jaesweats

Pergantian tahun sudah di depan mata. Gandi serta calon istrinya pun telah tiba di kediaman Arsen tepat pada pukul delapan malam. Keduanya disambut hangat oleh si tuan rumah, Nala, Mama dan Gavi yang tak henti mengoceh.

Mereka semua pun berkumpul di area kolam renang, dimana telah tersedia pemanggang juga meja dimana mereka akan menyantap makanan nantinya. Meski begitu, kehadiran Gandi dan calon istri tidak membuat mereka langsung memulai acara. Sebab masih ada Endra yang belum menampakkan diri dan mereka yang ada di sana pun masih sibuk untuk mengenal lebih dekat lagi calon istri Gandi.

Sampai tidak lama setelahnya, Endra akhirnya tiba di tempat mereka bercengkrama. Namun yang membuat Arsen berang, dia justru melihat sahabatnya datang bersama Bagas. Padahal, dia dan Nala sendiri tidak mengundang sutradara itu. Arsen pun seketika berdiri saat Endra menghampiri.

“Ngapain lo ke sini bareng dia?”

Melihat sikap ketus Arsen, Nala yang duduk di samping mantan pacarnya itu pun refleks meraih tangan Arsen, menggenggamnya. Nala berusaha memberitahunya secara tersirat agar Arsen tidak terbawa emosi dan memicu api.

“Bagas datang ke rumah gue pas gue mau ke sini,” kata Endra. “Dia mau ngajakin gue tahun baruan di luar. Ya udah, sekalian gue ajak ke sini. Dia kan temen Nala juga.”

Nala mengangguk, “Maaf ya, Gas. Gue gak ngasih tau lo. Gue kira lo bakalan tahun baruan di Bali, soalnya sore tadi lo bilang kalau lo masih di sana pas gue tanya.”

“Gak apa-apa, Nal. Gue juga pas baru nyampe Jakarta langsung ke rumah Endra, ternyata dia udah ada planning acara sama kalian.”

“Ternyata?” Arsen menyeringai, “Lo ngomongnya seolah lo gak tau kalau Endra itu sahabat gue dan bakal tahun baruan bareng.”

Melihat suasana di tempat itu nyaris tidak kondusif lagi, Nala pun berdiri. Dia lalu mendelik ke Arsen sejenak sebelum menatap Bagas dan Endra bergantian.

“Ya udah, karena kalian datang belakangan, kalian bantu gue ke dalam buat ngambil bahan yang mau kita pake.” Nala berusaha mengalihkan topik. “Oh iya, ini kenalin juga calonnya si Gandi.”

“Erika.”

Calon istri Gandi pun berjabat tangan dengan Endra dan Bagas sambil tersenyum ramah. Sedang Arsen masih menatap tajam pada Bagas. Sontak hal itu membuat Nala berbisik di samping Arsen.

“Jangan ngerusak suasana deh, Sen. Calm down a bit,” katanya.

Arsen menghela napas panjang sejenak tanpa melepas tatapan tajamnya dari Bagas. “Gue mau ngomong berdua sama lo, Gas.”

Bagas mengangguk kecil lalu mengikuti langkah Arsen yang menuntunnya untuk menjauhi orang-orang di tepi kolam sana. Merasa sudah cukup jauh, Arsen pun berbalik hingga kini dia dan Bagas berdiri saling berhadapan.

“Lo pengen apa dari Endra?”

Bagas memicing, “Gue gak ngerti maksud dari pertanyaan lo, Sen.”

“Lo pengen manfaatin dia karena dia itu orang kepercayaan gue?” tanya Arsen. “Lo masih berusaha ngerebut Nala dari gue melalui Endra? If it’s so, let me tell you…”

It won’t work,” tegasnya.

Bagas tersenyum tipis, “Gue tau. Mau gue pakai cara apapun juga, siapa sih yang bisa ngerebut Nala dari lo? Pada akhirnya gue cuma bakalan jadi Tristan kedua kalau gue tetep nekat buat mencoba.”

I don’t have any bad intentions for Endra either.” timpal Bagas.

“Justru gue ikut ke sini karena gue mau move on bareng dia.” katanya. “Gue tau Endra abis patah hati, tapi baru beberapa waktu yang lalu gue tau siapa alasan di balik patah hatinya.”

“Lo bener. Gue emang udah tau kalau Endra ada planning acara sama kalian.” jelas Bagas. “Tapi yang gue tau juga Endra ngerasa gak sanggup buat dateng malam ini. Bahkan sampai sore tadi, dia masih ragu. Dia bilang mungkin dia bakalan tahun baruan sendiri aja daripada harus ngeliat crush dia lagi bareng calon istrinya...”

“Makanya gue juga mutusin buat kelarin urusan gue di Bali terus buru-buru pulang supaya Endra gak tahun baruan sendiri,” lanjut Bagas. “Tapi pas gue ke rumah dia, ternyata dia udah siap-siap buat ke rumah lo. Karena Endra pengen berdamai sama hatinya sendiri dan belajar buat move on.”

“Dan karena gue juga ngerasain hal yang sama kayak Endra, gue gak pengen ngeliat dia berjuang buat move on sendiri. That’s why i’m here. Gue mau nemenin dia.”

“Oke, alasan lo kali ini masih gue terima.” Arsen lalu mengikis jarak tubuhnya dengan Bagas. “Tapi kalau sampai lo punya niat nggak baik dan nyakitin sahabat gue, lo bakal tau sendiri akibatnya, Gas.”

Bagas mengangguk lalu melirik ke arah Endra yang masih berdiri di tempatnya tadi. Dia kemudian tersenyum tipis saat tatapannya dan Endra bertemu. Sementara itu, Arsen yang memerhatikan keduanya seketika memicing.

“Ngapain lo senyam-seyum di sini?” ketus Arsen. “Tadi Nala nyuruh lo ngambil bahan-bahan di dalam rumah kan? Pergi sana.”

“Temenin gue dong, Sen.”

“Coba ngomong sekali lagi.” kata Arsen, membuat Bagas terkekeh sebelum meninggalkan si aktor.


Tahun telah berganti satu jam yang lalu. Pesta malam tahun baru yang mereka adakan pun berlangsung lancar hingga usai.

Kini, semua tamu di rumah Arsen telah kembali ke rumah mereka masing-masing. Kediaman sang aktor yang tadinya ramai lantas telah sunyi. Mama dan Gavi yang menginap di sana pun masing-masing sudah berlabuh ke alam mimpi. Hanya Arsen dan Nala lah yang masih asik bercengkerama.

Keduanya duduk di balkon kamar lama Nala. Ada dua kaleng beer kesukaan mereka yang seolah menjadi suguhan penutup seusai pesta. Banyak hal yang menjadi topik perbincangan kedua anak manusia itu. Dari yang mampu membuat mereka tertawa kecil hingga meneteskan air mata.

“Oh iya, Sen. Pas gue abis nuduh lo terus marah-marah sama elo waktu itu, lo kabur ke mana sih?”

“Ke sini,” kekeh Arsen. “Gue juga duduk di sini sambil minum bir.”

“Gue juga denger Gandi datang nyariin gue,” timpalnya. “Tapi karena gue gak keluar-keluar juga, dia mungkin mikir kalau gue lagi gak ada di rumah ini.”

“Gue sama Gandi khawatir tau. Udah handphone lo mati. Mami Papi lo juga gak tau lo di mana,” Nala menghela napas sebelum menyandarkan kepalanya pada bahu Arsen. “Gue pikir gue udah kehilangan lo. Gue kacau banget.”

Arsen tersenyum tipis lalu ikut menyandarkan kepalanya pada kepala Nala. “Gak usah diinget lagi. Kan gue udah ada di sini.”

“Mm,” Nala tersenyum.

“Nal.”

“Apa?”

Where’s my gift, anyway?

Nala mendengus lalu perlahan mengangkat kepalanya. Begitu pun Arsen yang lantas menatap wajah Nala diikuti senyum tipis.

“Sen, makasih ya udah nemenin gue di another tahun terberat dalam hidup gue setelah kita putus.” ucap Nala. “Gue gak tau gue bakal gimana kalau aja kita gak ketemu lagi pas Mas Tristan ninggalin gue. Gue juga gak tau bakal gimana kalau gue gak liat gimana usaha lo buat dapetin gue lagi setelah nunggu lama.”

Arsen mengangguk pelan. Dia pun membelai lembut pipi kiri Nala dengan ibu jarinya sesaat.

“Gue, lo dan siapapun itu, emang gak akan pernah ada yang tau hal apa aja yang bakalan terjadi esok atau lusa.” kata Nala. “Tapi… Gue yakin, selama gue selalu bareng lo kayak gini, gue nggak bakalan ngalamin tahun terberat dalam hidup gue lagi, because it’s you.”

“Lo yang selalu ada buat gue. Lo yang selalu nguatin gue. Dan lo juga yang terbaik buat gue, Sen.”

Arsen menutup mata ketika Nala mengecup bibirnya. Arsen lalu memberikan akses kepada Nala untuk melumat celah ranum itu.

Pagutan yang tercipta di antara mereka tidak didominasi nafsu. Nala dan Arsen sama-sama larut dalam romansa yang berpadu dengan sunyi nan tenangnya malam. Ciuman itu seolah saling menggambarkan perasaan haru di balik dada mereka akan fakta bahwa keduanya kembali bersatu dalam rasa dan harap yang sama.

Mereka hanya ingin tetap saling mencinta dan bersama hingga di hari tua dan maut memisahkan.

Cukup lama saling memadu rasa manis dari celah ranum mereka, Nala lantas menyudahi ciuman itu. Pasalnya, dia merasa bahwa pipinya basah. Padahal, dia tak menitikkan air mata. Sudah jelas bahwa Arsen lah yang menangis.

“Jangan nangiiis,” Nala terkekeh sambil menyeka air mata Arsen.

“Kita belum nikah,” bisik Nala.

Arsen akhirnya tertawa. Dia lalu mendekap erat tubuh Nala dan berkata, “Ya udah. Sekarang lo tidur. Gue juga mau ke kamar.”

Nala mengangguk. Pelukannya dan Arsen pun terlepas setelah mereka puas berbagi kehangatan selama beberapa detik. Nala lalu menutup mata saat Arsen tiba-tiba mengecup lembut dahinya.

“Tidur yang nyenyak ya, Nal.”

“Iya, lo juga.”


Arsen yang semula menyibukkan diri dengan menyirami tanaman di halaman rumah lantas melirik ke arah pagar. Sebab, pagar itu tiba-tiba digeser dan dibuka dari luar. Sampai tak lama setelahnya, Arsen seketika mendapati Nala datang dari luar sana. Nala pun kembali menutup pagar sebelum menghampiri Arsen yang tengah berdiri dan memegangi selang.

“Gue bawain sarapan,” kata Nala.

Arsen memasang raut yang tak menunjukkan ekspresi berarti. Dia pun hanya mengangguk lalu menunjuk ke arah teras rumah dengan dagu sebelum berkata.

“Lo masuk aja dulu, Nal. Ntar gue nyusul. Gue masih belum nyiram semua tanaman,” katanya datar sebelum dia membuang muka ke tanaman, kembali menyiraminya.

Ketika Nala akhirnya berjalan ke arah teras rumah dan perlahan menjauhinya, Arsen diam-diam mencuri pandang. Sampai saat dia melihat Nala meletakkan tas belanja yang dia bawa di teras lalu hendak berbalik ke arahnya, Arsen pun kembali memandangi tanaman yang sedang dia sirami.

Arsen menunggu apa yang akan Nala katakan. Namun, di luar isi kepalanya, mantan pacarnya itu justru tiba-tiba memeluknya dari belakang. Nala menyandarkan pipinya di punggung Arsen lalu bersuara; nyaris seperti bisikan.

“Gue ngerti kok lo takut kalau aja Gavi gak nerima lo karena masih ada Ayahnya yang selalu datang buat dia.” kata Nala. “Tapi di satu sisi, gue nggak mau Gavi ngerasa kalau gue berusaha bikin dia jauh dari Mas Tristan. Apalagi belum lama sejak Ayahnya itu balik lagi.”

“Gue cuma gak pengen timbul pikiran di kepala Gavi kalau gue jahat dengan nggak ngizinin dia buat ketemu sama Mas Tristan.”

“Gue minta maaf kalau ucapan gue ke lo tadi udah nyinggung perasaan lo. Ya?” timpal Nala.

“Gue bakal berusaha buat bikin Gavi nggak ketemu Mas Tristan seintens itu sebelum Gavi bisa terima lo jadi Ayah barunya,” kata Nala. “Gue juga bakalan berusaha ngasih anaknya pengertian kalau Mas Tristan tuh gak bisa sering datang, apalagi kalau sewaktu-waktu Ayahnya udah nikah lagi.”

Arsen menghela napas panjang sebelum menjatuhkan selang air yang dia pegang ke tanah. Arsen kemudian melepaskan pelukan Nala di pinggangnya lalu berbalik dan menatap Nala lamat-lamat.

“Gue juga nggak mau kok Gavi ngerasa dilarang buat ketemu Ayahnya, Nal.” balas Arsen. “Tapi yang gue permasalahin, bisa gak mereka ketemunya gak se-intens itu sebelum gue ngobrol ke Gavi kalau gue pengen jadi Ayahnya?”

“Kalau setiap Gavi butuh sesuatu dan yang dateng masih suami lo, kapan Gavi bisa ngerasa gue juga mau selalu ada buat dia?” tanya Arsen. “Gue tau, gue yang harus berusaha ngeluluhin Gavi, tapi gue juga gak mau Gavi ngerasa kalau gue berusaha ngerebut lo dan ngerebut posisi Ayahnya.”

“Gue pengen Gavi tau kalau dia bisa punya dua Ayah kok tanpa harus ngeliat lo sama Tristan serumah lagi,” Arsen menarik napas dalam-dalam saat merasa dadanya sedikit sesak. “Gue juga minta maaf kalau kesannya gue marah-marah ke lo di WA tadi.”

Arsen lalu mengusap lembut pipi Nala dengan ibu jarinya. “I didn’t mean that. Gue gak mau kita jadi berantem lagi gara-gara itu, Nal.”

Nala mengangguk kecil sebelum mendekap erat tubuh Arsen. Dia menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher sang mantan pacar sambil memejamkan mata dan menghirup aroma tubuh Arsen. Pun sebaliknya. Arsen mendekap tubuh Nalanya tidak kalah erat.

“Lo belum mandi ya?”

Arsen terkekeh, “Mm. Gue bau?”

Nala menggeleng pelan sebelum mendongak, memandang Arsen.

“Lo gak bau, tapi gue bisa bedain wangi alami tubuh lo sama wangi lo kalau udah kena parfum.” kata Nala, sedang Arsen tersenyum.

You’re down so bad, love.”

Nala mendengus lalu memungut selang air yang tadi dijatuhkan Arsen. Setelahnya, Nala seketika mengarahkan selang itu ke arah Arsen dan menyemprotkannya hingga baju sang mantan basah. Sontak Arsen berteriak histeris karena dinginnya air dari sana.

“Nal! Udah!” Arsen tergelak. “Gue udah basah kuyup, Nal. Dingin.”

“Biarin, lagian lo belum mandi kan?” balas Nala santai sambil terus menyemprotkan air ke tubuh Arsen. “Nih, seger kan?”

Mendesis pelan, Arsen lantas merebut selang air itu dari tangan Nala. Dia kemudian membalas perlakuan mantan pacarnya itu hingga kini baju Nala juga telah basah. Mereka pun terus berebutan selang air layaknya anak-anak yang sedang asik bermain. Sampai saat Nala merasa bajunya sudah terlampau basah, dia lantas mengusulkan gencatan senjata. Dia menyerah.

“Sen, udah. Baju gue udah basah banget nih,” decaknya. “Gimana gue pulangnya coba kalau gini?”

“Lo bisa ganti baju pake baju gue, Nal.” sahut Arsen. “Atau kalau lo pengen telanjang di dalam rumah sambil nunggu sampai baju lo itu kering juga gak apa-apa banget.”

“Brengsek,” gumam Nala sebelum kembali menyemprotkan air ke arah Arsen sekali sebelum lelaki berlesung pipi itu menutup kran.


Setelah sama-sama berganti baju dan mengeringkan rambut yang cukup basah, kini Arsen dan Nala telah duduk di meja makan. Nala menyiapkan sarapan yang tadi ia bawa untuk Arsen, sedang Arsen sibuk memandangi Nala dengan tatapan cinta nan memujanya.

“Udah. Nih, makan.” ucap Nala sambil menyodorkan piring ke Arsen. Sontak yang diperlukan demikian refleks tersenyum.

“Gak mau nemenin gue makan?”

“Kan ini udah ditemenin.”

Arsen menipiskan bibirnya lalu mencubit gemas pipi kiri Nala.

“Maksudnya tuh temenin makan. Ya kita sama-sama makan. Bukan gue doang yang makan, terus lo cuma ngeliatin gue makan, Nala.”

Nala pun tersenyum tipis diikuti gelengan kepala. “Nggak, buat lo aja, Sen. Gue udah kenyang kok.”

“Kenyang abis sarapan sama suami ya?” sindir Arsen lalu melahap sandwich dari Nala.

“Lo mau makan apa berantem?”

Arsen menahan tawa. Dia lalu menelan sandwich di mulutnya sebelum mendekatkan wajahnya dengan Nala. Arsen pun berbisik.

“Mau makan lo terus berantem di ranjang, Nal.” seringai Arsen.

“Masih pagi udah sange lo,” kata Nala lalu menoyor kepala Arsen.

Arsen hanya tersenyum sambil memerhatikan Nala yang kini berdiri dan meninggalkan meja makan. Nala berjalan ke arah kulkas sebelum akhirnya dia membuka lemari pendingin itu.

“Udah waktunya lo belanja lagi gak sih, Sen?” Nala menoleh ke Arsen sejenak. “Bahan makanan di kulkas lo udah hampir habis.”

“Mau belanja bareng?” tanya Arsen, sedang Nala nampak berpura-pura berpikir keras.

“Belanja bareng yuk,” ucap Arsen yang seketika mengubah tanya menjadi ajakan. Sontak hal itu membuat Nala terkekeh diikuti anggukan pelan dan senyuman.

“Tapi abis jemput Gavi ya?” usul Nala. “Dia juga mau ketemu lo.”

“Oke!”

Nala menahan senyum melihat ekspresi antusias Arsen sebelum kembali menoleh ke kulkas. Dia kemudian membuka freezer dan mendapati bahwa masih ada dua bungkus ice cream yang tersisa.

Nala pun mengambilnya sebelum menutup kulkas itu dan kembali mendaratkan bokong di samping Arsen yang telah menghabiskan sandwich buatannya. Nala lalu menyodorkan satu bungkus ice cream tadi ke Arsen dan berkata.

“Sisa dua di kulkas. Berarti buat dimakan berdua,” ujarnya yang membuat Arsen tersenyum lalu meraih ice cream pemberiannya.

Kedua anak manusia itu pun perlahan melahap ice cream mereka. Baik itu Arsen maupun Nala sesekali asik saling melirik sebelum sama-sama membuang muka sambil menahan senyum.

Atmosfer di meja makan itu pun seolah membawa mereka pada ingatan belasan tahun silam. Dimana Arsen dan Nala juga kerap memakan ice cream di sekolah sambil bertukar cerita.

“Nal, kalau dipikir-pikir… Genre percintaan kita tuh love and hate relationship banget ya dari dulu.”

“Lo inget gak sih yang pas gue ke ruang seni terus maksa anak-anak teater buat pulang?” kekeh Arsen. “Gara-gara itu lo ngamuk terus mulai gak suka sama gue.”

“Inget lah,” Nala tersenyum tipis. “Gue juga inget pas akhirnya kita mulai damai dan temenan gara-gara gue nolongin lo pas lo lagi dikeroyok sama si geng badung.”

“Mm, pas itu juga gue mulai suka sama elo.” ujar Arsen. “Gue jadi paham kalau lo itu keras di luar, tapi lembut banget di dalam. Dan elo masih gitu sampai sekarang.”

“Gue tau,” Nala senyum meledek. “Nggak lama setelah itu lo malah keluar dari OSIS terus masuk ke teater. Ketahuan banget lo lagi ngincer seseorang dan orang yang selalu lo intilin itu ya gue.”

“Lo juga tau gak, kalau lo nggak cuma bikin gue jatuh cinta sama pribadi lo, tapi juga ke acting?”

Nala mengangguk. “Tau. Gue liat kok gimana waktu itu elo serius banget buat belajar soal acting.”

“Makasih ya, Nal.”

Nala senyum, “Buat apa?”

“Buat semuanya, because you’ve given me everything that makes me happy.” ucap Arsen. “Cinta, impian, kesempatan buat jadi pribadi yang lebih baik, banyak.”

Nala hanya geleng-geleng kepala sambil menahan senyum. Dia lalu meraih gawainya, mengarahkan kamera ke ice cream-nya juga Arsen yang saling bersentuhan hingga terdengar suara jepretan.

“Ngapain sih?” kekeh Arsen.

Nala tidak menjawab. Dia hanya tersenyum tipis sambil melirik sesekali ke Arsen. Tidak lama setelahnya, gawai Arsen lantas berdenting. Saat itu pula dia meraihnya dan mendapati Nala mengirimkan foto itu padanya.

Namun yang membuat Arsen tidak bisa berhenti tersenyum adalah pesan yang ia sematkan.

Nala menulis, “Nala ❤️ Arsen.”

Arsen lalu kembali meletakkan gawainya di atas meja sebelum memusatkan atensinya ke Nala. Perlahan, Arsen mendekatkan wajahnya ke Nala. Mata Arsen pun tertuju ke bibir merah Nala yang seolah merayunya. Namun, belum sempat Arsen menciumi celah ranum itu, Nala telah lebih dulu menahan pergerakannya.

Nala meletakkan ice cream tepat di permukaan bibir Arsen sambil terkekeh kecil sebelum bersuara. “Katanya nunggu new year’s gift.”

Sontak Arsen memundurkan badannya diikuti helaan napas berat. Sementara Nala tertawa.

“Gimana cara gue ngelanjutin hidup sampai malam tahun baru tanpa nyium lo ya,” Arsen mulai dramatis, sama seperti biasanya.

Nala mendengus. Dia lalu meraih tangan kanan Arsen. Diciuminya punggung tangan Arsen sejenak hingga si empu tersenyum tipis.

“Lo aja bisa nunggu gue sampai tujuh tahun, masa nunggu satu bulan aja gak bisa?” ledek Nala.

Lagi, Arsen menghela napas. Wajahnya sudah amat pasrah.

“Kenapa juga ya gue bisa terjebak sama permainan tanpa dicium lo ini, Nal. Belum sehari udah stres.”

Nala menahan tawanya sebelum melanjutkan agenda memakan ice cream. Dia lalu bersandar di bahu Arsen yang masih gusar.

“Sen?”

“Apa?”

“Dengerin baik-baik.”

“Apa yang mau didengerin?”

Nala pun berhenti memakan ice creamnya sejenak. Ia mendongak ke arah Arsen sebelum bersuara.

I love you.”

Arsen pun mati-matian menahan senyum. Dilahapnya ice cream yang masih tersisa dalam sekali suapan saja. Sebab, jika Arsen tak melakukan itu. Sudah pasti saat ini dia telah meciumi Nala rakus.

Nala yang tadinya sudah sedikit lega karena Arsen tidak benar-benar datang beberapa menit sejak chat terakhirnya justru dibuat mendengus. Pasalnya, pintu kamarnya tiba-tiba saja diketuk dari luar. Sudah pasti sosok di luar sana adalah Arsen, pikir Nala sambil bangkit dari ranjangnya. Nala kemudian membuka pintu, namun tidak lebar-lebar. Hanya ada celah untuk satu mata Nala mengintip di sana sampai dia melihat Arsen.

“Lo ngapain, Nal?” Arsen tertawa kecil melihat Nala mengintip dari celah pintu. “Buka pintu lo dulu.”

“Gue tau lo gila, tapi bisa gak, lo gak mikir gila sekarang? Jangan di sini. Jangan sekarang, Arsen.”

“Gue cuma minta lo buka pintu, Nal. Gue mau nunjukin sesuatu.”

“Awas ya kalau lo boongin gue.”

“Enggak. Janji,” kata Arsen.

Nala akhirnya membuka pintu lebar-lebar. Saat itu pula Nala mendapati Arsen yang telah memakai piyama berdiri tepat di hadapannya. Senyum tipis pun merekah di bibir Nala ketika dia menyadari bahwa Arsen tengah memakai sendal karakter sapi darinya. Nala membeli sendal itu sebagai ucapan selamat karena Arsen pindah ke rumah barunya.

Hal lain yang juga mencuri perhatian Nala adalah ketika matanya tertuju pada segelas susu yang Arsen bawa. Nala pun tersenyum lembut saat sang mantan pacar menyodorkan susu itu padanya dan berkata.

“Nih, diminum. Biar lo ngantuk.” kata Arsen. “Jangan begadang.”

“Makasih ya,” ucap Nala setelah meraih susu pemberian Arsen.

“Mhm,” Arsen ikut tersenyum. “Anyway, gimana menurut lo?”

Nala terkekeh melihat kaki kiri Arsen menepuk-nepuk lantai. Membuat karakter sapi pada sendalnya ikut bergerak-gerak.

“Lucu,” puji Nala. “Cocok sama lo yang kalau ngamuk kayak sapi.”

“Emang sapi kalau lagi ngamuk gimana sih?” Arsen penasaran.

“Lo ngaca aja, terus peragain pas lo ngamuk kalau lagi posesif ke gue. Nah, sapi ngamuk kek gitu.”

Kedua anak manusia itu pun sama-sama tertawa kecil. Baik itu Nala maupun Arsen berusaha untuk memelankan suara mereka agar orang lain tidak terbangun.

“Ya udah, gue balik ke kamar ya. Lo minum susu gih, terus bobo.”

Baru saja Arsen hendak berbalik dan meninggalkan area kamar si mantan pacar, Nala justru tiba-tiba mencengkeram piyamanya dengan satu tangan yang tidak memegang segelas susu. Sesaat kemudian, Nala mendongak lalu mengecup lembut bibir Arsen dengan mata yang terpejam.

Kecupan Nala itu lantas bertahan selama beberapa detik sebelum dia beralih menatap Arsen lamat.

Sleep well,” bisik Nala.

Arsen mengangguk kecil. Dia lalu memiringkan wajahnya sebelum menciumi pipi kanan Nala. Arsen kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Nala diikuti bisikan.

“Kalau kita udah nikah nanti, gue bakal nemenin lo tidur di sini. Di kamar kita,” katanya lalu kembali menatap wajah Nala. “Sleep well.”

“Mm, night.”

Good night, love.”

Nala menahan senyum sebelum berbalik lalu masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu. Saat itu pula Nala menyandarkan punggung di daun pintu sambil menatap susu yang dia pegang dengan senyum tipis di bibirnya.

Tak jauh berbeda dengan Arsen yang juga masih berdiri di depan kamar Nala. Lelaki itu pun kini tidak bisa berhenti tersenyum sambil memandangi daun pintu.

Sepulang Bagas dari rumah lama Nala yang sekarang menjadi milik Arsen, dia lantas mampir ke klub. Bagas merasa butuh sedikit efek alkohol untuk mengusir rasa di dadanya yang cukup menganggu.

Meski Bagas sudah mulai belajar untuk menerima kekalahannya atas Arsen, namun dia pun tidak bisa berbohong jika hatinya yang patah masih meninggalkan luka. Alhasil, Bagas yang tidak ingin sakit itu berlarut-larut lantas memilih alkohol sebagai pelarian.

Begitu masuk ke dalam klub dan hendak memesan satu minuman kesukaannya, atensi Bagas justru tertuju kepada seorang pria yang sedang duduk sendirian di sudut keramaian. Alhasil, Bagas lantas menghampirinya lalu duduk di kursi kosong tepat di sebelahnya.

“Jadi ini urusan lo yang tadi lo bilang di rumah Arsen?” tanya Bagas yang sontak membuat lelaki itu menoleh dan kaget.

“Kok lo tau gue ada di sini sih?” tanya Endra yang baru tersadar bahwa ada Bagas di sampingnya.

“Tadinya gue gak tau, tapi pas gue masuk, gue langsung liat lo.”

“Oh,” respon Endra singkat lalu menegak habis alkohol di meja.

“Lo ada masalah apa?”

Endra mendengus pelan diikuti senyum tipis. “Emangnya gue keliatan lagi ada masalah ya?”

“Semua orang yang datang ke club punya masalah,” kata Bagas.

“Gak cuma yang ada di club aja sih sebenarnya. Setiap manusia juga punya masalahnya masing-masing kan?” timpalnya. “Tapi sebagian ada yang memilih ke club buat nyari pelarian sesaat.”

Endra kembali menoleh ke Bagas lalu bertanya. “Lo sendiri lagi ada masalah apa sampai lo ke club?”

“Klasik,” kekeh Bagas. “Gue ke club karena lagi patah hati.”

“Karena Nala udah sama Arsen ya?” Endra tersenyum meledek.

“Kok lo tau sih?”

“Tau lah, keliatan kok kalau lo suka sama Nala.” sahut Endra.

“Tapi lucu juga ya,” timpal Endra. “Alasan gue ke club sama kek lo, terus sekarang kita ketemu gini.”

Bagas menopang kepalanya di atas meja sambil menatap Endra. “Siapa yang bikin lo patah hati?”

“Lo gak perlu tau,” kekeh Endra lalu melihat meja di hadapan si asisten sutradara masih kosong. “Kok lo gak pesen minum, Gas?”

“Mau minum bareng gue?”

Endra menggeleng. “Gue musti pulang. Gue ngantor besok pagi.”

“Lo gak mabuk kan tapi?”

“Gak,” kata Endra. “Gue duluan.”

Endra pun hendak bangkit dari kursi. Namun, kakinya justru tiba-tiba terasa keram hingga dia mendesis. Bagas pun buru-buru berdiri lalu menahan tubuhnya.

“Lo gak apa-apa?”

“Mm, gue gak apa-apa,” Endra melepaskan tangan Bagas dari tubuhnya. “Kaki gue kram tadi.”

“Gue anterin lo pulang ya, Ra?”

“Gak usah.” tolak Endra. “Orang gue gak kenapa-kenapa juga.”

“Lo minum berapa banyak tadi?”

Endra menelan ludah. “Dua.”

“Gelas?” Bagas memicing.

“Botol.”

Menghela napas panjang, Bagas lantas menuntun lengan Endra agar mendarat di atas bahunya.

“Gue anterin.”

“Gue bawa mobil, Gas.”

“Iya, biar gue yang nyetir.”

“Terus mobil lo gimana?”

“Gampang, gak usah dipikirin.”

Endra pasrah. Dia pun mengikuti langkah Bagas yang kini telah menuntunnya keluar dari club.

Usai dibuat kaget karena Gandi membawanya dan Gavi ke rumah lama mereka, kini Nala pun lagi-lagi dibuat terkejut saat di luar mobil sana, dia melihat Arsen berjalan bersama Bi Ayi dan Pak Teja yang notabenenya adalah pekerja di rumah lama Nala dulu. Arsen kemudian menghampiri mobil Gandi lalu membuka pintu untuknya diikuti senyum manis.

“Gavi inget rumah ini gak?”

Gavi mengangguk cepat sebagai jawaban atas pertanyaan Arsen.

“Kalau dua orang yang berdiri di belakang Om Arsen, inget juga?”

“Iya. Bi Ayi sama Pak Teja!” sahut Gavi riang sebelum melambaikan tangannya kepada dua orang itu.

“Bi Ayi sama Pak Teja tuh kangen Papa sama Gavi katanya,” kekeh Arsen. “Samperin mereka gih.”

Gavi kembali mengangguk cepat sebelum buru-buru turun dari mobil Gandi. Nala lalu mengikuti anaknya dan menghampiri Bi Ayi serta Pak Teja dengan raut sedu.

Masih teringat jelas di kepala Nala ketika dirinya harus rela memberhentikan dua pekerjanya itu dengan berat hati setelah dia nyaris kehilangan semua yang dia miliki. Perpisahan mereka di hari terakhir Bi Ayi dan Pak Teja bekerja dulu pun menyesakkan hati Nala karena mereka harus ikut kehilangan pekerjaan, imbas dari perbuatan Tristan ke Nala.

“Bi Ayi,” lirih Nala lalu memeluk si wanita paruh baya sejenak. Ia kemudian kembali memandangi wajah wanita itu lalu bertanya.

“Bi Ayi, apa kabar?”

“Baik, Pak.” mata Bi Ayi tiba-tiba berkaca-kaca. “Pak Nala sehat?”

Nala mengangguk lalu menoleh ke Pak Teja, “Pak Teja gimana?”

“Sehat kan, Pak?” timpalnya.

“Saya juga sehat, Pak.” kata sang satpam. “Saya sama Bi Ayi juga semangat banget dari tadi mau ketemu Pak Nala sama Gavi lagi.”

“Tapi kok Bi Ayi sama Pak Teja bisa ada di sini sih?” tanya Nala, meski dia sudah bisa menebak kalau mungkin Arsen yang diam-diam merencanakan semuanya.

“Sejak saya sama Pak Teja gak kerja sama Pak Nala lagi, Pak Arsen ngasih kami kerjaan, Pak.” jelas Bi Ayi, “Saya sama Pak Teja kerja di rumah kerabatnya Pak Arsen, terus kami juga sesekali disuruh ke sini sama Pak Arsen buat bersih-bersih rumah, Pak.”

“Hari ini saya sama Pak Teja juga disuruh datang lagi, tadinya kami kira buat bersih-bersih, ternyata buat ketemu Bapak sama Gavi.”

Nala melirik Arsen sesaat lalu melukis senyum tipis. Sampai saat Gavi tiba-tiba bersuara, atensi Nala pun seketika beralih ke sang anak yang berceloteh.

“Bi Ayi, Pak Teja, mau temenin Gavi main kayak dulu lagi kan?”

“Baru nyampe udah ngajak main aja ni anak,” kekeh Gandi yang juga telah turun dari mobilnya sambil membawa dua kantong belanjaan. “Bantu Om Gandi bawa ini dulu deh. Inget kata Oma kan tadi? Sampai di rumah Om Arsen, ini dimakan bareng.”

“Itu apa, Nal?” tanya Arsen.

“Mama gak bisa ikut ke sini, jadi semalem dia bikin kue, buat kita makan di sini katanya.” jelas Nala.

“Kalau gitu, Gavi masuk duluan bareng Om Gandi, Bi Ayi sama Pak Teja gih. Udah ada Om Endra juga di dalem.” kata Arsen. “Entar Om Arsen sama Papa nyusul ya.”

“Oke, Om Arsen!” seru Gavi.

Setelah yang tersisa di halaman depan rumah itu hanya mereka berdua, Nala lantas memandangi Arsen lamat dengan mata yang jelas menuntut penjelasan Arsen. Paham akan hal itu, Arsen lantas terkekeh sebelum angkat bicara.

“Orang yang dulu dateng terus beli rumah lo itu, temen Papi.” katanya. “Gue minta tolong sama temen Papi supaya dia aja yang beli ke lo, biar nanti gue bisa beli lagi dari dia tanpa ketahuan elo.”

“Gue tau kalau temen Papi lo itu pengen jual rumah gue lagi ke orang lain, dia sempet bilang waktu itu, tapi gue gak pernah kepikiran kalau orangnya itu lo.” kata Nala. “Ngapain sih lo buang-buang uang buat beli rumah ini?”

Arsen menarik napasnya lalu meletakkan kedua telapak tangannya di atas pundak Nala.

“Karena gue tau, rumah ini tuh banyak nyimpan kenangan lo. Rumah ini juga lo bangun pakai hasil jerih payah lo,” sahut Arsen.

“Kalau gue yang beli kan, gue bisa bawa lo pulang ke sini.”

Arsen menipiskan bibir sejenak. “Gitu juga Bi Ayi sama Pak Teja. Dulu gue mikirnya, lo pasti udah percaya banget sama mereka…”

“Mereka udah kerja bertahun-tahun lamanya di elo. Bahkan mungkin udah kayak keluarga bagi lo,” katanya. “Jadi, gue minta mereka kerja di rumah sodara gue untuk sementara waktu. Seenggaknya sampai kita udah balik ke rumah ini lagi nantinya.”

Too much information sih, tapi gue beli rumah lo minjem uang Papi tau.” katanya. “Dan belum gue lunasin sampai sekarang.”

Nala menghela napas, sementara Arsen terkekeh melihat ekspresi tidak habis pikir si mantan pacar.

“Dan lo dengan percaya dirinya bilang kalau ini rumah kita, ha?” Nala lalu menoyor pelan kepala Arsen. “Gue gak mau ya, nikah sama orang yang punya utang.”

“Berarti sebelum lo tau kalau gue punya utang, lo mau nikah sama gue?” Arsen ikut meledek Nala.

Nala tidak menjawab. Dia hanya menahan senyumnya sebelum memeluk tubuh bongsor Arsen.

“Lunasin utang lo,” bisik Nala.

Arsen refleks tersenyum puas mendengarnya. Sebab, secara tidak langsung Nala telah berkata dia ingin menikah dengan Arsen.


Malam telah tiba, semua menu yang telah dimasak bersama oleh Nala, Arsen, Gandi, Endra dan Bi Ayi pun sudah tertata rapi di atas meja. Sampai tak lama berselang, tamu mereka pun datang. Bagas dan Tristan nyaris sampai dalam kurun waktu yang bersamaan. Arsen sebagai tuan rumah lantas menyambut keduanya, meski tidak dengan sepenuh hati.

Saat mereka semua telah duduk di meja—termasuk Gavi yang justru berada di tengah-tengah Arsen dan Nala—si tuan rumah lalu mempersilahkan tamunya untuk mencicipi hidangan yang ada. Awalnya, suasana di ruang makan itu sangat kaku, namun pada akhirnya Nala mencoba mencairkan hawa yang beku itu.

“Rencana kamu setelah urusan kita selesai nanti gimana, Mas?” tanya Nala pada Tristan. “Kamu pengen jadi manager lagi gak?”

Tristan yang paham dengan pertanyaan Nala tersenyum.

“Aku kayaknya pengen buka usaha aja deh, Nal.” sahutnya. “Lagian, track record aku udah gak baik buat jadi manager lagi.”

“Buka usaha yang modalnya pake uang Nala ya?” celetuk Arsen.

Hal itu lantas membuat Gandi yang duduk di sisi kanan Arsen refleks menginjak kaki si sahabat di bawah meja. Sementara itu, Nala dan Tristan hanya melirik Arsen sesaat sebelum kembali berbagi tatap seperti semula.

“Uang Nala yang gue bawa dulu udah gue balikin kok, Sen.” kata Tristan. “Gue gak bisa pake itu.”

“Bagus deh,” ucap Arsen santai.

Gandi yang diam-diam takut jika saja obrolan sensitif antara Nala, Arsen dan Tristan terus berlanjut lantas berdeham. Dia kemudian berdiri, membuat perhatian dari setiap orang yang berada di meja makan seketika tertuju padanya.

“Gue boleh minta waktunya sedikit gak buat ngomong?”

Nala tersenyum, “Ngomong aja kali. Kita dari tadi juga ngomong.”

“Tapi gue pengen ngomongin hal yang penting bagi gue,” kekeh Gandi. “Jadi gue pengen kalian semua fokus sama gue doang.”

“Lo mau ngomong apa?” tanya Endra yang kepalang penasaran.

Menarik napasnya dalam-dalam, Gandi kembali bersuara. “Gue… Bakalan nikah awal tahun depan.”

“Hah?”

“Hah?”

Arsen dan Nala kompak berseru kaget dengan raut tidak percaya. Pun Endra yang seketika diam.

“Lo lagi becanda kan?” Nala masih enggan untuk percaya.

“Gue serius, Nal.”

“Terus kenapa lo gak pernah ngomong ke gue atau Nala?” Arsen ikut buka suara. “Kok kesannya buru-buru banget?”

Gandi menghela napas melihat ekspresi tidak terima dari dua sahabatnya itu. “Iya, gue minta maaf karena gak pernah bilang.”

“Jadi, sebenernya gue dijodohin sama cewek yang bakalan gue nikahin ini. Tapi dijodohinnya bukan kayak yang harus jadi gitu loh. Gue sama dia dikasih waktu buat saling kenal dulu.” jelasnya.

“Gue sama dia sendiri kenalan udah sejak lo sama Nala mulai syuting series dulu.” kata Gandi.

“Gue mikir buat cerita ke kalian, soalnya masalah lo berdua juga belum kelar.” timpal Gandi. “Jadi gue mutusin buat bilang ke elo berdua pas gue udah yakin mau nikahin dia. Kayak sekarang ini.”

“Kayaknya emang cuma gue yaa yang nganggap lo sahabat, tapi lo gak gitu.” Arsen mulai dramatis.

“Lo nangkep point gue gak sih, Sen?” decak Gandi. “Gue juga pengen kali cerita ke lo berdua, minta saran dari lo berdua, tapi lo berdua aja masih ribet sama urusan hati lo pada. Gue sebagai sahabat kalian kan nggak pengen nambah-nambahin beban pikiran lo. Lagian, gue juga mau ngeliat lo berdua akur lagi. Supaya kalau aja gue nikah nanti kan, gue bisa ngeliat dua sahabat gue ada di sisi gue, gak senggol-senggolan.”

“Om Gandi mau menikah ya?”

Atensi semua orang yang ada di meja makan lantas beralih ke Gavi. Mereka seolah lupa bahwa ada si kecil yang ikut menyimak.

“Iya, Sayang.” jawab Gandi.

“Selamat ya, Om Gandi.”

Para pria dewasa di sekitar Gavi pun seketika terkekeh gemas. Termasuk Gandi yang dengan sigap menghampiri kursi Gavi lalu mencubit pipi anak Nala itu.

“Makasih, Sayang.” Gandi lalu melirik Arsen dan Nala. “Nih, Gavi aja ngucapin selamat.”

Nala tersenyum lalu geleng-geleng kepala. “Iya, iyaa. Gue ngerti maksud lo. Selamat, Di.”

Gandi tersenyum puas. Tristan dan Bagas pun ikut memberinya ucapan selamat setelah Nala. Namun, Nala yang melihat Arsen justru diam saja sambil menatap ke arah lain lantas mengernyit. Nala lalu mengikuti pandangan Arsen, saat itu pula dia tersadar bahwa Arsen menatap Endra.

Dada Nala tiba-tiba terasa amat berat. Dia bahkan nyaris lupa jika Endra diam-diam menyimpan rasa kepada Gandi. Maka sudah pasti kabar pernikahan Gandi ini membuat Endra cukup terpukul.

Makan malam itu pun kembali berlanjut seperti semula dengan Arsen dan Nala yang kini merasa khawatir melihat Endra. Nampak Endra lebih banyak diam, bahkan hingga makan malam itu usai.

Sampai ketika semua orang yang hadir di sana memutuskan untuk berbincang-bincang sejenak di ruang tengah selepas makan malam, Endra justru berpamitan.

“Gue izin cabut duluan ya?” ucap Endra. “Gue ada urusan di luar.”

“Ada urusan apa sih, Ra?” ledek Gandi. “Weekend loh ini. Lo juga lagi nggak kerja jadi manager di lapangan buat artis kantor lo.”

Endra memaksakan senyum. Dia tidak berniat merespon ucapan bernada meledek dari Gandi itu.

“Hati-hati ya, Ra.” ujar Nala.

“Mm,” Endra mengangguk.

“Ayo. Gue anterin ke depan,” kata Arsen lalu meninggalkan ruang tengah bersama Endra di sisinya.

Sesampainya mereka di teras depan rumah, Arsen bersuara.

“Maaf ya, Ra.”

Mata Endra menyipit, “Karena?”

“Karena gue enggak bisa berbuat apa-apa,” ada nada keputusasaan dari suara Arsen. “Seharusnya… Sejak awal, gue bilang ke Gandi kalau lo suka sama dia. Jadi kalau pun dia udah ada rencana buat dijodohin, perasaan lo gak harus sampai berlarut-larut dulu, Ra.”

“Lo lagi ngomong apa sih, Sen?” Endra memaksakan tawa sambil menonjok pelan pundak Arsen.

“Perasaan gue gak se-serius itu kali.” timpalnya. “Lonya aja yang demen ngeledekin gue ama dia.”

“Jangan denial sama apa yang lo rasain,” balas Arsen. “Bukannya sembuh, lo bakal makin sakit.”

Endra mengulum bibirnya lalu membuang muka ke arah lain sejenak. Dia berusaha menahan diri agar tidak menangis meski tenggorokannya kini telah sakit.

“Gue emang lagi patah hati,” kata Endra lalu kembali memandangi Arsen. “Tapi lo gak perlu minta maaf untuk itu, Sen. It’s not your fault. Bukan salah siapa-siapa.”

It hurts, but it will get better soon.” Endra tersenyum. “Udah, gue pulang dulu. Lo masuk gih.”

“Lo hati-hati nyetirnya.”

“Iyaaa.”

Arsen menghela napas panjang melihat Endra telah masuk ke dalam mobilnya sebelum mulai meninggalkan halaman rumah. Namun, baru saja Arsen berbalik dengan maksud ingin kembali ke ruang tengah rumah, dia justru berpapasan dengan Tristan.

“Udah mau pulang juga?”

“Iya.”

“Bagus deh,” cicit Arsen sambil membuang muka ke arah lain.

“Gue boleh ngobrol bentar gak sama lo?” tanya Tristan yang membuat Arsen mendengus.

“Gue nggak punya banyak waktu buat basa-basi, shoot your shot.”

Tristan berdeham pelan sebelum kembali bersuara. “Gue… Minta maaf atas apa yang udah gue lakuin ke lo sama Nala kemarin, sampai-sampai lo jadi ngorbanin karir lo sendiri demi Nala, Sen.”

“Tapi… Dari situ juga gue justru belajar gimana cinta itu bekerja,” timpal Tristan. “Lo bener-bener nunjukin kalau cinta lo ke Nala sebesar dan setulus itu sampai bikin gue ngerasa tertampar.”

“Jadi, sebagai orang yang juga cinta dan sayang banget sama Nala, gue ngelakuin hal yang udah lo lakuin juga.” katanya.

“Gue beraniin diri gue buat mengakui kalau gue salah, supaya nama Nala bersih.”

Arsen tersenyum miring. “Tapi lo tau kan, meskipun lo ngelakuin hal serupa buat nunjukin cinta lo ke dia, tetep gue pemenangnya?”

“Mm, gue tau.” Tristan senyum. “Lo udah menang sejak awal.”

“Lo bisa aja menang kalau gak pergi gitu aja dan nusuk Nala dari belakang dengan nyebarin soal masa lalu gue sama dia,” balas Arsen. “Lo mungkin mikir, gue ini menang dari awal karena Nala belum move on dari gue.”

“Lo salah,” Arsen mendekatkan tubuhnya dengan Tristan. “Gue menang, karena gue gak pernah ninggalin Nala bahkan setelah gue putus sama dia. Gue menang karena gue gak pernah nyerah.”

“Dan gue menang… Karena gue bisa buktiin kalau gue ini pantes dapetin Nala lagi,” seringai Arsen sebelum memundurkan langkah hingga ia kembali ke posisi awal.

“Lo boleh pulang sekarang,” kata Arsen, Tristan pun mengangguk.

Thank you for having me,” ucap Tristan. “Gavi pasti bakal bahagia punya Ayah sambung kayak lo, sama kayak Nala yang bahagia karena jatuh cinta sama lo, Sen.”

Arsen tidak menjawab, dia hanya membiarkan Tristan pergi sambil terus memandangi suami Nala itu hingga mobilnya juga telah meninggalkan halaman. Namun, seperti dejavu, saat Arsen baru saja berbalik dengan niat ingin masuk ke dalam rumah, orang lain justru kembali menghampiri. Kali ini ada Bagas bersama Nala.

“Ngapain lo keluar rumah sama dia?” tanya Arsen agak ketus.

“Bagas juga udah mau pulang,” jawab Nala. “Terus lo gak masuk ke rumah dari tadi. Jadi gue ikut sama Bagas buat nyariin lo, Sen.”

“Ya udah, pulang sana.” Arsen menunjuk jalan dengan dagu.

“Makasih udah ngundang gue buat ikut makan malam, Sen.”

“Gue gak ngundang lo. Nala yang pengen lo dateng,” balas Arsen.

Bagas mengangguk kecil diikuti senyum tipis. Dia lalu menoleh ke arah Nala, “Kalau gitu… Gue masih ada kesempatan kan, Nal?”

“Kesempatan apa, hah?” Arsen menyela dengan raut kesalnya. “Kesempatan buat gue pukul?”

“Jangan harap lo bisa deketin Nala abis ini ya,” timpal Arsen. “Gak ada lagi tuh acara kirim-kirim bunga kalau Nala dapet project. Bakal gue bakar kalau sampai lo berani ngirim lagi.”

“Sen, udah ah.” Nala menengahi.

Bagas terkekeh. “Gue pulang ya, Nal. Kalau elo ada acara makan malam kek gini, undang gue lagi.”

“Brengsek,” gumam Arsen sambil menatap Bagas dengan sorot mata tajam hingga lelaki itu telah masuk ke mobilnya lalu perlahan meninggalkan halaman rumah.

“Udah dibilang jangan emosian.”

“Gimana gue nggak emosi kalau cowok ganjen kayak gitu deketin lo?” balas Arsen. “Gue gak suka.”

“Dia bercanda doang, Sen.” decak Nala. “Dia mau jadi temen lo tau.”

Mulut Arsen setengah terbuka, sedang matanya menatap Nala tidak percaya. “Dan lo pikir gue mau temenan sama orang yang pernah suka sama lo? No way.”

Nala geleng-geleng kepala, tapi sesaat setelahnya, dia seketika dibuat tersenyum kala Arsen tiba-tiba mendekap tubuhnya. Nala pun membalas pelukan itu tidak kalah erat sambil menutup mata dan menghirup wangi sang mantan pacar yang amat ia suka.

“Nal.”

“Mm?”

“Gue jadi ngerasa bersalah sama Endra,” kata Arsen. “Meski dia bilang ini bukan salah gue, but still gue gak enak. Gue nyesel gak ngasih tau Gandi perasaan Endra. Kalau Endra tau dari awal soal perjodohan Gandi, dia gak harus diam-diam berharap, Nal.”

“Apalagi, gue juga kan yang selalu ngejebak mereka supaya ada di tempat yang sama.” timpal Arsen. “Secara gak langsung, gue bikin perasaan si Endra makin dalam.”

Nala mendorong pelan tubuh Arsen. Dia beralih memandangi wajah mantan pacarnya itu lalu membelai pipi Arsen sejenak.

“Endra bener kok, it’s not your fault.” kata Nala. “Bukan salah siapa-siapa juga. Kita semua gak ada yang tau hal ini bakal terjadi dan gak ada yang mau juga kan?”

“Tapi gue yakin kok, everything happens for a reason. Pasti ada alasan kenapa Endra tuh harus ngerasain semua ini,” timpalnya.

“Sama kayak gue yang harus ngerasain sakitnya pas pisah sama lo dulu,” Nala perlahan mengalungkan lengannya di tengkuk Arsen. “Gue yakin, kita bakal terus-terusan mentingin ego kita masing-masing kayak dulu kalau aja kita gak pisah dan belajar dari kesalahan kita, Sen.”

Arsen mengangguk. “Makasih ya, Sayang. Lo emang nggak pernah gagal bikin gue feel much better.”

“Mm,” Nala tersenyum. “Masuk yuk. Gandi pasti udah nunggu.”

“Ayo.”

Nala keluar lebih dulu dari unit apartemennya dan menunggu Arsen di depan pintu. Sampai saat mantan pacarnya itu telah ikut keluar lalu menghampirinya dan berdiri tepat di hadapannya, Nala lantas menatap Arsen lamat beberapa saat sebelum bersuara.

“Dulu… Gue tuh selalu berpikir buat bikin lo ngerasain gimana kalau mimpi lo direnggut, kayak yang pernah lo lakuin ke gue...”

“Tapi sekarang, pas gue udah jadi orang yang ngancurin impian lo, hati gue justru ikut hancur.” lirih Nala, “Dan gue tau persis gimana sakitnya di posisi lo. Kata maaf gak akan bisa ngobatin luka lo.”

Mata Nala berkaca-kaca. “Kalau lo keluar dari industri, gue juga bakal keluar. Cuma dengan cara itu gue bisa bayar kesalahan gue.”

“Terus lo pikir, dengan lo ikutan keluar juga, gue bakal seneng?” Arsen tersenyum miring dengan mata yang telah berkaca-kaca pula, seperti Nala. “Enggak, Nal. Karena gue sayang sama lo dan gue tau gimana perjuangan lo buat ngeraih impian lo dari dulu.”

“Gue juga gak pernah sekalipun berpikir kalau semua ini terjadi karena lo. Justru gue awal dari semuanya. Gue yang khianatin lo sampai lo gak bisa percaya lagi sama gue. Gue yang salah di sini.”

“Lagipula, gue pengen pergi dan ninggalin impian gue karena gue udah nggak punya motivasi apa-apa buat ngeraih impian itu. Gue udah kehilangan lo.” timpal Arsen yang membuat Nala membuang muka sejenak sambil mendongak guna menahan laju air matanya.

“Lo selalu jadi motivasi dari apa yang pengen gue raih, Nal. Tapi kenyataan kalau gue bahkan gak bisa ngeraih lo lagi udah cukup bikin gue sadar kalau impian gue itu udah harus gue lepasin juga.”

“Sekarang, suami lo udah balik. Lo juga udah bisa memperbaiki rumah tangga lo sama dia kayak yang lo bilang ke gue malam itu.”

Arsen memaksakan senyum. “Lo bisa ngelanjutin hidup lo bareng suami yang selalu lo sebut dalam doa lo itu tanpa ngerasa bersalah sama gue. Lo gak salah apa-apa.”

“Meskipun berat bagi gue, tapi gue bakal nyoba buat bahagia ngeliat lo bahagia sama suami lo.”

“…Dan kalau sampai dia nyakitin lo lagi, gue gak akan segan-segan mukulin dia lebih dari kemarin.”

Arsen menepuk pundak Nala, “Lo gak usah mikir buat keluar dari industri juga. Sayang bakat lo.”

“Kenapa sekarang lo nyerah sih?” Nala kemudian tertawa hambar. “Bukannya dulu lo bilang kalau lo juga bakalan bersaing sama Mas Tristan kalau aja dia balik lagi?”

“Ngapain juga gue bersaing sama orang yang udah jelas menang?”

Arsen tersenyum kecut. “Apapun yang dia lakuin bakal selalu baik di mata lo, sementara gue justru sebaliknya. Gue udah jadi orang jahat di kepala lo, Nal. Tapi gue ngerti itu kok. Gue sendiri yang udah bikin lo berpikir gue jahat karena pernah ngekhianatin lo.”

“Lagipula, lo pengen balik sama dia kan? Gue denger lo sama dia ngobrol kok di IGD malam itu.”

Arsen mengulum bibirnya sesaat, “Gue sama sekali gak nyerah, gue cuma nyoba nerima kenyataan kalau gue udah kalah dari dia.”

“Sejauh apa lo dengerin obrolan gue sama Mas Tristan di IGD?”

“Sejak dia sadar sampai kalian pelukan,” Arsen memaksakan senyum. “Malam itu gue juga dikasih pertolongan pertama karena tangan gue luka, tapi ternyata ranjang gue ada di sebelah ranjang si Tristan. Jadi gue gak sengaja nguping loh ya.”

“Kalau lo cuma dengerin sampai di situ, seharusnya lo gak ambil kesimpulan Mas Tristan menang dan lo udah kalah…” sahut Nala.

“Karena setelah itu, Mas Tristan nanya, apa gue beneran pengen balik sama dia dan memperbaiki rumah tangga kita berdua lagi?”

Nala menatap lurus ke dalam netra madu Arsen, “Lo tau gak jawaban gue apa? I said, no…”

“Karena gue punya pikiran buat balik sama Mas Tristan sebelum gue ngeliat usaha lo yang pengen ngeyakinin gue lagi,” kata Nala.

“Dia udah terlambat. Dia datang pas gue udah sadar kalau cinta gue juga udah habis di elo, Sen.”

“Mas Tristan datang ketika gue… Udah belajar buat ngeyakinin diri gue kalau kita bisa bersama lagi.”

“Dan gue nggak mau nyakitin dia lagi dengan nerima raganya, tapi hati gue justru selalu buat lo…”

Nala mengulum bibirnya sejenak.

“Tapi gue juga sepenuhnya sadar kok, kalau gue ini masih punya ketakutan-ketakutan tentang lo yang justru bikin gue nyakitin lo.”

“Kayak kemarin, gue udah bikin lo ngerasa kalau lo itu selalu jadi orang jahat di kepala gue.” tutur Nala. “Padahal, itu ketakutan gue yang gak pengen disakitin terus pisah lagi sama lo, Sen. Gue juga diam-diam nyimpen ketakutan buat nerima kenyataan kalau aja orang kepercayaan gue lagi yang udah bilang ke Mas Tristan soal hubungan kita dulu. Gue takut kepercayaan gue dirusak lagi sama orang yang gue sayang.”

“Tapi ternyata, justru gue sendiri yang ngasih tau Mas Tristan. Gue yang nyebut nama lo dalam tidur gue, sampai-sampai dia tau kalau lo itu masa lalu yang masih gak bisa gue lepasin.” air mata Nala menetes, namun dia berusaha memaksakan senyum tipisnya.

“Gue bener-bener minta maaf soal yang kemarin, Sen.” ucap Nala. “Gue tau lo bukan orang jahat. Gue juga tau lo selalu ada di belakang gue buat bantu gue supaya bisa ngeraih impian gue. Gandi udah ceritain semuanya.”

Nala menyeka air matanya lalu kembali bersuara. “Lo juga gak usah nyalahin diri lo sendiri lagi ya? Gue tau maksud lo dulu baik, bukan buat khianatin gue, cara lo aja yang salah. Tapi gue paham, lo ngelakuin cara itu pun karena lo tau gimana keras kepalanya gue dulu. Kita sama-sama salah.”

Arsen mengangguk paham.

“Makasih ya, Nal.”

“Mm. Makasih juga ya, Sen. Buat semuanya,” sahut Nala amat lirih.

“Masih ada yang pengen lo bilang ke gue?” tanya Arsen, sorot matanya tersirat harap.

“Udah kok,” Nala bersusah payah untuk bersuara, tenggorokannya sudah sakit. “Gue udah selesai.”

“Kalau gitu, gue pulang dulu.”

Lagi, Nala mengangguk. Dia pun memaksakan senyumnya sambil memandangi Arsen yang telah membelakanginya dan perlahan berjalan meninggalkan unitnya.

Tangis Nala pun seketika pecah saat mantan pacarnya itu telah hilang dari pandangannya. Dia yang sebenarnya tidak rela jika harus melihat Arsen pergi justru hanya bisa memendam hasrat itu guna menghargai pilihan Arsen.

Meski begitu, rasa sesak di balik dada Nala justru memaksanya untuk melepas frasa yang tadi belum sempat dia ucapkan pada Arsen. Alhasil, Nala bergegas dan berlari meninggalkan tempatnya menuju lift. Sayangnya, dia tak mendapati Arsen. Pintu lift itu bahkan baru saja terutup ketika Nala sampai di sana. Buru-buru Nala masuk ke lift lain dengan harapan dia masih bisa bertemu dengan si mantan di basement.

Sesampainya di basement, mata Nala kemudian menyapu setiap penjuru tempat itu. Sampai saat dia akhirnya telah menemukan Arsen berjalan ke arah mobilnya, Nala lantas berlari menghampiri.

“Arsen!”

Sang empu nama pun berbalik ke arah Nala dengan tampang kaget sebelum menoleh ke kanan dan kiri. Nampak dia mengantisipasi.

“Kenapa elo ikut ke sini? Kalau ada yang liat gimana?” katanya. “Entar elo diomongin lagi, Nal.”

Sementara itu, Nala dengan sisa tangisnya perlahan mundur lima langkah dari Arsen. Alhasil, kini jarak berdiri mereka cukup jauh.

“Mereka gak bakal ngomongin kita kalau udah sejauh ini kan?”

Arsen menghela napas sambil menatap Nala sedu, “Kenapa?”

Paham akan pertanyaan Arsen, Nala pun menghapus jejak air matanya sejenak lalu bersuara.

“Sen, gue paham apa yang udah gue lakuin ke elo kemarin pasti nyakitin lo banget sampai bikin lo pengen pergi ke Amerika aja.”

“Gue mungkin bakal terdengar gak tau diri kalau ngomong gini, tapi gue bakalan nganggep ini kesempatan gue supaya gue bisa memperbaiki diri gue sebelum lo balik ke sini lagi nanti.” katanya.

“Nanti, pas lo udah balik lagi, gue yang bakal ngejar lo.” kekeh Nala pelan meski air matanya justru kembali mengalir deras di pipi.

“Gue yang bakal berusaha keras yakinin lo buat nerima gue lagi, sama kek yang udah lo lakuin.”

“Gue gak bakalan nyerah selama lo belum nikah sama siapa-siapa, Sen.” kata Nala seolah mengulang apa yang pernah Arsen katakan padanya. “Gue bakal nunggu lo dengan versi terbaik diri gue.”

“Kalau pun lo udah gak sudi buat nerima gue lagi, gue bakal tetep berusaha ngeluluhin hati lo. Gue udah banyak belajar dari yang lo lakuin ke gue.” timpal Nala lirih.

“Dan kalau gue boleh memohon, jangan lepasin impian lo yaa? Lo mungkin butuh istirahat sejenak dari dunia hiburan, tapi jangan pernah berhenti.” pintanya. “Gue tau, elo secinta itu sama acting.”

“Lo juga bisa kok kerja di kantor Papi lo sambil tetep jadi aktor.”

“Gue… Mungkin udah bukan lagi motivasi lo buat ngeraih impian lo itu, tapi gue siap jadi orang yang selalu ada di belakang lo kok, sama kayak yang selama ini udah lo lakuin ke gue,” tuturnya.

“Jaga diri lo di sana ya, Sen. I’ll do the same here.” Nala tersenyum.

Arsen mengulum bibirnya sambil menunduk sejenak. Setelahnya, dia kembali menatap lamat Nala.

“Mm, i got it.” balasnya.

“Kalau gitu, gue cabut sekarang ya. Lo juga balik ke unit lo gih.”

Nala tidak merespon. Dia hanya memandangi Arsen yang kini telah masuk ke dalam mobilnya lalu menyalakan mesinnya. Nala pun perlahan membungkuk. Dia lantas menopang tangan di lutut bersamaan dengan isakan yang lagi-lagi tidak bisa dia bendung.

Tidak lama berselang, jendela mobil Arsen yang tadinya telah tertutup pun kembali terbuka. Arsen lalu menoleh ke arah Nala yang tengah tersedu-tersedu.

“Masih ada lagi yang pengen lo bilang ke gue?” tanya Arsen lagi.

Nala menarik napasnya dalam-dalam lalu menghapus jejak air mata di pipinya. Dia kemudian mendongak ke arah Arsen lalu menegakkan badannya. Tanpa membuang waktu, Nala lantas menghampiri Arsen dan berdiri di samping jendela mobilnya. Ia pun sedikit membungkuk hingga wajahnya dan Arsen yang berada di dalam mobil berakhir sejajar.

“Gue kangen sama lo, Sen.” ucap Nala, suaranya nyaris berbisik.

Setelahnya, Nala lantas menarik pelan tengkuk Arsen dengan satu tangannya sebelum mengecup lembut bibir si mantan pacar. Dia menahan kecupan itu beberapa detik, bersamaan dengan setetes air mata yang mengaliri pipinya.

Merasa tak ada pergerakan dari Arsen, Nala akhirnya menyudahi kecupan itu. Dia lantas kembali memandangi wajah Arsen diikuti senyum tipis sebelum bersuara.

“Hati-hati ya,” ucapnya sebelum kembali menegakkan badan lalu berbalik hingga membelakangi Arsen. Nala kemudian melangkah pelan. Dia menjauhi mobil Arsen dengan tangisnya kembali pecah.

Sampai ketika Nala mendengar suara mesin mobil yang mati dan dentuman pintu kendaraan roda empat di belakangnya sana tiba-tiba menggema, Nala pun refleks menghentikan langkah. Dia lalu berbalik dan mendapati Arsen telah keluar dari mobilnya. Kini Arsen bahkan menghampirinya hingga mereka pun berhadapan.

“Tadi lo bilang kan, kalau lo yang bakal ngejar gue terus berusaha keras buat yakinin gue?” tanya Arsen, “Kenapa elo gak nunjukin usaha lo itu sekarang supaya gue bisa mikir ulang, harus beneran pergi ke Amerika atau enggak?”

“Gue mau liat usaha lo sekarang,” timpal Arsen yang membuat Nala refleks memeluk erat tubuhnya.

Isak tangis Nala mengalun dari celah bibirnya. Kedua lengannya yang melingkar di pinggang sang mantan pacar pun semakin erat, seolah dia tak ingin melepaskan tautan mereka. Namun, di sela-sela isakannya itu, Nala seketika berbisik dengan suara yang lirih.

“Yang gue mau juga cuma lo…”

Arsen memang tidak mendengar kata cinta dari ucapan Nala, tapi dengan Nala mengatakan bahwa dia hanya menginginkan Arsen seolah membalas apa yang dulu Arsen ungkapkan. Arsen selalu memberi tahu Nala bahwa hanya Nala yang dia mau. Arsen merasa ini ialah cara Nala mengutarakan bahwa perasaan mereka sama.

“Beberapa hari terakhir, selama lo gak ada di sini, gue sama Mas Tristan udah nyoba buat ngasih pengertian ke Gavi kalau Ayah sama Papanya bakal cerai.” lanjut Nala yang membuat Arsen lantas menahan napasnya. “Sampai tadi pagi, Mas Tristan akhirnya cerita ke Gavi kalau kita bertiga enggak bakalan serumah lagi setelah ini.”

“Gavi nangis, Sen. Gavi mungkin belum ngerti arti perceraian, tapi dia paham kalau pisah rumah itu bukan kabar yang baik.” ujarnya.

“Terus abis itu, gue ngasih tau Gavi kalau lo bakalan dateng. Dia langsung ceria lagi. Gak nangis lagi,” suara Nala bergetar. “Tapi ternyata, lo juga datang ke sini buat ngasih ucapan perpisahan.”

“Gavi mungkin berpikir, kenapa orang-orang yang dia sayang justru ninggalin dia? Padahal, yang salah gue. Gue yang bikin Gavi ngerasa ditinggalin mulu.”

“Tapi gue cukup tau diri buat gak nahan lo,” timpalnya. “Mungkin ini harga yang harus gue bayar karena udah nyakitin lo sama Mas Tristan. Jadi gue pun harus ngerasain sakit dengan ngelihat anak gue sedih. Gue juga harus ngerasain sakit ngeliat lo pergi.”

Arsen menghela napas sebelum mendorong pelan tubuh Nala hingga dekapannya terlepas. Dia lalu menyeka air mata di kedua pipi Nala lalu menggeleng pelan.

“Gue kan udah pernah bilang ke lo, gue gak pengen ngeliat siapa pun nyakitin lo termasuk diri gue sendiri, Nal. Cukup waktu itu gue bikin elo sakit,” kata Arsen. “Gue gak suka ngeliat lo sakit kek gini.”

Nala pun kembali memeluk erat tubuh Arsen masih dengan air matanya yang enggan berhenti mengalir. Dia kemudian berbisik.

“Jangan pergi, Sen.”

“Gue nunggu lo bilang gini dari tadi,” Arsen terkekeh pelan lalu membalas pelukan Nala tidak kalah erat. Sama seperti Nala, pipi Arsen pun kini telah basah.

“Gue gak mau lo pergi lagi kayak kemarin,” kata Nala lalu terisak.

Arsen mengangguk, “Gue selalu di sini. Gue nggak pernah pergi. Gue gak akan biarin lo nunggu.”

“Maafin gue,” Nala sesenggukan.

“Mhm, gue juga minta maaf ya?”

Arsen mengusap punggung Nala, “Udah, gak usah nangis. Lo bisa demam kalau kelamaan nangis.”

Kedua anak manusia itu saling menyalurkan kehangatan dari pelukan mereka. Nala dan Arsen kemudian sama-sama terdiam hingga hanya sayup-sayup suara isakan yang terdengar di sana.

Persekian detik setelahnya, Nala memundurkan badannya sambil mendongak ke arah Arsen tanpa melepas kedua lengannya dari pinggang si mantan pacar. Nala kemudian memejamkan matanya kala Arsen mengikis jarak wajah mereka lalu menciumi bibirnya.

Kini, Arsen dan Nala lantas saling memagut mesra. Hanya gerakan lembut dan penuh afeksi yang tercipta, tidak ada nafsu di sana.

Keduanya seolah menyampaikan hasratnya, bahwa mereka saling merindukan dan tidak ingin lagi dipisahkan, melalui ciuman itu. Dari ciuman itu pula, baik Arsen maupun Nala seketika lupa akan kehidupan lain di sekitar mereka saking terbawa suasana haru.

“Papa, kenapa Om Arsen lama banget sih? Apa lagi macet ya?”

Celotehan Gavi membuat Nala yang sedari tadi memangku si buah hati di atas sofa ruang tengah lantas tersenyum tipis sebelum mengecup lembut puncak kepala anaknya itu. Sementara Gavi sendiri masih sibuk memegang gawai si Papa di tangannya, dimana sedang terputar satu video dari tokoh kartun yang amat disukainya.

“Mm.” gumam Nala. “Gavi udah gak sabar pengen ketemu ya?”

“Iya,” cebik Gavi. “Gavi kangen banget sama Om Arsen, Papa.”

Nala tersenyum saat anaknya itu mendongak ke arahnya dengan bibirnya yang tiba-tiba manyun.

“Om Arsen beneran mau datang kan, Papa?” Gavi memastikan.

“Iya, Sayang.”

Tak lama berselang, Mama yang berjalan dari arah dapur lantas menghampiri Nala dan Gavi. Ia lalu ikut duduk di sofa sembari meletakkan sepiring buah apel di atas meja sebelum bersuara.

“Gavi, ayo makan buah dulu.”

“Nanti aja ya, Oma. Gavi mau nunggu Om Arsen,” sahut Gavi.

Mama tersenyum maklum diikuti anggukan. Wanita paruh baya itu kemudian memusatkan atensi ke Nala sebelum kembali bersuara.

“Arsen udah di jalan?”

“Gandi bilang udah, Ma. Dia yang nganterin Arsen ke sini soalnya.”

Saat Nala dan Mamanya sedang sibuk berbincang, suara bel unit apartemennya pun menggema. Gavi kemudian buru-buru turun dari pangkuan si Papa sebelum menarik kuat lengan kanan Nala.

“Papa, ayo! Pasti itu Om Arsen.”

Nala mengangguk kecil lalu ikut bangkit dan bergegas ke sumber suara. Saat dia membuka pintu, Nala lantas mendapati si mantan kini telah berdiri di hadapannya dan Gandi yang mendampingi.

“Om Arsen!”

Gavi pun berseru antusias lalu memeluk kaki Arsen. Buru-buru Arsen berjongkok dan membalas pelukan si kecil diikuti kekehan.

“Gavi kangen Om Arsen.”

“Om juga kangen sama Gavi.”

Gavi melepaskan pelukannya lalu beralih memandangi wajah Arsen yang telah menyamai tingginya hingga tatapan mereka bertemu.

“Om Arsen, kenapa gak pernah ke sini sih? Om Arsen juga gak pernah telpon Papa buat bicara sama Gavi. Gavi kan mau cerita kalau Ayah Gavi udah pulang.” kata si kecil, “Gavi juga mau Om Arsen temenin Gavi main lagi.”

Arsen tersenyum tipis sebelum mengusap puncak kepala Gavi.

“Maafin Om Arsen ya, ganteng. Om kemarin-kemarin sibuk, jadi gak sempet dateng atau nelpon.”

Arsen mencubit kedua pipi Gavi saat melihat anak itu mencebik.

“Om janji gak bakalan ngulangin lagi. Kalau Gavi kangen, bilang aja ke Papa buat telpon Om ya?”

“Kalau Gavi mau ketemu Om Arsen, Gavi boleh bilang sama Papa juga kan?” tanya si kecil.

Senyum getir menghiasi bibir Arsen, namun dia tetap berusaha terlihat tenang. Sementara itu, Nala juga Gandi yang sedari tadi diam sambil memerhatikan Gavi dan Arsen lantas berbagi tatapan sejenak sebelum Gandi bersuara.

“Kalau gitu, Gavi ngobrol sama Om Arsen di dalam ya? Nih, liat. Om Gandi bawa oleh-oleh dari Om Arsen. Berat tau,” cebiknya.

Gavi cengar-cengir, “Maaf ya, Om Gandi. Gavi kan gak lihat.”

“Ayo, Sen. Masuk dulu,” ajak Nala yang seketika diamini oleh Arsen.

Mereka lalu berjalan ke ruang tengah dengan Gavi yang berada dalam gendongan Arsen, sedang Nala diam-diam memerhatikan si mantan pacar dari arah belakang.

Sesampainya di tempat tujuan, Mama pun menyambut Arsen dengan senyum. “Kenapa Gavi digendong sama Om Arsen sih?”

“Gak apa-apa, Tante.”

“Ayo duduk, Nak. Tante bikinin minum dulu di dapur,” katanya.

“Gak usah, Tante. Arsen udah begah abis makan sama Gandi. Arsen juga gak bisa lama-lama.”

Mendengar ucapan Arsen lantas membuat Gavi yang kini berada di atas pangkuan pemilik lesung pipi itu mendongak. Nampak dia memasang tampang memelas.

“Om Arsen gak mau temenin Gavi main?” tanya Gavi lirih.

“Kita mainnya besok aja boleh ya, ganteng?” bujuk Arsen. “Om mau ngajakin Gavi ke Timezone, tapi minta izin Papa sama Ayah dulu.”

“Kalau Gavi diizinin, besok Om jemput. Kita puas-puasin main,” timpalnya. “Abis ini Om musti pulang ke rumahnya Papi sama Mami Om dulu soalnya. Mereka juga kangen. Om udah janji mau pulang sebelum malam. Kan janji itu harus ditepatin. Bener kan?”

Gavi mengangguk lemah, sedang Nala seketika bersuara. “Emang sejak nyampe dari Bali tadi, elo gak langsung pulang ke rumah Mami sama Papi lo? Kata Gandi, apartemen lo udah dijual kan?”

“Iya, gue mampir ke rumahnya Gandi dulu pas abis dijemput di bandara. Sekalian nyamperin si Endra pas jam makan siang tadi.”

Nala lalu bergumam pelan, masih sambil memandangi wajah Arsen.

“Di mobil tadi, lo bilang pengen ngomong sesuatu ke gue sama Nala pas kita udah nyampe.” ujar Gandi mengingatkan. “Apa, Sen?”

Arsen berdeham pelan. Raut ragu seketika menghiasi wajahnya.

“Gue… Pengen pamitan sama lo, Nala, Tante juga Gavi.” sahut si pemilik lesung pipi. “Minggu ini gue mau ke Amerika buat lanjut kuliah bisnis sebelum balik lagi ke sini terus kerja di kantor Papi.”

Napas Nala tercekat, tidak jauh berbeda dengan Gandi yang kini menatap Arsen dengan raut tak percaya. Usai memberi jeda pada ucapannya beberapa saat, Arsen lantas kembali melanjutkannya.

“Gue juga sekalian pengen cabut dari dunia hiburan,” kata Arsen sambil berusaha tertawa kecil.

“Om Arsen, Amerika itu di mana? Jauh dari rumah Gavi sama Papa gak?” celetuk Gavi yang seketika membuat Arsen memeluk erat tubuh kecil anak lelaki Nala itu.

“Iya, Sayang. Jauh banget. Kalau mau ke sana musti naik pesawat, bisa sampai sehari semalam baru nyampe.” jelas Arsen. “Nanti, kalo Gavi kangen sama Om Arsen, Om yang bakalan minta izin ke Papa sama Ayahnya Gavi buat ketemu sama Om Arsen di sana. Ya? Om Gandi pasti bisa nemenin Gavi.”

Gavi mendongak lalu menatap Arsen dengan bibir tertekuk ke bawah. Nampak kedua matanya berkaca-kaca dengan sorot sedu.

“Om Arsen, jangan pergi…” lirih Gavi, “Ayah baru pulang, kenapa Om Arsen yang mau pergi lagi?”

“Om ke sana buat sekolah, anak ganteng.” suara Arsen seketika bergetar melihat Gavi menahan tangis. “Nanti Om Arsen bakalan balik lagi kok ke sini. Om janji.”

Gavi mengangguk kecil sebelum memeluk erat tubuh Arsen. Nala sendiri masih terdiam. Dia buang muka ke arah lain dengan bibir yang dia kulum rapat-rapat guna membendung isak tangis yang nyaris terbebas. Sementara itu, Gandi seketika membuka suara.

“Kenapa lo pengen cabut dari industri ini sih, Sen?” tanya si sahabat. “Lo yakin gak, lo udah mikirin ini mateng-mateng?”

“Kalau alasan lo cabut karena lo pikir karir lo udah berakhir, elo salah. Masih banyak yang ada di sisi lo. Masih banyak fans yang nungguin karya lo.” timpal Gandi.

“Lo punya mimpi yang belum lo capai, Sen. Mimpi itu udah ada di depan mata lo. Dikit lagi lo dapet pengakuan yang lo impikan dari dulu. So please, pikirin lagi. Ya?”

Arsen berdeham. Dia kemudian menunduk dan mendapati Gavi diam-diam meneteskan air mata dalam dekapnya. Bahkan Arsen bisa melihat bahu Gavi bergetar.

“Gavi kenapa? Ngantuk ya?” kata Arsen sambil mengusap lengan si kecil. “Apa belum makan nih? Eh, tadi Om ada bawa makanan loh. Coba cek ke dapur bareng Oma.”

Si Mama yang paham akan kode Arsen pun bangkit dan beralih membujuk cucunya untuk ikut ke dapur. Gavi lantas menurutinya meski sesekali menoleh ke Arsen seolah takut pria itu akan pergi tanpa berpamitan lagi padanya.

Usai Gavi dan Mama menghilang di balik tembok pemisah dapur dan ruang tengah, Arsen seketika kembali memusatkan atensi pada Nala dan Gandi. Dia lalu berkata.

“Gue udah mikirin semuanya baik-baik kok, Di. Dan menurut gue, emang udah waktunya gue ngikutin apa kata Papi gue dulu.”

“Gue juga berusaha nerima fakta kalau, ada kalanya sebuah mimpi itu harus dikubur dalam-dalam setelah udah mencoba berkali-kali dan selalu berakhir gagal…”

“Karena apa yang gue harapin itu tuh mungkin bukan jalan yang terbaik buat gue. Jadi… Gue lagi berusaha buat lewatin jalan lain.”

Arsen lalu menatap lurus ke arah Nala yang juga masih enggan ’tuk bertemu pandang dengannya itu.

“Nal…”

Panggil Arsen, tapi Nala masih belum sanggup untuk menoleh.

“Gue udah tau kok kalau Tristan yang nyebarin soal masa lalu kita ke akun gosip itu.” katanya. “Gue juga tau, lo ngerasa punya utang maaf karena lo udah nuduh gue.”

“Lo udah gue maafin, meskipun gue ngerasa kalau lo sebenarnya gak perlu minta maaf ke gue. It all started because of my faults.

Arsen tersenyum miring. “Tapi gue gak bakalan pernah maafin suami lo. Terlepas dari apapun alasannya, yang dia lakuin salah.”

Gandi menghela napas gusar lalu menoleh ke Nala. Sahabatnya itu kini telah memandangi Arsen.

“Gue boleh gak ngomong berdua sama lo di luar, Sen?” pinta Nala.

Arsen mengangguk. “Kalau gitu, gue sekalian pamit ya abis ini.”

“Lo mau di sini aja kan, Di? Apa mau ikut ke rumah Papi gue?” tanya Arsen kepada sahabatnya.

“Gue di sini aja. Entar biar gue minta temen gue yang jemput terus nganterin gue pulang.”

“Ya udah. Kalau gitu, gue mau ke dapur dulu ya, pamit sama Gavi.”

Nala mengangguk lalu bangkit dari sofa. Begitupun Arsen yang seketika melenggang ke dapur. Sejenak, Nala berbagi pandangan dengan Gandi. Sang sahabat pun menggenggam jemari Nala sesaat sebelum kembali bersuara pelan.

“Ini kesempatan lo, Nal.”

“Halo, Mas?”

“Aku udah di depan, Ra.”

“Oke, aku ke depan sekarang.”

Setelah panggilan teleponnya sama Desta berakhir, Wira yang dari tadi udah siap-siap sambil nunggu cowok yang disukainya itu tiba pun pamitan sama Ibu. Wira lalu bergegas ke halaman depan rumah sampai akhirnya dia ngeliat seorang pria dengan jaket driver Yes Jek lagi nunggu.

“Mas?”

Pria yang lagi nunggu itu pun noleh. Saat itu juga tawa Wira langsung meledak. Dia seolah kembali ke ingatan pas Desta nyamar jadi driver Yes Jek dulu.

“Kamu ngapain sih pake jaket driver Yes Jek segala?” tanya Wira pas dia nyamperin Desta.

“Gak apa-apa. Kan aku yang punya Yes Jek sekarang.” kata Desta sebelum masangin helm ke kepala Wira sambil senyum.

“Kamu gak apa-apa naik motor gini ke kantor?” Desta mastiin.

“Gak apa-apa lah, Mas. Sebelum-sebelumnya aku sering naik ojol motor juga kan?” Wira senyum.

“Mas kira, aku udah gengsi buat naik motor karena udah punya mobil?” timpalnya lalu terkekeh.

“Gak sih, tapi baju kamu se-rapi dan se-wangi ini, Ra. Kalau udah nyampe di kantor nanti bakal jadi berantakan, jadi bau asep polusi.” sahut Desta. “Mana tau hari ini ada acara penting di kantor kan.”

“Gak ada kok, Mas.” kekeh Wira. “Acara penting aku hari ini cuma dianterin ke kantor sama kamu.”

Desta nahan senyum. “Jadi kamu rapi sama wangi gini buat aku?”

“Mhm,” gumam Wira.

Baik itu Wira maupun Desta sama-sama mengulum senyum.

“Ya udah, kamu naik sekarang. Entar malah telat,” titah Desta.

Wira menuruti titah Desta. Dia naik dan duduk di belakang laki-laki berlesung pipi itu sebelum motor yang mereka tumpangi melaju. Sejak ninggalin rumah sampai mereka udah ada di jalan raya, Wira gak pernah berhenti senyum. Pasalnya, Desta ngoceh tentang bagaimana galaunya dia pas Wira nge-block nomornya sampai gimana takutnya Desta kalau aja Wira udah punya pacar.

“Aku juga sempet takut kalau aja kamu udah punya pacar, Mas.” kini giliran Wira yang bercerita.

“Aku gak pernah nyesel udah nge-block nomor kamu waktu itu, karena aku lebih nggak tega bikin kamu makin sakit kalau aja aku ngasih harapan palsu.” kata Wira. “Tapi aku bakalan nyesel kalau gak berjuang sekali aja buat nyatain perasaan aku ke kamu.”

“Aku udah punya pacar tau, Ra.”

Wira mendengus sambil nahan senyum, “Aku gak bakal ketipu.”

“Serius. Coba kamu baca tulisan di bagian punggung jaket aku.”

“Apa? Tulisannya Yes Jek doang.”

“Baca lagi, yang gede suaranya. Aku gak denger,” usil Desta.

“Yes Jek!”

Desta ikut teriak. “Apa, Ra?”

“Yes Jek!”

“Kamu mau gak jadi pacar aku?”

“Yes—hah?” Wira nge-lag.

Sesaat setelahnya Wira ketawa.

“Oooh, jadi gini ya caranya? Aku disuruh baca tulisan Yes Jek biar aku jawab Yes Jek juga pas diajak pacaran.” kekehnya lalu semakin memeluk erat pinggang Desta.

“Jadi gimana?” kekeh Desta. “Yes or no? Aku lagi nunggu nih, Ra.”

Wira senyum lembut sebelum mengistirahatkan dagunya di atas pundak Desta lalu berbisik.

“Yes, Jek.”

Setelah tadi puas nangis sambil meluk erat Desta, sekarang Wira udah masuk ke dalam mobilnya. Desta yang tadi ke pemakaman dengan diantar sama supir pun nyuruh supir pribadi Papanya buat pulang, sementara saat ini dia udah siap nyetir buat Wira.

Perlahan, mobil Wira pun melaju ninggalin tempat peristirahatan Ayahnya. Sesekali Wira noleh ke Desta yang lagi fokus nyetir. Dia ngerasa sedikit canggung buat ngajak Desta ngobrol, tapi di satu sisi, Wira juga pengen tau kabar Desta sejak mereka lost contact lima tahun lalu. Alhasil, Wira pun memberanikan diri buat nanya.

“Kamu pulang ke Indonesia sejak kapan, Mas?” Wira penasaran.

“Baru tadi pagi, Ra. Pas Papa aku ngabarin kalau Ayah kamu udah gak ada, jadi aku pulang.” Desta ngelirik ke arah Wira sejenak. “I’m so sorry for your loss ya, Ra.”

Wira ngangguk pelan.

How’s life, Mas?”

“Masih kayak dulu sih,” Desta senyum tipis. “Aku cuma sibuk kerja. Hidup aku monoton, Ra.”

“Oh iya, denger-denger tahun lalu kamu naik jabatan ya?” timpal Desta. “Selamat, Ra.”

“Kamu tau dari mana, Mas?”

“Dari Papa aku,” Desta ngelirik Wira. “Aku nanyain kabar kamu ke Papa sejak kita lost contact.

“Papa kamu tau aku dari mana, Mas?” Wira nautin kedua alisnya.

“Aku cerita ke Papa soal kamu sejak kita ketemu pas aku kabur dulu sampai akhirnya kita lost contact,” kekeh Desta, sedang Wira lantas menghela napas lalu geleng-geleng kepala. “Terus Papa penasaran kan, ya udah aku kasih foto kamu. Abis itu Papa mulai nyari kamu deh di kantor.”

Dengerin Desta ngoceh kayak sekarang bikin kilas balik pas mereka kabur bareng dulu tiba-tiba kembali terbayang di kepala Wira. Desta juga ngoceh via chat soal gimana dia bisa kabur dari si Papa. Dia masih sama, pikir Wira.

“Kamu emang suka TMI ke semua orang ya, Mas.” kekeh Wira. “Ngapain juga kamu ngoceh soal aku ke Papa kamu.”

“Supaya Papa aku tau kalau ada orang yang lagi aku suka,” sahut Desta yang bikin Wira terdiam. “Biar gak ada lagi rencana jodoh-jodohan kayak yang waktu itu.”

“Kamu sendiri gimana, Ra? How’s life?” tanya Desta sambil ngelirik Wira yang seketika berdeham.

“Sama kayak kamu kok, Mas. Aku cuma sibuk kerja.” jawab Wira.

“Mantan kamu yang waktu itu masih gangguin kamu gak?”

Wira mendengus, “Gak kok, Mas. Dia udah punya suami sekarang.”

“Kalau kamu udah punya apa?”

Wira senyum, “Aku punya Ibu.”

“Gak punya pacar kan berarti?”

Pertanyaan Desta bikin jantung Wira kembali ngerasain sensasi kayak lima tahun silam pas dia sama Desta lagi liburan bareng. Wira deg-degan, kakinya lemas.

“Emang kenapa kalau aku gak punya, Mas?” Wira natap Desta.

“Kalau kamu gak punya, siapa tau kamu udah berubah pikiran kalo aja aku nyoba deketin kamu lagi.” kata Desta. “It’s been five years.”

“Emang kamu masih suka aku?”

Desta senyum, “Aku gak mungkin ada di samping kamu kayak gini kalau aku udah gak suka kamu.”

“Aku selalu suka sama kamu, Ra.”

Wira ngulum bibirnya. Dia gak berniat ngerespon perkataan Desta lagi. Bisa-bisa dia salah tingkah kalau Desta udah mulai memborbardir pake kata manis.

Sementara itu, Desta yang liat Wira memilih buat natap ke luar jendela mobil juga ikut diam. Dia gak mau buru-buru. Apalagi Wira masih dalam keadaan berduka.

Sampai gak lama berselang, laju mobil Wira yang dikemudikan Desta pun berhenti di halaman depan rumah lama Wira. Meski saat ini udah cukup banyak yang berubah dari rumah itu, sebab Wira sempat merenovasinya, tapi kenangan pas Desta nganterin Wira pulang pakai Yes Jek masih tersimpan jelas di kepalanya.

“Kamu mau langsing pulang apa mampir dulu, Mas?” tanya Wira.

“Aku langsung pulang aja ya, Ra. Aku ada urusan sama Papa juga abis ini,” sahut Desta. “Kamu masih ada aplikasi Yes Jek gak?”

“Masih, Mas. Mau aku orderin?”

“Iya, Ra.”

“Aku orderin yang taksi ya, Mas. Takut entar bakal hujan deras lagi,” kata Wira sambil natap gawai yang lagi dia genggam.

Desta senyum, “Mhm.”

“Udah aku orderin, titik taksinya juga gak jauh dari sini.” kata Wira lalu kembali noleh ke Desta dan saat itu juga mereka bersitatap.

“Makasih ya, Ra.”

Wira ngangguk diikuti senyum.

“Nomor kamu masih sama, Ra?”

“Masih, Mas.”

Giliran Desta yang ngangguk.

“Taksinya udah Dateng, Mas.” Wira nunjuk mobil di depan mobilnya. “Makasih ya udah nganterin aku pulang, Mas.”

Don’t mention it.” balas Wira. “Kalau gitu, aku pulang dulu.”

“Hati-hati, Mas.”

Desta senyum sebelum buka pintu mobil Wira dan keluar dari sana, tapi bukannya langsung jalan ke taksi yang udah nunggu, Desta justru berbalik ke Wira.

“Nomor aku juga masih sama,” kata Desta sebelum nutup pintu mobil Wira dan melenggang ke taksi yang udah nunggu dari tadi.

Sementara itu, Wira yang lagi merhatiin gimana Desta jalan sampai masuk ke taksi itu pun tersenyum tipis. Dia kemudian natap gawainya, buka WhatsApp sebelum unblock kontak Desta.

Terbangun pada pukul tiga pagi bikin Wira gak bisa tidur lagi. Dia lantas mutusin buat keluar dari kamar dan duduk di tepi kolam renang villa itu. Wira nikmatin hembusan angin yang menerpa wajahnya sampai dia nutup mata.

“Katanya mau bobo.”

Wira dibuat kaget pas dia denger suara Desta. Laki-laki yang lebih tua darinya itu bahkan ngacak-acak pelan rambut Wira sebelum akhirnya ikut duduk di sisinya.

“Aku kebangun, Mas.” sahut Wira. “Mas sendiri kenapa gak tidur?”

“Aku juga kebangun denger pintu kamar kamu kebuka tadi, jadi aku nyariin. Takutnya kamu lagi sakit atau apa kan,” jelas Desta. “Kamu baik-baik aja? Apa kamu laper?”

Ocehan Desta bikin Wira senyum lalu geleng-geleng kepala. “Gak kok, Mas. Aku emang sering gini. Kalau udah kebangun, kadang gak bisa tidur lagi sampai pagi.”

“Kalau kek gitu, biasanya karena pengaruh stress setau aku, Ra.”

“Kamu stress mikirin apa?” tanya Desta. “Kerjaan ya? Apa mantan?”

“Apaan sih, Mas?” kekeh Wira. “Kenapa jadi mantan aku coba?”

“Ya, siapa tau kan?”

“Kayaknya karena kerjaan deh, Mas. Akhir-akhir ini kerjaan aku di kantor banyak soalnya.” curhat Nala. “Mas balik lagi aja ke kamar gih. Aku enggak apa-apa sendiri.”

“Kamu pengen sendiri?”

“Nggak gitu, tapi siapa tau Mas Desta ngantuk. Mau bobo lagi.”

“Aku mau di sini. Sama kamu.”

“Ya udah,” kata Wira sebelum kembali natap kolam renang.

“Ra?”

Wira noleh, “Mm?”

“Tipe cowok yang kamu suka itu kayak gimana sih?” tanya Desta.

“Yang bukan orang kaya.” jawab Wira sambil nahan tawa. Sebab, raut wajah memelas Desta lucu.

“Aku serius, Ra.”

“Aku juga serius, Mas.”

“Ya udah deh. Aku enggak usah nanya lagi,” cebik Desta yang bikin Wira lantas ketawa lantang.

“Aku ngerasa belum cukup punya value yang bisa dibanggain buat disandingkan sama orang kaya.” Wira ngehela napas pelan. “Aku gak mau berakhir kayak Ibu aku, Mas. Ibu dibuang gitu aja karena dianggap gak punya value sama keluarga Ayah, direndahin mulu.”

“Ayah aku persis kayak kamu, dia selalu bilang ke Ibu kalau dia gak peduli sama status sosial.” lanjut Wira. “Tapi pada akhirnya Ayah ninggalin Ibu karena ditentang keluarganya, terus pisah deh.”

“Ayah kamu masih ada, Ra?”

“Masih,” Wira maksain senyum. “Aku juga masih sering liat Ayah kalau dia dateng ke kantor aku.”

“Oh? Ayah kamu orang kantor kamu?” tanya Desta penasaran.

“Bukan, stakeholder doang. Mas tau pemilik RUBY Corp gak? Itu perusahaan milik Papanya Ayah terus sekarang Ayah yang punya saham paling banyak di sana.”

Mata Desta melotot, “Serius?”

“Selama ini aku ngira dia perjaka tua loh, ternyata udah duda tua.”

Wira nyemburin tawanya sambil mukul pelan bahu Desta. “Kamu kenapa jadi julid gini sih, Mas?”

“Aku gak julid, aku beneran gak tau.” kekeh Desta lalu mengusap punggung Wira diikuti senyum.

“Maaf ya aku harus denger cerita pahit itu dari kamu,” ucap Desta.

“Gak apa-apa, Mas. Aku baik-baik aja kok. Aku udah hidup bahagia sama Ibu sekarang.”

“Terus Ayah kamu tau gak kalau kamu kerja di kantor kamu, Ra?”

Wira menggeleng, “Gak. Bahkan tau muka aku aja kayaknya gak.”

“Aku gak pernah ketemu Ayah sebagai anak dan orang tua lagi sejak aku umur sembilan tahun.”

“Ayah juga kayaknya udah nggak peduli. Gak pernah nyari kabar aku sama Ibu atau datengin Ibu.”

Desta ngangguk. Ngeliat sorot mata sedu Wira bikin dia gak berniat banyak tanya lagi soal Ayahnya. Desta lalu kembali ngusap puncak kepala Wira sambil senyum manis. Lesung pipinya pun seketika nampak.

“Ibu kamu hebat banget ya, gak heran kalau anaknya juga hebat.”

“Iya lah,” kekeh Wira.

Keduanya pun saling berbagi tatapan lamat dalam hening beberapa saat. Sampai Wira akhirnya kembali bersuara.

“Makasih ya, Mas.”

“Untuk apa, Ra?”

“Makasih udah dengerin aku.”

Desta ngangguk. “Kalau kamu lagi pengen didengerin, cari aku aja. Aku bisa kok dengerin kamu ngoceh sampai berjam-jam, Ra.”

Wira cuma mendengus sebelum buang pandangannya ke kolam.

“Ra?”

“Mm?”

“Kalau kamu ngerasa udah punya cukup value, bilang sama aku ya? Aku siap maju paling depan buat bersanding sama kamu...” Desta senyum. “Aku nggak tau standar kamu tentang value itu gimana, tapi kalau kamu nanya sama aku, bagi aku, kamu udah punya value tinggi. Kamu baik, pekerja keras, berpendidikan, berani confront, dan penyayang. Itu juga yang bikin aku suka sama kamu, Ra.”

“Tinggal kamu aja yang pengen mencintai dan menghargai high value kamu itu kapan,” katanya.

“Baru kali ini ada yang muji dan bilang aku punya high value loh,” kekeh Wira. “Mas modus ya?”

“Modus apa lagi sih? Aku serius.”

“Bukan karena pengen minta bobo bareng ya?” ledek Wira.

Desta ketawa kecil. “Masih aja.”

Wira senyum tipis sambil natap wajah Desta. Ngeliat Desta lagi ketawa entah kenapa bikin Wira ngerasain sesuatu yang aneh di balik dadanya. Wira juga gak mau menampik kalau Desta beneran ganteng. Apalagi dengan rambut hitamnya yang sesekali dia sisir ke belakang karena ngeganggu matanya. Wira bahkan tiba-tiba ngerasa nyaman di sisi Desta.

Sama seperti Wira yang sibuk natap lamat lelaki yang lebih tua, Desta pun sama. Dia ikut larut ke dalam permainan adu pandang yang bikin jantungnya menggila.

Seolah bisa saling memahami hanya dengan bertukar tatap, baik itu Desta maupun Wira lantas mengikis jarak antara wajah mereka. Sampai pada akhirnya, kedua celah ranum mereka pun bertemu. Desta mengecup lembut bibir manis Wira sebelum berganti menjadi lumatan pelan. Pun Wira yang melakukan hal serupa sembari memejamkan kedua matanya.

Usai cukup puas saling berbagi pagutan mesra, Wira yang lebih dulu menghentikan pergerakan pun berdeham lalu membuang muka ke arah kolam renang. Dia salah tingkah. Desta pun sama. Dia gak bisa lagi natap mata Wira setelah ciuman di antara mereka.

“Udah hampir subuh, Ra.” tutur Desta. “Balik ke kamar kamu gih. Di sini dingin. Entar kamu sakit.”

“Mas juga,” cicit Wira sebelum berdiri. “Aku duluan ya, Mas.”

“Mm,” balas Desta tanpa menoleh ke Wira yang seketika langsung lari terbirit dan masuk ke dalam vila. Desta yang bisa mendengar langkah kaki Wira pun terkekeh pelan sebelum ikut berdiri. Tapi bukannya langsung masuk ke dalam vila seperti Wira, Desta justru loncat-loncat kegirangan sambil berusaha nahan teriakan.