Finally
Gino yang telah terbangun dari tidurnya sejak dua jam lalu kini sedang asik memandangi hiruk pikuk area notting hill di luar sana. Ia berdiri di depan jendela yang dekat dengan sofa ruang tengah apartemen Axel sambil melipat lengannya. Meski di luar sana sedang hujan cukup lebat, namun tidak ada kata istirahat ataupun sekedar berteduh bagi orang-orang yang nampaknya sudah harus memulai hari dan menjalani aktivitasnya masing-masing. Cukup lama menatap ke arah luar jendela, Gino kemudian beralih memandangi jam dinding yang berada di ruang tengah itu, degup jantungnya pun tiba-tiba menggila kala Gino mendapati bahwa jarum jam telah menunjuk ke arah angka tujuh. Itu artinya, tak lama lagi sang empu hunian yang ditempatinya akan datang.
Merasa sedikit bosan, Gino lalu melangkah ke sofa lalu duduk di sana. Dinyalakannya televisi yang berada di hadapannya meski dia sendiri tidak tahu ingin mencari tontonan apa. Sebab, Gino hanya ingin mengusir sepi serta rasa bosannya sambil menunggu Axel.
Sampai tak lama berselang, suara pintu apartemen yang dibuka tiba-tiba menggema. Gino pun semakin berdebar hingga tanpa sadar ia refleks berdiri dari sofa. Gino kemudian beranjak, hendak menghampiri sumber suara, tapi sebelum dia meninggalkan ruang tengah, sosok lelaki tinggi, putih dan berparas rupawan membuat langkahnya terhenti kala mereka berpapasan. Lelaki itu pun tidak lain adalah Axel; yang dia kenal dari Tinder empat bulan lalu.
Sama seperti Gino yang tiba-tiba mematung, Axel pun hanya bisa memandangi Gino dengan sorot mata kagum dan memuja. Seulas senyum lantas terukir di bibir mereka beberapa saat kemudian.
“Hi,” sapa Axel lembut.
Dia lalu memberanikan diri ‘tuk maju beberapa langkah hingga kini dia dan Gino telah saling berhadapan dengan jarak dua jengkal saja. Axel menjulurkan tangannya, mengajak Gino untuk bersalaman. “Salam kenal, Gin.”
Gino tidak meraih uluran tangan Axel, namun dia dengan sigap memeluk lelaki yang lebih tinggi lima senti darinya itu. Axel pun melakukan hal serupa. Dia lantas membalas dekapan Gino tidak kalah eratnya sambil bergumam, “Akhirnya aku ketemu kamu.”
“Maafin aku ya, Xel.” balas Gino, “Kamu jadi bolak-balik Indonesia – UK dalam dua hari karena aku.”
“It’s okay,” Axel refleks mengusap belakang kepala Gino. “Kamu aja jauh-jauh datang ke sini karena aku kan? Jadi aku harus pulang, biar kamu nggak nunggu lama.”
Perlahan, kedua anak manusia itu menarik diri dari pelukan yang tadi mereka ciptakan. Baik itu Axel maupun Gino kembali saling berbagi tatap dalam diam dengan senyum manis di bibir mereka. Kedua tangan Axel pun masih setia menggenggam hati- hati pergelangan tangan Gino.
“Bener ya kata Damian...”
Gino menaikkan alisnya saat dia mendengar ucapan Axel barusan.
“Damian bilang apa?”
“You’re beyond gorgeous,” puji Axel yang membuat Gino bersemu.
“Kamu juga lebih cakep dari yang aku lihat di foto ya,” balas Gino.
“Udah cukup cakep buat masuk kriteria tipe ideal kamu gak nih?”
Gino menahan senyum, “Cakep itu bukan point utama, sorry.”
Axel terkekeh, sementara Gino baru menyadari bahwa rambut bahkan baju Axel sedikit basah.
“Kamu kehujanan di luar?”
“Mhm, tapi pas keluar dari taksi di depan apartemen doang kok.”
“Ya udah, kamu ganti baju dulu gih. Sekalian keringin rambut kamu. Lumayan basah loh itu.”
“Oke, aku ke kamar bentar ya. Aku mau masukin koper juga.”
Gino mengangguk paham sambil memerhatikan Axel menyeret koper yang tadi dibawanya ke kamar. Setelahnya, Gino lantas berinisiatif membuat teh hangat untuk Axel di dapur. Ia kemudian kembali ke ruang tengah sambil membawa teh itu dimana Axel juga telah keluar dari kamarnya sebelum duduk di sofa panjang.
“Nih, diminum dulu. Biar badan kamu anget,” kata Gino sembari meletakkan tehnya di atas meja.
“Makasih ya, cutie pie.” kata Axel lalu meraih cangkir berisi teh hangat itu dan menenggaknya perlahan hingga habis setengah.
Diletakkannya kembali cangkir itu ke meja sambil berkata, “Kok kamu tau kalau aku suka teh?”
“Kamu pernah bilang kalau kamu gak suka kopi,” jawab Gino. “Di dapur kamu juga banyak stock teh, terus kamu sering ngepost di Instagram kamu pas kamu lagi di coffee shop, tapi yang kamu pesen keliatan banget milk tea.”
“Jadi kesimpulannya, kamu suka teh.” Timpal Gino, sedang Axel terkekeh pelan lalu mengangguk.
Axel kemudian melipat kedua kakinya di atas sofa, badannya dia miringkan ke arah Gino yang duduk di sebelahnya, sementara tangan kanan Axel menopang kepalanya sendiri pada sofa. Dia pun kembali sibuk memandangi wajah Gino sambil tersenyum manis. Sangat jelas bahwa Axel tidak mampu menyembunyikan rasa bahagianya saat ini. Gino sendiri hanya ikut memandangi lelaki di hadapannya itu sambil menahan senyuman herannya.
“Kenapa?” tanya Gino.
“Aku berasa lagi mimpi ngeliat kamu sekarang udah ada di depan aku, Gin.” jawab Axel.
“Aku juga berasa lagi mimpi nih, tapi mimpi buruk gara-gara dari tadi dilihatin mulu sama kamu,” decak Gino, sedang Axel tertawa.
“Gin.”
“Apa?”
“Kamu pernah denger kalimat akan ada pelangi setelah hujan gak?” tanya Axel dengan raut serius, Gino pun mengangguk.
“Pernah,” kata Gino. “Kenapa?”
“Dulu aku nggak pernah percaya sama kalimat itu, tau. Justru aku malah percaya kalau bakalan ada musibah setelah hujan saking bencinya aku sama hujan.” jelas Axel, “Tapi… Sekarang aku udah mulai belajar percaya. Soalnya di luar masih hujan, tapi pelanginya udah ada di depan mata aku.”
Gino menipiskan bibirnya selagi satu tangannya meraih satu buah bantal sofa yang ada di sebelah kanannya. Dia kemudian berkata, “Akhirnya waktu ini tiba juga…”
“Waktu buat apa, Gin?”
“Waktu buat gebukin kamu,” ujar Gino lalu memukuli badan Axel dengan bantal sofa tadi, sedang yang diperlakukan demikian justru refleks tertawa lantang.
“Kalau gebukin orang bisa via Tinder, udah sejak empat bulan yang lalu aku gebukin kamu pas ngalus kayak gini, Xel.” Gino lalu ikut tertawa pelan. “Ngeselin.”
“Ngeselin apa salting, hm?” Axel menusuk pipi kiri Gino dengan telunjuknya. “Nih, merah nih.”
“Sembarangan, pipi aku emang udah merah dari sananya tau!”
“Iyaa, aku percaya.” kekeh Axel. “Oh iya, kemarin kamu bilang kalau kamu udah resign kan?”
“Mm,” gumam Gino. “Thanks to cowok random yang aku kenal dari Tinder karena udah ngasih aku insight dari pendapatnya.”
Axel mengulum senyum karena sadar bahwa sosok yang Gino maksud barusan adalah dirinya.
“Jadi kesibukan kamu sekarang apa, Gin?” tanya Axel penasaran.
“Aku masih jadi pengangguran sekarang,” Gino tersenyum. “I’m still considering where I’m going after this. Soalnya dengan aku resign dari kantorku kemarin tuh termasuk langkah besar banget dalam karir aku. Sekalian, aku nganggap ini waktu aku buat istirahat sebentar sebelum lanjut ke tempat yang baru lagi sih.”
Axel mengangguk setuju, “Aku paham sih, apalagi kantor kamu emang dream company banyak orang. Posisi kamu di sana juga pasti udah tinggi, tapi kan ada banyak faktor juga yang kadang bikin kita perlu ninggalin tempat lama terus nyari tempat baru.”
“Iya, tapi sebagian orang kadang gak ngerti. Mereka cuma ngeliat enaknya doang tanpa ngeliat aku udah ngorbanin apa aja selama kerja di sana bertahun-tahun.” kata Gino, “Aku kadang ngerasa kehilangan hidup aku di sana.”
Melihat wajah Gino yang tiba-tiba berubah menjadi murung, Axel lantas mencubit pelan pipi kanan Gino. “Kamu sedih ya?”
“Gak kok,” Gino mendesis. “Kamu modus ya cubit-cubit pipi aku?”
Axel terkekeh, “Aku gemes sama pipi kamu soalnya. Maafin yaa?”
Gino geleng-geleng kepala.
“Kalau kamu tertarik kerja di sini, aku bisa kok nge-rekomendasiin kamu ke kantor aku atau kantor Papa.” Axel menawarkan, “Papa aku butuh auditor di kantornya.”
Mata Gino pun memicing, “Yang butuh, Papa kamu, apa anaknya?”
“Anaknya, eh! Maksud aku Papa.”
Gino memutar bola mata sambil menahan senyumnya, sementara Axel tersenyum sebelum kembali bersuara. “Kamu pernah bilang kalau orang tua kamu ada usaha bakery kan, Gin? Kamu enggak kepikiran nerusin, atau bahkan ngambil alih usaha mereka itu?”
“Udah ada kakak aku kok yang siap nerusin, bahkan kakak aku udah megang beberapa cabang di luar Jakarta.” kata Gino, “Aku juga gak pernah kepikiran buat ngelanjutin usaha keluarga aku, that’s just not my thing. At all.”
“Bakery orang tua kamu gede dong ya kalau udah ada cabang dimana-mana,” Axel terkesima. “Jangan-jangan aku tau bakery milik orang tua kamu lagi, Gin.”
“Bisa jadi sih, apalagi kalau kamu penggemar pastry dari dulu, Xel. Soalnya usaha bakery orang tua aku ini sebenernya turunan juga dari Papanya Mama aku. Jadi ya udah lumayan lama,” jelas Gino.
“Lekkers Bakery bukan?” tebak Axel, sementara Gino melotot.
“Kamu tau?”
“Beneran, Gin?”
Gino mengangguk, “Iyaaa.”
Mulut Axel refleks menganga bersamaan dengan matanya yang ikut melotot. Gino yang melihat raut wajah jenaka Axel pun seketika tertawa lantang.
“Mama aku harus tau sih kalau aku kenal sama anaknya yang punya Lekkers Bakery,” kata Axel, “Itu tuh tempat favorit aku sama Mama aku dari duluuu. Sumpah!”
“Kemarin aja pas aku pulang ke Indonesia, aku sempet mampir ke Lekkers Bakery.” timpal Axel sambil meraih gawainya, “Aku punya fotonya pas aku ngasih tau Mamaku. Kamu lihat deh.”
Gino tersenyum tipis saat Axel menunjukkan foto ketika dia berkunjung kemarin. “Mm, yang kamu datengin ini toko tertua. Mama aku pengen pertahanin kesan otentiknya, makanya toko yang ini sedikit beda dari cabang yang lain. Dan paling rame juga.”
“Selalu rame sih dari dulu,” kata Axel. “Terus kamu tau gak, Gin. Aku jadi suka banget sama pastry gara-gara bakery milik keluarga kamu ini, tau. Ceritanya agak dramatis sih, jujur, tapi lucu juga kalau aku coba ingat-ingat lagi.”
“Gimana emang ceritanya?”
“Kayaknya waktu itu umur aku masih sepuluh tahun deh kalau nggak salah, soalnya aku inget banget Mamaku bawa aku ke Lekkers Bakery pas Mama abis minta cerai sama Papa kandung aku.” kenang Axel, “Terus di sana aku ketemu anak laki-laki yang juga lagi makan pastry di meja sebelah aku. Karena Mamaku masih ngantri dan aku udah laper banget, aku kan otomatis ngeliatin anak itu mulu nih...”
Axel sedikit tertawa sambil terus bercerita, “Tau-tau anak yang tadi itu datengin meja aku terus ngasih croissant dia buat aku.”
“Kayaknya anak itu kasian deh ngeliat aku, gara-gara aku pas dateng emang lagi nangis. Yaa gimana, dengerin orang tua aku mau pisah pasti ada sedihnya.” timpal Axel, “Tapi croissant dari anak itu beneran bikin mood aku balik lagi. Udah lah emang rasa croissant-nya enak, terus aku juga ngerasa masih ada orang yang peduli sama aku waktu itu.”
“Dari situ juga aku percaya kalau kebaikan apapun yang kita lakuin meski sekecil apapun itu bisa aja punya impact yang besar buat orang di sekitar kita,” final Axel.
“Kamu tau apa yang lebih lucu gak, Xel?” tanya Gino sembari memandangi wajah Axel lamat.
Axel selalu excited mendengar cerita Gino, “Apa, Gin? Tell me.”
“Anak yang ngasih croissant-nya buat kamu itu aku,” tutur Gino.
“Kamu bercanda?” kata Axel.
“Serius,” Gino terkekeh. “Waktu itu kamu pake jaket warna biru kan? Pipi kamu tembem dulu.”
Axel lantas membekap mulutnya sendiri sambil memandangi Gino dengan raut wajah tak percaya.
“Aku juga inget banget ngeliat kamu masuk ke toko sambil nangis. Awalnya kamu gak mau ngelepasin tangan Mama kamu karena gak pengen ditinggal sendiri di meja kamu, bener kan?” tanya Gino yang dibalas anggukan mantap oleh Axel.
“Pas ngeliat kamu, aku jadiin kamu bahan bersyukur tau, Xel.” timpal Gino yang membuat Axel sontak tertawa terbahak-bahak.
“Bahan bersyukur gimana?”
“Soalnya waktu itu aku mikir kalau kamu nangis karena pengen beli pastry tapi gak punya uang, mana kamu mungkin pengen beli yang mahal, makanya Mama kamu ngantri sendiri biar kamu gak asal nunjuk.” ungkap Gino yang membuat air mata Axel nyaris menetes karena tawa. “Sejak saat itu aku mulai bersyukur karena bisa ikut Mamaku ke toko terus dikasih pastry gratis walaupun aku sebenarnya udah muak...”
“Maaf ya, Xel. Aku gak tau kalau orang yang aku kasihani waktu itu justru orang yang seharusnya ngasihani aku.” ucap Gino sesal.
“Kok ngasihani kamu sih, Gin?” tanya Axel dengan sisa tawanya.
“Ya karena kamu orang kaya.”
“Nggak ah,” kata Axel. “Kamu tuh yang kaya. Gino juragan pastry.”
“Kurang ajar,” kekeh Gino.
Axel mendesis, “Tapi, Gin…”
“Hm?” Gino mengangkat alisnya.
“Kayaknya kita jodoh deh.”
Gino menatap Axel datar sambil meraih bantal sofa, “Kamu mau aku gebukin lagi pake ini gak?”
“Serius, aku gak lagi ngegombal. Kamu pernah denger red string theory kan pasti?” sahut Axel, “Terus coba deh kamu pikir gimana kita bisa ketemu di Tinder sampai sekarang kita bisa tatap muka kayak sekarang ini. Dan ternyata kita pernah ketemu juga pas masih kecil dulu, Gin.”
“Aku gak percaya teori gituan,” Gino lalu memeluk bantal sofa. “Ada banyak kebetulan di dunia, kita aja yang kadang gak sadar.”
“Tapi aku sadar kok,” kata Axel.
“Sadar apanya?”
“Aku sadar kalau aku sayang sama kamu,” Axel tersenyum tipis. “Kalau kamu kapan, Gin?”