Hitam
Harith dan Ersya telah tiba di kediaman Tara dan Baskara beberapa menit yang lalu. Dua sejoli itu pun turut membantu di dapur Tara. Harith dan Ersya pun bertugas memasukkan cookies yang telah dingin ke dalam wadah, sementara Tara dan Baskara masing-masing memegang tugas di bagian mencetak adonan sebelum memanggangnya di dalam oven.
“Aku abis nyoba bikin varian baru lagi nih. Rasa avocado,” kata Tara. “Kalian berdua mau nyoba gak?”
“Mau!”
“Mau!”
Harith dan Ersya lantas kompak berseru seperti anak kecil yang ditawari mainan baru. Kedua sejoli itu kemudian cengengesan sambil duduk di depan meja bar yang ada di dapur saat Tara menyodorkan sepiring cookies untuk mereka. Sementara itu, Baskara yang memerhatikan pasangan itu seketika geleng-geleng kepala lalu berbisik pelan di samping telinga kanan Tara.
“Mereka ini doyan apa rakus sih, Tar?” Baskara mendadak julid.
Tara mendelik lalu menyikut pinggang sang suami. “Hush! Awas cookies-nya hangus.”
“Hangus apanya? Baru juga aku masukin ke oven,” balas Baskara lalu kembali menatap Harith dan Ersya yang asik melahap cookies.
“Lama-lama suami aku bakalan lebih banyak ruginya daripada untungnya deh kalau kalian rajin dateng ke sini,” celetuk Baskara. “Tiap dateng musti nyoba. Doyan amat sama cookies bikinan Tara aku perhatiin. Beli kek sesekali.”
“Kamu ngomong apa sih, Bas?” decak Tara lalu memandangi Harith dan Ersya dengan raut wajah tidak enak, tapi kedua anak muda itu justru tertawa.
“Gak usah peduliin Bas ya.”
“Gimana yang varian avocado ini? Enak gak?” Tara menimpali dengan binar mata penasaran.
“Kamu kalau nanya mereka pasti bakalan dijawab enak lah, Tar.” sahut Baskara yang membuat Tara refleks menginjak kaki sang suami. Baskara menjerit pelan.
“Iya, Mas. Enak banget,” jawab Ersya. “Rasanya udah pas kok.”
“Tuh, bener kan kata aku?” kata Baskara dengan tampang datar.
“Aku belum selesai ngomong, Mas Bas.” Ersya memelas, Tara pun mengambil satu cookies lalu menyuapi Baskara dalam sekali suapan saja agar suaminya itu tidak lagi berceloteh.
“Terus gimana, Sya?” tanya Tara.
“Soal rasanya sih udah gak ada yang kurang, Mas. Pas banget. Gak terlalu manis dan sensai rasa pahit dikit dari avocadonya juga gak too much. Cuman kayaknya Mas Tara tuh musti nambahin topping lain, gak cuma pakai biskuit sama keju gini. Soalnya orang-orang yang baru pertama kali beli mungkin bakalan mikir kalau cookies ini rasa pandan, bukan avocado.” jelas Ersya.
“Ya kalau males baca emang bakalan salah kaprah, kan di packagingnya nanti juga ada tulisan varian avocado,” tutur Baskara dengan mulut yang masih dipenuhi cookies, namun Tara kembali menyuapinya.
“Okay, noted.” Tara mengangguk. “Aku juga sebenarnya mikir mau ngasih topping keripik avocado. Cuman aku belum beli aja, Sya.”
“Nah, itu bagus tuh, Mas.”
“Anyway, thanks masukannya.”
Ersya tersenyum cerah.
“Anytime, Mas Tara.”
Satu tangan Ersya kemudian terulur ke arah piring dimana cookies pemberian Tara berada, namun alangkah kagetnya Ersya kala menyadari bahwa cookies di piring itu telah habis tak tersisa.
“Ih, Kak Harith! Kok diabisin?”
“Kirain kamu udah gak mau.”
Ersya mencebik, tapi Harith yang melihat hal itu justru terkekeh.
“Iya, iya, aku minta maaf.”
“Kamu pengen yang varian apa, babe? Pilih aja, entar aku jajanin.” timpal Harith sebelum melirik Tara. “Aku order satu boleh ya, Mas? Masih ada lebihan kan?”
“Iya boleh kok,” Tara tersenyum. “Entar yang dipanggang Baskara itu buat kalian pas udah mateng.”
“Mau bayar via QRIS apa tunai nih, Rith?” tanya Baskara yang membuat Harith tertawa kecil.
“Mau QRIS, Mas. Tapi bayarnya boleh diangsur gak kira-kira?”
“Boleh, tapi cookiesnya juga diangsur ya sesuai nominal pembayaran kamu.” balas Baskara diikuti delikan tajam.
Tara dan Ersya hanya tersenyum maklum lalu geleng-geleng kepala melihat tingkah suami mereka. Setelah mereka menjadi tetangga selama beberapa Minggu, kini mereka semakin dekat dan lebih aktif bercanda.
Sayangnya, terlalu larut dalam obrolan justru membuat Baskara lupa dengan tugasnya. Sampai saat Tara, Ersya, Harith dan dirinya sendiri mencium bau gosong, mereka refleks kompak berteriak sambil menunjuk oven.
“Cookies-nya!”
Baskara buru-buru mematikan oven lalu mengeluarkan cookies malang yang telah gosong itu. Dia kemudian meletakkannya di atas meja bar sambil cengar-cengir ke Tara yang saat ini telah memberinya tatapan mematikan.
Sementara itu, Ersya yang melihat cookies yang seharusnya akan dia makan telah berubah warna menjadi hitam pun refleks menekuk bibir ke bawah seperti balita yang akan menangis pilu.
“Mas Bas... Cookies aku...” rengek Ersya lirih lalu bersuara seperti orang yang menangis, meraung.
“Mas Bas bikin suami aku sedih,” kata Harith. “Abis ini aku musti dikasih diskon pokoknya. Buruan panggangin cookies yang lain ih.”
“Emang anjing ya ni anak,” ucap Baskara lalu menoleh ke Tara yang masih terdiam namun sedang memandanginya lamat-lamat. “Aku minta maaf. Aku lupa masang timer. Jangan marah ya?”
“Marahin, Mas Tar.”
Harith memanas-manasi, namun Tara lantas memberinya tatapan datar pula. Alhasil, Harith hanya cengengesan lalu mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya hingga membentuk pose peace.
“Kan aku udah ingetin tadi, Bas.” omel Tara namun dengan suara sangat tenang nan lembutnya.
“Iya, aku salah. Maaf, Tara.”
“Ya udah, panggang yang lain.”
“Siap, Bos!” Baskara memberi hormat kepada Tara sebelum menjulurkan lidahnya ke arah Harith yang memandanginya.
Harith pun hanya memutar bola mata melihat sisi romantisme pasangan yang lebih tua sambil terus berusaha menenangkan Ersya. Sebab, suaminya itu masih sedih karena cookies pesanan mereka berakhir mengenaskan.