Samaan

Tara masuk ke dalam rumahnya dengan dua tangan menenteng beberapa paper bag. Sampai saat dia tiba di ruang tengah, Tara pun mendapati Baskara sedang menonton televisi. Terlalu fokus pada tontonan di hadapannya itu lantas membuat Baskara tidak menyadari jika sang suami telah kembali. Alhasil, Tara hanya menghela napas pelan sebelum menghampiri Baskara di sofa.

“Ersya pas nyampe tadi langsung disambut sama suaminya abis itu dibantu ngangkatin belanjaan,” sindir Tara dengan nada sedih yang dibuat-buat lalu duduk di sofa, tepat di sebelah Baskara.

“Beda banget sama suami aku, jangankan dibantu ngangkatin belanjaan, tau kalau aku udah pulang aja enggak loh.” katanya.

Sadar kalau Tara menyindirnya, Baskara pun menoleh lalu tersenyum dengan tampang tak bersalah. Baskara kemudian menepuk-nepuk pelan puncak kepala Tara sebelum berkata.

“Berarti kamu hebat ya, Sayang. Soalnya umur udah tiga lima tapi masih kuat ngangkatin belanjaan sendiri.” ucap Baskara sebelum mengacungkan jempol ke Tara.

Sontak Tara memutar bola mata pasrah diikuti gelengan kepala. Bukan Baskara jika tidak mampu membalas apa yang ia katakan.

“Belanjaan kamu banyak banget,” Baskara memerhatikan paper bag di sisi sofa. “Tadi katanya kamu cuma pengen beli tas.”

“Lagi banyak diskon, jadi ya udah aku beli sepatu sama pakaian.”

“Buat aku ada gak?”

“Gak ada.”

“Udah ketebak,” Baskara seketika memasang tampang sedih yang sengaja dibuat-buat. “Jangankan inget aku pas lagi belanja, inget ulang tahun aku aja enggak tuh kemaren.” timpal Baskara yang membuat Tara menghela napas.

“Tapi kan di hari berikutnya aku udah inget, Bas. Aku juga bikinin kue buat kamu loh,” balas Tara. “Kemaren kamu bilang gak apa-apa, kamu udah maafin aku, tapi sekarang kok diungkit lagi? Jadi kamu masih dendam sama aku?”

Baskara terkekeh lalu mencubit pelan hidung Tara. “Serius amat sih? Aku cuma bercanda, Tara.”

“Mana sini kakinya,” Baskara menimpali yang membuat Tara lantas menahan senyumnya.

Tara pun menyamakan posisinya dengan bersandar di lengan sofa, sementara kedua kakinya dia luruskan di atas paha Baskara. Suaminya itu lalu memijitnya dengan telaten hingga rasa pegal Tara perlahan hilang. Sejenak, Tara memandangi wajah Baskara sambil memikirkan hal yang tadi sempat membuatnya tiba-tiba mempertanyakan rasa sayang sang suami padanya saat ini.

Tara sadar, Baskara memang tak lagi intens memberinya kata-kata manis atau mengucapkan kata cinta seperti saat mereka masih berpacaran dulu. Namun, salah satu hal yang tak pernah berubah dari Baskara adalah caranya menunjukkan cinta melalui perlakuan dan perhatian.

“Bas.”

“Mm?”

Baskara menoleh, dan persekian sekon berikutnya, dia dibuat kaget saat suaminya tiba-tiba saja mengecup bibirnya. Baskara pun memicingkan mata heran.

“Apa nih? Kok cium-cium?”

“Aku sayang kamu, Bas.”

Baskara tersenyum geli.

“Tiba-tiba banget.” katanya.

“Jangan-jangan kamu kayak gini tuh karena belanjaan kamu hari ini nguras kartu kredit, Tar?”

“Padahal aku tulus ngucapin sayang, tapi kamu malah negatif thinking sama aku.” balas Tara lalu memanyunkan bibir tipisnya.

Tara kemudian menurunkan kakinya dari paha Baskara, “Udah ah. Aku mau ke rumah Ersya.”

“Ngapain?” tanya Baskara.

“Aku mau ngebantuin dia bikin cookies, Bas. Dia minta diajarin.”

“Kan besok-besok bisa, Tar. Kamu gak capek apa? Abis belanja lanjut bikin cookies?”

“Capek, tapi aku udah janji sama Ersya tadi.” kata Tara. “Bas, minta tolong bawain belanjaan aku ke kamar ya entar. Aku mau pergi—”

Belum sempat Tara berdiri dari sofa, Baskara sudah lebih dahulu menarik lengannya. Tara pun terkejut saat suaminya itu tiba-tiba saja menciumi bibirnya. Namun, Tara tidak mungkin menolaknya. Alhasil, kini dia membalas kecup dan lumatan lembut yang suaminya berikan.

“Mas Tar—eh?”

Baskara dan Tara pun menyudahi ciuman mereka saat mendengar suara yang berasal tak jauh dari sofa. Ketika mereka menoleh ke sumber suara, nampak Ersya sedang berdiri dari radius tiga meter saja. Ersya tersenyum usil dengan mata menyipit. Jelas kalau Ersya melihat apa yang terjadi di antara mereka tadi.

“Maaf ya, Mas Bas. Mas Tara. Aku malah langsung nyelonong tadi. Soalnya pagar sama pintu depan kebuka,” Ersya cengar-cengir.

“Gak apa-apa, Sya.” Tara lantas gelagapan. “Aku udah mau ke rumah kamu kok abis ini. Ayo!”

“Eh, Mas! Ga usah,” Ersya refleks berseru saat melihat Tara berdiri dari sofa. “Aku ke sini sebenarnya mau bilang ke Mas Tara kalau kita bikin cookies-nya besok aja kalau Mas bisa dan ada waktu.”

“Soalnya aku sama Harith juga mau...” Ersya mempertemukan kedua ujung jari telunjuknya di depan dada dengan tampang malu-malunya. “Kak Harith lagi kepengen banget, Mas. Kebelet.”

“Eh ternyata Mas Tara sama Mas Bas juga lagi kepengen yaa? Kok kita bisa samaan gini sih? Hehe.”

Tara melongo sesaat sebelum mengibaskan tangannya, “Gak, Sya. Gak gitu. Aku sama Bas—”

“Ya udah, kamu pulang gih. Aku sama Tara mau ngelanjutin yang tadi. Nanggung,” potong Baskara.

“Bas!“ Tara melotot ke arah Bagas, sedangkan Ersya justru mengeringkan matanya meledek.

“Nggak usah malu, Mas Tara. Aku aja bilang kok.” kata Ersya. “Kalau gitu aku pulang ya, Mas. Harith udah nunggu di kamar soalnya.”

Tara hanya mampu memandangi Ersya yang telah melenggang pergi dari rumah dengan mulut setengah terbuka dan tampang tak percaya. Sementara Baskara seketika tertawa lepas sebelum ikut berdiri di samping Tara.

“Udah, biarin aja. Besok Senin loh, Tar. Kamu musti istirahat abis ini.” Baskara memeluk erat pinggang Tara dari belakang.

Tara mendengus lalu menoleh ke Baskara, “Terus kamu ngapain meluk-meluk aku kayak gini?”

“Aku juga lagi kepengen banget.”

“Baru aja beberapa detik yang lalu kamu nyuruh aku buat istirahat loh, Bas?” tutur Tara.

“Aku kan bilang abis ini,” balas Baskara. “Abis ini yang aku maksud yaa pas kita abis ngewe.”

Baskara kemudian melepaskan dekapannya dari pinggang Tara. Setelahnya, dia menggendong Tara bridal hingga empunya memekik tertahan dengan tampang kaget dan ketakutan.

“Kamu ngapain gendong aku sih, Bas? Kalau encok tau rasa,” Tara seketika mengomeli suaminya.

“Kalau aku encok, paling kamu jatuh doang.” kata Baskara santai.

“Baskara!”

Baskara tertawa.

“Enggak. Gak bakal jatuh.”

“Aku nggak percaya sama kamu, Bas.” Tara memelas saat Baskara mulai berjalan pelan ke arah anak tangga menuju kamar mereka di lantai dua. “Turunin aku, Bas. Please? Aku bisa jalan sendiri.”

“Tadi aja kamu protes, katanya aku udah gak romantis. Giliran aku pengen romantis, kamu malah nolak gini.” decak Baskara.

Tara refleks terkekeh pelan. “Aku bukannya nolak, Bas. Tapi kasian pinggang kamu, nanti encok loh.”

“Turunin aku dulu,” pintanya. “Daripada kamu gendong aku, mending kamu bantu angkatin belanjaan aku sana. Tadi aku ada beli hadiah hadiah ulang tahun buat kamu tau. Gak mau lihat?”

“Beneran?” mata Baskara lantas berbinar. “Tapi tadi kamu bilang gak ada. Kamu usil banget sih?”

“Siapa suruh kamu nyuekin aku pas tadi aku dateng?” balas Tara lalu menahan senyum manisnya.

Baskara menghela napas panjang sebelum menurunkan si suami dari gendongannya. Dia lantas memicingkan matanya ke Tara sebelum mendekap tubuhnya.

“Aku gak denger kamu datang, Sayang.” kata Baskara. “Aku minta maaf ya? I love you, Tara Sayang.”

“Giliran abis dibelanjain gini aja bilang i love you.” decih Tara.

Baskara menjauhkan tubuhnya dari Tara guna menatap wajah sang suami. “Aku ngucapin ‘i love you’ gitu tulus. Kamu gak suka?”

Tara tersenyum, “Suka.”

“Ya udah, aku ngambil belanjaan kamu dulu. Tunggu aku di sini.”

“Oke.”