, Jeva dan Biru lantas keluar studio. Keempat anak manusia itu pun sesekali berbincang tentang tanggapan mereka terhadap film yang telah diputar tadi. Sampai tidak lama berselang, Sean juga Daffa yang berjalan di depan Jeva dan Biru lantas berpapasan dengan sosok wanita paruh baya di lorong studio. Wanita itu kemudian menyapa Sean dan dibalas dengan ramah oleh si residen. Meski Daffa tidak kenal dengan wanita itu, namun dia menebak bahwa sosok yang kini berbicara dengan Sean mungkin adalah salah satu teman Mama Sean.
“Kamu abis nonton, Yan?”
“Iya, Tante. Ini aku baru aja keluar dari studio,” kata Sean. “Tante nonton sama siapa?”
“Tante nonton sendiri nih. Tadi Tante berangkat ke sini bareng Haris, tapi istrinya udah ngidam banget mau makan nasi goreng Solaria. Jadi ya udah deh, Tante nyuruh dia nemenin istrinya aja dulu. Biar entar mereka nyusul.”
“Istrinya Haris udah hamil, Tan?”
“Iya, udah empat bulan.”
Wanita paruh baya itu kemudian menepuk pelan bahu Sean. “Yan, Tante kasih tau ya. Sebagai Ibu, pasti kita pengen banget ngeliat anak kita berkeluarga. Apalagi moment nunggu cucu kita lahir sampai nanti bisa digendong itu ngingetin kita pas awal jadi Ibu dulu. Dan rasanya itu bahagia, haru, semua nyampur jadi satu.”
“Tante udah denger dari Mama kamu kalau kamu gak berniat nikah, tapi Tante cuma pengen ngingetin. Meskipun Mama sama Papa kamu menerima keputusan kamu, tapi bukan berarti mereka gak bakalan sedih kalau anaknya gak nikah dan berkeluarga.” Jelas si paruh baya. “Ayo dipikirin lagi, Yan. Lagian kan sekarang kamu masih residen, jadi masih ada lah waktu buat nyari calon, keknya banyak tuh dokter cantik di RS. Entar langsung nikahin aja kalau nanti kamu udah kelar residen.”
Sean tersenyum simpul tanpa berniat membalas perkataan teman Mamanya itu, namun Daffa yang berada di sisinya sangat paham bahwa saat ini Sean merasa tidak nyaman. Saat Daffa kemudian hendak mencari alasan agar Sean bisa menjauh dari wanita paruh baya itu, sosok itu justru lebih dahulu berkata.
“Terus kamu gak kasihan sama Mama Papa kamu apa? Kalau aja nanti ada gosip, kamu gak mau nikah karena kamu homo? Kan sekarang banyak tuh yang gitu. Bilangnya nggak mau nikah lah, childfree lah, tau-tau dia homo.”
“Emang kenapa kalau ada orang yang homo, Tante?” Jeva yang sedari tadi menyimak seketika angkat bicara. Dia pun merasa tidak nyaman akan ucapan si paruh baya di depan Sean itu. “Tante kok ngomongnya seolah nganggap homo itu kriminal ya?”
“Kamu ini siapa? Ikut campur aja urusan orang tua,” kata si paruh baya, sedang Jeva mendengus. “Anak muda yang kayak gini nih yang gampang kebawa arus, Yan. Teriak-teriak open minded, tapi malah nyalahin aturan norma.”
“Tante, maaf ya kalau saya ikut nimbrung. Mungkin kalau masih ada yang pengen Tante omongin sama Sean, bisa di tempat lain. Di sini banyak orang yang mau lewat soalnya,” Daffa menengahi. “Film yang pengen Tante tonton juga udah dimulai deh kayaknya.”
Wanita paruh baya itu terlihat gusar lalu melipat lengannya.
“Maafin anak ini juga ya, Tante.” Daffa menepuk pundak Jeva yang berada di belakangnya. “Dia koas, juniornya Sean di RS. Kalau saya sendiri temen SMA-nya Sean.”
“Ya udah,” kata wanita itu. “Yan, Tante masuk ke studio dulu ya.”
“Iya, Tante.”
Selepas perginya si paruh baya, Sean kemudian berbalik dan menatap Jeva juga Biru dengan raut sedu. “Maaf ya, kalian harus dengerin omongan kayak tadi.”
“Terutama kamu, Bi.” timpalnya, sebab Sean tau bahwa dokter muda itu memiliki trauma masa lalu tentang hubungan sejenis. Meski sekarang Biru memang telah berdamai, namun tidak menutup kemungkinan bahwa Biru juga merasa tidak nyaman.
“Aku gak apa-apa kok, Kak.” kata Biru. “Kalau Kak Sean gimana?”
Biru juga tahu bahwa si Residen pernah depresi karena hal itu.
Sean tersenyum, “Aku juga gak apa-apa kok, tapi kayaknya dua orang ini deh yang gak tenang.”
Biru kemudian melirik Jeva, sedang Sean menatap Daffa.
“Kamu baik-baik aja?” tanya Sean ke Daffa dan dibalas anggukan.
“Bi, kamu gak nanyain aku?” Jeva memelas, sedang Biru mendelik.
“Gak,” kata Biru. “Siapa suruh kamu main nyerocos aja tadi.”
“Loh, emang yang aku bilang salah? Aku suka laki-laki, jadi wajar kan aku tersinggung, Bi?Lagian Tante yang tadi juga gak sopan banget ngomong kayak gitu ke Kak Sean.” balas Jeva.
“Udah, udah. Entar malah kalian yang berantem.” Sean melerai Jeva dan Biru, “Sekarang kalian ke resto duluan gih, aku pengen ke toilet dulu. Kamu juga, Daf.”
Sean mengusap pelan bahu Daffa sebelum berjalan meninggalkan ketiga lelaki yang bersamanya tadi. Namun, Daffa yang sudah bisa menebak jika Sean sedang tidak baik-baik saja lantas melirik Jeva dan Biru sebelum bersuara.
“Jeva, Biru, kalian duluan aja ya. Aku mau nyamperin Sean dulu. Entar aku sama dia nyusul. Oke?”
Jeva dan Biru mengangguk kecil, sedang Daffa bergegas mengejar Sean ke arah toilet. Di saat yang sama, Biru lantas meraih tangan Jeva dan menggenggamnya erat.
“Jev, jangan diulangin ya?”
Jeva menautkan alisnya, “Kenapa, Bi? Yang aku lakuin itu salah ya?”
Biru menggeleng, “Kamu enggak salah kok. Aku juga ngerti kalau kamu marah dengerin omongan kayak yang tadi. Tapi kita juga harus ngerti kalau gak semua orang bisa nerima hubungan kayak gini. Kita berdua termasuk beruntung karena orang tua kita nerima kita dan seksualitas kita. Orang tua kita juga pernah deket banget sama orang-orang yang seksualitasnya kayak kita, that’s why they know how to treat us.”
“Tapi ada juga orang-orang kek kita yang gak seberuntung kita, Jev. Kayak Kak Sean sama Kak Daffa,” Biru menghela napasnya pelan. “Aku lupa ngasih tau kamu kalau mereka itu pernah pacaran tapi harus putus karena orang tua mereka nggak bisa nerima hubungan sesama jenis. Mereka masih saling suka sampai detik ini, sayangnya mereka gak bisa nunjukin itu ke orang lain secara terang-terangan. Alasannya yaa, karena lingkungan mereka gak mendukung. Meskipun orang tua mereka udah berdamai sama keadaan, tapi tetep aja hubungan sejenis itu salah di mata mereka.”
“Makanya Kak Sean sama Daffa mutusin buat kembali temenan aja tanpa harus orang lain tahu kalau sebenarnya mereka masih saling cinta,” timpal Biru. “Dan karena lingkungan mereka yang gak mendukung itu juga, kita gak bisa maksain pandangan orang lain di lingkungan mereka soal hubungan kek gini, Jev. It won’t work. Karena mereka gak pernah deket sama dunia dan orang-orang yang seksualitasnya gini.”
Jeva memanyunkan bibirnya lalu mengangguk paham. “Maaf, Bi.”
“Jangan minta maaf sama aku, tapi ke Kak Sean sama Daffa.”
“Tapi aku juga udah bikin kamu kecewa,” kata Jeva, sementara Biru yang notabenenya lebih pendek beberapa sentimeter dari Jeva justru mengulurkan tangan dan mengusap kepala si pacar.
“Aku gak pernah bilang kalau aku kecewa sama kamu kok, bawel.” kekeh Biru, “Udah, kita ke resto sekarang ya? Tadi katanya laper.”
“Tapi, Bi…” Jeva memelas.
Biru pasrah, “Apa lagi?”
“Aku juga pengen pipis.”
“Ntar aja pipisnya di toilet resto.”
Jeva mendesis, “Tapi ini udah gak tertahankan banget, Bi. Sueeer.”
Biru memutar bola matanya, “Ya udah gih, aku tungguin di sini.”
“Temenin,” Jeva menggoyangkan tangannya dan Biru yang masih bertautan. “Ayo dong, Sayang.”
“Kamu manja banget sih,” omel Biru, tapi pada akhirnya dia tetap mengikuti kemauan sang pacar.
Sementara itu, di toilet khusus pria, Sean yang tadinya hanya berniat ke tempat itu untuk menenangkan diri justru dibuat kaget saat melihat Daffa dari pantulan cermin wastafel. Daffa lalu menghampirinya hingga Sean refleks berbalik ke arah sang sahabat sekaligus sosok yang selama ini amat dicintainya.
“Kamu ngapain ke sini, Daf?”
“Karena aku tau kamu ke sini karena kamu gak baik-baik aja.”
Sean terdiam sesaat, terlebih saat Daffa menarik tubuhnya ke dalam dekapan hangat. Sean pun membalas pelukan Daffa tidak kalah erat sembari bergumam.
“Kamu juga tau gak, kalau aku ke sini biar kamu gak meluk aku?”
“Emang kenapa kalau aku meluk kamu?” Daffa terkekeh, namun hambar. “Takut ketahuan yaa?”
Sean menggeleng, “Karena aku bakal nangis kalau dipeluk kamu.”
“Gak apa-apa,” Daffa mengusap lembut belakang kepala Sean. “Nangis aja, Yan. Aku di sini kok.”
Dan benar saja, air mata Sean seketika tumpah hanya beberapa detik setelah Daffa memeluknya.
“Kenapa ya, Daf? Bahkan di saat kita udah gak egois dengan gak nunjukin ke dunia kalau kita ini masih saling cinta, dunia tetep aja jahat sama kita.” lirih Sean.
Mendengar hal itu, Daffa lantas menarik dirinya dari dekapan si pujaan hati lalu meletakkan jari telunjuknya di atas bibir Sean.
“Shhh, gak boleh ngomong gitu.” Daffa menyeka jejak air mata di pipi Sean, “Dunia masih cukup baik karena gak bikin kita pisah lagi, Yan. So, hang in there. Ya?”
Setetes air mata kembali jatuh di pipi Sean. Daffa pun buru-buru menghapus dengan ibu jarinya.
“Aku pengen egois kali ini aja, Daffa.” lirih Sean, dan tanpa membiarkan Daffa bertanya tentang apa maksud ucapannya, Sean lantas mengalungkan dua lengannya di tengkuk Daffa.
Sean menciumi bibir Daffa tanpa peduli lagi jika seseorang datang dan melihat mereka. Sebab yang Sean inginkan saat ini hanyalah menyalurkan kesedihan dan rasa kecewanya akan ketidakadilan dunia dengan sosok tercintanya.
Daffa pun paham akan emosi dalam diri Sean saat ini. Alhasil, dia menuruti ingin si pujaan hati. Daffa membalas kecupan demi kecupan yang kemudian berganti menjadi lumatan kala bibir Sean memberi celah untuk bibirnya.
Sementara itu, di luar toilet, Jeva yang tadinya ingin buang air justru seketika menghentikan langkahnya saat dia dengan tidak sengaja melihat Daffa dan Sean saling berbagi ciuman mesra. Dia kemudian buru-buru menuntun si pacar agar berbalik arah dan segera menjauhi toilet pria itu.
“Kamu ngapain sih, Jev? Tadi katanya pengen pipis,” protes Biru yang tidak tau apa-apa.
“Aku pipisnya di toilet restoran aja deh, Bi.” Jeva mendesis pelan, “Aku gak mau ganggu mereka.”
“Mereka siapa?”
“Kak Sean sama Kak Daffa,” kata Jeva. “Mereka lagi ciuman tadi.”
“Hah?” Biru lantas kaget sebelum menghentikan langkah kakinya. “Kalau gitu kita musti jaga toilet biar gak ada yang masuk terus ngeliat mereka berdua dong, Jev.”
Jeva mengulum bibirnya dengan tampang gelisah, “Iya juga ya, Bi. Tapi aku udah kebelet bangeeet.”
“Lagian orang-orang kenapa ya keknya suka banget ciuman di toilet,” desis Jeva. “Dulu aku juga gak sengaja liat Ray sama Julian ciuman di toilet RS, eh sekarang aku ngeliat Kak Sean sama Daffa.”
Pengakuan Jeva sontak membuat mulut Biru menganga. “Gimana? Kamu pernah liat Ray sama Jul…”
“Iya,” jujur Jeva. “Kamu inget gak pas kita stase di RSJ terus aku ikutin kamu ke toilet? Aku nahan kamu biar gak masuk juga karena aku ngeliat mereka ciuman, dan waktu itu kamu masih belum tau kalau aku suka kamu. Aku takut kamu inget sama trauma kamu.”
Segaris senyum pun tergambar di bibir Biru. Dia lantas terharu mendengar alasan pacarnya itu.
“Tadi kamu nanya kenapa orang-orang suka ciuman di toilet, kek kamu gak pernah ciuman sama aku di toilet aja.” decih Biru. “Apa kamu gak suka ya, pas aku nyium kamu di toilet RSCM waktu itu?”
“Gak gitu, Sayang. Tapi waktu itu kan kita ciumannya di bilik toilet, jadi orang lain gak liat. Kalau Kak Sean sama Daffa terus Ray sama Julian kan di depan wastafel tuh, makanya aku kek dejavu gitu, Bi. Ada tantangan tersendiri kali ya, kalau ciuman di tempat umum?” kekeh Jeva, sedang Biru terdiam.
Persekian detik kemudian, Biru tiba-tiba berjinjit lalu mengecup lembut bibir Jeva. Sontak kedua bola mata Jeva terbelalak saking kagetnya. Setelahnya, Jeva lantas melirik ke kiri dan kanan; takut seseorang memergoki mereka.
“Bi, kalau ada yang liat gimana?”
“Loh? Tadi kan kamu penasaran kenapa orang-orang suka kiss di tempat umum, Jev. Jadi gimana?”
Jeva mengulum senyum sambil membuang pandangannya ke arah lain. Dia salah tingkah. Jeva lalu melirik Biru lalu bersuara.
“Keknya aku musti research deh abis ini. Kok bisa ya orang yang tadinya kebelet malah hilang hasrat buat pipis gara-gara dicium di tempat umum gini.”
“Mm… Berarti orang-orang yang ciuman di toilet tuh pada kebelet pipis, tapi karena satu dan lain hal, mereka ciuman deh biar gak kebelet lagi.” Ujar Biru asal yang membuat Jeva seketika tertawa.
“Udah ah, kita ke resto sekarang yuk. Biar kamu juga bisa ke toilet. Bakal jadi penyakit kalau nahan pipis, Jev.” usul Biru yang dibalas anggukan oleh Jeva. Keduanya pun bergegas pergi dari tempat itu sambil berpegangan tangan.