Intimate Convo

“Tapi aku sadar kok,” kata Axel.

“Sadar apanya?”

“Aku sadar kalau aku sayang sama kamu,” Axel tersenyum tipis. “Kalau kamu kapan, Gin?”

Gino membisu sambil menatap lurus ke dalam mata Axel. Dia sibuk dengan pikirannya sendiri tentang bagaimana Axel sangat yakin dengan perasaannya itu.

“Gin, maaf.” Axel menyadari Gino tiba-tiba terdiam, “Aku gak ada maksud buat ngasih pressure ke kamu. So, take your time. Okay?”

Gino terkekeh, “Kamu ini people pleaser? Dikit-dikit minta maaf.”

“Enggak sih, tapi kalau aku ada salah ngomong kan emang udah seharusnya aku minta maaf, Gin.”

“Kamu gak salah ngomong kok,” Gino menghela napasnya. “Aku cuma kepikiran aja gimana kamu bisa yakin sama perasaan kamu.”

“Biar aku balik pertanyaannya, gimana kamu nggak bisa yakin sama perasaan kamu?” kekeh Axel, “Padahal kan kamu yang ngerasain, kamu tau apa yang kamu mau dan apa yang nggak pengen kamu sia-siakan. That’s why when we want something, we’re gonna try to get it, right?”

“Tapi kan perasaan itu kompleks, Xel. Gak sesederhana kamu mau minum teh, jadi kamu bikin teh.” balas Gino, “I mean, how can you be sure that you love me and not just because you’re curious about me? Apalagi selama ini kamu tuh cuma kenal aku dari dunia maya.”

“Menurut aku, orang-orang yang sebenarnya enggak yakin sama perasaan mereka ini yang bikin kasus selingkuh masih banyak…” tatapan Gino mendadak kosong.

“Mereka cuma penasaran sama orang yang awalnya mereka kira mereka suka bahkan sayang, but once they know the answer to the question in their head, they’ll find someone else.” Gino menimpali. “Tapi mereka gak cukup berani buat bilang pisah ke pasangan.”

Axel menatap lamat-lamat wajah Gino, “Give me an example, Gin.”

“Contohnya mantan pacar aku,” Gino menatap mata Axel diikuti senyum hambar. “Aku kenal dia sejak SMA, kita temenan sampai akhirnya jadian pas kita kuliah…”

“Tapi setelah aku sama dia udah sama-sama kerja, dia khianatin aku. Dia selingkuh sama temen kantornya,” suara Gino sedikit bergetar. “Dan kamu tau gak, dia bilang apa pas aku minta alasan kenapa dia selingkuh dari aku?”

“Dia bilang, aku bukan Gino yang dia kenal selama ini. Aku ini gila kerja, terus mentingin diri aku sendiri doang.” jelas Gino. “Dia juga bilang kalau dulu, alasan dia tertarik sama aku tuh karena dia pikir aku bisa selalu punya waktu buat dia setiap dia butuh aku…”

“Dia… Mungkin penasaran, apa aku ini bisa ada di bawah kakinya setelah kita pacaran atau nggak, turns out aku gak mau. Karena aku juga punya mimpi yang udah lama pengen aku raih,” kata Gino. “Aku gak bisa ngikutin ekspektasi dia yang pengen aku diem doang di bakery buat ngelanjutin usaha Mama aku, biar aku lebih banyak waktu buat ada di samping dia.”

“Sejak saat itu… Aku tuh selalu mempertanyakan diri aku, Xel.” Gino menunduk, dia tidak ingin Axel melihat matanya berkaca-kaca, “Apa aku masih pantes ya dicintai? Apa aku emang harus ngorbanin mimpi aku dulu biar aku bisa dicintai orang lain lagi?”

“Dan karena itu juga aku gak bisa gampang percaya sama orang yang berusaha deketin aku,” kata Gino. “Aku gak percaya mereka bener-bener sayang sama aku.”

“Kalau menurut aku ya, mantan kamu bukannya gak yakin sama perasaannya. Tapi dia mencintai Gino yang ada di bayangannya,” kata Axel. “Dia gak menerima kamu seutuhnya, Gin. Dia tuh tipikal yang pas pacaran malah nganggap pacarnya hak milik.”

“Makanya aku percaya kalau buat nyari pasangan, ya harus ngeliat juga kita punya visi yang sama dengan mereka apa gak, punya pandangan hidup yang sama apa gak,” timpal Axel, “Kalau aja dia se-visi sama kamu, dia bakalan ngerti kok. Justru malah dia yang pasti ngedukung mimpi kamu.”

Case kamu hampir mirip sama apa yang dulu Mama aku alamin, Gin.” Axel ikut bercerita. “Papa kandung aku juga selingkuh dan ketika Mamaku nanya alasannya apa, dia malah gaslighting Mama aku. Padahal emang dianya aja yang gampang dirayu pake kata-kata manis sama wanita lain...”

“Yang pengen aku bilang di sini, kamu jangan pernah ya nyalahin atau mempertanyakan diri kamu sendiri kalau kamu diselingkuhi,” tutur Axel, “Mau gimana pun itu alasannya, selingkuh itu hal gak bener dan gak bisa ditolerir, Gin.”

“Banyak kok case selingkuh yang terjadi gara-gara salah satu pihak emang gak pernah ngerasa puas aja dengan satu pasangan, tapi malah nyari pembenaran.” Axel pun sedikit emosional, dan Gino menyadarinya. Gino lalu refleks meraih jemari lelaki berlesung pipi itu lalu menggenggamnya.

“Mhm, aku ngerti.” balas Gino, “Thank you for telling me this.”

“Maaf ya, aku jadi ikut emosional. Denger cerita kamu bikin aku keinget sama Mama aku,” Axel membalas genggaman tangan Gino sambil tersenyum, “Kamu pantes dicintai sama orang yang tepat, Gin. Percaya sama aku.”

Gino ikut tersenyum sebelum mengangguk paham, “Jadi… Alasan kamu gak suka sama orang yang gampang kemakan kata-kata manis karena kamu gak pengen ketemu seseorang yang mirip Papa kamu ya, Xel?”

“Mm,” Axel membenarkan. “Aku juga benci hujan gara-gara dia.”

“Kamu udah siap cerita ke aku gak?” tanya Gino yang dibalas anggukan pelan oleh Axel.

“Dulu aku anaknya aktif banget, aku enggak bisa diem di rumah. Terus, hari itu aku sama Mama Papaku liburan ke Bali,” katanya. “Aku inget banget, aku lagi main di villa, tapi karena aku ngeliat di luar villa ada banyak anak-anak, aku minta izin buat gabung sama mereka ke Mamaku, karena Papa aku waktu itu lagi gak di villa, ngakunya pengen nyari angin.”

“Ya namanya anak-anak kan, aku keasikan main sama temen baru aku sampai aku mau-mau aja ikut mereka ke pantai, gak izin Mama dulu. Akhirnya pas hujan, Mama aku panik karena aku udah nggak ada di depan villa. Mama katanya nelpon Papa waktu itu, tapi hp Papa malah gak aktif. Jadi, Mama bawa payung terus nyari aku ke pantai sendiri.” Axel kemudian tersenyum kecut mengingatnya.

“Eh, pas aku sama Mama udah ketemu dan kita jalan pengen balik ke villa, aku sama Mama justru ngeliat Papa lagi ciuman sama wanita lain.” timpal Axel, “Andai aja waktu itu gak hujan, Mamaku gak perlu keluar dari villa buat nyariin aku, sampai-sampai dia harus ngeliat Papa aku lagi bareng wanita lain.”

“Maaf kalau aku potong, Xel. Tapi menurut aku, bukannya bagus ya karena Mama kamu akhirnya tau tabiat asli Papa kamu gara-gara nyariin kamu pas turun hujan?”

Axel mengangguk, “Mm, emang bagus Mama akhirnya gak perlu bertahan sama pria kayak Papa setelahnya. Tapi andai aja waktu itu gak hujan, mungkin cuma aku yang bakalan ngeliat kejadian itu. Dengan gitu juga Mama aku gak bakalan terlalu sakit andai aja dia nggak liat pake matanya sendiri.”

“Bayangin, Gin. Mama aku harus ngeliat anaknya jadi pasiennya sendiri karena aku nggak bisa nyeritain rasa sakit aku, gara-gara kejadian itu, sementara Mama juga lagi sakit karena dikhianatin sama suaminya.” suara Axel lirih. “I wish I was the only one who got hurt, not her.”

Gino lantas mengusap punggung tangan Axel dengan ibu jarinya, berniat untuk menenangkannya.

“Tapi aku yakin Mama kamu juga berpikir sama, Xel. Pasti dia pun gak pengen ngeliat kamu ikutan terluka, apalagi dia psikiater kan. Pasti dia khawatir banget sama kondisi mental kamu yang waktu itu masih anak-anak,” kata Gino.

“Kamu bener sih. Bahkan sampai sekarang Mamaku masih suka mastiin, aku nih nggak punya pacar karena masih keinget kejadian itu gak?” kekeh Axel.

“Padahal aku gak punya pacar karena aku nunggu kamu—eh!” timpal Axel dengan nada jenaka yang membuat Gino terkekeh.

Kedua anak manusia itu pun kembali melanjutkan percakapan mereka yang mengalir begitu saja. Mulai dari hal kecil dan sepele hingga topik serius. Baik itu Axel maupun Gino seolah menemukan tempat bercerita ternyaman satu sama lain. Bahkan saking nyamannya, mereka nyaris lupa waktu.