jaesweats

Setelah tadi menghabiskan apel yang udah dikupasin sama Evan, kini Gala udah berbaring di atas tempat tidur dengan posisi yang menyamping. Pas Evan akhirnya ikut ngerebahin tubuhnya, Gala langsung meluk erat sang suami.

“Mas…”

“Apa, Sayang? Ayo cerita sama Mas,” kata Evan yang ngebalas pelukan Gala gak kalah erat. Dia pun sesekali ngusap punggung Gala dengan harapan bisa ngasih ketenangan buat suaminya itu.

“Aku harusnya tutup telinga aja sih kalau dengerin omongan gak baik di kantor,” tutur Gala. “Tapi yang siang tadi, aku bener-bener gak bisa nahan diri aku lagi. Aku sedih, Mas. Makanya aku nangis.”

“Kamu dengerin apa, Dek?”

“Aku denger ada yang ngomong, katanya aku dapet posisi ini tuh karena suami aku Direksi. Kerja aku sebagai ketua divisi katanya gak becus gara-gara aku cuma modal orang dalam,” jelas Nala.

“Sebenernya, aku gak pernah peduli apa kata orang. Mau aku dibilang pake orang dalam kek, karena suami aku Direksi kek, aku udah kenyang sama gosip kayak gitu.” katanya. “Toh aku juga kerja keras buat bisa sampai di titik ini. And i know my worth.”

“Tapi yang bikin aku sedih, divisi aku emang lagi dapet workload yang tinggi bulan ini, jadi staff-staff aku musti double kerjaan.”

“Orang yang ngomong tadi itu akhirnya bandingin aku sama ketua divisi sebelumnya,” lanjut Gala. “Katanya, aku pemimpin yang gak manusiawi. Gak tau manage tugas buat staff aku.”

“Jadi aku tuh kayak… Langsung mempertanyakan kemampuan aku loh, Mas. Aku yang awalnya percaya ‘worth’ aku jadi goyah.”

“Udah lah capek kerja seharian, diomongin, dibanding-bandingin pula. Jadi emosi sama stress aku langsung meledak,” timpalnya.

Evan ngangguk paham sambil ngusap lembut pipi suaminya.

“Kamu mikir kayak gitu karena kamu capek dan stress, Dek.” kata Evan. “Mas kenal gimana kamu dalam bekerja. Mas juga tau kalau kamu selalu mikirin orang lain juga. Jadi kerjaan yang kamu kasih ke staff kamu pasti emang udah yang sewajarnya meskipun gak kayak hari biasa.”

“Jangankan divisi kamu yang emang erat kaitannya sama customer dan stakeholder, divisi lain pun workload-nya tuh lagi tinggi-tingginya di akhir tahun.”

“Kamu udah jadi pemimpin yang baik kok,” kata Evan. “Mas nggak lagi ngehibur kamu, tapi Mas tuh bisa ngeliat data dan fakta. Divisi kamu sejak dipimpin kamu jadi lebih banyak datengin client dan lebih terukur progressnya, Dek.”

“Emang berapa orang sih yang ngomongin kamu kayak gitu, semua staff kamu?” tanyanya.

Gala menggeleng, “Gak kok, Mas. Cuma satu orang, tapi dia bilang ke beberapa orang. Terus orang yang denger dia diem-diem aja.”

“Aku tau aku harusnya gak take this case seriously, tapi otak aku kayak gak bisa kompromi lagi.”

Evan senyum, “Mas ngerti, Dek. Mas juga sering kayak gini kok.”

“Dan didengerin sama kamu tuh udah cukup bikin Mas tenang, jadi Mas harap, Mas juga bisa ngelakuin hal yang sama, Gala.”

Gala ikut senyum, “Kayaknya aku emang pengen didengerin doang sama kamu deh, Mas. Aku udah lega banget abis cerita ke kamu.”

“Mas ikut lega dengernya.”

“Makasih ya, Mas.” ucap Gala.

“Iya, Bos Kecil.” kekeh Evan. “Ya udah, kita bobo sekarang, Dek.”

“Mm,” Gala ngecup lembut bibir Evan. “Good night, Mas Evan.”

Evan membalas kecupan Gala di bibir sebelum beralih ke kening.

“Good night, Dek.”

Setelah tadi minta izin ke Mama Papa Dipta kalau anak semata wayang mereka bakal nginap di kosannya, kini Dikta sama Dipta akhirnya sampai di tempat yang mereka tuju. Dikta pun nuntun pacarnya itu buat naik ke kamar kosannya di lantai dua sebelum akhirnya masuk ke dalam sana.

Senyum terlukis di bibir Dikta pas dia ngelihat Dipta langsung jatuhin badannya di atas tempat tidur dengan posisi terlentang. Nampak kalau pacarnya itu lagi capek banget sepulang kerja.

Karena sebelumnya mereka juga udah makan malam bareng pas di rumah Dipta, sekarang Dikta dan Dipta gak ada kegiatan lain di kos-an. Alhasil, Dikta pun ikut rebahin tubuhnya di samping kiri Dipta; posisi Dikta menyamping, tangannya menopang kepalanya.

“Capek banget ya hari ini?”

Dipta merenggut lucu sebelum mendekatkan tubuhnya ke sang pacar. Dia ikut berbaring dengan posisi menyamping kayak Dikta sebelum akhirnya meluk si pacar.

“Iya,” gumam Dipta pelan sambil ngedusel di dada Dikta. “Capek juga ya nyari duit, Ta. Mana pas dikeluarin cepet banget abisnya.”

Dikta senyum sambil dengerin ocehan Dipta. Satu tangan Dikta kemudian beralih ngusap lembut belakang kepala sebelum turun ke punggung sempit Diptanya.

“Jadi dewasa berat banget sih,” dia ngelanjutin keluh kesahnya lalu mendongak ke wajah Dikta.

“Ta, kamu pernah mikir gak sih pengen punya kekuatan super supaya kamu bisa balik lagi ke masa kecil kamu?” tanya Dipta.

Dikta menggeleng, “Gak pernah dan emang gak mau juga sih, Dip. Soalnya pas aku kecil, kita belum ketemu. Masa kecil aku suram.”

Bibir Dipta sontak melengkung ke bawah. Dia nyaris lupa kalau Dikta pernah ada masalah dalam hubungan dengan orang tua juga Janitra, kakaknya, sebelumnya.

“Aku bikin kamu sedih ya, Ta?”

“Gak kok, Sayang.” Dikta nyubit pelan hidung Dipta sebelum dia ngecup lembut kening pacarnya itu. “Aku mana pernah sedih sih kalau lagi bareng kamu kek gini.”

“Gombal.”

“Serius, Dip.”

Dipta senyum, begitupun Dikta yang lantas ngecup bibir ranum pacarnya itu. Setiap kali Dipta senyum, Dikta seolah ngelihat surga yang pengen dia tinggali. Energi positif dalam diri Dipta pun selalu tersalurkan padanya.

Sementara itu, Dipta yang gak puas dengan kecupan singkat Dikta pun mengambil alih. Kali ini, dia yang ngecup bibir Dikta, gak cuma sekali, tapi berkali-kali yang kemudian bikin bikin sang pacar terkekeh geli karenanya.

“Katanya cuma pengen pelukan,” ledek Dikta, Dipta pun manyun.

“Aku juga pengen ciuman,” balas Dipta lalu ngecup lembut bibir Dikta lagi. “Aku suka cium-cium.”

Dipta ngelanjutin agenda ngecup bibir Dikta. Suara kecupan bibir yang bertubi-tubi pun seketika menggema dalam kamar kos itu.

Sampai saat Dipta ngasih jeda dengan berhenti ngecup bibir Dikta buat ngeliat wajah pacar gantengnya itu, dia terkekeh. Dikta masih nutup dua matanya sambil senyum diikuti kekehan.

Gak lama setelahnya, Dikta pun kembali buka mata dan langsung bertemu tatap sama Dipta. Dikta kemudian ngecup lembut kedua kelopak mata Dipta lalu berbisik.

“Ayo ciuman yang bener, Dip...” katanya yang bikin Dipta lemas.

Dalam waktu beberapa detik saja, Dikta pun berhasil ngubah posisi dia sama Dipta. Kini Dikta berada di atas tubuh Dipta. Dua lengan Dipta dia cengkeram masing-masing di samping kepala Dipta.

Gak ada penolakan dari Dipta pas Dikta miringin kepalanya sebelum akhirnya melumat lembut bibir bawah Dipta. Gak mau kalah, Dipta pun ngebalas lumatan Dikta dengan ngehisap pelan bibir atas pacarnya itu.

“Bibir kamu kok makin manis aja sih, Dip?” bisik Dikta di sela-sela ciumannya. “Aku bakalan kena diabetes gak ya, kalau nyiumin bibir kamu sampai ribuan kali?”

Kedua anak manusia itu sama-sama terkekeh. Suara kecipak saliva pun kembali terdengar setelahnya. Gak sesekali pula Dikta menjilati sudut bibir si pujaan hati yang basah karena rembesan air liur yang entah milik siapa karena ciuman itu.

“Gak usah khawatir,” jawab Dipta. “Bibir aku satu-satunya makanan manis kesukaan kamu yang gak bakal bikin kamu kena diabetes walaupun dicium berkali-kali...”

“Mau dicium sampai jutaan kali juga gak apa-apa,” kekeh Dipta.

“Yakin?”

“Mhm,” Dipta senyum.

Dikta langsung berhenti nyium bibir Dipta buat natap wajah pacarnya itu dengan raut wajah serius. “Kalau gitu, ayo ciuman sampai besok. Mumpung libur.”

Dipta ketawa. “Iya, kalau bibir kita gak bengkak kayak abis digigit sama serangga, Taa.”

“Gak lah, kan yang gigit aku.”

“Ish, udah dulu ah. Aku haus.”

Dikta melotot sejenak sebelum tertawa kecil. “Tiba-tiba banget deh kehausan pas abis ciuman?”

“Ya kan air liur aku udah habis diminum sama kamu, Diktaaa.”

Dikta terkekeh, “Ya udah, minum dulu gih. Aku juga mau nyalain TV, biar kita bisa nonton Netflix.”

“Sambil ciuman?” ledek Dipta, sedang Dikta mengangguk lalu tersenyum tipis diikuti kekehan.

Dan benar aja, meskipun Dikta dan Dipta cuma ngejadiin hal itu sebagai candaan, tapi setelah Dipta minum dan TV yang ada di dalam kamar Dikta nyala, kedua anak manusia itu lantas kembali berbagi peluk dan cium mesra.

Mereka seolah menuntaskan rindu melalui peluk dan cium. Terlebih, kini Dikta dan Dipta hanya bisa menghabiskan satu hari penuh bersama ketika Dipta memiliki waktu libur pada hari-hari weekend saja. Meski Dikta masih sempat curi-curi waktu ngunjungin dia ke restoran dan rumahnya, tapi rasanya gak akan sama kayak pas berduaan sehari semalaman seperti sekarang.

Masih cukup pagi, ruang tunggu di depan poliklinik khusus anak di rumah sakit pun masih sepi. Hanya ada dua pasang orang tua dari masing-masing dua anak yang kini menunggu dokter tiba.

Arga dan Deva yang membawa Danu untuk melakukan imunisasi lantas menjadi orang tua ketiga yang datang. Bukan tanpa alasan mereka datang sepagi ini. Arga dan Deva memang telah sepakat untuk menghindari keramaian di sana, khususnya dari kalangan anak-anak yang juga akan diberi vaksin seperti Danu. Pasalnya, Arga dan Deva khawatir jika saja Danu semakin ketakutan apabila mendengar suara tangisan dari bayi bahkan teman sebayanya yang diberi suntikan lebih dulu.

“Sayang, aku kok mules ya.” Arga mendesis, “Kamu sama si bapao tungguin di sini ya, gak apa-apa? Aku keknya harus ke toilet dulu.”

“Gak apa-apa kok, Mas. Entar kalau Dokternya datang terus kamu belum juga balik dari toilet, bisa aku saranin supaya manggil pasien lain duluan.” kata Deva.

“Ya udah,” Arga mengusap pelan belakang kepala Deva sebelum mengacak-acak pelan rambut hitam Danu yang justru terdiam. Nampak jika anak sulungnya itu sedang gugup bahkan ketakutan.

“Papi ke toilet dulu ya, Sayang.” pamit Arga yang hanya dibalas anggukan pelan oleh si sulung.

Arga ingin menenangkan Danu, namun panggilan alam justru tidak bisa lagi menunggu. Alhasil, kini Arga berjalan cepat menuju toilet yang tak jauh dari poliklinik anak dimana Deva menunggu.

Saat telah masuk ke dalam toilet, Arga justru dibuat geleng-geleng kepala kala dia menerima pesan dari suaminya. Arga pun refleks tersenyum saat tahu bagaimana Deva begitu bersemangat karena dua aktor kesukaannya ternyata berada di Rumah Sakit yang sama dengan mereka saat ini.

Alhasil, setelah menuntaskan urusannya di dalam toilet, Arga pun buru-buru keluar dari sana. Namun, alangkah kagetnya Arga saat dia melihat sosok pria yang sangat tidak asing di matanya. Pria yang baru saja diceritakan oleh Deva melalui pesan; Nala.

Arga yang tidak ingin kehilangan kesempatan untuk membuat si suami senang pun buru-buru menghampiri Nala Reswara. Dia berdiri di samping sang aktor yang tengah berbincang dengan anak lelakinya. Arga berdeham, membuat Nala refleks menoleh.

“Eh?”

Nala nampak kaget saat sadar bahwa orang yang berada di sampingnya adalah sosok Arga Hardiyata. Konglomerat terkaya pertama di tanah air dan berada di atas keluarga suaminya, Arsen.

“Pak Arga kan?” tanya Nala pelan.

Arga mendengus, “Seharusnya saya yang kaget terus nanya ke kamu, kan kamu artis. Kok malah saya sih yang berasa artis di sini.”

“Papa, Om ini siapa?” tanya Gavi lalu mendongak ke Arga diikuti senyuman ramah nan polosnya. “Om ini teman Papanya Gavi ya?”

Arga memandangi Gavi hingga akhirnya ikut tersenyum. Dia seketika mengingat Danu yang saat ini mungkin masih takut di depan poliklinik anak. Sebab, jika dilihat dari paras dan tingginya, Gavi dan Danu nampak sebaya.

“Bukan,” jawab Arga. “Tapi suami Om suka banget sama aktingnya Papa Gavi, jadi Om mau ngobrol sebentar supaya Papanya Gavi mau ketemu sama suami Om.”

Mendengar Arga berbincang dengan anaknya membuat Nala diam-diam menaruh rasa tidak percaya yang diikuti rasa kagum.

Pasalnya, Arga yang dikenal jutek bahkan tidak jarang naik pitam untuk hal sepele justru bersikap amat lembut kepada Gavi. Belum lagi alasan sang CEO yang ingin membuatnya bertemu Deva yang notabenenya seorang fans. Jelas Arga amat menyayangi si suami.

“Terus suami Om di mana?”

“Ada di depan poliklinik anak,” jawab Arga. “Hari ini anak Om mau disuntik. Gavi juga kan?”

“Iya, Om.” kata Gavi bersemangat lalu menarik-narik pelan tangan Papanya. “Papa, ayo kita ketemu sama suaminya Om ini. Gavi juga mau ketemu sama anaknya. Biar bisa disuntik bareng-bareng.”

“Emang Gavi gak takut disuntik?”

Arga penasaran sekaligus sangat antusias. Dia berharap Gavi bisa memberi energi positif ke Danu. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Arga tak hanya akan membuat Deva senang, tapi juga membuat si anak sulung tenang.

“Takut,” jawab Gavi yang sontak membuat ekspresi Arga berubah menjadi pasrah. Begitu pun Nala.

“Tapi kalau ada temennya, Gavi bisa nangis bareng. Jadi Gavi gak malu kalau nangis sendiri, Om.”

“Baru kali ini loh Om di-prank sama anak kecil. Kirain berani, ck!” kata Arga, Nala pun tertawa.

“Kenapa kamu malah ketawa? Seneng ngeliat saya di-prank sama anak kamu ya? Ck!” ketus Arga yang membuat Nala refleks mengulum bibirnya rapat-rapat.

“Jadi gimana? Kamu mau nggak, ketemu sama suami saya?” tanya Arga. “Atau kalau hari ini kamu lagi gak pengen diganggu karena bakal sibuk nenangin anak yang mau disuntik, saya boleh minta kontak manager kamu ya? Biar nanti bisa saya undang ke acara makan malam buat suami saya.”

“Saya gak minta atau ngundang kamu gini secara cuma-cuma, saya bisa bayar fee sesuai yang kamu dan agensi kamu mau, asal suami saya bisa ketemu kamu.”

Nala tersenyum tipis, “Saya bisa dan mau kok ketemu sama Deva, Pak. Saya juga gak perlu dibayar untuk itu. Bisa ketemu Pak Arga sama Deva tuh kehormatan buat saya. Tapi mengingat hari ini kita mungkin gak bakal sempet buat banyak ngobrol, biar saya kasih kontak manager saya juga ya?”

“Boleh,” kata Arga sambil meraih gawai di sakunya. “Bisa saya lihat nomor telepon manager kamu?”

“Ini ya, Pak.”

Nala menyodorkan gawainya itu ke depan Arga. Sang CEO lantas menjulurkan sedikit kepalanya sambil menyipitkan mata, sebab kualitas penglihatannya sudah mulai berkurang. Biasa, faktor U.

Namun, baru saja beberapa detik setelah si CEO menyalin nomor telepon Gandi yang notabenenya manager Nala, seseorang justru menarik kerah jas Arga dari arah belakang. Arga pun kaget, apalagi saat sosok di belakangnya yang ternyata adalah Arsen tiba-tiba bersuara dengan nada ketus.

“Lo apain suami gue hah?”

Tepat saat Arga berhasil berbalik ke arahnya, Arsen lantas dibuat kaget kala mendapati bahwa pria yang tadi terlihat mengikis jarak dan hendak menyentuh si suami adalah Arga Hardiyata. Padahal, Arsen tahu bahwa Arga nampak mencintai Deva melalui cuitan-cuitannya di sosial medianya.

“Yah, kamu apa-apaan sih?” Nala mendesis, “Anak kamu ngeliatin.”

“Gavi juga ngeliatin pas dia mau nyentuh kamu,” balas Arsen lalu kembali menatap Arga dengan sorot mata tajam. “Saya tau Pak Arga. Saya juga tau kalau Bapak ini udah punya suami. Jadi apa Pak Arga gak punya malu buat nyentuh suami orang lain gini?”

Arga menatap Arsen datar lalu menghempaskan cengkeraman sang aktor. “Nyentuh, nyentuh, pentil kamu kayak telur puyuh. Mata kamu ada di kaki bau kamu itu apa gimana sih? Orang dari tadi tangan saya megang hp, ck!”

“Tapi Bapak majuin kepala sama badan Bapak ke arah suami saya, ya saya keberatan dong?” Arsen lalu melirik sekilas ke Gavi. Dia takut anaknya akan ketakutan.

“Nal, kamu bawa Gavi jauh-jauh dari sini dulu.” titahnya ke Nala.

“Gak mau sebelum kamu minta maaf sama Pak Arga,” balas Nala. “Dia gak salah apa-apa. Dia cuma minta kontak Gandi, tapi kamu dateng-dateng malah kek gini.”

“Tuh, denger.” timpal Arga.

“Tapi aku nggak suka dia deket-deket kayak tadi, Nal. Belum juga kalau ada orang-orang yang lihat terus nyebarin ke sosmed, entar kamu digoreng lagi sama media.”

“Digoreng, digoreng, muka kamu bopeng. Siapa yang berani bikin gosip soal saya, hah?” cerocos Arga. “Lagian saya gak deketin suami kamu kek gimana, apalagi nyentuh dia. Kamunya aja yang posesif banget, emosian lagi, kayak kerbau mau nyeruduk aja.”

“Pak Arga gak punya cermin?” balas Arsen. “Bapak juga gitu.”

“Arsen, udah.” Nala menekankan suaranya. “Malu diliatin orang.”

Arsen menghela napasnya pelan lalu menoleh ke sekitar mereka. Benar saja, sudah banyak orang yang berlalu-lalang dan melirik ke arahnya dan Arga. Alhasil, kini Arsen pun meraih tangan Nala dan menggenggamnya erat-erat.

“Ayo, kita ke poliklinik sekarang.”

“Minta maaf dulu sama Pak Arga, Arsen.” kata Nala yang bahkan sudah tidak memanggil suaminya itu dengan sebutan ‘Ayah’ saking kesalnya. “Jangan malu-maluin.”

Arsen melirik Arga yang masih menatapnya datar lalu bersuara.

“Saya minta maaf,” katanya.

“Yang bener ngomong minta maafnya, jangan kayak orang yang lagi kumur-kumur kamu.” protes Arga, Arsen pun kesal.

“Saya udah minta maaf, kalau Pak Arga gak bisa terima kek gini, ya itu urusan Bapak.” kata Arsen lalu menggendong sang anak. “Ayo, sayang. Dokternya udah dateng.”

Melihat sang suami pergi sambil membawa Gavi membuat Nala menahan gejolak emosi. Dia pun kembali menatap Arga dengan sedikit rasa tidak enak di dada.

“Saya minta maaf untuk suami saya, Pak. Dia emang suka gitu kalau khawatir dan takut saya diomongin orang,” jelas Nala. “Arsen pasti gak bermaksud buat melukai perasaan Pak Arga.”

Arga berdecak kesal, “Bilangin ke suami kamu, dia kalau emosi urat lehernya udah kayak mau putus. Hati-hati biar nggak mati muda.”

“Baik, Pak.”

“Ya udah, dipikirin ya tawaran saya tadi.” tutur Arga, “Suami sama anak kamu juga ikut.”

Nala mengangguk, sedang Arga berjalan lebih dulu meninggalkan sang aktor. Kini Arga berjalan ke arah poliklinik anak. Setibanya di sana, dia pun refleks memasang tampang datar saat tatapannya berjumpa dengan Arsen. Aktor itu sedang duduk di bangku yang bersebelahan dengan suaminya.

Sementara itu, nampak Gavi dan Danu telah berkenalan bahkan berbincang-bincang hingga kini berlari di lorong poliklinik anak bersama. Interaksi mereka jelas amat kontras dengan Papi juga Ayah mereka yang disulut api.

Alhasil, Arga buru-buru duduk di sisi Deva. Kini dia seperti sebuah tembok besar yang menghadang Deva dengan sang idola. Sontak Deva bingung, apalagi melihat si Alpha justru mendelik ke Arsen.

“Ada apa sih, Mas?” bisik Deva.

“Aku abis berantem sama dia.” jawab Arga lalu mengambil alih Raka yang sedari tadi berada di gendongan Papanya. “Sini, biar aku yang mangku adek. Gantian.”

Deva geleng-geleng kepala. Dia kemudian mengambil gawainya dari saku lalu mengirim chat ke Arga meskipun mereka sedang duduk bersebelahan. Sebab, Nala juga telah tiba di poliklinik anak dan dari tatapan sang aktor saja, Deva bisa menebak bahwa Nala juga terlibat dalam konflik Arga dan Arsen. Dan Deva tak ingin semakin memperkeruh keadaan.

Usai berbagi pesan dengan sang suami yang juga memangku anak bungsu mereka, Deva akhirnya paham kesalahpahaman antara Arga dengan Arsen. Dia lantas memberi Arga tatapan memohon agar mau menyelesaikan konflik di antara mereka, namun Arga hanya memberi respon decakan.

Meski begitu, Deva tidak ingin menyerah. Dia pun berdiri lalu memberanikan diri menghampiri Nala yang berbincang dengan Arsen. Deva kemudian mengulas senyum tipis saat Nala dan Arsen telah menyadari kehadirannya.

“Mas Nala, Mas Arsen. Kenalin, saya Deva. Saya ini fans kalian berdua,” katanya yang membuat Arga menatap Deva penasaran, entah apa yang dia rencanakan.

Nala ikut berdiri lalu mengajak Deva berjabat tangan, “Panggil Nala aja, Mas. Saya juga udah denger dari Pak Arga soal Mas Deva. Saya merasa terhormat karena Mas Deva fans kami.”

Deva mengangguk masih dengan senyumnya yang kian lembut. Ia nampak amat tenang, membuat Arsen dan Nala merasa nyaman.

“Saya juga denger dari Mas Arga kalau pas di toilet tadi, Mas Arga sama Arsen sempet ada salah paham. Saya minta maaf ya, Nal.”

“Kamu ngapain minta maaf sih, Dev? Ck!” Arga langsung berdiri dari tempatnya dengan si bungsu Raka yang seketika dia gendong.

“Yang asal nuduh itu, dia. Arsen udah ngefitnah aku,” kata Arga.

Arsen pun ikut berdiri. “Kalau Pak Arga gak nyondongin badan sampai segitunya ke arah Nala juga saya gak bakal mikir yang nggak-nggak. Siapa pun juga bakalan salah paham tau gak?”

“Kamu ini gimana sih? Ck! Udah salah, nyolot lagi.” balas Arga. “Mana mulutnya bau neraka.”

“Bapak jangan sembarangan ya.” Arsen memajukan langkahnya, namun Nala sudah lebih dahulu menahannya sambil bersuara.

“Kamu apa-apaan sih, Sen? Kita diliatin sama orang,” kesal Nala.

“Mas, jangan bikin masalahnya jadi panjang dong.” tutur Deva lembut. “Minta maaf kan bukan cuma karena kita itu salah atau kalah, tapi karena kita dewasa.”

Baik itu Arsen maupun Arga hanya saling mendelik tajam. Sampai saat suara tangisan dari dalam poliklinik anak tiba-tiba menggema, Gavi dan Danu yang tadinya asik dengan dunia baru mereka lantas berlari ke arah orang tuanya masing-masing sambil berteriak ketakutan.

“Ayah, Gavi takut.”

Arsen mengusap kepala sang anak yang tengah memeluk lututnya. “Gak usah takut ya, Sayang. Anak kecil yang ada di dalam itu cuma kaget. Gavi gak bakalan ngerasa sakit kalau Gavi tenang. Percaya sama Ayah ya?”

“Gak bakalan ngerasa sakit, gak bakalan ngerasa sakit,” protes Arga. “Kamu mana tau anak-anak bisa nahan rasa sakitnya apa gak hah? Cuma bisa nyuntik lubang Nala pakai titit aja udah sok tau kamu. Kamu ini gimana sih, Ck!”

“Terserah saya mau bilang apa ke anak saya,” balas Arsen. “Bapak nggak usah gila urusan. Katanya Pak Arga orang penting, berarti banyak urusan kan? Apa jangan-jangan taunya cuma bilang titit?”

“Ya emang terserah kamu, tapi anak saya juga denger. Udah susah-susah saya bujukin Danu pakai cara saya, eh kamu malah ngasih doktrin yang jatuhnya ngebohongin anak kecil.” jelas Arga. “Jangankan disuntik sama jarum yang tajam, pantat kamu disuntik pake titit aja bisa sakit.”

“Iya kan, Sayang?” tanya Arga ke Deva yang membuat sang suami kehabisan kata saking malunya.

“Ya kalau Bapak gak mau anak Pak Arga denger, jauh-jauh dari saya. Kan masih ada bangku tuh yang kosong di sebelah sana.”

“Lo semua ngapain sih, anjing?”

Arga, Deva, Arsen juga Nala serta anak-anak mereka kaget ketika seseorang menghampiri mereka. Orang itu tak lain adalah Athaya atau yang kerap dipanggil Aya.

“Lo pada sadar gak sih kalau lagi ada di rumah sakit?” kata Athaya. “Dari tadi suara lo berdua sampai ke poliklinik yang ada di sebelah.”

“Banyak orang sakit di sana, ada suami gue juga yang udah lemes karena demam. Tapi elo berdua malah bikin gaduh di sini. Lo tuh gangguin orang yang lagi sakit.”

Arga menatap Athaya dari atas ke bawah sebelum berkata, “Santai aja dong ngomongnya, air liur kamu muncrat nih ke anak saya.”

“Lo yang gak santai dari tadi!”

Arsen mendengus, “Lo nyuruh kita supaya gak bikin gaduh, tapi lo juga dateng terus teriak-teriak di sini. Lo juga bikin gaduh loh.”

“Tutup mulut lo ya.”

“Athaya.”

Suara yang amat lirih menggema dari belakang Athaya. Alhasil, dia pun berbalik dan mendapati sang suami berjalan, menghampirinya.

“Lo ngapain malah nyusul ke sini sih? Kan gue udah bilang supaya lo diem aja di sana, Ayyan.” kesal Athaya, sedang Rayyan seketika menggenggam jemari suaminya.

“Ya, kita bakal diusir dari Rumah Sakit kalau kita ribut kayak gini.” Rayyan melirik ke poliklinik anak dimana Dokter dan beberapa Koas telah keluar dari ruangan dan memerhatikan mereka.

“Yang diusir itu seharusnya dua orang ini, bukan kita. Mereka yang udah ganggu orang lain.”

“Kan tadi saya sama Arsen udah mau selesai, tapi kamu tiba-tiba dateng terus lanjut ke part dua.” kata Arga. “Ingetin baik-baik.”

“Emang Pak Arga bisa diingetin baik-baik?” Arsen menyeringai. “Kalau bisa, Pak Arga gak bakal ngajak saya debat loh dari tadi.”

“Permisi Bapak-bapak, Mas…”

“APA?”

Arga, Arsen dan Athaya kompak merespon sebuah suara lelaki yang tiba-tiba menginterupsi. Sosok itu adalah Koas bernama Jeva yang tadi telah diberitahu oleh Biru, pacarnya, bahwa di depan poliklinik sedang gaduh.

Meski Biru telah memberitahu Jeva untuk membawa satpam, namun Jeva yang tidak ingin ketiga pasangan itu menanggung malu jika diusir lantas bertekad untuk memberanikan dirinya. Ia menghampiri keenam orang itu seorang diri, tanpa pengawalan.

“Saya mohon maaf banget, Pak, Mas. Tapi kalau sekiranya ada masalah yang harus diselesaikan, mungkin bisa dibicarakan saja di luar Rumah Sakit ya?” tutur Jeva.

“Bukan cuma pasien yang kami pikirin, tapi Bapak sama Mas-mas sekalian juga bakalan jadi bahan omongan kalo bikin gaduh di sini. Apalagi semua orang juga tau Bapak sama Mas-mas siapa.”

“Jadi kamu ngusir saya? Iya? Ck!” Arga berdecak. “Saya udah mau selesai tadi, tapi Mas ini malah dateng-dateng sambil marah.”

“Saya gak bakalan marah kalau Bapak gak ganggu,” balas Aya.

“Tapi kan saya gak bakal ganggu kalau dia juga gak ganggu saya,” kini Arga melempar kesalahan ke Arsen. “Dia yang ngajakin gelut.”

“Saya juga gak ganggu Pak Arga ya,” kata Arsen. “Justru Bapak yang ganggu suami saya tadi.”

“Pak, Mas—”

“DIEM DULU, ORANG TUA LAGI NGOMONG!” Sekali lagi, Jeva dibuat bungkam karena ketiga pria di hadapannya itu kembali kompak meninggikan suara kepadanya. Alhasil, Jeva lantas diam sambil menelan ludahnya.

“Kalau kalian tau kalian udah tua, seharusnya kalian udah bersikap dewasa.” sahut Biru yang sedari tadi melihat pacarnya diomeli. “Pacar saya juga ngingetin Bapak dan Mas sekalian baik-baik, tapi malah ikut diteriakin kayak gini.”

“Cie,” ledek Arga yang membuat Deva refleks mencubit lengan si Alpha sebelum berbisik rendah.

“Mas, aku beneran bakal marah loh kalau kamu gak bisa serius.”

“Iya, iya, maaf. Tapi lucu ya?”

Deva mendelik tajam sebelum menatap ke arah dua dokter muda di tengah-tengah mereka.

“Saya minta maaf ya, Dek. Saya dan pasangan Mas-mas ini juga harusnya bisa melerai mereka.”

“Gak apa-apa, Mas. Tapi saya mohon ya,” ucap Biru. “Jangan bikin keributan. Kalau enggak, dengan berat hati kami bakal panggil satpam buat ngamanin Bapak sama Mas-mas sekalian.”

“Mas,” Deva menyikut lengan Arga. “Cepetan minta maaf.”

“Maaf.”

Deva berdecak, “Yang bener.”

“Saya minta maaf ya, Arsen, Mas yang suaminya sakit, sama dua Dokter muda yang pacaran ini.” ucap Arga. “Maaf karena bikin gaduh. Saya harap kita semua bisa kumpul di satu tempat buat ngobrol bareng tentang hari ini.”

“Kita bisa kok ke ruang rapat Dokter, Pak.” usul Jeva diikuti senyum ramah di bibirnya, tapi senyum itu seketika hilang saat Arga membalas perkataannya.

“Sabar, saya kan belum selesai ngomong. Kamu ini gimana sih? Ck! Lagian, emang kamu yang punya rumah sakit ini sampai-sampai ngusulin ruang rapat?”

“Maaf, Pak.” cicit Jeva. “Kebetulan Papa saya saya Direktur RS ini.”

“Jadi kamu anaknya Pak Harry?” tanya Arga. “Yang dikira anak dari hasil hubungan gelap kan?”

“Mas Arga,” Deva menghentikan suaminya lalu menghela napas.

“Maaf ya,” ucap Deva ke Jeva, sedang dokter muda itu lantas tersenyum diikuti anggukan.

“Saya lanjutin,” ucap Arga. “Saya sebenarnya pengen bikin dinner buat suami saya, terus ngundang Arsen sama Nala, karena dia suka banget sama mereka. Tapi gara-gara Arsen akhlaknya kayak tai, semuanya malah berakhir gini.”

“Jadi sekarang, saya juga mau ngundang kalian semua. Biar kita ngomongnya lebih enak,” kata Arga. “Itung-itung juga sebagai permintaan maaf saya, walaupun yang mulai sebenernya si Arsen.”

“Mas…”

“Iya, Sayang. Aku bercanda,” kata Arga saat melihat Deva memelas.

“Saya juga minta maaf,” Arsen ikut bersuara. “Saya cuma takut suami saya kena masalah, sampai saya jadi protektif gini sama dia dan malah ribut sama Pak Arga.”

Athaya menghela napas, “Maaf juga dateng-dateng sambil emosi tadi. Saya juga cuma khawatirin kondisi suami saya yang sakit.”

“Kok kalian ini jadi sok romantis sih? Ck!” kata Arga, “Udah, sana. Anak saya mau disuntik. Suami kamu juga mau disuntik nggak?”

Rayyan cengengesan, “Saya cuma demam kok, Pak. Nggak abis digigit sama anjing rabies.”

“Ya udah, sana. Balik ke poliklinik tempat kamu nunggu,” kata Arga seraya menyerahkan kartu nama ke Athaya. “Hubungi saya entar.”

“Baik, Pak. Kalau gitu permisi,” pamit Rayyan yang menuntun Athaya agar pergi dari sana.

Setelah Rayyan dan Athaya pergi, Jeva pun berkata. “Anak Pak Arga sama Mas Arsen mau ikut vaksin kan? Keknya abis ini udah giliran anak-anak Bapak sama Mas kok.”

“Iya,” Biru membenarkan. “Anak Pak Arga sama Mas Arsen udah boleh masuk ke ruangan Dokter.”

“Loh, anak saya yang sulung ke mana?” Arga panik saat tidak melihat Danu berada di sisinya.

Begitupula dengan Arsen dan Nala yang tak melihat Gavi di mana-mana. Sampai tak lama berselang, dua anak lelaki itu justru datang dari arah toilet. Mereka berjalan dengan tangan yang saling berpegangan erat.

“Ya ampun, Sayang. Kamu dari mana aja sih? Kok gak izin sama Papa?” tanya Nala ke Gavi yang telah berdiri di hadapannya.

“Gavi sama Danu takut disuntik sampai mau pipis Papa, tapi tadi Papa, Ayah sama Papa Papinya Danu sibuk ngobrol, jadi Gavi sama Danu pergi supaya gak pipis di celana,” jelas si kecil.

“Maaf ya, Papa.” timpalnya.

“Danu, jangan diulangin lagi ya?” kini giliran Arga yang angkat bicara. “Bilang dulu sama Papi atau Papa kalau pengen pergi.”

“Danu mau bilang, tapi kan Papi lagi marah-marah, jadi Danu gak bisa ngomong. Papi gimana sih?”

Arga lantas bungkam mendengar protes sang anak, sementara itu Deva, Arsen, Nala, Jeva dan Biru justru tertawa mendengar Danu berceloteh dengan raut lucunya.

“Di sini aja, Pak.”

Arvin memberitahu si Abang ojek online agar menghentikan laju motornya. Sebab, di depan sana Arvin sudah melihat mobil Elian.

Setelahnya, Arvin pun bergegas menghampiri mobil sang pacar hingga kini ia berakhir berdiri di samping jendela mobil pada kursi kemudi. Arvin mengetuk-ngetuk jendela itu hingga Elian seketika menurunkan kaca mobilnya. Saat itu pula mereka berbagi tatapan.

Nampak ada beribu penyesalan melalui sorot mata Elian, sedang Arvin hanya memberikan tatapan datar sebelum akhirnya berkata.

“Kamu geser ke kiri, biar aku yang nyetir.” titah Arvin yang langsung dituruti oleh si pacar.

Saat Elian telah duduk pada jok penumpang di samping kemudi, Arvin pun masuk dan duduk di belakang stir mobil. Dan tanpa mengatakan apa-apa, Arvin lalu menginjak pedal gas mobil Elian hingga kini melaju meninggalkan tempat dimana pacarnya kesasar.

Hening. Baik itu Arvin maupun Elian sama-sama bungkam. Tak ada yang berani membuka suara.

Meski begitu, Arvin tidak pernah berhenti mencuri-curi waktu tuk melirik ke arah Elian. Arvin pun sadar bahwa sedari tadi Elian terus menundukkan kepalanya sambil memainkan jari lentiknya.

Diamnya Elian adalah hal yang paling Arvin tidak suka. Terbiasa mendengar si pacar mengoceh sepanjang waktu membuatnya merasa ada yang hilang ketika Elian bersikap seperti sekarang.

Arvin seketika merasa bersalah. Dia takut ucapannya pada Elian tadi telah menyakiti hati si pacar.

“Kenapa kamu gak ngoceh?”

Elian akhirnya memberanikan diri untuk menoleh ke Arvin.

“Aku minta maaf, Ar.” lirihnya.

Arvin menepikan mobil Elian. Dia kemudian mematikan mesinnya sebelum membalikkan badan ke arah sang pujaan hati. Arvin tak mau mendengar Eliannya terus-terusan meminta maaf padanya. Hal itu membuat Arvin terluka.

“Jangan diulangin ya,” tutur Arvin lembut lalu membelai pipi Elian. “Aku teh khawatir kamu kenapa-kenapa di jalan. Apalagi kalau sampai kamu nyasar kayak tadi.”

“Aku pernah dicegat orang jahat di jalan, Lian. Jadi aku tau gimana rasanya gak bisa minta tolong ke siapa-siapa,” jelasnya. “Dan aku gak mau kamu ngalamin hal yang sama. Masih baik kamu nanya ke orang baik tadi. Kalo kamu nemu yang punya niat jahat gimana?”

“Aku tau kamu teh bisa jaga diri sendiri,” timpal Arvin. “Tapi aku bakal ngerasa jadi pacar yang gak bertanggung jawab kalau jagain kamu aja gak bisa. Ngerti kan?”

Elian mengangguk.

“Aku juga minta maaf kalau tadi ada ucapan aku ke kamu yang bikin kamu sakit hati,” kata Arvin. “Aku gak ada niat nyakitin kamu.”

“Aku tau,” sahut Elian. “Kamu gak perlu minta maaf sama aku, Ar.”

Arvin tersenyum tipis. Ditariknya tubuh Elian ke dalam pelukannya sebelum mendaratkan kecupan di pundak juga kepala pacarnya.

“Jangan marah lagi,” lirih Elian. “Aku sedih kamu marah sama aku. Aku janji gak nekat lagi.”

“Aku enggak pernah marah sama kamu, Lian.” balas Arvin lembut.

“Tapi tadi kamu manggil aku Elian, bukan Lian kayak gini.”

“Itu karena aku panik, Sayang. Bukan marah sama kamu,” kata Arvin sebelum melepas dekapan mereka dan beralih memandangi wajah Elian. “Aku emang sempet marah, tapi aku marahnya ke diri sendiri karena gak jagain kamu. Gak mastiin kamu lagi di mana.”

Elian terlihat sedikit lebih lega. Dia pun tersenyum saat Arvin menghadiahinya dengan satu kecupan lembut di keningnya.

“Udah ya? Yang penting sekarang teh kamu udah aman sama aku.”

Elian mengangguk. “Ar, aku masih pengen dipeluk kamu.”

“Kalau cium? Gak mau?”

“Mau,” jawab Elian.

Arvin terkekeh lalu mengecup bibir manis pacarnya itu selama beberapa detik. Setelahnya, dia melumat lembut celah ranum si pujaan hati dan mengecap rasa manis yang ditawarkan Elian.

Cukup puas berbagi ciuman mesra, Arvin dan Elian pun menyudahi pagutan itu sebelum mereka kembali berbagi peluk.

“Kamu laper gak?” tanya Arvin.

Elian melepas pelukan mereka lalu memelas, “Iya. Aku laper banget. Baru kerasa sekarang. Padahal pas nyari jalan pulang tadi teh perut aku udah sempet bunyi, tapi gak kerasa lapernya.”

Arvin terkekeh. Eliannya yang banyak bicara akhirnya kembali.

“Kamu pengen makan apa, Lian?”

“Pengen mie ayam Cipaganti, tapi kayaknya udah tutup ya.”

“Sekarang mungkin belum tutup, tapi kalau kita udah nyampe di sana pasti udah tutup.” Arvin lalu menggenggam erat tangan Elian.

“Makan mie ayam Cipagantinya besok aja ya? Gimana kalau kita makan Bakmi GM aja abis ini.”

Elian mengangguk. “Ayo!”

“Kamu yang nunjukin jalan ke BEC ya?” ledek Arvin, sedang Elian seketika tertawa renyah.

“Kamu udah jago ngeledekin aku ya,” kata Elian. “Ayo, kalau kamu mau dibawa ke komplek warga.”

Kedua anak manusia itu sama-sama terkekeh sebelum Arvin kembali menyalakan mesin mobil Elian. Kendaraan roda empat itu pun akhirnya melaju menuju tempat yang mereka akan tuju.

Sesampainya di halaman parkir sekolah, Arsen, Nala serta Gavi sendiri lantas turun dari mobil. Namun, ketika Gavi baru saja menapakkan kaki, dia bersuara.

“Ayaaah, boleh minta tolong pegangin tas Gavi dulu gak?”

“Kenapa, Sayang?” tanya Arsen.

“Tadi sepatu Gavi gak sengaja keinjek pas turun dari mobil.” celotehnya. “Mau Gavi benerin, tapi tas Gavi ngeganggu, Ayah.”

Arsen begitupun Nala tersenyum tipis. Arsen lantas berjongkok di depan Gavi sambil berkata. “Biar Ayah yang benerin sepatu Gavi.”

Senyum di bibir Nala seakan tak ingin hilang ketika melihat sang suami begitu perhatian kepada anaknya. Bahkan Gavi yang baru merasakan kebersamaan dengan Arsen sebagai seorang Ayah dan anak selama dua hari pun sudah mulai mengandalkan Arsen. Hal yang tak pernah Nala lihat saat dia dan Tristan bersama dahulu.

“Udah,” kata Arsen usai memberi bantuan kepada Gavi. “Sekarang Gavi masuk kelas ya. Belajar yang tenang. Bertanya sama Ibu Guru kalau Gavi gak tau sesuatu. Oke?”

“Oke, Ayah!”

Kiss Ayah dulu,” pinta Arsen.

Gavi pun menurut. Dia mencium pipi kanan Arsen yang kemudian dibalas dengan kecupan di dahi oleh sang Ayah. Setelahnya, Gavi lantas memeluk tengkuk Arsen. Membuat Nala dan Arsen kaget.

“Gavi sayang Ayah.”

Arsen terkekeh pelan, “Ayah juga sayang anak gantengnya Ayah.”

“Kalau sama Papa, gak sayang?”

Gavi menoleh ke Nala sebelum melepaskan dekapannya dengan Arsen. Anak lelaki itu kemudian berlari kecil ke arah Nala hingga berakhir memeluk lutut Papanya.

“Gavi juga sayang Papa.”

Nala kembali tersenyum lalu membungkuk dan mengecup sayang puncak kepala anaknya.

“Papa juga sayang Gavi,” katanya. “Sekarang Gavi ke kelas ya. Tuh, temen-temennya udah nunggu.”

Gavi mendongak ke Nala sejenak lalu mengangguk. “Oke, Papa!”

Bye!”

Bye, Papa! Bye, Ayah!”

Arsen dan Nala pun memandangi Gavi yang kini berlari-lari kecil ke arah teman-temannya yang telah menunggu di depan lobi. Setelah sang anak hilang dari pandangan, Nala pun menoleh ke arah suaminya. Saat itu pula Nala dibuat kaget saat melihat Arsen menitikkan air mata dalam diam.

“Sayang? Kamu kenapa?”

Arsen buru-buru menghapus air mata saat Nala mencengkeram pundaknya. Dia pun menoleh ke suaminya itu diikuti senyuman.

“Aku terharu,” kekeh Arsen. “Aku gak nyangka udah dipanggil Ayah sama seorang anak, apalagi anak itu jadi anak aku sama kamu...”

“Gavi juga kayaknya udah mulai nyaman manggil aku Ayah,” kata Arsen, Nala lantas mengangguk.

You did well,” bisik Nala.

“Gavi gak akan nyaman secepat ini tanpa usaha dan kerja keras kamu buat dapetin hati anaknya.”

Arsen tersenyum lalu mengusap lembut punggung Nala. “Thanks, ini juga karena aku disemangatin sama suami aku yang hebat gini.”

Nala mendengus diikuti senyum singkat, “Udah yuk. Kita pulang sekarang. Kamu udah janji loh nemenin aku belanja bulanan.”

“Iya, cintakuuu.”

Arsen meremas-remas jemarinya sambil sesekali melirik ke pintu aula dimana Nala akan datang dari sana nantinya. Dan hanya menunggu beberapa menit lagi sebelum acara akad dimulai.

Sampai tidak lama berselang, Nala akhirnya datang bersama dengan Gandi, Mama juga Gavi dan beberapa kerabatnya yang mengantarkan Nala masuk ke dalam aula. Saat itu pula Arsen tidak mampu menahan senyum lembut melihat betapa indahnya sosok ciptaan Tuhan yang akan segera menjadi suaminya itu.

Ketika Nala akhirnya telah tiba dan berdiri tepat di sampingnya, Arsen kemudian berbisik pelan.

You looks so beautiful today.”

“Jadi sebelum-sebelumnya gak?”

Arsen dan Nala kompak terkekeh sebelum MC kembali mengambil alih acara. Kedua mempelai pun mengikuti setiap instruksi yang diberikan sejak prosesi akad itu dimulai hingga menuju selesai.

Senyum dan air mata haru lantas mewarnai akad nikah yang hanya dihadiri oleh keluarga besar dan sahabat terdekat Arsen dan Nala. Terlebih saat mereka telah resmi menjadi pasangan suami selepas menandatangani dokumen nikah juga bertukaran cincin sebelum mereka memasuki sesi sungkem.

Doa-doa terbaik yang Arsen dan Nala terima dari keluarga mereka membuat keduanya kian terharu. Pasalnya, tak pernah terlintas di pikiran keduanya dahulu bahwa kisah asmara yang semula harus mereka sembunyikan akhirnya dapat diterima dan mereka bawa hingga ke jenjang pernikahan.

Mimpi yang telah Arsen dan Nala rajut bersama akhirnya menjadi kenyataan manis meski harus melewati jalan terjal lebih dulu. Kini, keduanya pun telah terikat janji yang enggan mereka ingkari.

Usai rangkaian akad terlaksana dengan lancar tanpa hambatan, Arsen dan Nala pun dipersilakan untuk beristirahat sejenak dalam kamar sekaligus jadi ruang ganti untuk menyiapkan penampilan dalam acara resepsi dua jam lagi.

“Lega banget, kayak abis kentut.” gumam Arsen yang menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur, sedang Nala lantas menggeleng lalu duduk membelakangi Arsen.

“Bantuin,” pinta Nala sambil menunjuk kancing baju yang terletak di bagian tengkuknya.

“Kita disuruh istirahat bentar loh, kok kamu udah ngode buat ngewe aja—aduh!” Arsen berseru diikuti tawa, sebab suaminya itu tiba-tiba berbalik lalu memukul tubuh Arsen dengan bantalnya.

Pada akhirnya, Arsen bangkit lalu membuka kancing baju Nala. Dia lalu memeluk pinggang si suami dari belakang sebelum bersuara.

“Aku bakalan selalu ingat kalau hari pernikahan kita ini tuh hari paling bahagia dalam hidup aku dan bikin aku ngerasa jadi orang paling beruntung di dunia karena bisa menikahi kamu,” kata Arsen.

Nala tersenyum lalu menoleh ke Arsen yang duduk di belakang tubuhnya. Saat itu pula Arsen lantas menciumi kening dan pipi Nala lalu ikut tersenyum lembut.

Persekian detik kemudian, suara ketukan pintu dari luar seketika menggema. Arsen dan Nala pun bertukar tatapan sejenak saat mereka mendengar suara Gavi.

Alhasil, Nala buru-buru bangkit dan menghampiri sumber suara. Dia lalu membuka pintu kamar dan mendapati Gavi kini berdiri di hadapannya sambil membawa sebuah tas belanja berisi camilan.

“Loh, Gavi sendiri? Om Gandinya mana?” tanya Nala, sebab dia tak melihat Gandi bersama anaknya. Padahal, saat prosesi akad tadi, Gandi yang menemani si kecil.

“Om Gandi baru aja pergi, Gavi yang nyuruh. Soalnya Om Gandi juga mau ganti baju, Papa.” jawab si kecil, Nala lantas tersenyum.

“Kalau Oma? Udah mau ganti baju juga ya?” tanya Nala lagi.

“Iya, Papa.”

“Ya udah. Ayo, Gavi masuk dulu.”

Nala pun menuntun anaknya itu masuk ke dalam kamar. Arsen yang melihat Gavi datang lantas bersemangat dan memanggil si kecil agar duduk bersamanya di atas ranjang. Begitu pula Nala.

“Gavi bawa apa?” tanya Arsen.

“Gavi bawa biskuit, permen sama cokelat, Om Arsen.” kata Gavi lalu menunjukkan tas belanja yang ia bawa. “Tadi Gavi laper, jadi Om Gandi nemenin Gavi belanja deh.”

“Gavi juga beli buat Papa sama Om Arsen,” lanjut anak lelaki itu.

“Kalau Gavi laper, kenapa gak minta Om Gandi buat temenin Gavi makan nasi?” tanya Nala.

“Mana beli permen lagi. Inget, gak boleh makan banyak. Entar gigi Gavi sakit kalau kebanyakan.”

“Gavi mau makan sama Papa aja.” si kecil memelas. “Gavi janji gak makan permen banyak-banyak.”

Nala geleng-geleng kepala lalu menyisir rambut anaknya yang menutupi bahkan terlihat sedikit mengganggu kedua mata Gavi.

“Ya udah, abis ini Papa pesenin makan Biar kita makan bareng.”

Gavi mengangguk. Dia kemudian mengeluarkan cokelat dari tas belanjanya lalu menyodorkannya ke Nala. “Papa mau cokelat gak?”

“Boleh,” Nala meraih pemberian anaknya. “Makasih ya, Sayang.”

Gavi lalu menoleh ke Arsen. “Om Arsen mau cokelat juga nggak?”

Arsen tersenyum lalu mencubit pipi Gavi, “Kalau Om mau denger Gavi manggil ‘Ayah’ aja boleh?”

“Kan Om Arsen sama Papanya Gavi udah nikah, jadi sekarang Om Arsen juga udah jadi Ayah Gavi.” timpal Arsen, namun si kecil terlihat berpikir dengan raut kikuk di wajah setelahnya.

Tidak ingin Gavi merasa dipaksa, Arsen pun terkekeh pelan lalu meraih kedua tangan Gavi dan menggenggamnya erat. “Nggak apa-apa. Kalau Gavi masih gak mau manggil Om Ayah sekarang.”

“Om mau denger Gavi manggil Ayah kalau Gavinya juga mau.”

Gavi melirik Papanya, sementara Nala memberi senyuman lembut agar anaknya itu mendengarkan apa yang Arsen katakan barusan. Gavi kemudian kembali menatap Arsen. Dia melepas tautan jemari Arsen dengan jemarinya. Gavi lalu meraih sebungkus cokelat dan menyodorkannya ke Arsen.

“Ayah mau?”

Senyum haru seketika terlukis di bibir Arsen. Cokelat yang Gavi sodorkan lantas dia ambil lebih dulu sebelum meletakkannya di samping bantal. Setelahnya, dia membawa Gavi ke dekapannya. Arsen menciumi puncak kepala Gavi cukup lama lalu berucap.

“Makasih ya, Sayang.”

“Aku boleh ikutan gak?” tanya Nala yang juga diam-diam ikut tersenyum melihat interaksi antara anak dan suaminya itu.

Sontak Arsen terkekeh sebelum menuntun Nala agar mendapat pelukan darinya seperti Gavi. Kini ketiganya pun saling berbagi dekap hangat dengan si kecil yang berada di tengah-tengah.

“Papa, Om Ar—” Gavi menutup mulutnya sejenak saat sadar dia hampir salah sebut. “Papa, Ayah, ayo kita makan cokelatnya dulu.”

“Kata Om Gandi tadi, Gavi, Papa sama Ayah harus ganti baju lagi abis ini.” celoteh Gavi. “Soalnya nanti ada banyak orang yang mau datang kasih selamat ke Papa sama Ayah. Iya kan, Papa?”

Nala terkekeh, “Iya, Sayang.”

Seperti yang telah Arsen dan Nala sepakati semalam, kini keduanya bertemu di rumah lama Nala. Pun Gandi dan Endra yang sekarang justru memilih untuk bermain dengan Gavi di ruang keluarga. Sementara itu, Arsen dan Nala melenggang ke dapur guna mengambil camilan.

“Kamu masih ada es krim gak?”

Arsen yang baru saja mengambil air mineral dari dalam kulkas dan hendak menenggaknya seketika terbatuk. Pasalnya, Nala tiba-tiba menggunakan sapaan ‘aku-kamu’ tanpa aba-aba. Nala yang melihat Arsen terbatuk pun dengan sigap menghampiri si calon suami. Dia menepuk-nepuk pelan punggung Arsen dengan raut khawatirnya.

“Pelan-pelan dong, Sen.”

“Apa? Tadi pertanyaannya apa?”

Nala menghela napas, “Tadi gue bilang, lo masih ada es krim ga?”

“Tadi gak gitu,” Arsen memelas.

Nala menahan senyumnya lalu menggeser tubuh Arsen agar tidak menghalangi kulkas. Dia kemudian mencari es krim yang ditanyakan nya, namun belum sempat Nala melihat ke freezer, lengan Arsen tiba-tiba memeluk erat pinggangnya dari belakang.

“Kamu pas nyiapin pernikahan sama Tristan dulu butuh waktu berapa lama?” tanya Arsen yang membuat Nala tersenyum tipis.

Saat Arsen melamarnya semalem dengan sapaan ‘aku-kamu’ Nala lantas merasa Dejavu ke masa saat mereka masih berpacaran dulu. Nala tidak bisa berbohong jika dadanya pun bergemuruh.

“Gak lama sih, empat atau lima bulan gitu.” kata Nala. “Apalagi waktu itu aku ngikut kemauan dia sama Mama mau gimana.”

Arsen bergumam paham lalu mengistirahatkan dagunya di atas pundak Nala. “Kata Gandi, persiapan pernikahan idealnya emang lima atau enam bulan.”

“Lama juga yaa,” kekeh Arsen.

Nala mendengus lalu mendongak ke Arsen yang masih memeluk pinggangnya. “Udah gak sabar?”

“Mm, aku udah gak sabar mau lihat wajah kamu tiap pagi pas aku bangun. Aku juga udah gak sabar pengen dipanggil Ayah sama Gavi.” Arsen tersenyum.

“Kamu pengen dipanggil Ayah juga?” tanya Nala yang dibalas anggukan mantap oleh Arsen.

“Nanti Gavi punya Ayah Arsen sama Ayah Tristan,” kata Arsen. “Gimana menurut kamu, Nal?”

“Aku gak masalah, kan itu pilihan kamu pengennya dipanggil apa.”

Nala kemudian melepas pelukan Arsen di pinggangnya, “Udah, kita musti ngambil cemilan terus balik lagi ke ruang keluarga. Gavi sama yang lain udah nungguin.”

Tapi, bukannya mengindahkan si calon suami, Arsen justru tiba-tiba membalikkan badan Nala hingga kini mereka berhadapan.

“Aku pengen makan cemilan aku dulu,” kata Arsen lalu mendorong pelan Nala hingga punggungnya bertemu dengan pintu kulkas yang Arsen tutup sebelumya.

Arsen menciumi bibir ranum Nala dengan gerakan lembut sambil memejamkan mata. Pun Nala yang melakukan hal serupa sambil mengalungkan lengan di tengkuk calon suaminya. Kedua anak manusia itu saling berbagi rasa manis yang melebihi gula sambil sesekali memberi gigitan.

“Mmhh… Udah,” bisik Nala lalu mendorong pelan dada Arsen. “Takut Gavi tiba-tiba datang terus ngelihat kita kayak gini.”

Arsen terkekeh. “Ya udah, aku ambil cemilannya dulu. Kamu ambil es krim sama minum gih.”

“Oke.”

Acara Drama Series Award telah dimulai beberapa saat lalu. Nala dan Arsen pun duduk pada kursi mereka yang bersebelahan. Satu persatu nominasi yang ada lantas dibacakan, mulai dari aktor dan aktris pendatang baru terbaik hingga aktor dan aktris pemeran pembantu terbaik dalam series.

Kini, beberapa nominasi yang tersisa dan belum dibacakan adalah kategori paling bergengsi dan selalu ditunggu-tunggu oleh para penikmat series. Dua dari nominasi itu adalah Actor of The Year serta Couple of The Year.

Pembacaan dari satu nominasi ke nominasi lainnya pun sesekali diselingi hiburan musik dari para penyanyi terbaik tanah air. Aktor dan aktris serta tamu penting yang hadir di acara penghargaan itu nampak menikmati lagu-lagu yang dilantunkan dengan indah.

Meski begitu, Nala yang sedari tadi diam-diam memerhatikan Arsen justru kembali mendapati pujaan hatinya itu terlihat amat gugup. Arsen meremas-remas jemarinya sendiri dan sesekali menghembuskan nafasnya dari mulut. Nala jelas hapal kebiasaan mantan pacarnya itu kala gelisah.

Nala kemudian meraih tangan Arsen dan menggenggamnya hingga Arsen menoleh. Saat itu pula Nala tersenyum lembut ke sang mantan guna memberikan rasa tenang di tengah resahnya.

“Tangan lo dingin banget,” bisik Nala diikuti kekehan. “Lo gugup ya, karena abis ini pembacaan pemenang Actor of The Year?”

Arsen hanya tersenyum sebagai jawaban diikuti gelengan kepala. Nala menghela napas pelan lalu kembali menatap ke panggung, dimana hiburan musik masih berlangsung. Dia lalu bersuara.

“Tahun lalu, gue yakin kalau gue bakal menang Actor of The Year. Turns out gue menang beneran,” katanya lalu menoleh ke Arsen.

“Tapi tahun ini, gue yakin kalau gue gak bakal menang. Karena ada seseorang yang jaaauh lebih baik dari gue tahun ini,” katanya.

Arsen mengernyit, “Siapa?”

Nala tersenyum lalu meletakkan ujung telunjuknya di dada Arsen. Paham jika orang yang dimaksud Nala adalah dirinya, Arsen lantas terkekeh diikuti gelengan kepala.

“Gue berharap feeling gue masih kuat kayak tahun lalu,” Nala ikut terkekeh. “Gue beneran ngerasa yakin kalau lo bakalan menang.”

“Terus gimana feeling lo soal Couple of The Year, Nal?” tanya Arsen. “Menurut lo, kita bakalan menang nggak, atau sebaliknya?”

Nala mendesis dengan kedua mata yang refleks menyipit.

“Harusnya menang gak sih?”

Kedua anak manusia itu lantas sama-sama terkekeh sebelum kembali memfokuskan atensi ke arah MC yang telah mengambil alih acara. Sebab, pembacaan nominasi lain akan dilanjutkan.

Tiba lah saat pembaca nominasi mulai mengumumkan pemenang untuk kategori Actor of The Year, dimana Arsen dan Nala berhasil masuk sebagai nominasi meski berada di series yang sama, para audiens lantas bertepuk tangan ketika nama Arsen disebut. Layar besar di stage pun menampilkan akting Arsen di series Starlight.

Sejenak, Arsen memandangi Nala dengan tatapan tak percaya. Tapi Nala buru-buru menyadarkan si mantan pacar dengan berkata.

“Selamat ya, Sen.”

Arsen pun dipersilakan naik ke atas panggung guna mengambil piala serta memberikan pidato kemenangannya. Meski masih diselimuti rasa tidak percaya, Arsen lantas tersenyum lebar saat melihat tatapan dan senyum bangga Nala dari atas panggung.

“Sebenarnya saya gak nyangka kalau saya bakal berdiri di sini sebagai pemenang Actor of The Year malam ini,” Arsen memulai pidato kemenangannya. “Karena dengan masuk nominasinya aja, saya merasa sudah berhasil buat buktiin kalau saya ini bisa acting.”

“Tapi melalui kesempatan yang amat berharga ini, saya akhirnya bisa ngucapin makasih ke orang-orang yang udah berjasa dalam karir saya.” katanya. “Orang tua saya, Production House series Starlight, fans, sahabat-sahabat saya dan khususnya Nala yang udah jadi partner terbaik saya.”

Nala tersenyum tipis mendengar penuturan Arsen di atas stage.

“Nala itu mentor saya. Dia orang yang berjasa memperkenalkan saya dengan dunia acting sejak kami masih di bangku SMA dulu.”

“Saat di set Starlight pun, Nala banyak membantu saya untuk semakin improve acting saya.” Arsen tersenyum, “Thanks ya, Nal. Penghargaan ini buat kita.”

Riuh tepuk tangan dari audiens kembali menggema bersamaan dengan turunnya Arsen dari panggung. Saat Arsen kembali ke kursinya, Nala lantas berbisik.

Feeling gue bener kan?”

Arsen mengangguk. “Mhm.”

Keduanya kemudian kembali memusatkan atensi ke atas panggung dimana pembaca nominasi akan menyebutkan pemenang kategori Couple of The Year. Arsen lantas meraih jemari Nala, menggenggamnya erat. Pun Nala yang membalas genggaman mantan pacarnya itu.

“Pemenang kategori Couple of The Year, adalah…” pembaca nominasi tersenyum sambil menggantungkan ucapannya.

“Brian Arsenio dan Nala Reswara dari Starlight The Series!” ucap dua orang wanita di atas stage secara bersamaan diikuti tepuk tangan sebelum MC akhirnya mempersilahkan Arsen dan Nala untuk segera ke atas panggung.

Baik itu Arsen maupun Nala hanya diam dan saling bertukar tatapan kaget. Mereka kemudian berjalan beriringan ke stage dan berdiri di belakang mic podium.

Arsen lalu mempersilakan Nala memberikan winning speech-nya lebih dahulu. Dan seperti biasa, Nala tak lupa berterima kasih ke orang-orang terdekatnya yang selalu menjadi support system. Ia pun tidak lupa menyebut Arsen.

Sejak Nala memberikan speech, Arsen nampak gelisah. Sampai saat giliran Arsen yang harus memberikan pidato, dia lantas berusaha untuk melawan rasa gugupnya itu sebelum bersuara.

“Saya naik ke panggung ini untuk kedua kalinya,” kata Arsen. “Tapi yang kedua ini, saya gak bohong kalau saya lagi gugup banget…”

“Saya gak tau harus mulai dari mana, tapi sekali lagi, saya mau berterima kasih kepada semua penggemar, karena udah bikin saya sama Nala bisa berdiri di panggung ini dengan membawa penghargaan impian saya sejak saya memutuskan menjadi aktor.”

Nala menyimak pidato Arsen, sementara Arsen menoleh ke Nala. Dia menatap Nala lamat.

“Bisa berdiri di atas panggung ini bersama Nala dengan menerima penghargaan Couple of The Year adalah mimpi yang saya pikir gak akan pernah bisa saya raih tepat saat saya dan Nala putus tujuh tahun lalu. Apalagi saat saya tau kalau Nala akhirnya nikah sama orang lain tiga tahun yang lalu...”

“Tapi ketika saya dan Nala tiba-tiba dipertemukan di series yang sama dan Nala sendiri sudah ada di dalam keadaan dimana dia dan suaminya udah gak baik-baik aja, saya akhirnya berani buat mulai bermimpi lagi. Saya bermimpi untuk meraih impian terbesar saya. Mimpi itu adalah dia. Nala.”

Arsen melirik ke arah audiens yang terdiam lalu tersenyum.

“Karena waktu yang saya punya buat berbicara di kesempatan ini terbatas, sekarang… Saya ingin segera menjemput mimpi saya.”

Nala menahan napasnya sesaat, sedang Arsen kembali menoleh ke arahnya lalu menarik napas.

“Nal, aku tau… Kamu gak akan mau membaca buku yang sama untuk kedua kali. Karena kamu udah tau ending-nya gimana.”

“Tapi aku harap kamu juga tahu kalau perpisahan kita waktu itu bukan ending dari buku yang lagi kita baca,” timpal Arsen. “Kamu sama aku cuma capek baca buku itu sampai-sampai kita memilih buat istirahat sejenak dan nyari buku yang lain tujuh tahun lalu.”

“Sekarang, aku mau baca buku itu lagi sama kamu. Aku pengen kita bisa sampai ke ending yang belum kita baca di buku itu…”

Mata Nala berkaca-kaca, saat ini perasaan di dadanya bercampur aduk menjadi satu. Sedang Arsen perlahan merogoh saku jasnya. Arsen lalu mengeluarkan sebuah kotak berwarna hitam dari sana.

Arsen membuka kotak berisi cincin silver itu sebelum berjalan ke depan Nala. Arsen kemudian bertekuk lutut di hadapan Nala, membuat pembawa acara yang tidak ingin kehilangan momen haru itu lantas memberi bantuan kepada Arsen dengan memegang mic agar suaranya didengarkan oleh seluruh tamu. Setelahnya, Arsen pun menyodorkan cincin itu ke arah Nala lalu bersuara.

Nal, will you marry me?”

Nala menggigit bibir bawahnya sambil memandangi wajah Arsen. Tangis yang ditahannya memberi efek ke tenggorokan juga bibir ranumnya. Nala merasa tercekat hingga dia tak mampu berbicara.

“Terima!”

“Terima!”

Satu persatu audiens di depan panggung pun mulai bersorak. Namun, Nala yang masih tidak mampu berkata-kata seketika memberi jawaban pada Arsen dengan anggukan mantapnya.

Saat itu pula Arsen bergegas memasangkan cincin ke jari manis Nala. Setelahnya, dia berdiri lalu mendekap Nala.

“Makasih, Nal.” bisik Arsen.

“Gue janji bakalan jagain lo sama Gavi sampai nafas terakhir gue.”

Air mata Nala akhirnya menetes. Dia lantas terisak pelan hingga Arsen melepas pelukan mereka.

Arsen pun menggenggam tangan Nala lalu berterima kasih kepada MC dan pembaca nominasi yang masih berdiri di panggung. Dia beserta Nala pun bergegas turun dari sana lalu kembali ke kursi.

“Lo gila banget ya,” gumam Nala sambil menyeka jejak air matanya dengan tisu yang Arsen dapatkan dari staf acara. “Nasib kita masih baik. Gue kira kita bakal dipaksa turun pas lo ngomong kek tadi.”

“Kenapa kita harus dipaksa turun dari panggung? Gue ngelamar lo, bukan ngelakuin tindak kriminal.”

Nala mendelik, namun Arsen lantas terkekeh melihat raut wajah kesal calon suaminya.

“Ini acara live, Sen. Gak bisa di-cut sama produser. Kalau aja tindakan elo tadi bikin rating acara ini jelek, lo lagi yang bakal kena getahnya.” tutur Nala. “Lo nggak capek dicaci maki mulu?”

“Belum lagi respon orang-orang yang masih belum open sama hubungan kayak gini,” katanya.

“Sebelumnya gue udah minta izin kok sama yang punya acara,” katanya. “Gue sampai punya dua planning karena gue gak tau kita bakalan menang Couple of The Year atau gak. Pihak acara juga gak boleh ngasih tau gue kan.”

“Jadi ya udah, gue minta mereka buat bantu nyiapin plan kedua gue. Dan mereka setuju kok. It means they love the idea as well dan mungkin mereka consider itu sebagai peluang baru buat menarik lebih banyak viewers, apalagi pasar boys love’s lovers.”

“Kalau soal respon orang-orang yang gak setuju sama hubungan kayak gini, ya itu urusan mereka. Gue gak peduli selagi gue enggak merugikan kehidupan orang lain. Lagian yang ngedukung juga gak kalah banyak kok. Lo denger kan gimana orang-orang teriak tadi?”

Love is love, Nala.” ledek Arsen.

Nala hanya geleng-geleng kepala diikuti helaan napas pasrah. Mau marah pada Arsen pun dia sudah tidak bisa. Sebab, kini Nala justru penasaran dengan ucapan Arsen.

“Ngomong-ngomong… Yang tadi lo bilang plan kedua gimana sih?”

Arsen tersenyum tipis, “Abis ini lo bakal liat plan kedua gue, Nal.”

Nala memicing. Pada akhirnya dia hanya menurut dan kembali menatap ke arah stage di mana MC mempersilakan penyanyi selanjutnya untuk tampil. Tapi bukannya melihat si penyanyi tampil, layar besar yang ada di atas panggung justru tiba-tiba menampilkan video saat Gavi berbicara di depan kamera.

“Papa… Papa boleh nikah sama Om Arsen,” kata Gavi. “Biar Papa ada yang jagain kalau sakit lagi.”

Audiens tertawa gemas saat mendengar penuturan Gavi.

“Gavi juga mau dijagain sama Om Arsen kalau sakit. Gavi sayaaang banget sama Om Arsen, Papa.”

“Tadi, Ayah juga bilang mau lihat Papa nikah sama Om Arsen. Iya kan, Ayah?” timpal si kecil yang kembali memicu tawa audiens.

“Iya, Sayang.” suara Tristan pun menggema, meski kamera masih menyorot wajah tembam Gavi.

“Udah ya, Papa. Gavi mau main sama Ayah dan Om Arsen lagi.”

Tepat setelah video dari Gavi itu berakhir, alunan musik lantas menggema. Penyanyi bernama Jaz Hayat pun mulai melantukan lagunya, tembang yang saat ini ia bawakan berjudul, “Bersamamu.”

Kini, layar besar yang ada di atas panggung mulai menampilkan foto-foto juga beberapa video singkat berisi momen kala Arsen dan Nala bertemu di SMA, kuliah, tahun-tahun setelah berpisah, sampai akhirnya dipertemukan kembali melalui series Starlight.

“Tadinya, kalau aja kita gak bisa menang Couple of The Year, gue bakalan ngelamar lo di sini.” kata Arsen yang membuat Nala lantas menoleh ke arahnya. Arsen pun dibuat terkekeh kala mendapati mata Nala kembali berkaca-kaca.

“Kok nangis? Terharu ya?”

“Brengsek,” gumam Nala sebelum mendongak beberapa saat agar air matanya tak menetes, sedang Arsen menggenggam jemarinya.

Setelahnya, Nala kembali melirik Arsen. “Lo ngerekam Gavi sama Mas Tristan di mana sih? Kenapa gue gak tau apa-apa, padahal lo sering bareng gue sama Gavi?”

“Lo inget gak yang pas gue sama Gavi nge-date berdua bulan lalu?” tanya Arsen yang membuat Nala seketika mengingat hal itu.

“Pas abis main berdua sama Gavi, gue ngehubungin Tristan supaya nyusul terus makan bareng. Gue ngajakin Tristan juga biar Gavi paham kalau dia bisa kok punya dua Ayah sekaligus,” timpalnya.

“Di situ juga gue minta izin ke Gavi sama Tristan kalau gue ada niat buat nikahin lo kalau lo sama Tristan udah cerai,” jelas Arsen.

“Gimana pun juga, Tristan masih suami lo waktu itu. Dan sampai kapan pun dia akan tetap Ayah yang Gavi kenal pertama kali.”

“Gitu juga Gavi, gue tanyain dia lagi untuk kedua kali. Karena dia keliatan masih abu-abu pas kita tanyain sepulang nikahan Gandi.”

“Dan ternyata Gavi sama Tristan setuju. Akhirnya, waktu itu juga gue ngide bikin video kayak gini buat ngelamar lo kalau aja kita gak dapet Couple of The Year.”

“Pokoknya, inti dari impian gue, ya gue pengen semua orang tau kalau gue ini yang akhirnya jadi pemenang hati lo.” jelas Arsen.

“Jadi, alasan kenapa lo bermimpi buat menang Couple of The Year bareng gue sejak jadi aktor tuh karena lo pengen ngelamar gue di depan semua orang kek gini?”

“Iya, cintaku.” jawab Arsen.

“Orang gila,” tutur Nala diikuti senyum. Nala lalu menyandarkan kepalanya di bahu Arsen sebelum menikmati lagu romantis yang masih mengalun dari atas stage.

I love you,” bisik Arsen.

Nala mendongak, “I love you too.”

Arsen akhirnya sampai di unit apartemen Nala. Dia pun tak lupa menekan bel hingga tidak lama setelahnya, pintu unit itu terbuka. Arsen lantas mendapati Gavi berdiri tepat di hadapannya dengan pipi yang telah sembab.

“Om Arsen…”

Arsen seketika berjongkok. Dia kemudian mendekap erat Gavi sambil mengusap punggung si kecil amat lembut lalu bersuara.

“Om ada di sini, Ganteng.” kata Arsen. “Gavi nangisnya jangan lama, entar Papa Gavi sedih.”

Arsen pun melepas dekapannya dan beralih menatap wajah Gavi.

“Kita ke kamar Papa yuk.”

Gavi mengangguk, sedang Arsen kembali berdiri lalu memegang erat tangan Gavi yang kemudian berjalan di sisinya menuju kamar Nala. Sesampainya di sana, Arsen lantas duduk di tepi ranjang lalu menyentuh dahi Nala yang entah sejak kapan tertidur. Namun saat kulit mereka bersentuhan, Nala pun tiba-tiba membuka matanya.

“Lo udah di sini dari tadi, Sen?”

“Gak, baru aja.” kata Arsen. “Gue bawa lo ke rumah sakit mau ya? Ini badan lo panas banget, Nal.”

“Gavi nggak ada yang nemenin, Sen. Dia gak boleh ikut ke RS,” sahut Nala. “Gue gak apa-apa kok. Gue juga abis minum obat penurun demam yang lo beli.”

“Gavi kita titip ke Endra aja, Nal.”

Nala menggeleng, “Gak usah.”

“Mama juga udah pulang besok,” timpalnya. “Kalau aja demam gue masih tinggi, kita bisa ke RS pas Mama gue udah nyampe di sini.”

Arsen menghela napas bersama raut khawatirnya, sementara itu Nala lantas menoleh ke anaknya yang berdiri di samping ranjang.

“Sayang, sekarang udah lewat jam sembilan malam kan?” Nala meraih tangan kecil Gavi. “Gavi bobo gih. Kalau Om Arsen yang temenin ke kamar, gak apa-apa ya, Sayang? Papa kan lagi sakit.”

“Trus siapa yang temenin Papa?” balas Gavi. Suaranya amat lirih.

“Nanti, kalau Om Arsen udah nganterin Gavi ke kamar, Om kembali lagi kok ke kamar Papa. Om yang nemenin,” kata Arsen.

Gavi akhirnya mengangguk kecil, tanda bahwa dia menyetujuinya. Arsen pun mengantarkan Gavi ke kamar, meninggalkan Nala yang kembali memejamkan matanya akibat rasa kantuk dari efek obat.

Tak lama setelahnya, Arsen pun kembali ke kamar Nala sambil membawa wadah berisi air dan kain. Dia lalu duduk dengan hati-hati di samping Nala sebelum mulai mengompres kening Nala.

Merasakan efek dari kompres itu, Nala lantas kembali terjaga. Dia tersenyum melihat Arsen begitu telaten mengompres kening dan lipatan tubuhnya.

“Makasih ya,” ucap Nala.

Arsen menggeleng pelan, “Gue ngelakuin apa yang emang udah seharusnya gue lakuin buat elo, Nal. You don’t have to say that.

Nala tersenyum. Dia kemudian meraih tangan Arsen ketika lelaki berlesung pipi itu meletakkan kain kompres di dahinya. Nala menggenggam erat jemari Arsen.

“Lo tau nggak sih, Sen. Sebelum gue nge-chat lo tadi, Gavi minta gue buat nelpon Ayahnya.” tutur Nala. “Dia pengen ngasih tau Mas Tristan supaya pulang dari Surabaya karena gue lagi sakit. Gavi takut jagain gue sendirian.”

“Terus gue bilang sama anaknya, kalau cuma sekali, gak apa-apa. Tapi ke depannya, dia gak bisa nyuruh Ayahnya datang kapan aja kayak gini. Karena Ayahnya juga bakal punya keluarga baru.”

Arsen yang menyimak bertanya, “Jadi, Gavi bilang apa abis itu?”

“Dia gak bilang apa-apa,” jawab Nala. “Tapi karena gue ngeliat anaknya ketakutan banget, gue akhirnya nelpon Mas Tristan kayak yang dia minta. Turns out, nomor Mas Tristan lagi gak aktif.”

“Dan lo tau gak akhirnya Gavi minta apa lagi sama gue?” Nala kembali tersenyum. “Dia minta gue nge-chat lo. Awalnya, gue pikir, dia udah desperate gara-gara Mama sama Gandi lagi gak di Jakarta. Makanya dia gak tau mau minta tolong ke siapa lagi.”

“Tapi ngeliat gimana Gavi ngadu ke lo sambil nangis pas lo nelpon tadi, gue yakin dia mulai mikirin ucapan lo kemarin.” timpal Nala.

“Semoga Gavi akhirnya ngerti ya, Sen? Semoga dia ngeliat gimana lo udah berusaha selalu ada buat gue sama dia, bukan karena elo mau ngerebut posisi Ayahnya.”

Arsen ikut tersenyum diikuti anggukan, “Mhm, I hope so.”

“Tapi sekarang lo gak usah mikir soal itu dulu ya? Fokus aja sama kesehatan lo,” lanjut Arsen. “Gue paling gak bisa ngelihat lo sakit.”

Nala lantas mengangguk diikuti senyum lembut. “Gue ngantuk.”

“Ya udah, lo tidur lagi aja.”

“Ranjang gue agak sempit buat dua orang sih, tapi masih muat buat badan lo kok.” kata Nala. “Lo boleh tidur di samping gue, Sen.”

“Gak usah mikirin gue,” kekeh Arsen. “Gue bisa tidur di mana aja. Lo juga musti tidur dengan nyaman, biar tidur lo nyenyak.”

“Katanya, tidur atau istirahat yang cukup bisa bikin demam cepet turun.” Arsen mengusap kepala Nala, “Jadi sekarang lo tidur. I’m not going anywhere.”

“Mm,” gumam Nala lalu menutup matanya, sedang Arsen seketika mengatur posisi agar dia duduk di samping kepala Nala dengan punggung yang bersandar pada kepala ranjang. Arsen tak pernah melepaskan genggaman tangan mereka hingga dia ikut tertidur dalam posisi yang masih duduk.

Menit demi menit pun berlalu, Arsen yang semula ketiduran pun lantas terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Saat menoleh, Arsen mendapati Gavi kembali masuk ke kamar Nala lalu menghampiri ranjang.

Buru-buru Arsen turun dari tempat tidur lalu berjongkok di hadapan Gavi. Arsen bertanya.

“Gavi kok keluar dari kamar?”

Bibir Gavi membentuk kurva yang melengkung ke bawah, namun nampak kalau anak lelaki itu berusaha menahan tangisnya.

“Gavi gak bisa tidur, Om Arsen.”

“Mau Om Arsen temenin?”

Gavi menggeleng, “Gak usah. Om Arsen temenin Papa aja di sini.”

“Terus Om Arsen harus ngapain supaya Gavi bisa tidur?” tanya Arsen sambil membelai lembut pipi tembam Gavi. “Besok Gavi sekolah kan? Kalau Gavi tidurnya telat, besok Gavi bakal ngantuk di sekolah. Badannya juga lemes.”

Gavi mengedipkan matanya berkali-kali, masih dengan bibir yang melengkung ke bawah. Dia berusaha keras agar air matanya tidak jatuh ke pipi. Namun, Gavi akhirnya kembali bersuara lirih.

“Papa selalu cium kening Gavi sebelum Gavi bobo, Om Arsen.”

Arsen tersenyum tipis sambil mengusap sayang kepala Gavi.

“Papanya Gavi udah tidur, kasian kalau dibangunin.” katanya. “Gavi mau enggak, kalau Om Arsen aja yang cium kening Gavi malam ini buat gantiin Papanya? Gimana?”

Gavi terlihat berpikir sejenak hingga akhirnya mengangguk. Arsen pun mendekap tubuh si kecil sesaat sebelum mencium puncak kepala Gavi. Setelahnya, Arsen kembali memandangi Gavi lalu mengecup pelan keningnya.

“Tidur yang nyenyak ya, anak ganteng.” ucap Arsen. “Nanti, sebelum Gavi bobo, Gavi doa. Minta sama Tuhan supaya besok pagi Papanya Gavi udah sehat.”

Gavi mengangguk.

“Mau Om anterin ke kamar?”

“Gak usah, Om Arsen.” kata Gavi lalu menoleh ke Nala. “Jaga Papa Gavi ya, Om Arsen. Kasian Papa.”

“Iya, Sayang. Pasti Om jagain.”

Gavi kembali memandangi wajah Arsen, menatapnya lamat-lamat.

“Om Arsen.”

“Apa, Sayang? Gavi mau apa?”

Gavi memeluk leher Arsen lalu menyandarkan dagunya di atas pundak Arsen sambil bergumam.

“Gavi sayang Om Arsen.”

Hati Arsen seketika menghangat mendengar penuturan si kecil. Ia tersenyum lega sebelum berkata.

“Om juga Sayang sama Gavi.”

Selepas acara resepsi pernikahan Gandi, kini Arsen dan Nala juga Gavi yang ikut bersama mereka lantas bersiap-siap ’tuk pulang. Ketiganya kemudian masuk ke dalam mobil dimana Gavi lebih memilih untuk duduk sendiri di jok belakang, sedang sang Papa dan Arsen berada di jok depan.

Saat dalam perjalanan pulang menuju apartemen Nala, Gavi asik berceloteh bagaimana dia begitu senang karena bisa ikut menyaksikan pernikahan Gandi. Arsen dan Nala pun menanggapi dengan pertanyaan hingga tawa karena celotehan polos si kecil.

Sampai saat Gavi sudah mulai berhenti berceloteh dan lebih fokus memandangi jalan raya, Arsen seketika melirik Nala. Dia kemudian berdeham pelan lalu menatap Gavi dari spion tengah.

“Gavi, Om boleh nanya gak?”

“Nanya apa, Om Arsen?”

“Gavi udah tau kan kalau Papa sama Ayahnya Gavi gak bisa se-rumah lagi?” tanya Arsen pelan.

Gavi mengangguk kecil. “Iya, Om Arsen. Tapi Gavi masih bisa kok ketemu Ayah. Iya kan, Papaaa?”

“Iya, Sayang.” sahut Nala diikuti senyum tipis sebelum dia melirik Arsen yang nampak kian gugup.

“Karena Ayahnya Gavi udah gak bisa serumah lagi sama Papa dan Gavi, berarti Papanya Gavi bakal jagain Gavi sendiri.” jelas Arsen.

“Terus nanti siapa yang jagain Papa dong?” tanya Arsen lagi.

“Ada Oma kok, Om Arsen. Waktu Ayah pergi, Gavi selalu dijagain sama Oma juga,” balas si kecil.

“Mm,” gumam Arsen. “Tapi kan Omanya Gavi udah tua. Udah harus banyak-banyak istirahat. Enggak bisa lagi terlalu banyak gerak karena gampang capek.”

“Jadi kalau misalnya Om Arsen mau jadi Ayah keduanya Gavi, buat jagain Papa, Gavi, sama Oma. Gavi seneng gak kira-kira?”

Gavi terdiam, begitu pun dengan Arsen dan Nala yang kian gugup.

“Kenapa Om Arsen mau jadi Ayah Gavi? Kan Om Arsen Om Gavi.”

“Karena Om Arsen sayang Gavi sama Papa. Om Arsen juga mau jagain Gavi sama Papa karena Ayahnya Gavi udah nggak bisa selalu datang ke rumah Gavi.”

“Kalau Om Arsen udah nikah sama Papa, Om bisa bawa Gavi ke ruma lama Papa terus kita tinggal bareng. Om juga jadi bisa jagain Gavi sama Papa di sana.”

Gavi terlihat berpikir sejenak sebelum bertanya dengan lirih.

“Om mau nikah sama Papa?”

“Iya, tapi kalau Gavi gak ngizinin Om gak bakal nikahin Papa kok.” jawab Arsen. “Makanya Om tanya Gavi dulu. Supaya Gavi tau kalau Om mau nikahin Papanya juga karena Om sayang dan pengen jagain Gavi sama Papa, ganteng.”

Gavi kembali terdiam, membuat Nala menoleh dan menatap ke arah si putra semata wayangnya lamat. Nala kemudian bertanya.

“Gimana, Sayang? Gavi ngizinin Papa sama Om Arsen nikah gak?”

Gavi menatap Arsen dan Nala bergantian lalu menggeleng pelan. Setelahnya, Gavi tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia lantas memalingkan wajah ke arah jendela dengan raut sedu.

Arsen yang melihat hal itu pun seketika merasa bersalah. Tidak ingin melihat wajah murung Gavi terlalu lama, dia lantas bersuara.

“Gak apa-apa, Sayang. Om sama Papa gak maksa Gavi kok.” kata Arsen. “Gavi gak usah sedih ya?”

“Gavi mau makan es krim gak?” tawar Arsen, Gavi menggeleng.

Respon Gavi jelas membuat hati Arsen patah. Namun, Nala yang tidak ingin Arsen menyalahkan dirinya sendiri pun diam-diam meraih tangan mantan pacarnya itu. Nala menggenggam jemari Arsen sebelum menyunggingkan senyum ketika Arsen meliriknya.

Paham jika Nala sedang berusaha menenangkan dan menguatkan dirinya, Arsen ikut tersenyum lembut diikuti anggukan kecil.

Thanks,” bisik Arsen.