jaesweats

“Tapi aku sadar kok,” kata Axel.

“Sadar apanya?”

“Aku sadar kalau aku sayang sama kamu,” Axel tersenyum tipis. “Kalau kamu kapan, Gin?”

Gino membisu sambil menatap lurus ke dalam mata Axel. Dia sibuk dengan pikirannya sendiri tentang bagaimana Axel sangat yakin dengan perasaannya itu.

“Gin, maaf.” Axel menyadari Gino tiba-tiba terdiam, “Aku gak ada maksud buat ngasih pressure ke kamu. So, take your time. Okay?”

Gino terkekeh, “Kamu ini people pleaser? Dikit-dikit minta maaf.”

“Enggak sih, tapi kalau aku ada salah ngomong kan emang udah seharusnya aku minta maaf, Gin.”

“Kamu gak salah ngomong kok,” Gino menghela napasnya. “Aku cuma kepikiran aja gimana kamu bisa yakin sama perasaan kamu.”

“Biar aku balik pertanyaannya, gimana kamu nggak bisa yakin sama perasaan kamu?” kekeh Axel, “Padahal kan kamu yang ngerasain, kamu tau apa yang kamu mau dan apa yang nggak pengen kamu sia-siakan. That’s why when we want something, we’re gonna try to get it, right?”

“Tapi kan perasaan itu kompleks, Xel. Gak sesederhana kamu mau minum teh, jadi kamu bikin teh.” balas Gino, “I mean, how can you be sure that you love me and not just because you’re curious about me? Apalagi selama ini kamu tuh cuma kenal aku dari dunia maya.”

“Menurut aku, orang-orang yang sebenarnya enggak yakin sama perasaan mereka ini yang bikin kasus selingkuh masih banyak…” tatapan Gino mendadak kosong.

“Mereka cuma penasaran sama orang yang awalnya mereka kira mereka suka bahkan sayang, but once they know the answer to the question in their head, they’ll find someone else.” Gino menimpali. “Tapi mereka gak cukup berani buat bilang pisah ke pasangan.”

Axel menatap lamat-lamat wajah Gino, “Give me an example, Gin.”

“Contohnya mantan pacar aku,” Gino menatap mata Axel diikuti senyum hambar. “Aku kenal dia sejak SMA, kita temenan sampai akhirnya jadian pas kita kuliah…”

“Tapi setelah aku sama dia udah sama-sama kerja, dia khianatin aku. Dia selingkuh sama temen kantornya,” suara Gino sedikit bergetar. “Dan kamu tau gak, dia bilang apa pas aku minta alasan kenapa dia selingkuh dari aku?”

“Dia bilang, aku bukan Gino yang dia kenal selama ini. Aku ini gila kerja, terus mentingin diri aku sendiri doang.” jelas Gino. “Dia juga bilang kalau dulu, alasan dia tertarik sama aku tuh karena dia pikir aku bisa selalu punya waktu buat dia setiap dia butuh aku…”

“Dia… Mungkin penasaran, apa aku ini bisa ada di bawah kakinya setelah kita pacaran atau nggak, turns out aku gak mau. Karena aku juga punya mimpi yang udah lama pengen aku raih,” kata Gino. “Aku gak bisa ngikutin ekspektasi dia yang pengen aku diem doang di bakery buat ngelanjutin usaha Mama aku, biar aku lebih banyak waktu buat ada di samping dia.”

“Sejak saat itu… Aku tuh selalu mempertanyakan diri aku, Xel.” Gino menunduk, dia tidak ingin Axel melihat matanya berkaca-kaca, “Apa aku masih pantes ya dicintai? Apa aku emang harus ngorbanin mimpi aku dulu biar aku bisa dicintai orang lain lagi?”

“Dan karena itu juga aku gak bisa gampang percaya sama orang yang berusaha deketin aku,” kata Gino. “Aku gak percaya mereka bener-bener sayang sama aku.”

“Kalau menurut aku ya, mantan kamu bukannya gak yakin sama perasaannya. Tapi dia mencintai Gino yang ada di bayangannya,” kata Axel. “Dia gak menerima kamu seutuhnya, Gin. Dia tuh tipikal yang pas pacaran malah nganggap pacarnya hak milik.”

“Makanya aku percaya kalau buat nyari pasangan, ya harus ngeliat juga kita punya visi yang sama dengan mereka apa gak, punya pandangan hidup yang sama apa gak,” timpal Axel, “Kalau aja dia se-visi sama kamu, dia bakalan ngerti kok. Justru malah dia yang pasti ngedukung mimpi kamu.”

Case kamu hampir mirip sama apa yang dulu Mama aku alamin, Gin.” Axel ikut bercerita. “Papa kandung aku juga selingkuh dan ketika Mamaku nanya alasannya apa, dia malah gaslighting Mama aku. Padahal emang dianya aja yang gampang dirayu pake kata-kata manis sama wanita lain...”

“Yang pengen aku bilang di sini, kamu jangan pernah ya nyalahin atau mempertanyakan diri kamu sendiri kalau kamu diselingkuhi,” tutur Axel, “Mau gimana pun itu alasannya, selingkuh itu hal gak bener dan gak bisa ditolerir, Gin.”

“Banyak kok case selingkuh yang terjadi gara-gara salah satu pihak emang gak pernah ngerasa puas aja dengan satu pasangan, tapi malah nyari pembenaran.” Axel pun sedikit emosional, dan Gino menyadarinya. Gino lalu refleks meraih jemari lelaki berlesung pipi itu lalu menggenggamnya.

“Mhm, aku ngerti.” balas Gino, “Thank you for telling me this.”

“Maaf ya, aku jadi ikut emosional. Denger cerita kamu bikin aku keinget sama Mama aku,” Axel membalas genggaman tangan Gino sambil tersenyum, “Kamu pantes dicintai sama orang yang tepat, Gin. Percaya sama aku.”

Gino ikut tersenyum sebelum mengangguk paham, “Jadi… Alasan kamu gak suka sama orang yang gampang kemakan kata-kata manis karena kamu gak pengen ketemu seseorang yang mirip Papa kamu ya, Xel?”

“Mm,” Axel membenarkan. “Aku juga benci hujan gara-gara dia.”

“Kamu udah siap cerita ke aku gak?” tanya Gino yang dibalas anggukan pelan oleh Axel.

“Dulu aku anaknya aktif banget, aku enggak bisa diem di rumah. Terus, hari itu aku sama Mama Papaku liburan ke Bali,” katanya. “Aku inget banget, aku lagi main di villa, tapi karena aku ngeliat di luar villa ada banyak anak-anak, aku minta izin buat gabung sama mereka ke Mamaku, karena Papa aku waktu itu lagi gak di villa, ngakunya pengen nyari angin.”

“Ya namanya anak-anak kan, aku keasikan main sama temen baru aku sampai aku mau-mau aja ikut mereka ke pantai, gak izin Mama dulu. Akhirnya pas hujan, Mama aku panik karena aku udah nggak ada di depan villa. Mama katanya nelpon Papa waktu itu, tapi hp Papa malah gak aktif. Jadi, Mama bawa payung terus nyari aku ke pantai sendiri.” Axel kemudian tersenyum kecut mengingatnya.

“Eh, pas aku sama Mama udah ketemu dan kita jalan pengen balik ke villa, aku sama Mama justru ngeliat Papa lagi ciuman sama wanita lain.” timpal Axel, “Andai aja waktu itu gak hujan, Mamaku gak perlu keluar dari villa buat nyariin aku, sampai-sampai dia harus ngeliat Papa aku lagi bareng wanita lain.”

“Maaf kalau aku potong, Xel. Tapi menurut aku, bukannya bagus ya karena Mama kamu akhirnya tau tabiat asli Papa kamu gara-gara nyariin kamu pas turun hujan?”

Axel mengangguk, “Mm, emang bagus Mama akhirnya gak perlu bertahan sama pria kayak Papa setelahnya. Tapi andai aja waktu itu gak hujan, mungkin cuma aku yang bakalan ngeliat kejadian itu. Dengan gitu juga Mama aku gak bakalan terlalu sakit andai aja dia nggak liat pake matanya sendiri.”

“Bayangin, Gin. Mama aku harus ngeliat anaknya jadi pasiennya sendiri karena aku nggak bisa nyeritain rasa sakit aku, gara-gara kejadian itu, sementara Mama juga lagi sakit karena dikhianatin sama suaminya.” suara Axel lirih. “I wish I was the only one who got hurt, not her.”

Gino lantas mengusap punggung tangan Axel dengan ibu jarinya, berniat untuk menenangkannya.

“Tapi aku yakin Mama kamu juga berpikir sama, Xel. Pasti dia pun gak pengen ngeliat kamu ikutan terluka, apalagi dia psikiater kan. Pasti dia khawatir banget sama kondisi mental kamu yang waktu itu masih anak-anak,” kata Gino.

“Kamu bener sih. Bahkan sampai sekarang Mamaku masih suka mastiin, aku nih nggak punya pacar karena masih keinget kejadian itu gak?” kekeh Axel.

“Padahal aku gak punya pacar karena aku nunggu kamu—eh!” timpal Axel dengan nada jenaka yang membuat Gino terkekeh.

Kedua anak manusia itu pun kembali melanjutkan percakapan mereka yang mengalir begitu saja. Mulai dari hal kecil dan sepele hingga topik serius. Baik itu Axel maupun Gino seolah menemukan tempat bercerita ternyaman satu sama lain. Bahkan saking nyamannya, mereka nyaris lupa waktu.

Gino yang telah terbangun dari tidurnya sejak dua jam lalu kini sedang asik memandangi hiruk pikuk area notting hill di luar sana. Ia berdiri di depan jendela yang dekat dengan sofa ruang tengah apartemen Axel sambil melipat lengannya. Meski di luar sana sedang hujan cukup lebat, namun tidak ada kata istirahat ataupun sekedar berteduh bagi orang-orang yang nampaknya sudah harus memulai hari dan menjalani aktivitasnya masing-masing. Cukup lama menatap ke arah luar jendela, Gino kemudian beralih memandangi jam dinding yang berada di ruang tengah itu, degup jantungnya pun tiba-tiba menggila kala Gino mendapati bahwa jarum jam telah menunjuk ke arah angka tujuh. Itu artinya, tak lama lagi sang empu hunian yang ditempatinya akan datang.

Merasa sedikit bosan, Gino lalu melangkah ke sofa lalu duduk di sana. Dinyalakannya televisi yang berada di hadapannya meski dia sendiri tidak tahu ingin mencari tontonan apa. Sebab, Gino hanya ingin mengusir sepi serta rasa bosannya sambil menunggu Axel.

Sampai tak lama berselang, suara pintu apartemen yang dibuka tiba-tiba menggema. Gino pun semakin berdebar hingga tanpa sadar ia refleks berdiri dari sofa. Gino kemudian beranjak, hendak menghampiri sumber suara, tapi sebelum dia meninggalkan ruang tengah, sosok lelaki tinggi, putih dan berparas rupawan membuat langkahnya terhenti kala mereka berpapasan. Lelaki itu pun tidak lain adalah Axel; yang dia kenal dari Tinder empat bulan lalu.

Sama seperti Gino yang tiba-tiba mematung, Axel pun hanya bisa memandangi Gino dengan sorot mata kagum dan memuja. Seulas senyum lantas terukir di bibir mereka beberapa saat kemudian.

“Hi,” sapa Axel lembut.

Dia lalu memberanikan diri ‘tuk maju beberapa langkah hingga kini dia dan Gino telah saling berhadapan dengan jarak dua jengkal saja. Axel menjulurkan tangannya, mengajak Gino untuk bersalaman. “Salam kenal, Gin.”

Gino tidak meraih uluran tangan Axel, namun dia dengan sigap memeluk lelaki yang lebih tinggi lima senti darinya itu. Axel pun melakukan hal serupa. Dia lantas membalas dekapan Gino tidak kalah eratnya sambil bergumam, “Akhirnya aku ketemu kamu.”

“Maafin aku ya, Xel.” balas Gino, “Kamu jadi bolak-balik Indonesia – UK dalam dua hari karena aku.”

It’s okay,” Axel refleks mengusap belakang kepala Gino. “Kamu aja jauh-jauh datang ke sini karena aku kan? Jadi aku harus pulang, biar kamu nggak nunggu lama.”

Perlahan, kedua anak manusia itu menarik diri dari pelukan yang tadi mereka ciptakan. Baik itu Axel maupun Gino kembali saling berbagi tatap dalam diam dengan senyum manis di bibir mereka. Kedua tangan Axel pun masih setia menggenggam hati- hati pergelangan tangan Gino.

“Bener ya kata Damian...”

Gino menaikkan alisnya saat dia mendengar ucapan Axel barusan.

“Damian bilang apa?”

You’re beyond gorgeous,” puji Axel yang membuat Gino bersemu.

“Kamu juga lebih cakep dari yang aku lihat di foto ya,” balas Gino.

“Udah cukup cakep buat masuk kriteria tipe ideal kamu gak nih?”

Gino menahan senyum, “Cakep itu bukan point utama, sorry.”

Axel terkekeh, sementara Gino baru menyadari bahwa rambut bahkan baju Axel sedikit basah.

“Kamu kehujanan di luar?”

“Mhm, tapi pas keluar dari taksi di depan apartemen doang kok.”

“Ya udah, kamu ganti baju dulu gih. Sekalian keringin rambut kamu. Lumayan basah loh itu.”

“Oke, aku ke kamar bentar ya. Aku mau masukin koper juga.”

Gino mengangguk paham sambil memerhatikan Axel menyeret koper yang tadi dibawanya ke kamar. Setelahnya, Gino lantas berinisiatif membuat teh hangat untuk Axel di dapur. Ia kemudian kembali ke ruang tengah sambil membawa teh itu dimana Axel juga telah keluar dari kamarnya sebelum duduk di sofa panjang.

“Nih, diminum dulu. Biar badan kamu anget,” kata Gino sembari meletakkan tehnya di atas meja.

“Makasih ya, cutie pie.” kata Axel lalu meraih cangkir berisi teh hangat itu dan menenggaknya perlahan hingga habis setengah.

Diletakkannya kembali cangkir itu ke meja sambil berkata, “Kok kamu tau kalau aku suka teh?”

“Kamu pernah bilang kalau kamu gak suka kopi,” jawab Gino. “Di dapur kamu juga banyak stock teh, terus kamu sering ngepost di Instagram kamu pas kamu lagi di coffee shop, tapi yang kamu pesen keliatan banget milk tea.”

“Jadi kesimpulannya, kamu suka teh.” Timpal Gino, sedang Axel terkekeh pelan lalu mengangguk.

Axel kemudian melipat kedua kakinya di atas sofa, badannya dia miringkan ke arah Gino yang duduk di sebelahnya, sementara tangan kanan Axel menopang kepalanya sendiri pada sofa. Dia pun kembali sibuk memandangi wajah Gino sambil tersenyum manis. Sangat jelas bahwa Axel tidak mampu menyembunyikan rasa bahagianya saat ini. Gino sendiri hanya ikut memandangi lelaki di hadapannya itu sambil menahan senyuman herannya.

“Kenapa?” tanya Gino.

“Aku berasa lagi mimpi ngeliat kamu sekarang udah ada di depan aku, Gin.” jawab Axel.

“Aku juga berasa lagi mimpi nih, tapi mimpi buruk gara-gara dari tadi dilihatin mulu sama kamu,” decak Gino, sedang Axel tertawa.

“Gin.”

“Apa?”

“Kamu pernah denger kalimat akan ada pelangi setelah hujan gak?” tanya Axel dengan raut serius, Gino pun mengangguk.

“Pernah,” kata Gino. “Kenapa?”

“Dulu aku nggak pernah percaya sama kalimat itu, tau. Justru aku malah percaya kalau bakalan ada musibah setelah hujan saking bencinya aku sama hujan.” jelas Axel, “Tapi… Sekarang aku udah mulai belajar percaya. Soalnya di luar masih hujan, tapi pelanginya udah ada di depan mata aku.”

Gino menipiskan bibirnya selagi satu tangannya meraih satu buah bantal sofa yang ada di sebelah kanannya. Dia kemudian berkata, “Akhirnya waktu ini tiba juga…”

“Waktu buat apa, Gin?”

“Waktu buat gebukin kamu,” ujar Gino lalu memukuli badan Axel dengan bantal sofa tadi, sedang yang diperlakukan demikian justru refleks tertawa lantang.

“Kalau gebukin orang bisa via Tinder, udah sejak empat bulan yang lalu aku gebukin kamu pas ngalus kayak gini, Xel.” Gino lalu ikut tertawa pelan. “Ngeselin.”

“Ngeselin apa salting, hm?” Axel menusuk pipi kiri Gino dengan telunjuknya. “Nih, merah nih.”

“Sembarangan, pipi aku emang udah merah dari sananya tau!”

“Iyaa, aku percaya.” kekeh Axel. “Oh iya, kemarin kamu bilang kalau kamu udah resign kan?”

“Mm,” gumam Gino. “Thanks to cowok random yang aku kenal dari Tinder karena udah ngasih aku insight dari pendapatnya.”

Axel mengulum senyum karena sadar bahwa sosok yang Gino maksud barusan adalah dirinya.

“Jadi kesibukan kamu sekarang apa, Gin?” tanya Axel penasaran.

“Aku masih jadi pengangguran sekarang,” Gino tersenyum. “I’m still considering where I’m going after this. Soalnya dengan aku resign dari kantorku kemarin tuh termasuk langkah besar banget dalam karir aku. Sekalian, aku nganggap ini waktu aku buat istirahat sebentar sebelum lanjut ke tempat yang baru lagi sih.”

Axel mengangguk setuju, “Aku paham sih, apalagi kantor kamu emang dream company banyak orang. Posisi kamu di sana juga pasti udah tinggi, tapi kan ada banyak faktor juga yang kadang bikin kita perlu ninggalin tempat lama terus nyari tempat baru.”

“Iya, tapi sebagian orang kadang gak ngerti. Mereka cuma ngeliat enaknya doang tanpa ngeliat aku udah ngorbanin apa aja selama kerja di sana bertahun-tahun.” kata Gino, “Aku kadang ngerasa kehilangan hidup aku di sana.”

Melihat wajah Gino yang tiba-tiba berubah menjadi murung, Axel lantas mencubit pelan pipi kanan Gino. “Kamu sedih ya?”

“Gak kok,” Gino mendesis. “Kamu modus ya cubit-cubit pipi aku?”

Axel terkekeh, “Aku gemes sama pipi kamu soalnya. Maafin yaa?”

Gino geleng-geleng kepala.

“Kalau kamu tertarik kerja di sini, aku bisa kok nge-rekomendasiin kamu ke kantor aku atau kantor Papa.” Axel menawarkan, “Papa aku butuh auditor di kantornya.”

Mata Gino pun memicing, “Yang butuh, Papa kamu, apa anaknya?”

“Anaknya, eh! Maksud aku Papa.”

Gino memutar bola mata sambil menahan senyumnya, sementara Axel tersenyum sebelum kembali bersuara. “Kamu pernah bilang kalau orang tua kamu ada usaha bakery kan, Gin? Kamu enggak kepikiran nerusin, atau bahkan ngambil alih usaha mereka itu?”

“Udah ada kakak aku kok yang siap nerusin, bahkan kakak aku udah megang beberapa cabang di luar Jakarta.” kata Gino, “Aku juga gak pernah kepikiran buat ngelanjutin usaha keluarga aku, that’s just not my thing. At all.

“Bakery orang tua kamu gede dong ya kalau udah ada cabang dimana-mana,” Axel terkesima. “Jangan-jangan aku tau bakery milik orang tua kamu lagi, Gin.”

“Bisa jadi sih, apalagi kalau kamu penggemar pastry dari dulu, Xel. Soalnya usaha bakery orang tua aku ini sebenernya turunan juga dari Papanya Mama aku. Jadi ya udah lumayan lama,” jelas Gino.

“Lekkers Bakery bukan?” tebak Axel, sementara Gino melotot.

“Kamu tau?”

“Beneran, Gin?”

Gino mengangguk, “Iyaaa.”

Mulut Axel refleks menganga bersamaan dengan matanya yang ikut melotot. Gino yang melihat raut wajah jenaka Axel pun seketika tertawa lantang.

“Mama aku harus tau sih kalau aku kenal sama anaknya yang punya Lekkers Bakery,” kata Axel, “Itu tuh tempat favorit aku sama Mama aku dari duluuu. Sumpah!”

“Kemarin aja pas aku pulang ke Indonesia, aku sempet mampir ke Lekkers Bakery.” timpal Axel sambil meraih gawainya, “Aku punya fotonya pas aku ngasih tau Mamaku. Kamu lihat deh.”

Gino tersenyum tipis saat Axel menunjukkan foto ketika dia berkunjung kemarin. “Mm, yang kamu datengin ini toko tertua. Mama aku pengen pertahanin kesan otentiknya, makanya toko yang ini sedikit beda dari cabang yang lain. Dan paling rame juga.”

“Selalu rame sih dari dulu,” kata Axel. “Terus kamu tau gak, Gin. Aku jadi suka banget sama pastry gara-gara bakery milik keluarga kamu ini, tau. Ceritanya agak dramatis sih, jujur, tapi lucu juga kalau aku coba ingat-ingat lagi.”

“Gimana emang ceritanya?”

“Kayaknya waktu itu umur aku masih sepuluh tahun deh kalau nggak salah, soalnya aku inget banget Mamaku bawa aku ke Lekkers Bakery pas Mama abis minta cerai sama Papa kandung aku.” kenang Axel, “Terus di sana aku ketemu anak laki-laki yang juga lagi makan pastry di meja sebelah aku. Karena Mamaku masih ngantri dan aku udah laper banget, aku kan otomatis ngeliatin anak itu mulu nih...”

Axel sedikit tertawa sambil terus bercerita, “Tau-tau anak yang tadi itu datengin meja aku terus ngasih croissant dia buat aku.”

“Kayaknya anak itu kasian deh ngeliat aku, gara-gara aku pas dateng emang lagi nangis. Yaa gimana, dengerin orang tua aku mau pisah pasti ada sedihnya.” timpal Axel, “Tapi croissant dari anak itu beneran bikin mood aku balik lagi. Udah lah emang rasa croissant-nya enak, terus aku juga ngerasa masih ada orang yang peduli sama aku waktu itu.”

“Dari situ juga aku percaya kalau kebaikan apapun yang kita lakuin meski sekecil apapun itu bisa aja punya impact yang besar buat orang di sekitar kita,” final Axel.

“Kamu tau apa yang lebih lucu gak, Xel?” tanya Gino sembari memandangi wajah Axel lamat.

Axel selalu excited mendengar cerita Gino, “Apa, Gin? Tell me.”

“Anak yang ngasih croissant-nya buat kamu itu aku,” tutur Gino.

“Kamu bercanda?” kata Axel.

“Serius,” Gino terkekeh. “Waktu itu kamu pake jaket warna biru kan? Pipi kamu tembem dulu.”

Axel lantas membekap mulutnya sendiri sambil memandangi Gino dengan raut wajah tak percaya.

“Aku juga inget banget ngeliat kamu masuk ke toko sambil nangis. Awalnya kamu gak mau ngelepasin tangan Mama kamu karena gak pengen ditinggal sendiri di meja kamu, bener kan?” tanya Gino yang dibalas anggukan mantap oleh Axel.

“Pas ngeliat kamu, aku jadiin kamu bahan bersyukur tau, Xel.” timpal Gino yang membuat Axel sontak tertawa terbahak-bahak.

“Bahan bersyukur gimana?”

“Soalnya waktu itu aku mikir kalau kamu nangis karena pengen beli pastry tapi gak punya uang, mana kamu mungkin pengen beli yang mahal, makanya Mama kamu ngantri sendiri biar kamu gak asal nunjuk.” ungkap Gino yang membuat air mata Axel nyaris menetes karena tawa. “Sejak saat itu aku mulai bersyukur karena bisa ikut Mamaku ke toko terus dikasih pastry gratis walaupun aku sebenarnya udah muak...”

“Maaf ya, Xel. Aku gak tau kalau orang yang aku kasihani waktu itu justru orang yang seharusnya ngasihani aku.” ucap Gino sesal.

“Kok ngasihani kamu sih, Gin?” tanya Axel dengan sisa tawanya.

“Ya karena kamu orang kaya.”

“Nggak ah,” kata Axel. “Kamu tuh yang kaya. Gino juragan pastry.”

“Kurang ajar,” kekeh Gino.

Axel mendesis, “Tapi, Gin…”

“Hm?” Gino mengangkat alisnya.

“Kayaknya kita jodoh deh.”

Gino menatap Axel datar sambil meraih bantal sofa, “Kamu mau aku gebukin lagi pake ini gak?”

“Serius, aku gak lagi ngegombal. Kamu pernah denger red string theory kan pasti?” sahut Axel, “Terus coba deh kamu pikir gimana kita bisa ketemu di Tinder sampai sekarang kita bisa tatap muka kayak sekarang ini. Dan ternyata kita pernah ketemu juga pas masih kecil dulu, Gin.”

“Aku gak percaya teori gituan,” Gino lalu memeluk bantal sofa. “Ada banyak kebetulan di dunia, kita aja yang kadang gak sadar.”

“Tapi aku sadar kok,” kata Axel.

“Sadar apanya?”

“Aku sadar kalau aku sayang sama kamu,” Axel tersenyum tipis. “Kalau kamu kapan, Gin?”

Jeva dan Biru yang berangkat lebih dulu lantas telah tiba dan menunggu Sean juga Daffa di depan studio. Keduanya pun asik bercengkerama dengan jemari mereka yang saling bertautan. Sampai tidak lama berselang, Daffa dan Sean akhirnya tiba. Mereka lalu menghampiri kedua sejoli itu sambil tersenyum tipis.

“Kalian udah nunggu lama ya?” sapa Sean bersamaan dengan Jeva dan Biru yang kini kompak bangkit dari posisi mereka tadi.

“Gak kok, Kak. Kita baru nyampe sepuluh menit yang lalu keknya,” sahut Biru diikuti senyum. Biru kemudian melirik ke arah Daffa sekilas, sebab ini menjadi kali pertama mereka bertemu meski saat koas di kardiologi dulu, Sean sempat bercerita tentang Daffa. Jadi, Biru notabenenya sudah tau sedikit tentang Daffa serta apa hubungannya dengan si residen.

“Ini pacarnya Kak Sean ya?” Jeva menyeletuk. Biru sontak kaget lalu menyikut pelan lengan sang pacar. Seharusnya dia memberi briefing kepada Jeva sebelumnya, batin Biru sambil menatap Sean dengan raut wajah tidak enak.

Sementara itu, Sean justru hanya terkekeh pelan lalu buka suara. “Bukan, Jev. Kenalin, ini Daffa. Dia sahabat aku sejak SMA dulu.”

“Masa sih, Kak? Yang beneeer?” goda Jeva dengan kedua mata memicing meledek, “Tapi pas Kak Sean ngajak kita meet up, Kak Sean bilang sekalian mau double date. Berarti kan Kak—”

“Jev…” bisik Biru pelan namun penuh penekanan; memotong apa yang ingin Jeva katakan.

“Kenapa, Bi?” tanya Jeva dengan raut polos. “Kamu pengen pipis?”

Biru hanya menatap Jeva pasrah lalu melirik Sean diikuti senyum yang dipaksakan, “Maaf ya, Kak.”

“Ngapain minta maaf, Bi?” kekeh Sean, “Santai aja deh sama kita.”

Biru tersenyum tipis.

“Pacar Kak Sean cakep ya.”

Lagi, Jeva menyeletuk. Dia sama sekali belum paham dengan apa yang ingin sang pacar sampaikan secara tersirat tadi; untuk tidak menanyakan status Daffa Sean.

“Sekarang aku ngerti deh kenapa Sean bilang kalau Jeva ngingetin dia sama aku pas SMA dulu,” kata Daffa sambil memandangi Jeva dengan segaris senyum di bibir.

“Karena kita sama-sama ganteng ya, Kak Daf?” Jeva cengar-cengir.

“Gak, tapi kamu bawel. Aku juga suka dipanggil bawel sama Sean.”

“Lucu banget,” kata Jeva dengan nada gemas. Sontak Daffa, Sean dan tidak terkecuali Biru hanya mampu diam sambil menatap Jeva pasrah karena responnya yang justru sangat tidak biasa.

“Udah ah,” Sean menengahi, “Yuk kita masuk ke studio sekarang. Bentar lagi filmnya mulai loh.”

Jeva mengangguk paham lalu bergelayut di lengan Biru. Daffa juga Sean yang melihat hal itu pun lantas geleng-geleng kepala, sedang Biru hanya mendengus.

“Kalian duluan aja,” titah Sean agar Jeva dan Biru melangkah lebih dulu. Kedua koas itu pun menurut. Mereka lantas berjalan mendahuluinya dan Daffa yang masih berdiri di tempat semula.

“Ayo, Yan.” Ajak Daffa, namun dia dibuat heran selama beberapa saat. Pasalnya, kini Sean justru mencengkeram bagian pinggang kemeja yang sedang dipakainya.

“Aku juga pengen gandengan kek mereka, tapi kamu bukan pacar aku. Jadi aku megang baju kamu aja,” kata Sean lalu tersenyum.

Daffa mendengus pelan diikuti senyum tipis. Dia lalu melirik ke kanan juga ke kiri dan mendapati bahwa saat ini hanya ada mereka berdua di depan studio. Alhasil, Daffa meraih jemari Sean yang semula mencengkeram bajunya. Dia menautkan jemari mereka lalu menggenggamnya amat erat.

“Gak ada orang di sini,” katanya. “Di studio juga udah gelap, jadi gak bakal ada yang ngeliat kita terus ngelaporin kita ke Mama Papa kamu atau Ayah aku, Yan.”

Sean tersenyum meledek lalu mengikuti langkah Daffa yang kini menuntunnya masuk ke dalam studio yang telah gelap. Mereka kemudian mencari kursi mereka yang berada tak jauh dari Jeva dan Biru lalu duduk di sana.


Setelah film yang mereka tonton selesai, Daffa, Sean, Jeva dan Biru lantas keluar studio. Keempat anak manusia itu pun sesekali berbincang tentang tanggapan mereka terhadap film yang telah diputar tadi. Sampai tidak lama berselang, Sean juga Daffa yang berjalan di depan Jeva dan Biru lantas berpapasan dengan sosok wanita paruh baya di lorong studio. Wanita itu kemudian menyapa Sean dan dibalas dengan ramah oleh si residen. Meski Daffa tidak kenal dengan wanita itu, namun dia menebak bahwa sosok yang kini berbicara dengan Sean mungkin adalah salah satu teman Mama Sean.

“Kamu abis nonton, Yan?”

“Iya, Tante. Ini aku baru aja keluar dari studio,” kata Sean. “Tante nonton sama siapa?”

“Tante nonton sendiri nih. Tadi Tante berangkat ke sini bareng Haris, tapi istrinya udah ngidam banget mau makan nasi goreng Solaria. Jadi ya udah deh, Tante nyuruh dia nemenin istrinya aja dulu. Biar entar mereka nyusul.”

“Istrinya Haris udah hamil, Tan?”

“Iya, udah empat bulan.”

Wanita paruh baya itu kemudian menepuk pelan bahu Sean. “Yan, Tante kasih tau ya. Sebagai Ibu, pasti kita pengen banget ngeliat anak kita berkeluarga. Apalagi moment nunggu cucu kita lahir sampai nanti bisa digendong itu ngingetin kita pas awal jadi Ibu dulu. Dan rasanya itu bahagia, haru, semua nyampur jadi satu.”

“Tante udah denger dari Mama kamu kalau kamu gak berniat nikah, tapi Tante cuma pengen ngingetin. Meskipun Mama sama Papa kamu menerima keputusan kamu, tapi bukan berarti mereka gak bakalan sedih kalau anaknya gak nikah dan berkeluarga.” Jelas si paruh baya. “Ayo dipikirin lagi, Yan. Lagian kan sekarang kamu masih residen, jadi masih ada lah waktu buat nyari calon, keknya banyak tuh dokter cantik di RS. Entar langsung nikahin aja kalau nanti kamu udah kelar residen.”

Sean tersenyum simpul tanpa berniat membalas perkataan teman Mamanya itu, namun Daffa yang berada di sisinya sangat paham bahwa saat ini Sean merasa tidak nyaman. Saat Daffa kemudian hendak mencari alasan agar Sean bisa menjauh dari wanita paruh baya itu, sosok itu justru lebih dahulu berkata.

“Terus kamu gak kasihan sama Mama Papa kamu apa? Kalau aja nanti ada gosip, kamu gak mau nikah karena kamu homo? Kan sekarang banyak tuh yang gitu. Bilangnya nggak mau nikah lah, childfree lah, tau-tau dia homo.”

“Emang kenapa kalau ada orang yang homo, Tante?” Jeva yang sedari tadi menyimak seketika angkat bicara. Dia pun merasa tidak nyaman akan ucapan si paruh baya di depan Sean itu. “Tante kok ngomongnya seolah nganggap homo itu kriminal ya?”

“Kamu ini siapa? Ikut campur aja urusan orang tua,” kata si paruh baya, sedang Jeva mendengus. “Anak muda yang kayak gini nih yang gampang kebawa arus, Yan. Teriak-teriak open minded, tapi malah nyalahin aturan norma.”

“Tante, maaf ya kalau saya ikut nimbrung. Mungkin kalau masih ada yang pengen Tante omongin sama Sean, bisa di tempat lain. Di sini banyak orang yang mau lewat soalnya,” Daffa menengahi. “Film yang pengen Tante tonton juga udah dimulai deh kayaknya.”

Wanita paruh baya itu terlihat gusar lalu melipat lengannya.

“Maafin anak ini juga ya, Tante.” Daffa menepuk pundak Jeva yang berada di belakangnya. “Dia koas, juniornya Sean di RS. Kalau saya sendiri temen SMA-nya Sean.”

“Ya udah,” kata wanita itu. “Yan, Tante masuk ke studio dulu ya.”

“Iya, Tante.”

Selepas perginya si paruh baya, Sean kemudian berbalik dan menatap Jeva juga Biru dengan raut sedu. “Maaf ya, kalian harus dengerin omongan kayak tadi.”

“Terutama kamu, Bi.” timpalnya, sebab Sean tau bahwa dokter muda itu memiliki trauma masa lalu tentang hubungan sejenis. Meski sekarang Biru memang telah berdamai, namun tidak menutup kemungkinan bahwa Biru juga merasa tidak nyaman.

“Aku gak apa-apa kok, Kak.” kata Biru. “Kalau Kak Sean gimana?”

Biru juga tahu bahwa si Residen pernah depresi karena hal itu.

Sean tersenyum, “Aku juga gak apa-apa kok, tapi kayaknya dua orang ini deh yang gak tenang.”

Biru kemudian melirik Jeva, sedang Sean menatap Daffa.

“Kamu baik-baik aja?” tanya Sean ke Daffa dan dibalas anggukan.

“Bi, kamu gak nanyain aku?” Jeva memelas, sedang Biru mendelik.

“Gak,” kata Biru. “Siapa suruh kamu main nyerocos aja tadi.”

“Loh, emang yang aku bilang salah? Aku suka laki-laki, jadi wajar kan aku tersinggung, Bi?Lagian Tante yang tadi juga gak sopan banget ngomong kayak gitu ke Kak Sean.” balas Jeva.

“Udah, udah. Entar malah kalian yang berantem.” Sean melerai Jeva dan Biru, “Sekarang kalian ke resto duluan gih, aku pengen ke toilet dulu. Kamu juga, Daf.”

Sean mengusap pelan bahu Daffa sebelum berjalan meninggalkan ketiga lelaki yang bersamanya tadi. Namun, Daffa yang sudah bisa menebak jika Sean sedang tidak baik-baik saja lantas melirik Jeva dan Biru sebelum bersuara.

“Jeva, Biru, kalian duluan aja ya. Aku mau nyamperin Sean dulu. Entar aku sama dia nyusul. Oke?”

Jeva dan Biru mengangguk kecil, sedang Daffa bergegas mengejar Sean ke arah toilet. Di saat yang sama, Biru lantas meraih tangan Jeva dan menggenggamnya erat.

“Jev, jangan diulangin ya?”

Jeva menautkan alisnya, “Kenapa, Bi? Yang aku lakuin itu salah ya?”

Biru menggeleng, “Kamu enggak salah kok. Aku juga ngerti kalau kamu marah dengerin omongan kayak yang tadi. Tapi kita juga harus ngerti kalau gak semua orang bisa nerima hubungan kayak gini. Kita berdua termasuk beruntung karena orang tua kita nerima kita dan seksualitas kita. Orang tua kita juga pernah deket banget sama orang-orang yang seksualitasnya kayak kita, that’s why they know how to treat us.”

“Tapi ada juga orang-orang kek kita yang gak seberuntung kita, Jev. Kayak Kak Sean sama Kak Daffa,” Biru menghela napasnya pelan. “Aku lupa ngasih tau kamu kalau mereka itu pernah pacaran tapi harus putus karena orang tua mereka nggak bisa nerima hubungan sesama jenis. Mereka masih saling suka sampai detik ini, sayangnya mereka gak bisa nunjukin itu ke orang lain secara terang-terangan. Alasannya yaa, karena lingkungan mereka gak mendukung. Meskipun orang tua mereka udah berdamai sama keadaan, tapi tetep aja hubungan sejenis itu salah di mata mereka.”

“Makanya Kak Sean sama Daffa mutusin buat kembali temenan aja tanpa harus orang lain tahu kalau sebenarnya mereka masih saling cinta,” timpal Biru. “Dan karena lingkungan mereka yang gak mendukung itu juga, kita gak bisa maksain pandangan orang lain di lingkungan mereka soal hubungan kek gini, Jev. It won’t work. Karena mereka gak pernah deket sama dunia dan orang-orang yang seksualitasnya gini.”

Jeva memanyunkan bibirnya lalu mengangguk paham. “Maaf, Bi.”

“Jangan minta maaf sama aku, tapi ke Kak Sean sama Daffa.”

“Tapi aku juga udah bikin kamu kecewa,” kata Jeva, sementara Biru yang notabenenya lebih pendek beberapa sentimeter dari Jeva justru mengulurkan tangan dan mengusap kepala si pacar.

“Aku gak pernah bilang kalau aku kecewa sama kamu kok, bawel.” kekeh Biru, “Udah, kita ke resto sekarang ya? Tadi katanya laper.”

“Tapi, Bi…” Jeva memelas.

Biru pasrah, “Apa lagi?”

“Aku juga pengen pipis.”

“Ntar aja pipisnya di toilet resto.”

Jeva mendesis, “Tapi ini udah gak tertahankan banget, Bi. Sueeer.”

Biru memutar bola matanya, “Ya udah gih, aku tungguin di sini.”

“Temenin,” Jeva menggoyangkan tangannya dan Biru yang masih bertautan. “Ayo dong, Sayang.”

“Kamu manja banget sih,” omel Biru, tapi pada akhirnya dia tetap mengikuti kemauan sang pacar.

Sementara itu, di toilet khusus pria, Sean yang tadinya hanya berniat ke tempat itu untuk menenangkan diri justru dibuat kaget saat melihat Daffa dari pantulan cermin wastafel. Daffa lalu menghampirinya hingga Sean refleks berbalik ke arah sang sahabat sekaligus sosok yang selama ini amat dicintainya.

“Kamu ngapain ke sini, Daf?”

“Karena aku tau kamu ke sini karena kamu gak baik-baik aja.”

Sean terdiam sesaat, terlebih saat Daffa menarik tubuhnya ke dalam dekapan hangat. Sean pun membalas pelukan Daffa tidak kalah erat sembari bergumam.

“Kamu juga tau gak, kalau aku ke sini biar kamu gak meluk aku?”

“Emang kenapa kalau aku meluk kamu?” Daffa terkekeh, namun hambar. “Takut ketahuan yaa?”

Sean menggeleng, “Karena aku bakal nangis kalau dipeluk kamu.”

“Gak apa-apa,” Daffa mengusap lembut belakang kepala Sean. “Nangis aja, Yan. Aku di sini kok.”

Dan benar saja, air mata Sean seketika tumpah hanya beberapa detik setelah Daffa memeluknya.

“Kenapa ya, Daf? Bahkan di saat kita udah gak egois dengan gak nunjukin ke dunia kalau kita ini masih saling cinta, dunia tetep aja jahat sama kita.” lirih Sean.

Mendengar hal itu, Daffa lantas menarik dirinya dari dekapan si pujaan hati lalu meletakkan jari telunjuknya di atas bibir Sean.

“Shhh, gak boleh ngomong gitu.” Daffa menyeka jejak air mata di pipi Sean, “Dunia masih cukup baik karena gak bikin kita pisah lagi, Yan. So, hang in there. Ya?”

Setetes air mata kembali jatuh di pipi Sean. Daffa pun buru-buru menghapus dengan ibu jarinya.

“Aku pengen egois kali ini aja, Daffa.” lirih Sean, dan tanpa membiarkan Daffa bertanya tentang apa maksud ucapannya, Sean lantas mengalungkan dua lengannya di tengkuk Daffa.

Sean menciumi bibir Daffa tanpa peduli lagi jika seseorang datang dan melihat mereka. Sebab yang Sean inginkan saat ini hanyalah menyalurkan kesedihan dan rasa kecewanya akan ketidakadilan dunia dengan sosok tercintanya.

Daffa pun paham akan emosi dalam diri Sean saat ini. Alhasil, dia menuruti ingin si pujaan hati. Daffa membalas kecupan demi kecupan yang kemudian berganti menjadi lumatan kala bibir Sean memberi celah untuk bibirnya.

Sementara itu, di luar toilet, Jeva yang tadinya ingin buang air justru seketika menghentikan langkahnya saat dia dengan tidak sengaja melihat Daffa dan Sean saling berbagi ciuman mesra. Dia kemudian buru-buru menuntun si pacar agar berbalik arah dan segera menjauhi toilet pria itu.

“Kamu ngapain sih, Jev? Tadi katanya pengen pipis,” protes Biru yang tidak tau apa-apa.

“Aku pipisnya di toilet restoran aja deh, Bi.” Jeva mendesis pelan, “Aku gak mau ganggu mereka.”

“Mereka siapa?”

“Kak Sean sama Kak Daffa,” kata Jeva. “Mereka lagi ciuman tadi.”

“Hah?” Biru lantas kaget sebelum menghentikan langkah kakinya. “Kalau gitu kita musti jaga toilet biar gak ada yang masuk terus ngeliat mereka berdua dong, Jev.”

Jeva mengulum bibirnya dengan tampang gelisah, “Iya juga ya, Bi. Tapi aku udah kebelet bangeeet.”

“Lagian orang-orang kenapa ya keknya suka banget ciuman di toilet,” desis Jeva. “Dulu aku juga gak sengaja liat Ray sama Julian ciuman di toilet RS, eh sekarang aku ngeliat Kak Sean sama Daffa.”

Pengakuan Jeva sontak membuat mulut Biru menganga. “Gimana? Kamu pernah liat Ray sama Jul…”

“Iya,” jujur Jeva. “Kamu inget gak pas kita stase di RSJ terus aku ikutin kamu ke toilet? Aku nahan kamu biar gak masuk juga karena aku ngeliat mereka ciuman, dan waktu itu kamu masih belum tau kalau aku suka kamu. Aku takut kamu inget sama trauma kamu.”

Segaris senyum pun tergambar di bibir Biru. Dia lantas terharu mendengar alasan pacarnya itu.

“Tadi kamu nanya kenapa orang-orang suka ciuman di toilet, kek kamu gak pernah ciuman sama aku di toilet aja.” decih Biru. “Apa kamu gak suka ya, pas aku nyium kamu di toilet RSCM waktu itu?”

“Gak gitu, Sayang. Tapi waktu itu kan kita ciumannya di bilik toilet, jadi orang lain gak liat. Kalau Kak Sean sama Daffa terus Ray sama Julian kan di depan wastafel tuh, makanya aku kek dejavu gitu, Bi. Ada tantangan tersendiri kali ya, kalau ciuman di tempat umum?” kekeh Jeva, sedang Biru terdiam.

Persekian detik kemudian, Biru tiba-tiba berjinjit lalu mengecup lembut bibir Jeva. Sontak kedua bola mata Jeva terbelalak saking kagetnya. Setelahnya, Jeva lantas melirik ke kiri dan kanan; takut seseorang memergoki mereka.

“Bi, kalau ada yang liat gimana?”

“Loh? Tadi kan kamu penasaran kenapa orang-orang suka kiss di tempat umum, Jev. Jadi gimana?”

Jeva mengulum senyum sambil membuang pandangannya ke arah lain. Dia salah tingkah. Jeva lalu melirik Biru lalu bersuara.

“Keknya aku musti research deh abis ini. Kok bisa ya orang yang tadinya kebelet malah hilang hasrat buat pipis gara-gara dicium di tempat umum gini.”

“Mm… Berarti orang-orang yang ciuman di toilet tuh pada kebelet pipis, tapi karena satu dan lain hal, mereka ciuman deh biar gak kebelet lagi.” Ujar Biru asal yang membuat Jeva seketika tertawa.

“Udah ah, kita ke resto sekarang yuk. Biar kamu juga bisa ke toilet. Bakal jadi penyakit kalau nahan pipis, Jev.” usul Biru yang dibalas anggukan oleh Jeva. Keduanya pun bergegas pergi dari tempat itu sambil berpegangan tangan.

Deva yang semula sedang asik bercengkerama dengan si ibu mertua dan kedua anak laki-lakinya di ruang keluarga lantas mengalihkan atensi ke gawainya. Dia pun tersenyum tipis ketika melihat nama suaminya lah yang terpampang di sana. Buru-buru Deva menjawab panggilan itu.

“Halo, Mas?”

“Aku udah ada di depan, Dev.”

“Loh, kok Mas gak masuk?”

“Aku pengen kamu yang bukain pintu buat aku, Sayang.” katanya.

Deva pun mati-matian menahan senyum diikuti gelengan kepala. Meski Arga adalah sosok yang tegas namun penyayang sebagai suami dan orang tua dari anak-anak mereka, namun Arga juga kerap menjadi sosok yang manja kepada si Omega tercinta; Deva.

“Ya udah, aku ke depan abis ini.”

Deva lalu menutup panggilan telepon dari suaminya itu lalu meminta izin kepada sang Mama mertua yang sedang memangku si bungsu Raka. Setelahnya, Deva bergegas ke arah pintu utama rumah dan membukanya. Alhasil, kini Deva mendapati sang Alpha telah berdiri tepat di depannya. Namun, yang membuat Deva sedikit terkejut adalah fakta bahwa Arga telah mengubah warna rambutnya yang semula hitam menjadi platinum blonde.

“Kok kamu diem aja sih? Ck!” protes Arga, “Gimana, Dev?”

Deva terkekeh gemas sebelum berhambur memeluk si Alpha. Sebab Deva yakin, alasan Arga mengganti warna rambutnya pasti ada kaitannya dengan warna rambut Arsen yang Deva puji kemarin. Deva lalu berkata,

“Kamu ngapain repot-repot ganti warna rambut kamu sih, Mas? Padahal mau rambut kamu warna item kayak semula juga kamu tetep yang paling ganteng di mata aku,” Deva melepaskan dekapannya lalu beralih menatap wajah Arga sambil menyisir pelan rambut platinum blonde si Alpha.

“Kasian rambut kamu, Mas.” kata Deva, “Rambut hitam kamu tuh sehat banget loh. Biasanya kalau udah diwarnain kayak gini bakal jadi kering dan kelihatan rusak.”

“Kemarin aja pas ngeliat rambut baru Arsen, langsung kamu puji. Giliran suami kamu sendiri yang ganti warna rambut, malah kamu ceramahin.” Arga lalu membuang muka ke arah lain. “Aku pengen ganti warna rambut kayak gini juga biar kamu seneng, Dev. Ck!”

Deva tersenyum lembut. Dia lalu menarik dagu Arga agar si Alpha kembali menatap wajahnya, dan bagai kecepatan kilat, Deva pun mengecup bibir suaminya selama beberapa saat. Arga lantas tidak menolak. Dia bahkan membuka mulutnya agar kecupan mereka berubah menjadi ciuman mesra.

“Makasih ya, Mas.” ucap Deva setelah ciuman mereka berakhir. “Aku selalu seneng tiap kali kamu ngelakuin sesuatu buat aku kok, entah sesederhana apapun itu.”

“Aku cuma khawatir kalau aja rambut sehat kamu jadi rusak cuma demi nyenengin aku,” jelas Deva. “Aku malah bakal khawatir kalau rambut kamu rusak, Mas.”

“Gak bakal rusak, salon tempat aku ngewarnain rambut itu salon bagus. Mereka juga pake bahan-bahan alami sebagai pewarna,” jelas Arga yang dibalas anggukan paham dan senyuman oleh Deva.

“Ya udah, gak apa-apa. Aku suka warna rambut baru kamu, Mas.” kata Deva, “Tapi kamu sendiri gimana? Kamu percaya diri gak sama warna rambut baru kamu sekarang buat ke kantor besok?”

“Warna kayak gini berani banget loh, Mas. Pasti orang-orang di kantor pada kaget,” timpalnya.

“Biarin aja, aku kan ngewarnain rambut aku buat kamu, bukan buat mereka.” jawab Arga singkat, sementara Deva hanya terkekeh.

“Papa! Minggir!”

Arga dan Deva kompak terkejut ketika mendengar suara lantang Danu dari dalam rumah. Sampai tidak lama berselang, si sulung pun menghampiri Deva sebelum meraih tangan Papanya itu dan berkata, “Papa, jangan dekat-dekat sama orang asing. Kalau dia kakek penyihir kayak di buku dongeng milik Danu, gimana?”

Deva, begitu juga Arga refleks mengernyit mendengar Danu.

“Mana orang asingnya, Sayang?” tanya Deva dengan raut heran.

“Itu!” tunjuk Danu tanpa melihat ke arah wajah sosok lelaki yang baru saja dia tunjuk. “Ayo, Papa. Nanti Papa sama Danu disihir sama kakek ini. Siapa yang mau jagain Papi sama Adek, Papa?”

Deva mengulum bibirnya guna menahan tawa, sementara Arga seketika menatap anaknya datar. Arga kemudian menggendong Danu hingga anaknya itu nyaris berteriak, terlebih saat Arga berkata. “Sini, biar Papi sihir.”

Beruntung, Danu dengan segera menyadari suara Arga. Danu pun akhirnya menatap wajah lelaki yang kini telah menggendongnya hingga dia sadar bahwa sosok itu adalah sang Papi. Danu terkejut.

“Papi?!” pekik Danu.

“Kok rambut Papi jadi putih sih?” tanya si sulung. “Jelek banget.”

“Heh!” Deva menegur pelan sang anak. “Kok Danu ngomong gitu?”

“Emang jelek, Papa.” Danu lalu menatap Papinya—yang kini hanya mampu tertawa—dengan tampang memelas. “Papi, Danu gak suka. Ayo, Danu bantu Papi balikin rambut Papi yang dulu.”

“Gimana caranya?” tanya Arga.

“Danu punya pensil warna sama krayon hitam, Papi. Ada banyak,” jawab Danu polos. “Ayooo, Papi.”

Danu merengek, sementara tawa Arga semakin meledak. Deva pun ikut tertawa karena anaknya itu.

“Rambut gak bisa diwarnain pake pewarna untuk gambar, Sayang.” tutur Deva lembut, “Nanti deh, Papa sama Papi nyari pewarna rambut buat balikin rambut lama Papi. Ya? Sekarang Danu masuk dulu gih. Papa mau ngobrol sama Papi. Danu nunggu di dalem aja.”

“Oke, Papa.” sahut Danu lirih sambil melirik kasihan ke arah Arga. “Cepat sembuh ya, Papi.”

“Anak kamu ini bener-bener ya, Dev. Ck!” decak Arga bersamaan dengan kembalinya Danu masuk ke dalam rumah. “Tadi aja Danu manggil aku kakek penyihir, eh sekarang aku dikira orang sakit.”

“Aku jadi ngerti kenapa orang-orang nyebut aku ceplas-ceplos. Aku udah ngerasain, gara-gara dikatain sama anak aku sendiri,” timpal si Alpa diikuti kekehan.

“Kamu sih, Mas.” Deva mencubit pelan lengan Arga. “Kamu mau nyenengin aku, tapi kamu lupa sama anak-anak kamu. Danu aja gak seneng, apalagi Raka nanti? Kayaknya si adek gak bakal mau digendong sama kamu gara-gara ngeliat kamu kayak orang asing.”

“Ya udah, besok atau lusa bakal aku ganti lagi ke warna rambut aku yang semula. Biar kamu bisa ngeliat warna rambut aku yang kayak warna rambut si Gojo itu dulu sampai puas,” sahut Arga.

“Ya udah. Masuk yuk, Mas.”

“Ke lubang kamu?”

“Ke dalam rumah, Mas Arga...”

“Kalau ngomong yang jelas dong makanya,” goda Arga, sementara Deva hanya menahan senyumnya sebelum masuk lebih dahulu ke dalam kediaman mereka itu.

Dalam perjalanannya pulang ke rumah setelah tadi mengunjungi kediaman Gandi, kini Gavi lantas terlelap. Sedang paha Nala—yang duduk di sebelah kanan si kecil—menjadi bantal bagi kepala Gavi.

Sampai tidak lama berselang, mobil yang dikemudikan Gandi pun berhenti melaju tepat di halaman rumah Nala dan Arsen. Gandi kemudian balik badan ke arah Nala dan Gavi yang duduk di jok belakang sambil bertanya.

“Anaknya mau lo bangunin, Nal?”

“Gak, Di. Gavi biar langsung gue gendong aja masuk ke rumah.”

“Ya udah, biar gue aja yang gendong Gavi.” tawar Gandi.

“Gak usah,” tolak Nala dengan senyum. “Lo langsung balik aja, kasian istri lo sendiri di rumah.”

“Gue gak enak loh, Nal. Udah lah gue bawa lo sama Gavi ke rumah gue karena Erika ngidam, masa abis ini gue langsung pulang aja?”

“Kita udah temenan berapa lama sih, Di? Lo nih ngomongnya udah kek orang lain aja,” dengus Nala. “Gue masuk dulu ya, lo hati-hati pulangnya. See you besok ya, Di.”

“Oke,” pasrah Gandi. “Makasih ya udah bantu gue nurutin maunya Erika. Ngerepotin banget gue.”

“Besok giliran lo yang gue bikin repot di lokasi, tenang aja.” kata Nala diikuti kekehan sebelum ia keluar dari mobil si manager dan berjalan masuk ke dalam rumah dengan Gavi dalam gendongan.

Sesampainya di ruang tamu, Nala justru dibuat terkejut ketika dia mendapati Arsen sedang duduk berhadapan dengan Ronald pada dua sofa berbeda. Sementara itu, sang suami yang telah menyadari kedatangannya lantas berdiri dan dengan sigap menghampiri Nala.

“Gavi udah bobo, Pa?”

“Mm, ini mau langsung aku bawa ke kamarnya.” sahut Nala sambil melirik sekilas ke arah Ronald.

“Sini, Sayang. Biar aku yang bawa Gavi ke kamar,” kata Arsen lalu mengambil alih Gavi ke dalam gendongannya. Dia kemudian berjalan melewati sofa; tak lupa pula berpamitan dengan Ronald untuk membawa Gavi ke kamar.

Nala yang diam-diam sudah kepalang kesal sendiri hanya berjalan di samping suaminya tanpa menoleh atau menyapa Ronald lagi. Sampai saat mereka sudah cukup jauh dari ruang tamu, Arsen yang sudah bisa menebak isi kepala Nala dari raut wajahnya lantas membuka suara.

“Aku gak ngundang dia ke rumah loh, Pa.” katanya, “Tadi pas aku lagi meeting sama anak-anak di studio, dia tiba-tiba dateng. Gak bilang-bilang atau ngechat dulu.”

“Kok dia tau kamu di rumah?”

“Tadi pas nolak ajakan ngopi dia, aku bilang kalau aku ada meeting sama tim.” Arsen lalu masuk ke kamar Gavi saat Nala membuka pintu untuknya, setelahnya dia melanjutkan ucapannya. “Dia datang buat ngajakin aku bikin konten podcast bareng lagi sih.”

“Terus kamu iyain?” tanya Nala dengan kedua lengan yang dia lipat sambil memandangi Arsen yang kini meletakkan tubuh kecil Gavi di atas tempat tidurnya.

“Aku bilang gak bisa, soalnya aku udah banyak schedule juga kan.”

Nala menghela napasnya gusar. Namun, baru saja Nala hendak kembali bersuara, Gavi tiba-tiba bergumam lirih dengan matanya yang masih tertutup rapat.

“Papa… Ayah…”

“Gavi kenapa, Sayang?” Arsen yang lebih dahulu menyahut. “Ayah sama Papa di sini, Nak.”

Gavi perlahan membuka kedua matanya meski tak sepenuhnya. “Ayah, Gavi haus. Gavi mau susu.”

“Oke, Ayah bikinin dulu ya?”

Gavi mengangguk, tapi sebelum Arsen beranjak dari posisinya yang semula duduk di tepi tempat tidur sang anak, Nala lebih dahulu menahan Arsen.

“Jangan, biar aku aja yang bikinin susu buat Gavi. Sekalian aku mau bilang ke Bang Ronald itu kalau kamu musti nemenin anak kamu sampai bobo lagi.” ujar Nala agak kesal, “Dia gak tau waktu banget tau gak? Udah malam banget loh, tapi dia belum pulang. Kamu juga udah nolak ajakan dia tadi kan?”

“Udah, Sayang.”

“Ya udah, kamu diem aja di sini. Temenin Gavi,” titah Nala lalu keluar dari kamar sang anak.

Nala kemudian turun dari lantai dua ke lantai dasar sebelum dia melanjutkan langkah ke ruang tamu. Dan benar saja, Ronald masih ada di sana. Alhasil, Nala lantas menghampiri lelaki itu.

“Bang, maaf ya. Bang Ronald jadi nungguin Arsen sendiri,” katanya. “Arsen lagi nemenin anaknya di kamar. Gavi kebangun, mana dia kalau udah ngelihat Ayahnya gak bakalan ngizinin Arsen jauh-jauh sebelum dia bobo lagi soalnya.”

“Kalau masih ada yang mau Bang Ronald bicarain sama suami aku, mungkin bisa di waktu lain. Pas Arsennya lagi luang.” Nala secara tidak langsung mengusir Ronald.

“Kalau kita aja yang ngobrol mau gak, Nal?” Ronald senyum tipis dan nyaris menyerupai seringai.

“Maaf ya, Bang. Aku juga gak bisa lama-lama. Aku bisa turun ke sini karena pengen bikin susu doang buat anaknya. Entar aku dicariin.”

Ronald mengangguk lalu berdiri dari sofa. Dia kemudian berjalan menghampiri Nala dan tiba-tiba mengusap bahu kiri Nala. Sontak Nala refleks menghindar dengan raut wajah tidak nyaman. Namun Ronald justru terkekeh seolah tak terjadi apa-apa. “Kalau gitu aku pulang ya, Nal. Eh iya, kamu rajin-rajin ikut ngopi bareng aku sama Arsen dong. Kalau suami kamu ngelirik cowok lain di cafe, aku gak tanggung jawab loh ya.”

Nala menatap Ronald tidak suka, “Suami aku gak kayak gitu, Bang.”

“Kamu jangan naif dong, Nal. Aku udah pernah liat Arsen senyumin cowok lain di cafe loh, tapi waktu itu langsung kuingetin kalau dia udah punya kamu. Cuman nggak tau ya, dia dengerin aku apa gak. Makanya kamu harus ikut, Nal.”

Nala menghela napas pelan, “Aku musti bikinin susu buat anak aku. Dia pasti nunggu. Permisi, Bang.”

Tanpa mendengar respon lelaki itu, Nala lantas berjalan ke arah dapur. Di sana, dia pun bertemu dengan si asisten rumah tangga yang sedang sibuk mengepel.

“Loh, Bi Ayi kok belum tidur?”

“Saya mau beresin ini dulu, Pak.”

“Gak usah, dilanjutin besok pagi aja. Bi Ayi, tolong kasih tau Pak Teja buat ngunci pager ya. Bibi juga tolong kunci pintu utama.”

“Sekarang, Pak?”

“Iya, sekarang.”

“Baik, Pak.”

Sepeninggal Bi Ayi, Nala seketika bergegas membuat susu formula untuk Gavi. Setelahnya, dia pun kembali ke kamar si anak dengan sebotol susu di tangan kanannya. Sesampainya di tempat tujuan, Nala kemudian memberikan susu formula itu pada Gavi yang telah setengah tertidur. Sementara itu, Arsen yang menyadari raut wajah Nala terlihat sepat pun bertanya.

“Ada apa, cintaku? Kok mukanya cemberut gitu, hm?” katanya.

“Si Ronald Ronald itu ngasih tau aku supaya aku rajin ikut ngopi bareng kalian berdua, katanya biar kamu gak ngelirik cowok lain.” dengus Nala lalu menatap Arsen tajam. “Emang bener ya, kamu kalau ke cafe suka caper, senyumin cowok lain di sana?”

“Wah udah enggak bener nih si Ronald,” Arsen lantas ikut kesal. “Padahal kalau dia ngajakin aku ngopi, dia tuh bilang supaya aku ajakin kamu juga. Katanya biar kamu bisa aku awasin tau, Nal. Takut kamu cari cowok lain kalau aku nongki gak ngajakin kamu. Tapi aku jawab, kamu gak bakal gitu. Aku kan tau kamu gimana.”

“Aku juga ngapain deh caper di cafe?” timpal Arsen, “Gak caper pun, aku pasti bakal jadi pusat perhatian. Kan aku artis. Kamu juga kalau ke cafe pasti senyum kan kalau disapa sama fans kita?”

“Aku emang senyum, tapi aku tuh cuma senyumin fans yang nyapa. Bukan karena ganjen,” jelasnya. “Dia kira aku semurahan itu apa, buat caper sama cowok random di cafe? Dia gak pernah baca apa ya, gimana perjuangan aku buat dapetin kamu lagi waktu itu, Pa?”

“Ya kan mana tau aja hati kamu udah berubah, Yah.” kata Nala.

“Kamu gak percaya aku, Nal?”

Nala menatap kedua bola mata suaminya lamat-lamat, “Aku gak mungkin percaya sama omongan Ronald, apalagi tanpa bukti. Tapi kan gak menutup kemungkinan kalau suatu saat kamu berubah.”

“Gak. Gak bakalan,” tegas Arsen. “Aku cuma pengen kamu. Titik.”

Nala tersenyum tipis sebelum mendekap erat tubuh suaminya. Pun Arsen yang dengan sigap membalas dekapan Nala tidak kalah erat. Arsen pun diam-diam berpikir tentang apa maksud dan tujuan Ronald yang terkesan mau mengadu domba dia dan Nala.

“Firasat kamu emang gak pernah salah ya, Nal.” gumam Arsen lalu beralih menangkup wajah Nala. “Kamu udah ngelarang aku buat sering-sering ketemu sama dia, karena kamu ngerasa ada yang aneh sama dia. Ternyata bener, dia kesannya malah pengen adu domba kita berdua nggak sih?”

“Asal kamu tau ya, dia juga main nyentuh aku sembarangan tadi. Segala pake ngusap-usap bahu aku pas pamit pulang. Aku gak nyaman banget,” kata Nala yang membuat wajah Arsen memerah.

“Aku harus ngasih dia pelajaran,” gumam Arsen dengan rahangnya yang mengeras, pun tangannya dia kepalkan saking emosinya.

Namun, Nala dengan amat sigap menenangkan si suami dengan meraih tangan Arsen . Nala lalu menggenggam erat tangan sang suami sambil sesekali mengusap punggung tangan Arsen dengan ibu jarinya. “Jangan. Aku gak mau kamu mukulin orang. Sekarang kamu ngerti maksud aku kan?”

“Jadi mulai sekarang dengerin aku, Sen. Gak usah deket-deket sama dia lagi ya? Aku gak suka.” timpal Nala yang seketika dibalas anggukan oleh si suami tercinta.

“Aku selalu dengerin kamu, Nal.”

Mobil yang dikemudikan Baskara dan Tara sebagai penumpangnya kini telah berhenti tepat di garasi rumah mereka. Tapi sebelum keluar dari kendaraan roda empat itu, Tara lantas menoleh ke arah suaminya lalu berkata.

“Bas, kita ke rumah Harith dulu yuk. Keadaan anaknya gimana ya sekarang,” Tara menerka-nerka.

Baskara memicing dengan sorot tak terima, “Perhatian banget.”

“Kamu jangan mulai ah.”

Kekehan pun mengalun merdu dari celah bibir Baskara. Dia lalu mencubit pelan hidung Tara lalu berkata, “Iya, ayo. Kita ke sana.”

Tara mengangguk kecil sebelum keluar dari mobil, begitupun dengan Baskara. Mereka kemudian berjalan bersisian menuju rumah Harith yang berada tepat di seberang kediaman mereka. Sesampainya di depan pintu, Tara memencet bel rumah sang tetangga. Sampai tidak lama berselang, seseorang pun membuka pintu dari dalam.

“Mas Tara! Mas Bas!” seru Ersya riang kala mendapati pasangan suami itu di depannya. “Aku baru aja mau nge-chat kenapa Mas Tara sama Mas Baskara tumben belum pulang kantor jam segini.”

“Tara tuh, ada meeting dadakan sebelum pulang kantor tadi, jadi aku tungguin.” sahut Baskara.

Tara mengangguk, tanda bahwa dia membenarkan. “Tadi kamu nyampe dari Jogja jam berapa?”

“Jam empat lewat, Mas. Telat dari rencana. Pesawatnya delay.”

“Baru beberapa jam yang lalu dong ya,” Tara mendesis. “Kamu pasti masih capek banget, Sya.”

“Gak kok, Mas.” Ersya cengar-cengir, “Mas Tara, Mas Bas, ayo masuk dulu. Aku sekalian mau ngasih oleh-oleh dari Jogja nih.”

“Aku sama Bas nggak usah masuk deh, Sya. Kita cuma mau nanyain keadaan Harith kok,” tutur Tara, namun Baskara justru bersuara.

“Kamu gak mau masuk, Tar? Aku mau ah. Mau ngambil oleh-oleh.”

Tara pun hanya memandangi suaminya itu dengan tatapan datar saat Baskara seketika melenggang masuk ke dalam rumah tepat setelah Ersya memberinya jalan. Sementara itu, Ersya yang melihat Tara masih berdiri di tempatnya lantas bergelayut pada lengan si lelaki yang lebih tua lalu berkata.

“Ayo, Mas Tara. Masuk dulu.”

Tara pun tersenyum tipis diikuti anggukan kecil. Ia lalu mengikuti langkah kaki Ersya yang saat ini menuntunnya menuju ke ruang tengah rumah. Di sana pula Tara mendapati Harith sedang duduk di sofa panjang, sedang Baskara yang lebih dulu tiba di ruangan itu duduk di seberang Harith.

“Gimana demam kamu, Rith?” tanya Tara sambil menghampiri Harith sebelum dia memilih duduk di sebelah kiri Baskara.

“Aku udah gak ada demam kok, Mas.” Harith tersenyum lebar. “Udah gak pusing juga, tapi masih agak lemes sih dikit.”

“Makasih banyak ya, Mas. Kalau bukan Mas Tara sama Mas Bas yang semalem nolongin aku, aku mungkin masih gak bisa bangun deh sekarang.” Harith menimpali.

“Sama-sama, Rith.” balas Tara.

“Terus oleh-oleh buat aku sama Tara mana nih?” tagih Baskara.

Ersya yang duduk di samping si suami pun seketika berdiri dari sofa, “Bentar ya, Mas. Aku ambil dulu. Tadi aku taroh di dapur.”

Harith terkekeh pelan sebelum geleng-geleng kepala melihat suaminya itu berlari kecil ke arah dapur. Sementara Tara seketika menoleh ke arah Baskara dengan sorot mata datar. Pasalnya, sang suami benar-benar merepotkan menurutnya. Namun yang Tara tatap demikian justru terkekeh.

“Mas Bas tau gak sih, earphone Ersya tuh ketinggalan di hotel. Dia lupa kalau naroh di laci,” kata Harith diikuti kekehan. “Tapi oleh-oleh buat Mas Bas sama Mas Tara gak dia lupain loh.”

“Nah, berarti Ersya itu orangnya selalu inget sama janjinya.” sahut Baskara, “Beruntung kamu punya suami kayak Ersya, Rith. Jangan disia-siain buat cowok gak jelas.”

“Mas Bas jangan mulai negatif thinking lagi sama aku deh, aku tuh masih lemes. Gak ada tenaga buat debat,” Harith lalu melirik ke Tara. “Mas Taraa, tolongin.”

“Kalian berdua nih ya, adaaa aja yang diributin.” Tara berdecak.

Persekian detik kemudian, Ersya akhirnya kembali ke ruangan itu. Satu tangannya menenteng satu paper bag yang berukuran cukup besar, sementara satu tangannya lagi memegang kotak berwarna kuning. Ersya lalu meletakkan kotak itu di atas meja, sementara paper bag yang ditentengnya lantas diberikan kepada Baskara.

“Ini oleh-oleh buat Mas Bas sama Mas Tara,” katanya. “Kalau yang di meja ini buat dimakan bareng.”

“Kamu kok tau aja sih bakpia kesukaan aku sama Tara, Sya?” celetuk Baskara saat menyadari bahwa kotak di meja itu adalah bakpia. “Aku sama Tara kalau ke sana pasti belinya merek itu tau.”

“Beneran, Mas?” Ersya nampak antusias lalu kembali duduk di sisi Harith. “Berarti review aku buat bakpia ini juga sesuai sama selera Mas Bas sama Mas Tara. Aku juga suka banget pas nyoba.”

“Tapi kurang kopi sih ini,” tutur Baskara yang membuat Tara refleks menginjak pelan kakinya.

“Ah, iya. Kok aku linglung gini ya. Kalau gitu aku bikinin kopi dulu ya, Mas.” Ersya hendak berdiri—lagi—tapi Tara lantas menahan langkah Ersya dengan berkata.

“Sya, gak usah repot-repot. Bas gak bisa minum kopi kalau udah malem gini kok. Dia insomnia.”

Baskara pun terkekeh melihat Ersya menatapnya dengan raut sedu. “Aku bercanda, Sya. Bener kata Tara kok. Aku gak minum kopi lagi kalau udah malem gini.”

“Mas Bas jangan ngusilin suami aku dong,” tutur Harith. “Ersya masih ngerasa bersalah tau sama Mas Baskara, sama Mas Tara.”

Tara mengernyit heran, “Ngerasa bersalah kenapa deh kamu, Sya?”

Harith menyikut lengan Ersya, “Ayo, katanya mau ngomong.”

Tara mengangkat kedua alisnya penasaran sambil memandangi Ersya. Nampak jika Ersya gugup.

“Soal yang semalem, Mas. Pas aku video call, tapi gak ngabarin Mas Tara dulu.” jelas Ersya. “Mau itu Mas Tara sama Mas Bas gak lagi pengen ngewe atau emang lagi pengen, tetep aja aku musti nge-chat dulu sebelum nelpon.”

“Maaf yaa, Mas.” timpalnya. “Aku ngerasa bersalah banget soal itu.”

Tara berdeham, meski raut wajah Tara nampak tenang, namun pipi dan telinganya sama sekali tidak bisa berbohong. Tara memerah.

“Kamu kan udah minta maaf juga semalem, Sya. Gak usah diungkit lagi,” Tara tersenyum, “Aku nggak keberatan kok. Apalagi kamu juga lagi panik semalem. Aku ngerti.”

“Makasih, Mas Tara.” ucap Ersya dengan mata yang berbinar haru.

“Jadi gimana tuh semalem, Mas Bas?” ledek Harith. “Dapet gak?”

Meski pertanyaan dari Harith terkesan rancu, namun Baskara yang paham akan hal itu lantas menyeringai tipis sambil menaik-turunkan alisnya. Sontak Harith tergelak hingga terbatuk-batuk.

“Mas Bas sama Kak Harith lagi ngomongin apa sih?” tanya Ersya bingung, “Apanya yang dapet?”

“Dapet ikan gede, Sya.” canda Baskara lalu melirik Tara diikuti kekehan. Pasalnya, suaminya itu mendelik dengan wajah bersemu.

“Emang semalem Mas Bas abis mancing ikan ya?” polos Ersya.

“Iyaa,” seringai Baskara. “Ikan—”

Belum sempat dia melanjutkan ucapannya, mulut Baskara sudah lebih dahulu disumpal dengan satu bakpia oleh Tara. Harith pun kembali tergelak melihat mulut Baskara penuh hingga kedua pipinya menggembung.

“Kamu makan gih buruan, abis ini kita musti pulang.” kata Tara.

“Buru-buru amat, Mas.” Harith tersenyum meledek. “Pengen mancing lagi nih jangan-jangan?”

“Ikuuuut!” seru Ersya, membuat Harith, Tara dan Baskara yang masih mengunyah menahan tawa. “Mau mancing di mana?”

“Enggak. Aku gak mau mancing kok, Sya. Kan aku sama Baskara musti bikin cookies malam ini.”

Tara lalu menoleh, “Udah abis belum bakpia di mulut kamu?”

“Udah,” sahut Baskara. “Enak.”

“Ya emang enak. Kan ini bakpia kesukaan kamu,” decih Tara.

“Gak, bukan bakpianya.” Baskara tersenyum tipis sambil menatap Tara dengan sorot mata memuja. “Maksud aku yang semalem, Tar.”

Harith refleks menjerit gemas sambil memeluk bantal sofa. Dia sudah seperti penggemar yang melihat idolanya. Sementara itu, Ersya justru menautkan alisnya kebingungan sambil menggaruk kepala. Nampak dia tak mengerti.

“Sebenernya kita lagi ngomongin bakpia apa ikan sih?” tanya Ersya frustasi yang memicu tawa dari tiga lelaki yang lebih tua darinya.

“Kamu lucu banget sih, babe?” Harith mengacak-acak pelan rambut Ersya sambil terkekeh.

“Padahal biasanya si Ersya yang paling semangat bahas ngewe, tapi kita kasih kode gak ngerti.” celetuk Baskara yang lagi-lagi membuat kakinya diinjak Tara.

“Diem gak?” decak Tara.

“Oooh, jadi dari tadi kita bahas soal ngewe ya? Tapi pake kode-kodean?” Ersya terbahak-bahak sendiri, “Berarti tadi aku abis nawarin diri buat ikut ngewe bareng Mas Bas sama Mas Tara dong? Kak, kita hampir collab!”

Ersya kembali terbahak-bahak sambil memukuli bahu Harith, sementara Harith, Tara begitu juga Baskara hanya menganga.

Harith dan Ersya telah tiba di kediaman Tara dan Baskara beberapa menit yang lalu. Dua sejoli itu pun turut membantu di dapur Tara. Harith dan Ersya pun bertugas memasukkan cookies yang telah dingin ke dalam wadah, sementara Tara dan Baskara masing-masing memegang tugas di bagian mencetak adonan sebelum memanggangnya di dalam oven.

“Aku abis nyoba bikin varian baru lagi nih. Rasa avocado,” kata Tara. “Kalian berdua mau nyoba gak?”

“Mau!”

“Mau!”

Harith dan Ersya lantas kompak berseru seperti anak kecil yang ditawari mainan baru. Kedua sejoli itu kemudian cengengesan sambil duduk di depan meja bar yang ada di dapur saat Tara menyodorkan sepiring cookies untuk mereka. Sementara itu, Baskara yang memerhatikan pasangan itu seketika geleng-geleng kepala lalu berbisik pelan di samping telinga kanan Tara.

“Mereka ini doyan apa rakus sih, Tar?” Baskara mendadak julid.

Tara mendelik lalu menyikut pinggang sang suami. “Hush! Awas cookies-nya hangus.”

“Hangus apanya? Baru juga aku masukin ke oven,” balas Baskara lalu kembali menatap Harith dan Ersya yang asik melahap cookies.

“Lama-lama suami aku bakalan lebih banyak ruginya daripada untungnya deh kalau kalian rajin dateng ke sini,” celetuk Baskara. “Tiap dateng musti nyoba. Doyan amat sama cookies bikinan Tara aku perhatiin. Beli kek sesekali.”

“Kamu ngomong apa sih, Bas?” decak Tara lalu memandangi Harith dan Ersya dengan raut wajah tidak enak, tapi kedua anak muda itu justru tertawa.

“Gak usah peduliin Bas ya.”

“Gimana yang varian avocado ini? Enak gak?” Tara menimpali dengan binar mata penasaran.

“Kamu kalau nanya mereka pasti bakalan dijawab enak lah, Tar.” sahut Baskara yang membuat Tara refleks menginjak kaki sang suami. Baskara menjerit pelan.

“Iya, Mas. Enak banget,” jawab Ersya. “Rasanya udah pas kok.”

“Tuh, bener kan kata aku?” kata Baskara dengan tampang datar.

“Aku belum selesai ngomong, Mas Bas.” Ersya memelas, Tara pun mengambil satu cookies lalu menyuapi Baskara dalam sekali suapan saja agar suaminya itu tidak lagi berceloteh.

“Terus gimana, Sya?” tanya Tara.

“Soal rasanya sih udah gak ada yang kurang, Mas. Pas banget. Gak terlalu manis dan sensai rasa pahit dikit dari avocadonya juga gak too much. Cuman kayaknya Mas Tara tuh musti nambahin topping lain, gak cuma pakai biskuit sama keju gini. Soalnya orang-orang yang baru pertama kali beli mungkin bakalan mikir kalau cookies ini rasa pandan, bukan avocado.” jelas Ersya.

“Ya kalau males baca emang bakalan salah kaprah, kan di packagingnya nanti juga ada tulisan varian avocado,” tutur Baskara dengan mulut yang masih dipenuhi cookies, namun Tara kembali menyuapinya.

Okay, noted.” Tara mengangguk. “Aku juga sebenarnya mikir mau ngasih topping keripik avocado. Cuman aku belum beli aja, Sya.”

“Nah, itu bagus tuh, Mas.”

Anyway, thanks masukannya.”

Ersya tersenyum cerah.

Anytime, Mas Tara.”

Satu tangan Ersya kemudian terulur ke arah piring dimana cookies pemberian Tara berada, namun alangkah kagetnya Ersya kala menyadari bahwa cookies di piring itu telah habis tak tersisa.

“Ih, Kak Harith! Kok diabisin?”

“Kirain kamu udah gak mau.”

Ersya mencebik, tapi Harith yang melihat hal itu justru terkekeh.

“Iya, iya, aku minta maaf.”

“Kamu pengen yang varian apa, babe? Pilih aja, entar aku jajanin.” timpal Harith sebelum melirik Tara. “Aku order satu boleh ya, Mas? Masih ada lebihan kan?”

“Iya boleh kok,” Tara tersenyum. “Entar yang dipanggang Baskara itu buat kalian pas udah mateng.”

“Mau bayar via QRIS apa tunai nih, Rith?” tanya Baskara yang membuat Harith tertawa kecil.

“Mau QRIS, Mas. Tapi bayarnya boleh diangsur gak kira-kira?”

“Boleh, tapi cookiesnya juga diangsur ya sesuai nominal pembayaran kamu.” balas Baskara diikuti delikan tajam.

Tara dan Ersya hanya tersenyum maklum lalu geleng-geleng kepala melihat tingkah suami mereka. Setelah mereka menjadi tetangga selama beberapa Minggu, kini mereka semakin dekat dan lebih aktif bercanda.

Sayangnya, terlalu larut dalam obrolan justru membuat Baskara lupa dengan tugasnya. Sampai saat Tara, Ersya, Harith dan dirinya sendiri mencium bau gosong, mereka refleks kompak berteriak sambil menunjuk oven.

“Cookies-nya!”

Baskara buru-buru mematikan oven lalu mengeluarkan cookies malang yang telah gosong itu. Dia kemudian meletakkannya di atas meja bar sambil cengar-cengir ke Tara yang saat ini telah memberinya tatapan mematikan.

Sementara itu, Ersya yang melihat cookies yang seharusnya akan dia makan telah berubah warna menjadi hitam pun refleks menekuk bibir ke bawah seperti balita yang akan menangis pilu.

“Mas Bas... Cookies aku...” rengek Ersya lirih lalu bersuara seperti orang yang menangis, meraung.

“Mas Bas bikin suami aku sedih,” kata Harith. “Abis ini aku musti dikasih diskon pokoknya. Buruan panggangin cookies yang lain ih.”

“Emang anjing ya ni anak,” ucap Baskara lalu menoleh ke Tara yang masih terdiam namun sedang memandanginya lamat-lamat. “Aku minta maaf. Aku lupa masang timer. Jangan marah ya?”

“Marahin, Mas Tar.”

Harith memanas-manasi, namun Tara lantas memberinya tatapan datar pula. Alhasil, Harith hanya cengengesan lalu mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya hingga membentuk pose peace.

“Kan aku udah ingetin tadi, Bas.” omel Tara namun dengan suara sangat tenang nan lembutnya.

“Iya, aku salah. Maaf, Tara.”

“Ya udah, panggang yang lain.”

“Siap, Bos!” Baskara memberi hormat kepada Tara sebelum menjulurkan lidahnya ke arah Harith yang memandanginya.

Harith pun hanya memutar bola mata melihat sisi romantisme pasangan yang lebih tua sambil terus berusaha menenangkan Ersya. Sebab, suaminya itu masih sedih karena cookies pesanan mereka berakhir mengenaskan.

Tara masuk ke dalam rumahnya dengan dua tangan menenteng beberapa paper bag. Sampai saat dia tiba di ruang tengah, Tara pun mendapati Baskara sedang menonton televisi. Terlalu fokus pada tontonan di hadapannya itu lantas membuat Baskara tidak menyadari jika sang suami telah kembali. Alhasil, Tara hanya menghela napas pelan sebelum menghampiri Baskara di sofa.

“Ersya pas nyampe tadi langsung disambut sama suaminya abis itu dibantu ngangkatin belanjaan,” sindir Tara dengan nada sedih yang dibuat-buat lalu duduk di sofa, tepat di sebelah Baskara.

“Beda banget sama suami aku, jangankan dibantu ngangkatin belanjaan, tau kalau aku udah pulang aja enggak loh.” katanya.

Sadar kalau Tara menyindirnya, Baskara pun menoleh lalu tersenyum dengan tampang tak bersalah. Baskara kemudian menepuk-nepuk pelan puncak kepala Tara sebelum berkata.

“Berarti kamu hebat ya, Sayang. Soalnya umur udah tiga lima tapi masih kuat ngangkatin belanjaan sendiri.” ucap Baskara sebelum mengacungkan jempol ke Tara.

Sontak Tara memutar bola mata pasrah diikuti gelengan kepala. Bukan Baskara jika tidak mampu membalas apa yang ia katakan.

“Belanjaan kamu banyak banget,” Baskara memerhatikan paper bag di sisi sofa. “Tadi katanya kamu cuma pengen beli tas.”

“Lagi banyak diskon, jadi ya udah aku beli sepatu sama pakaian.”

“Buat aku ada gak?”

“Gak ada.”

“Udah ketebak,” Baskara seketika memasang tampang sedih yang sengaja dibuat-buat. “Jangankan inget aku pas lagi belanja, inget ulang tahun aku aja enggak tuh kemaren.” timpal Baskara yang membuat Tara menghela napas.

“Tapi kan di hari berikutnya aku udah inget, Bas. Aku juga bikinin kue buat kamu loh,” balas Tara. “Kemaren kamu bilang gak apa-apa, kamu udah maafin aku, tapi sekarang kok diungkit lagi? Jadi kamu masih dendam sama aku?”

Baskara terkekeh lalu mencubit pelan hidung Tara. “Serius amat sih? Aku cuma bercanda, Tara.”

“Mana sini kakinya,” Baskara menimpali yang membuat Tara lantas menahan senyumnya.

Tara pun menyamakan posisinya dengan bersandar di lengan sofa, sementara kedua kakinya dia luruskan di atas paha Baskara. Suaminya itu lalu memijitnya dengan telaten hingga rasa pegal Tara perlahan hilang. Sejenak, Tara memandangi wajah Baskara sambil memikirkan hal yang tadi sempat membuatnya tiba-tiba mempertanyakan rasa sayang sang suami padanya saat ini.

Tara sadar, Baskara memang tak lagi intens memberinya kata-kata manis atau mengucapkan kata cinta seperti saat mereka masih berpacaran dulu. Namun, salah satu hal yang tak pernah berubah dari Baskara adalah caranya menunjukkan cinta melalui perlakuan dan perhatian.

“Bas.”

“Mm?”

Baskara menoleh, dan persekian sekon berikutnya, dia dibuat kaget saat suaminya tiba-tiba saja mengecup bibirnya. Baskara pun memicingkan mata heran.

“Apa nih? Kok cium-cium?”

“Aku sayang kamu, Bas.”

Baskara tersenyum geli.

“Tiba-tiba banget.” katanya.

“Jangan-jangan kamu kayak gini tuh karena belanjaan kamu hari ini nguras kartu kredit, Tar?”

“Padahal aku tulus ngucapin sayang, tapi kamu malah negatif thinking sama aku.” balas Tara lalu memanyunkan bibir tipisnya.

Tara kemudian menurunkan kakinya dari paha Baskara, “Udah ah. Aku mau ke rumah Ersya.”

“Ngapain?” tanya Baskara.

“Aku mau ngebantuin dia bikin cookies, Bas. Dia minta diajarin.”

“Kan besok-besok bisa, Tar. Kamu gak capek apa? Abis belanja lanjut bikin cookies?”

“Capek, tapi aku udah janji sama Ersya tadi.” kata Tara. “Bas, minta tolong bawain belanjaan aku ke kamar ya entar. Aku mau pergi—”

Belum sempat Tara berdiri dari sofa, Baskara sudah lebih dahulu menarik lengannya. Tara pun terkejut saat suaminya itu tiba-tiba saja menciumi bibirnya. Namun, Tara tidak mungkin menolaknya. Alhasil, kini dia membalas kecup dan lumatan lembut yang suaminya berikan.

“Mas Tar—eh?”

Baskara dan Tara pun menyudahi ciuman mereka saat mendengar suara yang berasal tak jauh dari sofa. Ketika mereka menoleh ke sumber suara, nampak Ersya sedang berdiri dari radius tiga meter saja. Ersya tersenyum usil dengan mata menyipit. Jelas kalau Ersya melihat apa yang terjadi di antara mereka tadi.

“Maaf ya, Mas Bas. Mas Tara. Aku malah langsung nyelonong tadi. Soalnya pagar sama pintu depan kebuka,” Ersya cengar-cengir.

“Gak apa-apa, Sya.” Tara lantas gelagapan. “Aku udah mau ke rumah kamu kok abis ini. Ayo!”

“Eh, Mas! Ga usah,” Ersya refleks berseru saat melihat Tara berdiri dari sofa. “Aku ke sini sebenarnya mau bilang ke Mas Tara kalau kita bikin cookies-nya besok aja kalau Mas bisa dan ada waktu.”

“Soalnya aku sama Harith juga mau...” Ersya mempertemukan kedua ujung jari telunjuknya di depan dada dengan tampang malu-malunya. “Kak Harith lagi kepengen banget, Mas. Kebelet.”

“Eh ternyata Mas Tara sama Mas Bas juga lagi kepengen yaa? Kok kita bisa samaan gini sih? Hehe.”

Tara melongo sesaat sebelum mengibaskan tangannya, “Gak, Sya. Gak gitu. Aku sama Bas—”

“Ya udah, kamu pulang gih. Aku sama Tara mau ngelanjutin yang tadi. Nanggung,” potong Baskara.

“Bas!“ Tara melotot ke arah Bagas, sedangkan Ersya justru mengeringkan matanya meledek.

“Nggak usah malu, Mas Tara. Aku aja bilang kok.” kata Ersya. “Kalau gitu aku pulang ya, Mas. Harith udah nunggu di kamar soalnya.”

Tara hanya mampu memandangi Ersya yang telah melenggang pergi dari rumah dengan mulut setengah terbuka dan tampang tak percaya. Sementara Baskara seketika tertawa lepas sebelum ikut berdiri di samping Tara.

“Udah, biarin aja. Besok Senin loh, Tar. Kamu musti istirahat abis ini.” Baskara memeluk erat pinggang Tara dari belakang.

Tara mendengus lalu menoleh ke Baskara, “Terus kamu ngapain meluk-meluk aku kayak gini?”

“Aku juga lagi kepengen banget.”

“Baru aja beberapa detik yang lalu kamu nyuruh aku buat istirahat loh, Bas?” tutur Tara.

“Aku kan bilang abis ini,” balas Baskara. “Abis ini yang aku maksud yaa pas kita abis ngewe.”

Baskara kemudian melepaskan dekapannya dari pinggang Tara. Setelahnya, dia menggendong Tara bridal hingga empunya memekik tertahan dengan tampang kaget dan ketakutan.

“Kamu ngapain gendong aku sih, Bas? Kalau encok tau rasa,” Tara seketika mengomeli suaminya.

“Kalau aku encok, paling kamu jatuh doang.” kata Baskara santai.

“Baskara!”

Baskara tertawa.

“Enggak. Gak bakal jatuh.”

“Aku nggak percaya sama kamu, Bas.” Tara memelas saat Baskara mulai berjalan pelan ke arah anak tangga menuju kamar mereka di lantai dua. “Turunin aku, Bas. Please? Aku bisa jalan sendiri.”

“Tadi aja kamu protes, katanya aku udah gak romantis. Giliran aku pengen romantis, kamu malah nolak gini.” decak Baskara.

Tara refleks terkekeh pelan. “Aku bukannya nolak, Bas. Tapi kasian pinggang kamu, nanti encok loh.”

“Turunin aku dulu,” pintanya. “Daripada kamu gendong aku, mending kamu bantu angkatin belanjaan aku sana. Tadi aku ada beli hadiah hadiah ulang tahun buat kamu tau. Gak mau lihat?”

“Beneran?” mata Baskara lantas berbinar. “Tapi tadi kamu bilang gak ada. Kamu usil banget sih?”

“Siapa suruh kamu nyuekin aku pas tadi aku dateng?” balas Tara lalu menahan senyum manisnya.

Baskara menghela napas panjang sebelum menurunkan si suami dari gendongannya. Dia lantas memicingkan matanya ke Tara sebelum mendekap tubuhnya.

“Aku gak denger kamu datang, Sayang.” kata Baskara. “Aku minta maaf ya? I love you, Tara Sayang.”

“Giliran abis dibelanjain gini aja bilang i love you.” decih Tara.

Baskara menjauhkan tubuhnya dari Tara guna menatap wajah sang suami. “Aku ngucapin ‘i love you’ gitu tulus. Kamu gak suka?”

Tara tersenyum, “Suka.”

“Ya udah, aku ngambil belanjaan kamu dulu. Tunggu aku di sini.”

“Oke.”

Setelah semua kesibukannya usai dan Arsen juga telah kembali ke rumah, kini Nala dan sang suami berjalan beriringan ke kamar si kecil. Gavi sudah lebih dahulu masuk ke kamarnya dan bersiap untuk tidur pada jam yang telah menjadi kebiasaannya. Namun, saat mendengar ketukan pintu dari arah luar, Gavi buru-buru bangkit lalu membuka pintunya. Alhasil, Gavi lantas mendapati Arsen dan Nala berdiri tepat di hadapannya sambil tersenyum.

“Papa sama Ayah boleh masuk gak, Sayang?” tanya Nala. “Papa mau ngobrol bentar sama Gavi.”

Gavi mengangguk kecil sebagai jawaban sebelum melangkah ke arah ranjangnya, mendahului si Papa dan Ayah. Arsen dan Nala pun mengikuti anak mereka itu hingga ketiganya berakhir duduk bersila di atas tempat tidur Gavi.

“Gavi ngapain aja di rumah hari ini, Sayang?” tanya Arsen sambil mengusap puncak kepala Gavi.

“Main PS sama Om Gandi,” sahut Gavi tanpa menoleh ke Ayahnya. Dia justru sibuk memainkan jari-jari kecilnya sambil menunduk.

“Sayang,” Nala meraih pipi Gavi lalu membelainya. “Kalau Gavi diajak ngobrol, perhatiin orang yang lagi bicara atau nanya ya?”

“Gavi mau jadi anak yang sopan kan?” timpalnya. “Gini caranya.”

Gavi akhirnya mendongak ke arah Nala sebelum menoleh ke Arsen yang duduk di sisi kirinya. Arsen pun menyunggingkan senyum lembut saat netranya bertemu dengan milik sang anak.

“Gavi masih sedih ya, hm?” tanya Arsen lalu meraih jemari anaknya dan menggenggamnya, “Masih nggak mau ngobrol sama Ayah?”

Gavi masih diam, namun sangat jelas bahwa dia berusaha untuk menahan tangisnya. Bibir Gavi bahkan sesekali melengkung ke bawah, tapi dia berusaha untuk mengulumnya agar tak terlihat.

Sayangnya, Arsen dan Nala bisa melihat hal itu dengan mudah.

“Sayang, Ayah sama Papa minta maaf ya?” Arsen lantas kembali buka suara melihat anaknya tak mampu lagi berkata-kata. “Ayah sama Papa janji, ulang tahun Gavi setelah ini bakalan kita rayakan bareng-bareng. Ayah sama Papa bakal ngasih tau Om Gandi sama Om Endra kalau Ayah Papa gak mau kerja pas ulang tahun Gavi.”

Arsen lalu melirik Nala, “Kamu setuju kan, Pa? Kita musti bikin aturan kalau jadwal kita harus kosong pas ulang tahun Gavi.”

“Mm, aku setuju.” sahut Nala.

Arsen pun kembali memusatkan atensinya ke sang anak. “Minggu depan, kita juga bakal jalan-jalan ke Taman Mini kalau Ayah sama Papa udah pulang dari Bandung.”

“Gak apa-apa ya, Sayang? Lewat dua hari dari ulang tahun Gavi?” lanjutnya, “Biar pas hari Minggu.”

“Emang Ayah sama Papa boleh ke sana?” lirih Gavi. “Nanti Ayah sama Papa dikejar orang yang mau minta foto Ayah sama Papa.”

Nala menghela napas lalu ikut menggenggam tangan si kecil.

“Boleh kok, Sayang.” katanya.

“Tapi, Ayah abis ngomong sama temen Opa yang kerja di sana, pas kita ke sana, orang-orang gak boleh masuk dulu. Supaya Ayah sama Papa bisa ngerayain ulang tahun Gavi sama keluarga aja. Biar Gavi banyak waktu sama Ayah dan Papa nanti,” jelas Nala.

“Gimana? Gavi mau ya, Nak?”

Gavi menatap Ayah dan Papanya bergantian sebelum mengangguk kecil. Arsen dan Nala pun refleks tersenyum tipis lalu memberikan kecupan singkat di kepala Gavi.

Setelahnya, Nala lantas kembali menatap wajah Gavi lekat-lekat. Ada berbagai emosi di netranya. Dia senang karena Gavi akhirnya mau mendengar dan berbicara dengan mereka, namun di saat yang sama, Nala masih merasa sedih karena ucapan Gavi yang merasa tidak ditemani kemarin.

“Papa sama Ayah minta maaf ya, Sayang?” ucap Nala. “Papa sama Ayah bukan gak mau nemenin Gavi main atau jalan-jalan lagi…”

“Tapi Ayah sama Papa harus kerja karena udah bikin janji duluan sama temen kerjanya Ayah sama Papa,” jelas Nala yang mencoba membuat Gavi paham perihal kontrak kerja dengan bahasa yang lebih mudah. “Kalau janji harus ditepati kan, Sayang?”

Gavi mengangguk kecil.

“Papa juga mau berlama-lama di rumah sama Gavi kok,” lirih Nala.

“Papa sama Ayah sedih kalau gak bisa nganterin Gavi ke sekolah atau gak jalan-jalan sama Gavi,” timpal Nala sebelum setetes air mata membasahi pipinya. “Tapi Ayah sama Papa harus tetap ke tempat kerja. Itu juga buat Gavi.”

“Nanti, kalau Gavi udah gede dikit, Papa sama Ayah bisa kok jelasin ke Gavi sampai paham.”

Nala memaksakan senyumnya. “Sekarang Gavi masih terlalu kecil. Papa gak mau Gavi mikir berat. Papa sama Ayah cuma pengen Gavi belajar dan main kayak anak-anak seusia Gavi.”

“Gavi bikin Papa sedih ya?”

Si kecil akhirnya bersuara amat lirih sambil menghapus air mata di pipi Nala. Mata Gavi memerah.

“Gavi minta maaf, Papa. Jangan nangis. Gavi janji gak nakal lagi.”

“Gak, Sayaang. Gavi enggak bikin Papa sedih kok. Justru Papa yang udah bikin Gavi sedih,” kata Nala. “Papa bikin Gavi ngerasa sendiri.”

“Papa minta maaf ya?”

Gavi mengangguk sebelum Nala menariknya ke dalam dekapan hangat. Saat itu pula tangis Gavi akhirnya terbebas. Begitu pun Nala yang seketika tersedu-sedu.

Sementara itu, Arsen yang melihat kedua malaikatnya telah berlinang air mata pun refleks mendekap Nala dan Gavi erat-erat. Tak lupa pula dia memberi kecupan sayang masing-masing di puncak kepala anak dan sang suami tercinta. Sampai tak lama setelahnya, Gavi pun menoleh ke arahnya; beralih mendekapnya.

“Ayah, jangan nangis juga ya?” pinta Gavi. “Gavi minta maaf.”

“Iya, Sayang. Ayah gak nangis,” kekeh Arsen dengan mata yang berkaca-kaca, “Ayah juga minta maaf kalau akhir-akhir ini Ayah sama Papa jarang nemenin Gavi belajar, jalan atau main di rumah.”

“Apalagi kalau di rumah juga ada kamera, sampai-sampai Gavi jadi berpikir kalau Ayah sama Papa tuh tetep kerja pas lagi di rumah, bukannya nemenin Gavi.” timpal Arsen. “Tapi Ayah pengen Gavi tahu, kalau dengan Ayah sama Papa kayak gitu, kita bisa bantu orang-orang yang kerja di kantor kita. Kayak Om Sena, Tante Clau, Kak Bian, pokoknya semua yang sering Gavi lihat di ruang kerja.”

“Bantu gimana, Ayah?”

Pertanyaan Gavi membuat Arsen tersenyum sebelum menjawab.

“Karena dengan mereka pegang kamera dan nge-rekam kita, itu artinya mereka juga kerja. Dan karena mereka kerja buat Ayah sama Papa, nanti Ayah dan Papa ngasih mereka upah buat dipake beli makanan, baju dan lain-lain.”

“Coba Gavi bayangin deh, kalau mereka gak kerja, mereka mau dapet uang dari mana?” tanya Arsen. “Sama kayak Ayah dan Papa yang kerja supaya Gavi bisa sekolah di tempat bagus, beli apa yang Gavi mau dan yang paling penting, Ayah sama Papa pengen Gavi bangga punya orang tua yang mau kerja keras buat Gavi.”

“Gavi masih terlalu kecil buat paham,” katanya. “Tapi Ayah sama Papa bakal berusaha kok buat tetap kerja sambil nemenin Gavi, supaya Gavi gak ngerasa kalau Gavi ditinggal sendirian.”

Arsen mencubit pelan pipi Gavi, “Gavi udah gak ngambek kan?”

“Iya, Ayah.”

“Ya udah, malam ini Ayah sama Papa tidur bareng Gavi, mau ya?”

“Mau, Ayah.” Gavi melirik tempat tidurnya sejenak. “Tapi tempat tidur Gavi sempit. Enggak muat.”

Arsen terkekeh, “Kita tidurnya di kamar Ayah sama Papa, Sayang.”

Gavi mengangguk antusias. “Ayo, Ayah. Ayo, Papa. Gavi mau bobo.”

“Sini, biar Ayah gendong.”

Nala akhirnya bisa tersenyum lega melihat Gavi telah kembali aktif berceloteh dan bermanja-manja ke sang Ayah yang kini menggendongnya. Dia pun ikut berjalan ke luar kamar saat anak dan suaminya itu memanggilnya agar segera menyusul mereka.

Akhir pekan biasanya akan jadi momen dimana orang tua yang sibuk bekerja dari Senin hingga Jumat bisa menghabiskan waktu bersama anak-anak mereka di rumah atau sekedar piknik dan jalan-jalan bersama. Sayangnya, hal itu justru tidak berlaku untuk Arsen dan Nala. Bahkan di akhir pekan seperti sekarang pun, dua aktor papan atas itu masih harus bekerja dengan jadwal individual mereka masing-masing. Meski begitu, Arsen dan Nala berusaha untuk tetap menyempatkan diri mereka berbincang dengan Gavi.

Seperti sekarang, dimana Arsen, Nala dan Gavi telah berada di meja makan. Mereka pun bersiap untuk sarapan bersama sebelum nantinya Arsen harus pergi ke lokasi syuting iklan terbarunya.

“Gavi mau pakai selai cokelat gak, Sayang?” tanya Nala saat sang anak memilih roti untuk dimakan. “Apa yang strawberry?”

“Gavi mau yang cokelat, Papa.”

“Oke, Sayang.”

Selagi Nala sibuk mengoleskan selai ke roti Gavi, Arsen lantas berdeham sebelum bersuara.

“Sayang,” Arsen mengusap kepala Gavi. “Minggu depan kan… Gavi udah ulang tahun. Gavi pengen kado apa, hm? Entar Ayah kasih.”

Gavi terlihat berpikir sejenak sambil memandangi si Ayah.

“Ayah, Gavi gak mau kado.”

Jawaban Gavi sontak membuat Arsen dan Nala menatap sang anak dengan raut tidak percaya.

“Beneran, Gavi gak mau kado?” kini giliran Nala yang bertanya.

Gavi mengangguk, “Tapi Gavi mau ke Taman Mini sama Ayah dan Papa. Boleh ya, Papa? Semua teman-teman Gavi udah pernah ke sana sama Ayah Papa mereka. Cuma Gavi yang enggak pernah.”

“Kata teman-teman Gavi, di sana banyak burung lucuu.” jelas Gavi. “Gavi juga mau liat burung lucu.”

Arsen melirik Nala, “Emang kamu gak pernah ngajak Gavi ke sana?”

“Gak pernah,” sahut Nala. “Mas Tristan gak mau bawa-bawa Gavi ke tempat umum waktu itu. Kan masih kecil banget. Bahaya, Yah.”

Arsen mendengus, “Ya emang bahaya kalau dia ga ada effort buat minta penjagaan lebih, Pa.”

“Mau pake penjagaan lebih juga kalau dari sananya emang ada orang-orang nekat, tetep aja bakal rusuh, Yah. Kamu nggak inget pas kita Meet and Greet?” kata Nala, “Ada bodyguard, ada manager, satpam, tetep rusuh.”

“Ya kita kan Meet and Greet di Mall, gak bisa ditutup buat acara itu doang. Kalau di Taman Mini kayaknya masih bisa kok ditutup setengah hari buat umum kalau kita ngomong ke pengelolanya.”

Mendengar pembicaraan Ayah dan Papanya membuat Gavi menjatuhkan bahu lalu bertanya.

“Gavi nggak boleh ke Taman Mini karena Ayah sama Papa artis ya?”

Pertanyaan Gavi serta raut wajah murungnya membuat Arsen dan Nala seketika menatap anaknya itu sendu. Arsen lalu menarik kursinya agar semakin dekat dengan kursi Gavi, pun Nala yang duduk di sisi berlawanan dengan sang suami. Mereka sama-sama memeluk si kecil dari samping hingga Gavi seperti boneka yang diam di tengah-tengah mereka.

“Boleh kok, Sayang.” kata Arsen. “Apapun yang bisa Ayah kasih ke Gavi, pasti bakalan Ayah turutin.”

“Tapi kalau kita ke Taman Mini setelah ulang tahun Gavi, nggak apa-apa ya? Soalnya pas hari itu, Ayah sama Papa harus kerja di luar kota. Musti nginep di sana.”

“Gavi juga musti sekolah, jadi gak bisa ikut.” timpal si Ayah.

Niat hati ingin membuat Gavi tak kepikiran dan lebih tenang, Nala dan Arsen justru dibuat terkejut kala Gavi perlahan melepaskan pelukan mereka. Gavi kemudian mendongak ke Papa dan Ayahnya bergantian dengan sorot mata yang memancarkan kekecewaan.

“Ayah sama Papa kerja terus, gak pernah nemenin Gavi lagi.” suara si kecil parau. “Ayah sama Papa kalau di rumah juga kerja terus. Dulu, kalau Ayah sama Papa di rumah, gak pernah ada kamera. Sekarang selalu aja ada kamera.”

“Gavi sedih Ayah sama Papa gak mau temenin Gavi belajar dan main lagi di rumah. Gavi juga sedih Ayah sama Papa gak mau jalan-jalan sama Gavi,” katanya.

“Sayang…”

Arsen membelai pipi Gavi dan hendak menenangkan si kecil, namun hanya persekian detik setelahnya, Endra lantas datang dan menghampiri mereka. Sang manager pun memberitahu agar Arsen segera bersiap-siap untuk ke lokasi dimana ia akan syuting nanti. Sontak emosi dalam diri si kecil kian membuncah. Gavi pun turun dari kursinya lalu berlari meninggalkan area meja makan.

Arsen yang melihat hal itu pun menghela napas berat. Ia tidak tega melihat raut murung Gavi.

“Udah, kamu berangkat ke lokasi sekarang. Entar malah telat.” kata Nala lalu ikut berdiri dari kursi. “Biar aku yang ngomong ke Gavi.”

“Ya udah, entar kabarin aku ya?” Arsen ikut bangkit dari posisinya lalu mengecup kening Nala. “Aku berangkat dulu, Pa. I love you.”

“Mhm, hati-hati.”