Korban
Sepulang Bagas dari rumah lama Nala yang sekarang menjadi milik Arsen, dia lantas mampir ke klub. Bagas merasa butuh sedikit efek alkohol untuk mengusir rasa di dadanya yang cukup menganggu.
Meski Bagas sudah mulai belajar untuk menerima kekalahannya atas Arsen, namun dia pun tidak bisa berbohong jika hatinya yang patah masih meninggalkan luka. Alhasil, Bagas yang tidak ingin sakit itu berlarut-larut lantas memilih alkohol sebagai pelarian.
Begitu masuk ke dalam klub dan hendak memesan satu minuman kesukaannya, atensi Bagas justru tertuju kepada seorang pria yang sedang duduk sendirian di sudut keramaian. Alhasil, Bagas lantas menghampirinya lalu duduk di kursi kosong tepat di sebelahnya.
“Jadi ini urusan lo yang tadi lo bilang di rumah Arsen?” tanya Bagas yang sontak membuat lelaki itu menoleh dan kaget.
“Kok lo tau gue ada di sini sih?” tanya Endra yang baru tersadar bahwa ada Bagas di sampingnya.
“Tadinya gue gak tau, tapi pas gue masuk, gue langsung liat lo.”
“Oh,” respon Endra singkat lalu menegak habis alkohol di meja.
“Lo ada masalah apa?”
Endra mendengus pelan diikuti senyum tipis. “Emangnya gue keliatan lagi ada masalah ya?”
“Semua orang yang datang ke club punya masalah,” kata Bagas.
“Gak cuma yang ada di club aja sih sebenarnya. Setiap manusia juga punya masalahnya masing-masing kan?” timpalnya. “Tapi sebagian ada yang memilih ke club buat nyari pelarian sesaat.”
Endra kembali menoleh ke Bagas lalu bertanya. “Lo sendiri lagi ada masalah apa sampai lo ke club?”
“Klasik,” kekeh Bagas. “Gue ke club karena lagi patah hati.”
“Karena Nala udah sama Arsen ya?” Endra tersenyum meledek.
“Kok lo tau sih?”
“Tau lah, keliatan kok kalau lo suka sama Nala.” sahut Endra.
“Tapi lucu juga ya,” timpal Endra. “Alasan gue ke club sama kek lo, terus sekarang kita ketemu gini.”
Bagas menopang kepalanya di atas meja sambil menatap Endra. “Siapa yang bikin lo patah hati?”
“Lo gak perlu tau,” kekeh Endra lalu melihat meja di hadapan si asisten sutradara masih kosong. “Kok lo gak pesen minum, Gas?”
“Mau minum bareng gue?”
Endra menggeleng. “Gue musti pulang. Gue ngantor besok pagi.”
“Lo gak mabuk kan tapi?”
“Gak,” kata Endra. “Gue duluan.”
Endra pun hendak bangkit dari kursi. Namun, kakinya justru tiba-tiba terasa keram hingga dia mendesis. Bagas pun buru-buru berdiri lalu menahan tubuhnya.
“Lo gak apa-apa?”
“Mm, gue gak apa-apa,” Endra melepaskan tangan Bagas dari tubuhnya. “Kaki gue kram tadi.”
“Gue anterin lo pulang ya, Ra?”
“Gak usah.” tolak Endra. “Orang gue gak kenapa-kenapa juga.”
“Lo minum berapa banyak tadi?”
Endra menelan ludah. “Dua.”
“Gelas?” Bagas memicing.
“Botol.”
Menghela napas panjang, Bagas lantas menuntun lengan Endra agar mendarat di atas bahunya.
“Gue anterin.”
“Gue bawa mobil, Gas.”
“Iya, biar gue yang nyetir.”
“Terus mobil lo gimana?”
“Gampang, gak usah dipikirin.”
Endra pasrah. Dia pun mengikuti langkah Bagas yang kini telah menuntunnya keluar dari club.