Masih cukup pagi, ruang tunggu di depan poliklinik khusus anak di rumah sakit pun masih sepi. Hanya ada dua pasang orang tua dari masing-masing dua anak yang kini menunggu dokter tiba.
Arga dan Deva yang membawa Danu untuk melakukan imunisasi lantas menjadi orang tua ketiga yang datang. Bukan tanpa alasan mereka datang sepagi ini. Arga dan Deva memang telah sepakat untuk menghindari keramaian di sana, khususnya dari kalangan anak-anak yang juga akan diberi vaksin seperti Danu. Pasalnya, Arga dan Deva khawatir jika saja Danu semakin ketakutan apabila mendengar suara tangisan dari bayi bahkan teman sebayanya yang diberi suntikan lebih dulu.
“Sayang, aku kok mules ya.” Arga mendesis, “Kamu sama si bapao tungguin di sini ya, gak apa-apa? Aku keknya harus ke toilet dulu.”
“Gak apa-apa kok, Mas. Entar kalau Dokternya datang terus kamu belum juga balik dari toilet, bisa aku saranin supaya manggil pasien lain duluan.” kata Deva.
“Ya udah,” Arga mengusap pelan belakang kepala Deva sebelum mengacak-acak pelan rambut hitam Danu yang justru terdiam. Nampak jika anak sulungnya itu sedang gugup bahkan ketakutan.
“Papi ke toilet dulu ya, Sayang.” pamit Arga yang hanya dibalas anggukan pelan oleh si sulung.
Arga ingin menenangkan Danu, namun panggilan alam justru tidak bisa lagi menunggu. Alhasil, kini Arga berjalan cepat menuju toilet yang tak jauh dari poliklinik anak dimana Deva menunggu.
Saat telah masuk ke dalam toilet, Arga justru dibuat geleng-geleng kepala kala dia menerima pesan dari suaminya. Arga pun refleks tersenyum saat tahu bagaimana Deva begitu bersemangat karena dua aktor kesukaannya ternyata berada di Rumah Sakit yang sama dengan mereka saat ini.
Alhasil, setelah menuntaskan urusannya di dalam toilet, Arga pun buru-buru keluar dari sana. Namun, alangkah kagetnya Arga saat dia melihat sosok pria yang sangat tidak asing di matanya. Pria yang baru saja diceritakan oleh Deva melalui pesan; Nala.
Arga yang tidak ingin kehilangan kesempatan untuk membuat si suami senang pun buru-buru menghampiri Nala Reswara. Dia berdiri di samping sang aktor yang tengah berbincang dengan anak lelakinya. Arga berdeham, membuat Nala refleks menoleh.
“Eh?”
Nala nampak kaget saat sadar bahwa orang yang berada di sampingnya adalah sosok Arga Hardiyata. Konglomerat terkaya pertama di tanah air dan berada di atas keluarga suaminya, Arsen.
“Pak Arga kan?” tanya Nala pelan.
Arga mendengus, “Seharusnya saya yang kaget terus nanya ke kamu, kan kamu artis. Kok malah saya sih yang berasa artis di sini.”
“Papa, Om ini siapa?” tanya Gavi lalu mendongak ke Arga diikuti senyuman ramah nan polosnya. “Om ini teman Papanya Gavi ya?”
Arga memandangi Gavi hingga akhirnya ikut tersenyum. Dia seketika mengingat Danu yang saat ini mungkin masih takut di depan poliklinik anak. Sebab, jika dilihat dari paras dan tingginya, Gavi dan Danu nampak sebaya.
“Bukan,” jawab Arga. “Tapi suami Om suka banget sama aktingnya Papa Gavi, jadi Om mau ngobrol sebentar supaya Papanya Gavi mau ketemu sama suami Om.”
Mendengar Arga berbincang dengan anaknya membuat Nala diam-diam menaruh rasa tidak percaya yang diikuti rasa kagum.
Pasalnya, Arga yang dikenal jutek bahkan tidak jarang naik pitam untuk hal sepele justru bersikap amat lembut kepada Gavi. Belum lagi alasan sang CEO yang ingin membuatnya bertemu Deva yang notabenenya seorang fans. Jelas Arga amat menyayangi si suami.
“Terus suami Om di mana?”
“Ada di depan poliklinik anak,” jawab Arga. “Hari ini anak Om mau disuntik. Gavi juga kan?”
“Iya, Om.” kata Gavi bersemangat lalu menarik-narik pelan tangan Papanya. “Papa, ayo kita ketemu sama suaminya Om ini. Gavi juga mau ketemu sama anaknya. Biar bisa disuntik bareng-bareng.”
“Emang Gavi gak takut disuntik?”
Arga penasaran sekaligus sangat antusias. Dia berharap Gavi bisa memberi energi positif ke Danu. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Arga tak hanya akan membuat Deva senang, tapi juga membuat si anak sulung tenang.
“Takut,” jawab Gavi yang sontak membuat ekspresi Arga berubah menjadi pasrah. Begitu pun Nala.
“Tapi kalau ada temennya, Gavi bisa nangis bareng. Jadi Gavi gak malu kalau nangis sendiri, Om.”
“Baru kali ini loh Om di-prank sama anak kecil. Kirain berani, ck!” kata Arga, Nala pun tertawa.
“Kenapa kamu malah ketawa? Seneng ngeliat saya di-prank sama anak kamu ya? Ck!” ketus Arga yang membuat Nala refleks mengulum bibirnya rapat-rapat.
“Jadi gimana? Kamu mau nggak, ketemu sama suami saya?” tanya Arga. “Atau kalau hari ini kamu lagi gak pengen diganggu karena bakal sibuk nenangin anak yang mau disuntik, saya boleh minta kontak manager kamu ya? Biar nanti bisa saya undang ke acara makan malam buat suami saya.”
“Saya gak minta atau ngundang kamu gini secara cuma-cuma, saya bisa bayar fee sesuai yang kamu dan agensi kamu mau, asal suami saya bisa ketemu kamu.”
Nala tersenyum tipis, “Saya bisa dan mau kok ketemu sama Deva, Pak. Saya juga gak perlu dibayar untuk itu. Bisa ketemu Pak Arga sama Deva tuh kehormatan buat saya. Tapi mengingat hari ini kita mungkin gak bakal sempet buat banyak ngobrol, biar saya kasih kontak manager saya juga ya?”
“Boleh,” kata Arga sambil meraih gawai di sakunya. “Bisa saya lihat nomor telepon manager kamu?”
“Ini ya, Pak.”
Nala menyodorkan gawainya itu ke depan Arga. Sang CEO lantas menjulurkan sedikit kepalanya sambil menyipitkan mata, sebab kualitas penglihatannya sudah mulai berkurang. Biasa, faktor U.
Namun, baru saja beberapa detik setelah si CEO menyalin nomor telepon Gandi yang notabenenya manager Nala, seseorang justru menarik kerah jas Arga dari arah belakang. Arga pun kaget, apalagi saat sosok di belakangnya yang ternyata adalah Arsen tiba-tiba bersuara dengan nada ketus.
“Lo apain suami gue hah?”
Tepat saat Arga berhasil berbalik ke arahnya, Arsen lantas dibuat kaget kala mendapati bahwa pria yang tadi terlihat mengikis jarak dan hendak menyentuh si suami adalah Arga Hardiyata. Padahal, Arsen tahu bahwa Arga nampak mencintai Deva melalui cuitan-cuitannya di sosial medianya.
“Yah, kamu apa-apaan sih?” Nala mendesis, “Anak kamu ngeliatin.”
“Gavi juga ngeliatin pas dia mau nyentuh kamu,” balas Arsen lalu kembali menatap Arga dengan sorot mata tajam. “Saya tau Pak Arga. Saya juga tau kalau Bapak ini udah punya suami. Jadi apa Pak Arga gak punya malu buat nyentuh suami orang lain gini?”
Arga menatap Arsen datar lalu menghempaskan cengkeraman sang aktor. “Nyentuh, nyentuh, pentil kamu kayak telur puyuh. Mata kamu ada di kaki bau kamu itu apa gimana sih? Orang dari tadi tangan saya megang hp, ck!”
“Tapi Bapak majuin kepala sama badan Bapak ke arah suami saya, ya saya keberatan dong?” Arsen lalu melirik sekilas ke Gavi. Dia takut anaknya akan ketakutan.
“Nal, kamu bawa Gavi jauh-jauh dari sini dulu.” titahnya ke Nala.
“Gak mau sebelum kamu minta maaf sama Pak Arga,” balas Nala. “Dia gak salah apa-apa. Dia cuma minta kontak Gandi, tapi kamu dateng-dateng malah kek gini.”
“Tuh, denger.” timpal Arga.
“Tapi aku nggak suka dia deket-deket kayak tadi, Nal. Belum juga kalau ada orang-orang yang lihat terus nyebarin ke sosmed, entar kamu digoreng lagi sama media.”
“Digoreng, digoreng, muka kamu bopeng. Siapa yang berani bikin gosip soal saya, hah?” cerocos Arga. “Lagian saya gak deketin suami kamu kek gimana, apalagi nyentuh dia. Kamunya aja yang posesif banget, emosian lagi, kayak kerbau mau nyeruduk aja.”
“Pak Arga gak punya cermin?” balas Arsen. “Bapak juga gitu.”
“Arsen, udah.” Nala menekankan suaranya. “Malu diliatin orang.”
Arsen menghela napasnya pelan lalu menoleh ke sekitar mereka. Benar saja, sudah banyak orang yang berlalu-lalang dan melirik ke arahnya dan Arga. Alhasil, kini Arsen pun meraih tangan Nala dan menggenggamnya erat-erat.
“Ayo, kita ke poliklinik sekarang.”
“Minta maaf dulu sama Pak Arga, Arsen.” kata Nala yang bahkan sudah tidak memanggil suaminya itu dengan sebutan ‘Ayah’ saking kesalnya. “Jangan malu-maluin.”
Arsen melirik Arga yang masih menatapnya datar lalu bersuara.
“Saya minta maaf,” katanya.
“Yang bener ngomong minta maafnya, jangan kayak orang yang lagi kumur-kumur kamu.” protes Arga, Arsen pun kesal.
“Saya udah minta maaf, kalau Pak Arga gak bisa terima kek gini, ya itu urusan Bapak.” kata Arsen lalu menggendong sang anak. “Ayo, sayang. Dokternya udah dateng.”
Melihat sang suami pergi sambil membawa Gavi membuat Nala menahan gejolak emosi. Dia pun kembali menatap Arga dengan sedikit rasa tidak enak di dada.
“Saya minta maaf untuk suami saya, Pak. Dia emang suka gitu kalau khawatir dan takut saya diomongin orang,” jelas Nala. “Arsen pasti gak bermaksud buat melukai perasaan Pak Arga.”
Arga berdecak kesal, “Bilangin ke suami kamu, dia kalau emosi urat lehernya udah kayak mau putus. Hati-hati biar nggak mati muda.”
“Baik, Pak.”
“Ya udah, dipikirin ya tawaran saya tadi.” tutur Arga, “Suami sama anak kamu juga ikut.”
Nala mengangguk, sedang Arga berjalan lebih dulu meninggalkan sang aktor. Kini Arga berjalan ke arah poliklinik anak. Setibanya di sana, dia pun refleks memasang tampang datar saat tatapannya berjumpa dengan Arsen. Aktor itu sedang duduk di bangku yang bersebelahan dengan suaminya.
Sementara itu, nampak Gavi dan Danu telah berkenalan bahkan berbincang-bincang hingga kini berlari di lorong poliklinik anak bersama. Interaksi mereka jelas amat kontras dengan Papi juga Ayah mereka yang disulut api.
Alhasil, Arga buru-buru duduk di sisi Deva. Kini dia seperti sebuah tembok besar yang menghadang Deva dengan sang idola. Sontak Deva bingung, apalagi melihat si Alpha justru mendelik ke Arsen.
“Ada apa sih, Mas?” bisik Deva.
“Aku abis berantem sama dia.” jawab Arga lalu mengambil alih Raka yang sedari tadi berada di gendongan Papanya. “Sini, biar aku yang mangku adek. Gantian.”
Deva geleng-geleng kepala. Dia kemudian mengambil gawainya dari saku lalu mengirim chat ke Arga meskipun mereka sedang duduk bersebelahan. Sebab, Nala juga telah tiba di poliklinik anak dan dari tatapan sang aktor saja, Deva bisa menebak bahwa Nala juga terlibat dalam konflik Arga dan Arsen. Dan Deva tak ingin semakin memperkeruh keadaan.
Usai berbagi pesan dengan sang suami yang juga memangku anak bungsu mereka, Deva akhirnya paham kesalahpahaman antara Arga dengan Arsen. Dia lantas memberi Arga tatapan memohon agar mau menyelesaikan konflik di antara mereka, namun Arga hanya memberi respon decakan.
Meski begitu, Deva tidak ingin menyerah. Dia pun berdiri lalu memberanikan diri menghampiri Nala yang berbincang dengan Arsen. Deva kemudian mengulas senyum tipis saat Nala dan Arsen telah menyadari kehadirannya.
“Mas Nala, Mas Arsen. Kenalin, saya Deva. Saya ini fans kalian berdua,” katanya yang membuat Arga menatap Deva penasaran, entah apa yang dia rencanakan.
Nala ikut berdiri lalu mengajak Deva berjabat tangan, “Panggil Nala aja, Mas. Saya juga udah denger dari Pak Arga soal Mas Deva. Saya merasa terhormat karena Mas Deva fans kami.”
Deva mengangguk masih dengan senyumnya yang kian lembut. Ia nampak amat tenang, membuat Arsen dan Nala merasa nyaman.
“Saya juga denger dari Mas Arga kalau pas di toilet tadi, Mas Arga sama Arsen sempet ada salah paham. Saya minta maaf ya, Nal.”
“Kamu ngapain minta maaf sih, Dev? Ck!” Arga langsung berdiri dari tempatnya dengan si bungsu Raka yang seketika dia gendong.
“Yang asal nuduh itu, dia. Arsen udah ngefitnah aku,” kata Arga.
Arsen pun ikut berdiri. “Kalau Pak Arga gak nyondongin badan sampai segitunya ke arah Nala juga saya gak bakal mikir yang nggak-nggak. Siapa pun juga bakalan salah paham tau gak?”
“Kamu ini gimana sih? Ck! Udah salah, nyolot lagi.” balas Arga. “Mana mulutnya bau neraka.”
“Bapak jangan sembarangan ya.” Arsen memajukan langkahnya, namun Nala sudah lebih dahulu menahannya sambil bersuara.
“Kamu apa-apaan sih, Sen? Kita diliatin sama orang,” kesal Nala.
“Mas, jangan bikin masalahnya jadi panjang dong.” tutur Deva lembut. “Minta maaf kan bukan cuma karena kita itu salah atau kalah, tapi karena kita dewasa.”
Baik itu Arsen maupun Arga hanya saling mendelik tajam. Sampai saat suara tangisan dari dalam poliklinik anak tiba-tiba menggema, Gavi dan Danu yang tadinya asik dengan dunia baru mereka lantas berlari ke arah orang tuanya masing-masing sambil berteriak ketakutan.
“Ayah, Gavi takut.”
Arsen mengusap kepala sang anak yang tengah memeluk lututnya. “Gak usah takut ya, Sayang. Anak kecil yang ada di dalam itu cuma kaget. Gavi gak bakalan ngerasa sakit kalau Gavi tenang. Percaya sama Ayah ya?”
“Gak bakalan ngerasa sakit, gak bakalan ngerasa sakit,” protes Arga. “Kamu mana tau anak-anak bisa nahan rasa sakitnya apa gak hah? Cuma bisa nyuntik lubang Nala pakai titit aja udah sok tau kamu. Kamu ini gimana sih, Ck!”
“Terserah saya mau bilang apa ke anak saya,” balas Arsen. “Bapak nggak usah gila urusan. Katanya Pak Arga orang penting, berarti banyak urusan kan? Apa jangan-jangan taunya cuma bilang titit?”
“Ya emang terserah kamu, tapi anak saya juga denger. Udah susah-susah saya bujukin Danu pakai cara saya, eh kamu malah ngasih doktrin yang jatuhnya ngebohongin anak kecil.” jelas Arga. “Jangankan disuntik sama jarum yang tajam, pantat kamu disuntik pake titit aja bisa sakit.”
“Iya kan, Sayang?” tanya Arga ke Deva yang membuat sang suami kehabisan kata saking malunya.
“Ya kalau Bapak gak mau anak Pak Arga denger, jauh-jauh dari saya. Kan masih ada bangku tuh yang kosong di sebelah sana.”
“Lo semua ngapain sih, anjing?”
Arga, Deva, Arsen juga Nala serta anak-anak mereka kaget ketika seseorang menghampiri mereka. Orang itu tak lain adalah Athaya atau yang kerap dipanggil Aya.
“Lo pada sadar gak sih kalau lagi ada di rumah sakit?” kata Athaya. “Dari tadi suara lo berdua sampai ke poliklinik yang ada di sebelah.”
“Banyak orang sakit di sana, ada suami gue juga yang udah lemes karena demam. Tapi elo berdua malah bikin gaduh di sini. Lo tuh gangguin orang yang lagi sakit.”
Arga menatap Athaya dari atas ke bawah sebelum berkata, “Santai aja dong ngomongnya, air liur kamu muncrat nih ke anak saya.”
“Lo yang gak santai dari tadi!”
Arsen mendengus, “Lo nyuruh kita supaya gak bikin gaduh, tapi lo juga dateng terus teriak-teriak di sini. Lo juga bikin gaduh loh.”
“Tutup mulut lo ya.”
“Athaya.”
Suara yang amat lirih menggema dari belakang Athaya. Alhasil, dia pun berbalik dan mendapati sang suami berjalan, menghampirinya.
“Lo ngapain malah nyusul ke sini sih? Kan gue udah bilang supaya lo diem aja di sana, Ayyan.” kesal Athaya, sedang Rayyan seketika menggenggam jemari suaminya.
“Ya, kita bakal diusir dari Rumah Sakit kalau kita ribut kayak gini.” Rayyan melirik ke poliklinik anak dimana Dokter dan beberapa Koas telah keluar dari ruangan dan memerhatikan mereka.
“Yang diusir itu seharusnya dua orang ini, bukan kita. Mereka yang udah ganggu orang lain.”
“Kan tadi saya sama Arsen udah mau selesai, tapi kamu tiba-tiba dateng terus lanjut ke part dua.” kata Arga. “Ingetin baik-baik.”
“Emang Pak Arga bisa diingetin baik-baik?” Arsen menyeringai. “Kalau bisa, Pak Arga gak bakal ngajak saya debat loh dari tadi.”
“Permisi Bapak-bapak, Mas…”
“APA?”
Arga, Arsen dan Athaya kompak merespon sebuah suara lelaki yang tiba-tiba menginterupsi. Sosok itu adalah Koas bernama Jeva yang tadi telah diberitahu oleh Biru, pacarnya, bahwa di depan poliklinik sedang gaduh.
Meski Biru telah memberitahu Jeva untuk membawa satpam, namun Jeva yang tidak ingin ketiga pasangan itu menanggung malu jika diusir lantas bertekad untuk memberanikan dirinya. Ia menghampiri keenam orang itu seorang diri, tanpa pengawalan.
“Saya mohon maaf banget, Pak, Mas. Tapi kalau sekiranya ada masalah yang harus diselesaikan, mungkin bisa dibicarakan saja di luar Rumah Sakit ya?” tutur Jeva.
“Bukan cuma pasien yang kami pikirin, tapi Bapak sama Mas-mas sekalian juga bakalan jadi bahan omongan kalo bikin gaduh di sini. Apalagi semua orang juga tau Bapak sama Mas-mas siapa.”
“Jadi kamu ngusir saya? Iya? Ck!” Arga berdecak. “Saya udah mau selesai tadi, tapi Mas ini malah dateng-dateng sambil marah.”
“Saya gak bakalan marah kalau Bapak gak ganggu,” balas Aya.
“Tapi kan saya gak bakal ganggu kalau dia juga gak ganggu saya,” kini Arga melempar kesalahan ke Arsen. “Dia yang ngajakin gelut.”
“Saya juga gak ganggu Pak Arga ya,” kata Arsen. “Justru Bapak yang ganggu suami saya tadi.”
“Pak, Mas—”
“DIEM DULU, ORANG TUA LAGI NGOMONG!” Sekali lagi, Jeva dibuat bungkam karena ketiga pria di hadapannya itu kembali kompak meninggikan suara kepadanya. Alhasil, Jeva lantas diam sambil menelan ludahnya.
“Kalau kalian tau kalian udah tua, seharusnya kalian udah bersikap dewasa.” sahut Biru yang sedari tadi melihat pacarnya diomeli. “Pacar saya juga ngingetin Bapak dan Mas sekalian baik-baik, tapi malah ikut diteriakin kayak gini.”
“Cie,” ledek Arga yang membuat Deva refleks mencubit lengan si Alpha sebelum berbisik rendah.
“Mas, aku beneran bakal marah loh kalau kamu gak bisa serius.”
“Iya, iya, maaf. Tapi lucu ya?”
Deva mendelik tajam sebelum menatap ke arah dua dokter muda di tengah-tengah mereka.
“Saya minta maaf ya, Dek. Saya dan pasangan Mas-mas ini juga harusnya bisa melerai mereka.”
“Gak apa-apa, Mas. Tapi saya mohon ya,” ucap Biru. “Jangan bikin keributan. Kalau enggak, dengan berat hati kami bakal panggil satpam buat ngamanin Bapak sama Mas-mas sekalian.”
“Mas,” Deva menyikut lengan Arga. “Cepetan minta maaf.”
“Maaf.”
Deva berdecak, “Yang bener.”
“Saya minta maaf ya, Arsen, Mas yang suaminya sakit, sama dua Dokter muda yang pacaran ini.” ucap Arga. “Maaf karena bikin gaduh. Saya harap kita semua bisa kumpul di satu tempat buat ngobrol bareng tentang hari ini.”
“Kita bisa kok ke ruang rapat Dokter, Pak.” usul Jeva diikuti senyum ramah di bibirnya, tapi senyum itu seketika hilang saat Arga membalas perkataannya.
“Sabar, saya kan belum selesai ngomong. Kamu ini gimana sih? Ck! Lagian, emang kamu yang punya rumah sakit ini sampai-sampai ngusulin ruang rapat?”
“Maaf, Pak.” cicit Jeva. “Kebetulan Papa saya saya Direktur RS ini.”
“Jadi kamu anaknya Pak Harry?” tanya Arga. “Yang dikira anak dari hasil hubungan gelap kan?”
“Mas Arga,” Deva menghentikan suaminya lalu menghela napas.
“Maaf ya,” ucap Deva ke Jeva, sedang dokter muda itu lantas tersenyum diikuti anggukan.
“Saya lanjutin,” ucap Arga. “Saya sebenarnya pengen bikin dinner buat suami saya, terus ngundang Arsen sama Nala, karena dia suka banget sama mereka. Tapi gara-gara Arsen akhlaknya kayak tai, semuanya malah berakhir gini.”
“Jadi sekarang, saya juga mau ngundang kalian semua. Biar kita ngomongnya lebih enak,” kata Arga. “Itung-itung juga sebagai permintaan maaf saya, walaupun yang mulai sebenernya si Arsen.”
“Mas…”
“Iya, Sayang. Aku bercanda,” kata Arga saat melihat Deva memelas.
“Saya juga minta maaf,” Arsen ikut bersuara. “Saya cuma takut suami saya kena masalah, sampai saya jadi protektif gini sama dia dan malah ribut sama Pak Arga.”
Athaya menghela napas, “Maaf juga dateng-dateng sambil emosi tadi. Saya juga cuma khawatirin kondisi suami saya yang sakit.”
“Kok kalian ini jadi sok romantis sih? Ck!” kata Arga, “Udah, sana. Anak saya mau disuntik. Suami kamu juga mau disuntik nggak?”
Rayyan cengengesan, “Saya cuma demam kok, Pak. Nggak abis digigit sama anjing rabies.”
“Ya udah, sana. Balik ke poliklinik tempat kamu nunggu,” kata Arga seraya menyerahkan kartu nama ke Athaya. “Hubungi saya entar.”
“Baik, Pak. Kalau gitu permisi,” pamit Rayyan yang menuntun Athaya agar pergi dari sana.
Setelah Rayyan dan Athaya pergi, Jeva pun berkata. “Anak Pak Arga sama Mas Arsen mau ikut vaksin kan? Keknya abis ini udah giliran anak-anak Bapak sama Mas kok.”
“Iya,” Biru membenarkan. “Anak Pak Arga sama Mas Arsen udah boleh masuk ke ruangan Dokter.”
“Loh, anak saya yang sulung ke mana?” Arga panik saat tidak melihat Danu berada di sisinya.
Begitupula dengan Arsen dan Nala yang tak melihat Gavi di mana-mana. Sampai tak lama berselang, dua anak lelaki itu justru datang dari arah toilet. Mereka berjalan dengan tangan yang saling berpegangan erat.
“Ya ampun, Sayang. Kamu dari mana aja sih? Kok gak izin sama Papa?” tanya Nala ke Gavi yang telah berdiri di hadapannya.
“Gavi sama Danu takut disuntik sampai mau pipis Papa, tapi tadi Papa, Ayah sama Papa Papinya Danu sibuk ngobrol, jadi Gavi sama Danu pergi supaya gak pipis di celana,” jelas si kecil.
“Maaf ya, Papa.” timpalnya.
“Danu, jangan diulangin lagi ya?” kini giliran Arga yang angkat bicara. “Bilang dulu sama Papi atau Papa kalau pengen pergi.”
“Danu mau bilang, tapi kan Papi lagi marah-marah, jadi Danu gak bisa ngomong. Papi gimana sih?”
Arga lantas bungkam mendengar protes sang anak, sementara itu Deva, Arsen, Nala, Jeva dan Biru justru tertawa mendengar Danu berceloteh dengan raut lucunya.