Sakit
Arsen akhirnya sampai di unit apartemen Nala. Dia pun tak lupa menekan bel hingga tidak lama setelahnya, pintu unit itu terbuka. Arsen lantas mendapati Gavi berdiri tepat di hadapannya dengan pipi yang telah sembab.
“Om Arsen…”
Arsen seketika berjongkok. Dia kemudian mendekap erat Gavi sambil mengusap punggung si kecil amat lembut lalu bersuara.
“Om ada di sini, Ganteng.” kata Arsen. “Gavi nangisnya jangan lama, entar Papa Gavi sedih.”
Arsen pun melepas dekapannya dan beralih menatap wajah Gavi.
“Kita ke kamar Papa yuk.”
Gavi mengangguk, sedang Arsen kembali berdiri lalu memegang erat tangan Gavi yang kemudian berjalan di sisinya menuju kamar Nala. Sesampainya di sana, Arsen lantas duduk di tepi ranjang lalu menyentuh dahi Nala yang entah sejak kapan tertidur. Namun saat kulit mereka bersentuhan, Nala pun tiba-tiba membuka matanya.
“Lo udah di sini dari tadi, Sen?”
“Gak, baru aja.” kata Arsen. “Gue bawa lo ke rumah sakit mau ya? Ini badan lo panas banget, Nal.”
“Gavi nggak ada yang nemenin, Sen. Dia gak boleh ikut ke RS,” sahut Nala. “Gue gak apa-apa kok. Gue juga abis minum obat penurun demam yang lo beli.”
“Gavi kita titip ke Endra aja, Nal.”
Nala menggeleng, “Gak usah.”
“Mama juga udah pulang besok,” timpalnya. “Kalau aja demam gue masih tinggi, kita bisa ke RS pas Mama gue udah nyampe di sini.”
Arsen menghela napas bersama raut khawatirnya, sementara itu Nala lantas menoleh ke anaknya yang berdiri di samping ranjang.
“Sayang, sekarang udah lewat jam sembilan malam kan?” Nala meraih tangan kecil Gavi. “Gavi bobo gih. Kalau Om Arsen yang temenin ke kamar, gak apa-apa ya, Sayang? Papa kan lagi sakit.”
“Trus siapa yang temenin Papa?” balas Gavi. Suaranya amat lirih.
“Nanti, kalau Om Arsen udah nganterin Gavi ke kamar, Om kembali lagi kok ke kamar Papa. Om yang nemenin,” kata Arsen.
Gavi akhirnya mengangguk kecil, tanda bahwa dia menyetujuinya. Arsen pun mengantarkan Gavi ke kamar, meninggalkan Nala yang kembali memejamkan matanya akibat rasa kantuk dari efek obat.
Tak lama setelahnya, Arsen pun kembali ke kamar Nala sambil membawa wadah berisi air dan kain. Dia lalu duduk dengan hati-hati di samping Nala sebelum mulai mengompres kening Nala.
Merasakan efek dari kompres itu, Nala lantas kembali terjaga. Dia tersenyum melihat Arsen begitu telaten mengompres kening dan lipatan tubuhnya.
“Makasih ya,” ucap Nala.
Arsen menggeleng pelan, “Gue ngelakuin apa yang emang udah seharusnya gue lakuin buat elo, Nal. You don’t have to say that.”
Nala tersenyum. Dia kemudian meraih tangan Arsen ketika lelaki berlesung pipi itu meletakkan kain kompres di dahinya. Nala menggenggam erat jemari Arsen.
“Lo tau nggak sih, Sen. Sebelum gue nge-chat lo tadi, Gavi minta gue buat nelpon Ayahnya.” tutur Nala. “Dia pengen ngasih tau Mas Tristan supaya pulang dari Surabaya karena gue lagi sakit. Gavi takut jagain gue sendirian.”
“Terus gue bilang sama anaknya, kalau cuma sekali, gak apa-apa. Tapi ke depannya, dia gak bisa nyuruh Ayahnya datang kapan aja kayak gini. Karena Ayahnya juga bakal punya keluarga baru.”
Arsen yang menyimak bertanya, “Jadi, Gavi bilang apa abis itu?”
“Dia gak bilang apa-apa,” jawab Nala. “Tapi karena gue ngeliat anaknya ketakutan banget, gue akhirnya nelpon Mas Tristan kayak yang dia minta. Turns out, nomor Mas Tristan lagi gak aktif.”
“Dan lo tau gak akhirnya Gavi minta apa lagi sama gue?” Nala kembali tersenyum. “Dia minta gue nge-chat lo. Awalnya, gue pikir, dia udah desperate gara-gara Mama sama Gandi lagi gak di Jakarta. Makanya dia gak tau mau minta tolong ke siapa lagi.”
“Tapi ngeliat gimana Gavi ngadu ke lo sambil nangis pas lo nelpon tadi, gue yakin dia mulai mikirin ucapan lo kemarin.” timpal Nala.
“Semoga Gavi akhirnya ngerti ya, Sen? Semoga dia ngeliat gimana lo udah berusaha selalu ada buat gue sama dia, bukan karena elo mau ngerebut posisi Ayahnya.”
Arsen ikut tersenyum diikuti anggukan, “Mhm, I hope so.”
“Tapi sekarang lo gak usah mikir soal itu dulu ya? Fokus aja sama kesehatan lo,” lanjut Arsen. “Gue paling gak bisa ngelihat lo sakit.”
Nala lantas mengangguk diikuti senyum lembut. “Gue ngantuk.”
“Ya udah, lo tidur lagi aja.”
“Ranjang gue agak sempit buat dua orang sih, tapi masih muat buat badan lo kok.” kata Nala. “Lo boleh tidur di samping gue, Sen.”
“Gak usah mikirin gue,” kekeh Arsen. “Gue bisa tidur di mana aja. Lo juga musti tidur dengan nyaman, biar tidur lo nyenyak.”
“Katanya, tidur atau istirahat yang cukup bisa bikin demam cepet turun.” Arsen mengusap kepala Nala, “Jadi sekarang lo tidur. I’m not going anywhere.”
“Mm,” gumam Nala lalu menutup matanya, sedang Arsen seketika mengatur posisi agar dia duduk di samping kepala Nala dengan punggung yang bersandar pada kepala ranjang. Arsen tak pernah melepaskan genggaman tangan mereka hingga dia ikut tertidur dalam posisi yang masih duduk.
Menit demi menit pun berlalu, Arsen yang semula ketiduran pun lantas terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Saat menoleh, Arsen mendapati Gavi kembali masuk ke kamar Nala lalu menghampiri ranjang.
Buru-buru Arsen turun dari tempat tidur lalu berjongkok di hadapan Gavi. Arsen bertanya.
“Gavi kok keluar dari kamar?”
Bibir Gavi membentuk kurva yang melengkung ke bawah, namun nampak kalau anak lelaki itu berusaha menahan tangisnya.
“Gavi gak bisa tidur, Om Arsen.”
“Mau Om Arsen temenin?”
Gavi menggeleng, “Gak usah. Om Arsen temenin Papa aja di sini.”
“Terus Om Arsen harus ngapain supaya Gavi bisa tidur?” tanya Arsen sambil membelai lembut pipi tembam Gavi. “Besok Gavi sekolah kan? Kalau Gavi tidurnya telat, besok Gavi bakal ngantuk di sekolah. Badannya juga lemes.”
Gavi mengedipkan matanya berkali-kali, masih dengan bibir yang melengkung ke bawah. Dia berusaha keras agar air matanya tidak jatuh ke pipi. Namun, Gavi akhirnya kembali bersuara lirih.
“Papa selalu cium kening Gavi sebelum Gavi bobo, Om Arsen.”
Arsen tersenyum tipis sambil mengusap sayang kepala Gavi.
“Papanya Gavi udah tidur, kasian kalau dibangunin.” katanya. “Gavi mau enggak, kalau Om Arsen aja yang cium kening Gavi malam ini buat gantiin Papanya? Gimana?”
Gavi terlihat berpikir sejenak hingga akhirnya mengangguk. Arsen pun mendekap tubuh si kecil sesaat sebelum mencium puncak kepala Gavi. Setelahnya, Arsen kembali memandangi Gavi lalu mengecup pelan keningnya.
“Tidur yang nyenyak ya, anak ganteng.” ucap Arsen. “Nanti, sebelum Gavi bobo, Gavi doa. Minta sama Tuhan supaya besok pagi Papanya Gavi udah sehat.”
Gavi mengangguk.
“Mau Om anterin ke kamar?”
“Gak usah, Om Arsen.” kata Gavi lalu menoleh ke Nala. “Jaga Papa Gavi ya, Om Arsen. Kasian Papa.”
“Iya, Sayang. Pasti Om jagain.”
Gavi kembali memandangi wajah Arsen, menatapnya lamat-lamat.
“Om Arsen.”
“Apa, Sayang? Gavi mau apa?”
Gavi memeluk leher Arsen lalu menyandarkan dagunya di atas pundak Arsen sambil bergumam.
“Gavi sayang Om Arsen.”
Hati Arsen seketika menghangat mendengar penuturan si kecil. Ia tersenyum lega sebelum berkata.
“Om juga Sayang sama Gavi.”