Penting

Usai dibuat kaget karena Gandi membawanya dan Gavi ke rumah lama mereka, kini Nala pun lagi-lagi dibuat terkejut saat di luar mobil sana, dia melihat Arsen berjalan bersama Bi Ayi dan Pak Teja yang notabenenya adalah pekerja di rumah lama Nala dulu. Arsen kemudian menghampiri mobil Gandi lalu membuka pintu untuknya diikuti senyum manis.

“Gavi inget rumah ini gak?”

Gavi mengangguk cepat sebagai jawaban atas pertanyaan Arsen.

“Kalau dua orang yang berdiri di belakang Om Arsen, inget juga?”

“Iya. Bi Ayi sama Pak Teja!” sahut Gavi riang sebelum melambaikan tangannya kepada dua orang itu.

“Bi Ayi sama Pak Teja tuh kangen Papa sama Gavi katanya,” kekeh Arsen. “Samperin mereka gih.”

Gavi kembali mengangguk cepat sebelum buru-buru turun dari mobil Gandi. Nala lalu mengikuti anaknya dan menghampiri Bi Ayi serta Pak Teja dengan raut sedu.

Masih teringat jelas di kepala Nala ketika dirinya harus rela memberhentikan dua pekerjanya itu dengan berat hati setelah dia nyaris kehilangan semua yang dia miliki. Perpisahan mereka di hari terakhir Bi Ayi dan Pak Teja bekerja dulu pun menyesakkan hati Nala karena mereka harus ikut kehilangan pekerjaan, imbas dari perbuatan Tristan ke Nala.

“Bi Ayi,” lirih Nala lalu memeluk si wanita paruh baya sejenak. Ia kemudian kembali memandangi wajah wanita itu lalu bertanya.

“Bi Ayi, apa kabar?”

“Baik, Pak.” mata Bi Ayi tiba-tiba berkaca-kaca. “Pak Nala sehat?”

Nala mengangguk lalu menoleh ke Pak Teja, “Pak Teja gimana?”

“Sehat kan, Pak?” timpalnya.

“Saya juga sehat, Pak.” kata sang satpam. “Saya sama Bi Ayi juga semangat banget dari tadi mau ketemu Pak Nala sama Gavi lagi.”

“Tapi kok Bi Ayi sama Pak Teja bisa ada di sini sih?” tanya Nala, meski dia sudah bisa menebak kalau mungkin Arsen yang diam-diam merencanakan semuanya.

“Sejak saya sama Pak Teja gak kerja sama Pak Nala lagi, Pak Arsen ngasih kami kerjaan, Pak.” jelas Bi Ayi, “Saya sama Pak Teja kerja di rumah kerabatnya Pak Arsen, terus kami juga sesekali disuruh ke sini sama Pak Arsen buat bersih-bersih rumah, Pak.”

“Hari ini saya sama Pak Teja juga disuruh datang lagi, tadinya kami kira buat bersih-bersih, ternyata buat ketemu Bapak sama Gavi.”

Nala melirik Arsen sesaat lalu melukis senyum tipis. Sampai saat Gavi tiba-tiba bersuara, atensi Nala pun seketika beralih ke sang anak yang berceloteh.

“Bi Ayi, Pak Teja, mau temenin Gavi main kayak dulu lagi kan?”

“Baru nyampe udah ngajak main aja ni anak,” kekeh Gandi yang juga telah turun dari mobilnya sambil membawa dua kantong belanjaan. “Bantu Om Gandi bawa ini dulu deh. Inget kata Oma kan tadi? Sampai di rumah Om Arsen, ini dimakan bareng.”

“Itu apa, Nal?” tanya Arsen.

“Mama gak bisa ikut ke sini, jadi semalem dia bikin kue, buat kita makan di sini katanya.” jelas Nala.

“Kalau gitu, Gavi masuk duluan bareng Om Gandi, Bi Ayi sama Pak Teja gih. Udah ada Om Endra juga di dalem.” kata Arsen. “Entar Om Arsen sama Papa nyusul ya.”

“Oke, Om Arsen!” seru Gavi.

Setelah yang tersisa di halaman depan rumah itu hanya mereka berdua, Nala lantas memandangi Arsen lamat dengan mata yang jelas menuntut penjelasan Arsen. Paham akan hal itu, Arsen lantas terkekeh sebelum angkat bicara.

“Orang yang dulu dateng terus beli rumah lo itu, temen Papi.” katanya. “Gue minta tolong sama temen Papi supaya dia aja yang beli ke lo, biar nanti gue bisa beli lagi dari dia tanpa ketahuan elo.”

“Gue tau kalau temen Papi lo itu pengen jual rumah gue lagi ke orang lain, dia sempet bilang waktu itu, tapi gue gak pernah kepikiran kalau orangnya itu lo.” kata Nala. “Ngapain sih lo buang-buang uang buat beli rumah ini?”

Arsen menarik napasnya lalu meletakkan kedua telapak tangannya di atas pundak Nala.

“Karena gue tau, rumah ini tuh banyak nyimpan kenangan lo. Rumah ini juga lo bangun pakai hasil jerih payah lo,” sahut Arsen.

“Kalau gue yang beli kan, gue bisa bawa lo pulang ke sini.”

Arsen menipiskan bibir sejenak. “Gitu juga Bi Ayi sama Pak Teja. Dulu gue mikirnya, lo pasti udah percaya banget sama mereka…”

“Mereka udah kerja bertahun-tahun lamanya di elo. Bahkan mungkin udah kayak keluarga bagi lo,” katanya. “Jadi, gue minta mereka kerja di rumah sodara gue untuk sementara waktu. Seenggaknya sampai kita udah balik ke rumah ini lagi nantinya.”

Too much information sih, tapi gue beli rumah lo minjem uang Papi tau.” katanya. “Dan belum gue lunasin sampai sekarang.”

Nala menghela napas, sementara Arsen terkekeh melihat ekspresi tidak habis pikir si mantan pacar.

“Dan lo dengan percaya dirinya bilang kalau ini rumah kita, ha?” Nala lalu menoyor pelan kepala Arsen. “Gue gak mau ya, nikah sama orang yang punya utang.”

“Berarti sebelum lo tau kalau gue punya utang, lo mau nikah sama gue?” Arsen ikut meledek Nala.

Nala tidak menjawab. Dia hanya menahan senyumnya sebelum memeluk tubuh bongsor Arsen.

“Lunasin utang lo,” bisik Nala.

Arsen refleks tersenyum puas mendengarnya. Sebab, secara tidak langsung Nala telah berkata dia ingin menikah dengan Arsen.


Malam telah tiba, semua menu yang telah dimasak bersama oleh Nala, Arsen, Gandi, Endra dan Bi Ayi pun sudah tertata rapi di atas meja. Sampai tak lama berselang, tamu mereka pun datang. Bagas dan Tristan nyaris sampai dalam kurun waktu yang bersamaan. Arsen sebagai tuan rumah lantas menyambut keduanya, meski tidak dengan sepenuh hati.

Saat mereka semua telah duduk di meja—termasuk Gavi yang justru berada di tengah-tengah Arsen dan Nala—si tuan rumah lalu mempersilahkan tamunya untuk mencicipi hidangan yang ada. Awalnya, suasana di ruang makan itu sangat kaku, namun pada akhirnya Nala mencoba mencairkan hawa yang beku itu.

“Rencana kamu setelah urusan kita selesai nanti gimana, Mas?” tanya Nala pada Tristan. “Kamu pengen jadi manager lagi gak?”

Tristan yang paham dengan pertanyaan Nala tersenyum.

“Aku kayaknya pengen buka usaha aja deh, Nal.” sahutnya. “Lagian, track record aku udah gak baik buat jadi manager lagi.”

“Buka usaha yang modalnya pake uang Nala ya?” celetuk Arsen.

Hal itu lantas membuat Gandi yang duduk di sisi kanan Arsen refleks menginjak kaki si sahabat di bawah meja. Sementara itu, Nala dan Tristan hanya melirik Arsen sesaat sebelum kembali berbagi tatap seperti semula.

“Uang Nala yang gue bawa dulu udah gue balikin kok, Sen.” kata Tristan. “Gue gak bisa pake itu.”

“Bagus deh,” ucap Arsen santai.

Gandi yang diam-diam takut jika saja obrolan sensitif antara Nala, Arsen dan Tristan terus berlanjut lantas berdeham. Dia kemudian berdiri, membuat perhatian dari setiap orang yang berada di meja makan seketika tertuju padanya.

“Gue boleh minta waktunya sedikit gak buat ngomong?”

Nala tersenyum, “Ngomong aja kali. Kita dari tadi juga ngomong.”

“Tapi gue pengen ngomongin hal yang penting bagi gue,” kekeh Gandi. “Jadi gue pengen kalian semua fokus sama gue doang.”

“Lo mau ngomong apa?” tanya Endra yang kepalang penasaran.

Menarik napasnya dalam-dalam, Gandi kembali bersuara. “Gue… Bakalan nikah awal tahun depan.”

“Hah?”

“Hah?”

Arsen dan Nala kompak berseru kaget dengan raut tidak percaya. Pun Endra yang seketika diam.

“Lo lagi becanda kan?” Nala masih enggan untuk percaya.

“Gue serius, Nal.”

“Terus kenapa lo gak pernah ngomong ke gue atau Nala?” Arsen ikut buka suara. “Kok kesannya buru-buru banget?”

Gandi menghela napas melihat ekspresi tidak terima dari dua sahabatnya itu. “Iya, gue minta maaf karena gak pernah bilang.”

“Jadi, sebenernya gue dijodohin sama cewek yang bakalan gue nikahin ini. Tapi dijodohinnya bukan kayak yang harus jadi gitu loh. Gue sama dia dikasih waktu buat saling kenal dulu.” jelasnya.

“Gue sama dia sendiri kenalan udah sejak lo sama Nala mulai syuting series dulu.” kata Gandi.

“Gue mikir buat cerita ke kalian, soalnya masalah lo berdua juga belum kelar.” timpal Gandi. “Jadi gue mutusin buat bilang ke elo berdua pas gue udah yakin mau nikahin dia. Kayak sekarang ini.”

“Kayaknya emang cuma gue yaa yang nganggap lo sahabat, tapi lo gak gitu.” Arsen mulai dramatis.

“Lo nangkep point gue gak sih, Sen?” decak Gandi. “Gue juga pengen kali cerita ke lo berdua, minta saran dari lo berdua, tapi lo berdua aja masih ribet sama urusan hati lo pada. Gue sebagai sahabat kalian kan nggak pengen nambah-nambahin beban pikiran lo. Lagian, gue juga mau ngeliat lo berdua akur lagi. Supaya kalau aja gue nikah nanti kan, gue bisa ngeliat dua sahabat gue ada di sisi gue, gak senggol-senggolan.”

“Om Gandi mau menikah ya?”

Atensi semua orang yang ada di meja makan lantas beralih ke Gavi. Mereka seolah lupa bahwa ada si kecil yang ikut menyimak.

“Iya, Sayang.” jawab Gandi.

“Selamat ya, Om Gandi.”

Para pria dewasa di sekitar Gavi pun seketika terkekeh gemas. Termasuk Gandi yang dengan sigap menghampiri kursi Gavi lalu mencubit pipi anak Nala itu.

“Makasih, Sayang.” Gandi lalu melirik Arsen dan Nala. “Nih, Gavi aja ngucapin selamat.”

Nala tersenyum lalu geleng-geleng kepala. “Iya, iyaa. Gue ngerti maksud lo. Selamat, Di.”

Gandi tersenyum puas. Tristan dan Bagas pun ikut memberinya ucapan selamat setelah Nala. Namun, Nala yang melihat Arsen justru diam saja sambil menatap ke arah lain lantas mengernyit. Nala lalu mengikuti pandangan Arsen, saat itu pula dia tersadar bahwa Arsen menatap Endra.

Dada Nala tiba-tiba terasa amat berat. Dia bahkan nyaris lupa jika Endra diam-diam menyimpan rasa kepada Gandi. Maka sudah pasti kabar pernikahan Gandi ini membuat Endra cukup terpukul.

Makan malam itu pun kembali berlanjut seperti semula dengan Arsen dan Nala yang kini merasa khawatir melihat Endra. Nampak Endra lebih banyak diam, bahkan hingga makan malam itu usai.

Sampai ketika semua orang yang hadir di sana memutuskan untuk berbincang-bincang sejenak di ruang tengah selepas makan malam, Endra justru berpamitan.

“Gue izin cabut duluan ya?” ucap Endra. “Gue ada urusan di luar.”

“Ada urusan apa sih, Ra?” ledek Gandi. “Weekend loh ini. Lo juga lagi nggak kerja jadi manager di lapangan buat artis kantor lo.”

Endra memaksakan senyum. Dia tidak berniat merespon ucapan bernada meledek dari Gandi itu.

“Hati-hati ya, Ra.” ujar Nala.

“Mm,” Endra mengangguk.

“Ayo. Gue anterin ke depan,” kata Arsen lalu meninggalkan ruang tengah bersama Endra di sisinya.

Sesampainya mereka di teras depan rumah, Arsen bersuara.

“Maaf ya, Ra.”

Mata Endra menyipit, “Karena?”

“Karena gue enggak bisa berbuat apa-apa,” ada nada keputusasaan dari suara Arsen. “Seharusnya… Sejak awal, gue bilang ke Gandi kalau lo suka sama dia. Jadi kalau pun dia udah ada rencana buat dijodohin, perasaan lo gak harus sampai berlarut-larut dulu, Ra.”

“Lo lagi ngomong apa sih, Sen?” Endra memaksakan tawa sambil menonjok pelan pundak Arsen.

“Perasaan gue gak se-serius itu kali.” timpalnya. “Lonya aja yang demen ngeledekin gue ama dia.”

“Jangan denial sama apa yang lo rasain,” balas Arsen. “Bukannya sembuh, lo bakal makin sakit.”

Endra mengulum bibirnya lalu membuang muka ke arah lain sejenak. Dia berusaha menahan diri agar tidak menangis meski tenggorokannya kini telah sakit.

“Gue emang lagi patah hati,” kata Endra lalu kembali memandangi Arsen. “Tapi lo gak perlu minta maaf untuk itu, Sen. It’s not your fault. Bukan salah siapa-siapa.”

It hurts, but it will get better soon.” Endra tersenyum. “Udah, gue pulang dulu. Lo masuk gih.”

“Lo hati-hati nyetirnya.”

“Iyaaa.”

Arsen menghela napas panjang melihat Endra telah masuk ke dalam mobilnya sebelum mulai meninggalkan halaman rumah. Namun, baru saja Arsen berbalik dengan maksud ingin kembali ke ruang tengah rumah, dia justru berpapasan dengan Tristan.

“Udah mau pulang juga?”

“Iya.”

“Bagus deh,” cicit Arsen sambil membuang muka ke arah lain.

“Gue boleh ngobrol bentar gak sama lo?” tanya Tristan yang membuat Arsen mendengus.

“Gue nggak punya banyak waktu buat basa-basi, shoot your shot.”

Tristan berdeham pelan sebelum kembali bersuara. “Gue… Minta maaf atas apa yang udah gue lakuin ke lo sama Nala kemarin, sampai-sampai lo jadi ngorbanin karir lo sendiri demi Nala, Sen.”

“Tapi… Dari situ juga gue justru belajar gimana cinta itu bekerja,” timpal Tristan. “Lo bener-bener nunjukin kalau cinta lo ke Nala sebesar dan setulus itu sampai bikin gue ngerasa tertampar.”

“Jadi, sebagai orang yang juga cinta dan sayang banget sama Nala, gue ngelakuin hal yang udah lo lakuin juga.” katanya.

“Gue beraniin diri gue buat mengakui kalau gue salah, supaya nama Nala bersih.”

Arsen tersenyum miring. “Tapi lo tau kan, meskipun lo ngelakuin hal serupa buat nunjukin cinta lo ke dia, tetep gue pemenangnya?”

“Mm, gue tau.” Tristan senyum. “Lo udah menang sejak awal.”

“Lo bisa aja menang kalau gak pergi gitu aja dan nusuk Nala dari belakang dengan nyebarin soal masa lalu gue sama dia,” balas Arsen. “Lo mungkin mikir, gue ini menang dari awal karena Nala belum move on dari gue.”

“Lo salah,” Arsen mendekatkan tubuhnya dengan Tristan. “Gue menang, karena gue gak pernah ninggalin Nala bahkan setelah gue putus sama dia. Gue menang karena gue gak pernah nyerah.”

“Dan gue menang… Karena gue bisa buktiin kalau gue ini pantes dapetin Nala lagi,” seringai Arsen sebelum memundurkan langkah hingga ia kembali ke posisi awal.

“Lo boleh pulang sekarang,” kata Arsen, Tristan pun mengangguk.

Thank you for having me,” ucap Tristan. “Gavi pasti bakal bahagia punya Ayah sambung kayak lo, sama kayak Nala yang bahagia karena jatuh cinta sama lo, Sen.”

Arsen tidak menjawab, dia hanya membiarkan Tristan pergi sambil terus memandangi suami Nala itu hingga mobilnya juga telah meninggalkan halaman. Namun, seperti dejavu, saat Arsen baru saja berbalik dengan niat ingin masuk ke dalam rumah, orang lain justru kembali menghampiri. Kali ini ada Bagas bersama Nala.

“Ngapain lo keluar rumah sama dia?” tanya Arsen agak ketus.

“Bagas juga udah mau pulang,” jawab Nala. “Terus lo gak masuk ke rumah dari tadi. Jadi gue ikut sama Bagas buat nyariin lo, Sen.”

“Ya udah, pulang sana.” Arsen menunjuk jalan dengan dagu.

“Makasih udah ngundang gue buat ikut makan malam, Sen.”

“Gue gak ngundang lo. Nala yang pengen lo dateng,” balas Arsen.

Bagas mengangguk kecil diikuti senyum tipis. Dia lalu menoleh ke arah Nala, “Kalau gitu… Gue masih ada kesempatan kan, Nal?”

“Kesempatan apa, hah?” Arsen menyela dengan raut kesalnya. “Kesempatan buat gue pukul?”

“Jangan harap lo bisa deketin Nala abis ini ya,” timpal Arsen. “Gak ada lagi tuh acara kirim-kirim bunga kalau Nala dapet project. Bakal gue bakar kalau sampai lo berani ngirim lagi.”

“Sen, udah ah.” Nala menengahi.

Bagas terkekeh. “Gue pulang ya, Nal. Kalau elo ada acara makan malam kek gini, undang gue lagi.”

“Brengsek,” gumam Arsen sambil menatap Bagas dengan sorot mata tajam hingga lelaki itu telah masuk ke mobilnya lalu perlahan meninggalkan halaman rumah.

“Udah dibilang jangan emosian.”

“Gimana gue nggak emosi kalau cowok ganjen kayak gitu deketin lo?” balas Arsen. “Gue gak suka.”

“Dia bercanda doang, Sen.” decak Nala. “Dia mau jadi temen lo tau.”

Mulut Arsen setengah terbuka, sedang matanya menatap Nala tidak percaya. “Dan lo pikir gue mau temenan sama orang yang pernah suka sama lo? No way.”

Nala geleng-geleng kepala, tapi sesaat setelahnya, dia seketika dibuat tersenyum kala Arsen tiba-tiba mendekap tubuhnya. Nala pun membalas pelukan itu tidak kalah erat sambil menutup mata dan menghirup wangi sang mantan pacar yang amat ia suka.

“Nal.”

“Mm?”

“Gue jadi ngerasa bersalah sama Endra,” kata Arsen. “Meski dia bilang ini bukan salah gue, but still gue gak enak. Gue nyesel gak ngasih tau Gandi perasaan Endra. Kalau Endra tau dari awal soal perjodohan Gandi, dia gak harus diam-diam berharap, Nal.”

“Apalagi, gue juga kan yang selalu ngejebak mereka supaya ada di tempat yang sama.” timpal Arsen. “Secara gak langsung, gue bikin perasaan si Endra makin dalam.”

Nala mendorong pelan tubuh Arsen. Dia beralih memandangi wajah mantan pacarnya itu lalu membelai pipi Arsen sejenak.

“Endra bener kok, it’s not your fault.” kata Nala. “Bukan salah siapa-siapa juga. Kita semua gak ada yang tau hal ini bakal terjadi dan gak ada yang mau juga kan?”

“Tapi gue yakin kok, everything happens for a reason. Pasti ada alasan kenapa Endra tuh harus ngerasain semua ini,” timpalnya.

“Sama kayak gue yang harus ngerasain sakitnya pas pisah sama lo dulu,” Nala perlahan mengalungkan lengannya di tengkuk Arsen. “Gue yakin, kita bakal terus-terusan mentingin ego kita masing-masing kayak dulu kalau aja kita gak pisah dan belajar dari kesalahan kita, Sen.”

Arsen mengangguk. “Makasih ya, Sayang. Lo emang nggak pernah gagal bikin gue feel much better.”

“Mm,” Nala tersenyum. “Masuk yuk. Gandi pasti udah nunggu.”

“Ayo.”