Wedding

Arsen meremas-remas jemarinya sambil sesekali melirik ke pintu aula dimana Nala akan datang dari sana nantinya. Dan hanya menunggu beberapa menit lagi sebelum acara akad dimulai.

Sampai tidak lama berselang, Nala akhirnya datang bersama dengan Gandi, Mama juga Gavi dan beberapa kerabatnya yang mengantarkan Nala masuk ke dalam aula. Saat itu pula Arsen tidak mampu menahan senyum lembut melihat betapa indahnya sosok ciptaan Tuhan yang akan segera menjadi suaminya itu.

Ketika Nala akhirnya telah tiba dan berdiri tepat di sampingnya, Arsen kemudian berbisik pelan.

You looks so beautiful today.”

“Jadi sebelum-sebelumnya gak?”

Arsen dan Nala kompak terkekeh sebelum MC kembali mengambil alih acara. Kedua mempelai pun mengikuti setiap instruksi yang diberikan sejak prosesi akad itu dimulai hingga menuju selesai.

Senyum dan air mata haru lantas mewarnai akad nikah yang hanya dihadiri oleh keluarga besar dan sahabat terdekat Arsen dan Nala. Terlebih saat mereka telah resmi menjadi pasangan suami selepas menandatangani dokumen nikah juga bertukaran cincin sebelum mereka memasuki sesi sungkem.

Doa-doa terbaik yang Arsen dan Nala terima dari keluarga mereka membuat keduanya kian terharu. Pasalnya, tak pernah terlintas di pikiran keduanya dahulu bahwa kisah asmara yang semula harus mereka sembunyikan akhirnya dapat diterima dan mereka bawa hingga ke jenjang pernikahan.

Mimpi yang telah Arsen dan Nala rajut bersama akhirnya menjadi kenyataan manis meski harus melewati jalan terjal lebih dulu. Kini, keduanya pun telah terikat janji yang enggan mereka ingkari.

Usai rangkaian akad terlaksana dengan lancar tanpa hambatan, Arsen dan Nala pun dipersilakan untuk beristirahat sejenak dalam kamar sekaligus jadi ruang ganti untuk menyiapkan penampilan dalam acara resepsi dua jam lagi.

“Lega banget, kayak abis kentut.” gumam Arsen yang menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur, sedang Nala lantas menggeleng lalu duduk membelakangi Arsen.

“Bantuin,” pinta Nala sambil menunjuk kancing baju yang terletak di bagian tengkuknya.

“Kita disuruh istirahat bentar loh, kok kamu udah ngode buat ngewe aja—aduh!” Arsen berseru diikuti tawa, sebab suaminya itu tiba-tiba berbalik lalu memukul tubuh Arsen dengan bantalnya.

Pada akhirnya, Arsen bangkit lalu membuka kancing baju Nala. Dia lalu memeluk pinggang si suami dari belakang sebelum bersuara.

“Aku bakalan selalu ingat kalau hari pernikahan kita ini tuh hari paling bahagia dalam hidup aku dan bikin aku ngerasa jadi orang paling beruntung di dunia karena bisa menikahi kamu,” kata Arsen.

Nala tersenyum lalu menoleh ke Arsen yang duduk di belakang tubuhnya. Saat itu pula Arsen lantas menciumi kening dan pipi Nala lalu ikut tersenyum lembut.

Persekian detik kemudian, suara ketukan pintu dari luar seketika menggema. Arsen dan Nala pun bertukar tatapan sejenak saat mereka mendengar suara Gavi.

Alhasil, Nala buru-buru bangkit dan menghampiri sumber suara. Dia lalu membuka pintu kamar dan mendapati Gavi kini berdiri di hadapannya sambil membawa sebuah tas belanja berisi camilan.

“Loh, Gavi sendiri? Om Gandinya mana?” tanya Nala, sebab dia tak melihat Gandi bersama anaknya. Padahal, saat prosesi akad tadi, Gandi yang menemani si kecil.

“Om Gandi baru aja pergi, Gavi yang nyuruh. Soalnya Om Gandi juga mau ganti baju, Papa.” jawab si kecil, Nala lantas tersenyum.

“Kalau Oma? Udah mau ganti baju juga ya?” tanya Nala lagi.

“Iya, Papa.”

“Ya udah. Ayo, Gavi masuk dulu.”

Nala pun menuntun anaknya itu masuk ke dalam kamar. Arsen yang melihat Gavi datang lantas bersemangat dan memanggil si kecil agar duduk bersamanya di atas ranjang. Begitu pula Nala.

“Gavi bawa apa?” tanya Arsen.

“Gavi bawa biskuit, permen sama cokelat, Om Arsen.” kata Gavi lalu menunjukkan tas belanja yang ia bawa. “Tadi Gavi laper, jadi Om Gandi nemenin Gavi belanja deh.”

“Gavi juga beli buat Papa sama Om Arsen,” lanjut anak lelaki itu.

“Kalau Gavi laper, kenapa gak minta Om Gandi buat temenin Gavi makan nasi?” tanya Nala.

“Mana beli permen lagi. Inget, gak boleh makan banyak. Entar gigi Gavi sakit kalau kebanyakan.”

“Gavi mau makan sama Papa aja.” si kecil memelas. “Gavi janji gak makan permen banyak-banyak.”

Nala geleng-geleng kepala lalu menyisir rambut anaknya yang menutupi bahkan terlihat sedikit mengganggu kedua mata Gavi.

“Ya udah, abis ini Papa pesenin makan Biar kita makan bareng.”

Gavi mengangguk. Dia kemudian mengeluarkan cokelat dari tas belanjanya lalu menyodorkannya ke Nala. “Papa mau cokelat gak?”

“Boleh,” Nala meraih pemberian anaknya. “Makasih ya, Sayang.”

Gavi lalu menoleh ke Arsen. “Om Arsen mau cokelat juga nggak?”

Arsen tersenyum lalu mencubit pipi Gavi, “Kalau Om mau denger Gavi manggil ‘Ayah’ aja boleh?”

“Kan Om Arsen sama Papanya Gavi udah nikah, jadi sekarang Om Arsen juga udah jadi Ayah Gavi.” timpal Arsen, namun si kecil terlihat berpikir dengan raut kikuk di wajah setelahnya.

Tidak ingin Gavi merasa dipaksa, Arsen pun terkekeh pelan lalu meraih kedua tangan Gavi dan menggenggamnya erat. “Nggak apa-apa. Kalau Gavi masih gak mau manggil Om Ayah sekarang.”

“Om mau denger Gavi manggil Ayah kalau Gavinya juga mau.”

Gavi melirik Papanya, sementara Nala memberi senyuman lembut agar anaknya itu mendengarkan apa yang Arsen katakan barusan. Gavi kemudian kembali menatap Arsen. Dia melepas tautan jemari Arsen dengan jemarinya. Gavi lalu meraih sebungkus cokelat dan menyodorkannya ke Arsen.

“Ayah mau?”

Senyum haru seketika terlukis di bibir Arsen. Cokelat yang Gavi sodorkan lantas dia ambil lebih dulu sebelum meletakkannya di samping bantal. Setelahnya, dia membawa Gavi ke dekapannya. Arsen menciumi puncak kepala Gavi cukup lama lalu berucap.

“Makasih ya, Sayang.”

“Aku boleh ikutan gak?” tanya Nala yang juga diam-diam ikut tersenyum melihat interaksi antara anak dan suaminya itu.

Sontak Arsen terkekeh sebelum menuntun Nala agar mendapat pelukan darinya seperti Gavi. Kini ketiganya pun saling berbagi dekap hangat dengan si kecil yang berada di tengah-tengah.

“Papa, Om Ar—” Gavi menutup mulutnya sejenak saat sadar dia hampir salah sebut. “Papa, Ayah, ayo kita makan cokelatnya dulu.”

“Kata Om Gandi tadi, Gavi, Papa sama Ayah harus ganti baju lagi abis ini.” celoteh Gavi. “Soalnya nanti ada banyak orang yang mau datang kasih selamat ke Papa sama Ayah. Iya kan, Papa?”

Nala terkekeh, “Iya, Sayang.”