Ice Cream

Arsen yang semula menyibukkan diri dengan menyirami tanaman di halaman rumah lantas melirik ke arah pagar. Sebab, pagar itu tiba-tiba digeser dan dibuka dari luar. Sampai tak lama setelahnya, Arsen seketika mendapati Nala datang dari luar sana. Nala pun kembali menutup pagar sebelum menghampiri Arsen yang tengah berdiri dan memegangi selang.

“Gue bawain sarapan,” kata Nala.

Arsen memasang raut yang tak menunjukkan ekspresi berarti. Dia pun hanya mengangguk lalu menunjuk ke arah teras rumah dengan dagu sebelum berkata.

“Lo masuk aja dulu, Nal. Ntar gue nyusul. Gue masih belum nyiram semua tanaman,” katanya datar sebelum dia membuang muka ke tanaman, kembali menyiraminya.

Ketika Nala akhirnya berjalan ke arah teras rumah dan perlahan menjauhinya, Arsen diam-diam mencuri pandang. Sampai saat dia melihat Nala meletakkan tas belanja yang dia bawa di teras lalu hendak berbalik ke arahnya, Arsen pun kembali memandangi tanaman yang sedang dia sirami.

Arsen menunggu apa yang akan Nala katakan. Namun, di luar isi kepalanya, mantan pacarnya itu justru tiba-tiba memeluknya dari belakang. Nala menyandarkan pipinya di punggung Arsen lalu bersuara; nyaris seperti bisikan.

“Gue ngerti kok lo takut kalau aja Gavi gak nerima lo karena masih ada Ayahnya yang selalu datang buat dia.” kata Nala. “Tapi di satu sisi, gue nggak mau Gavi ngerasa kalau gue berusaha bikin dia jauh dari Mas Tristan. Apalagi belum lama sejak Ayahnya itu balik lagi.”

“Gue cuma gak pengen timbul pikiran di kepala Gavi kalau gue jahat dengan nggak ngizinin dia buat ketemu sama Mas Tristan.”

“Gue minta maaf kalau ucapan gue ke lo tadi udah nyinggung perasaan lo. Ya?” timpal Nala.

“Gue bakal berusaha buat bikin Gavi nggak ketemu Mas Tristan seintens itu sebelum Gavi bisa terima lo jadi Ayah barunya,” kata Nala. “Gue juga bakalan berusaha ngasih anaknya pengertian kalau Mas Tristan tuh gak bisa sering datang, apalagi kalau sewaktu-waktu Ayahnya udah nikah lagi.”

Arsen menghela napas panjang sebelum menjatuhkan selang air yang dia pegang ke tanah. Arsen kemudian melepaskan pelukan Nala di pinggangnya lalu berbalik dan menatap Nala lamat-lamat.

“Gue juga nggak mau kok Gavi ngerasa dilarang buat ketemu Ayahnya, Nal.” balas Arsen. “Tapi yang gue permasalahin, bisa gak mereka ketemunya gak se-intens itu sebelum gue ngobrol ke Gavi kalau gue pengen jadi Ayahnya?”

“Kalau setiap Gavi butuh sesuatu dan yang dateng masih suami lo, kapan Gavi bisa ngerasa gue juga mau selalu ada buat dia?” tanya Arsen. “Gue tau, gue yang harus berusaha ngeluluhin Gavi, tapi gue juga gak mau Gavi ngerasa kalau gue berusaha ngerebut lo dan ngerebut posisi Ayahnya.”

“Gue pengen Gavi tau kalau dia bisa punya dua Ayah kok tanpa harus ngeliat lo sama Tristan serumah lagi,” Arsen menarik napas dalam-dalam saat merasa dadanya sedikit sesak. “Gue juga minta maaf kalau kesannya gue marah-marah ke lo di WA tadi.”

Arsen lalu mengusap lembut pipi Nala dengan ibu jarinya. “I didn’t mean that. Gue gak mau kita jadi berantem lagi gara-gara itu, Nal.”

Nala mengangguk kecil sebelum mendekap erat tubuh Arsen. Dia menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher sang mantan pacar sambil memejamkan mata dan menghirup aroma tubuh Arsen. Pun sebaliknya. Arsen mendekap tubuh Nalanya tidak kalah erat.

“Lo belum mandi ya?”

Arsen terkekeh, “Mm. Gue bau?”

Nala menggeleng pelan sebelum mendongak, memandang Arsen.

“Lo gak bau, tapi gue bisa bedain wangi alami tubuh lo sama wangi lo kalau udah kena parfum.” kata Nala, sedang Arsen tersenyum.

You’re down so bad, love.”

Nala mendengus lalu memungut selang air yang tadi dijatuhkan Arsen. Setelahnya, Nala seketika mengarahkan selang itu ke arah Arsen dan menyemprotkannya hingga baju sang mantan basah. Sontak Arsen berteriak histeris karena dinginnya air dari sana.

“Nal! Udah!” Arsen tergelak. “Gue udah basah kuyup, Nal. Dingin.”

“Biarin, lagian lo belum mandi kan?” balas Nala santai sambil terus menyemprotkan air ke tubuh Arsen. “Nih, seger kan?”

Mendesis pelan, Arsen lantas merebut selang air itu dari tangan Nala. Dia kemudian membalas perlakuan mantan pacarnya itu hingga kini baju Nala juga telah basah. Mereka pun terus berebutan selang air layaknya anak-anak yang sedang asik bermain. Sampai saat Nala merasa bajunya sudah terlampau basah, dia lantas mengusulkan gencatan senjata. Dia menyerah.

“Sen, udah. Baju gue udah basah banget nih,” decaknya. “Gimana gue pulangnya coba kalau gini?”

“Lo bisa ganti baju pake baju gue, Nal.” sahut Arsen. “Atau kalau lo pengen telanjang di dalam rumah sambil nunggu sampai baju lo itu kering juga gak apa-apa banget.”

“Brengsek,” gumam Nala sebelum kembali menyemprotkan air ke arah Arsen sekali sebelum lelaki berlesung pipi itu menutup kran.


Setelah sama-sama berganti baju dan mengeringkan rambut yang cukup basah, kini Arsen dan Nala telah duduk di meja makan. Nala menyiapkan sarapan yang tadi ia bawa untuk Arsen, sedang Arsen sibuk memandangi Nala dengan tatapan cinta nan memujanya.

“Udah. Nih, makan.” ucap Nala sambil menyodorkan piring ke Arsen. Sontak yang diperlukan demikian refleks tersenyum.

“Gak mau nemenin gue makan?”

“Kan ini udah ditemenin.”

Arsen menipiskan bibirnya lalu mencubit gemas pipi kiri Nala.

“Maksudnya tuh temenin makan. Ya kita sama-sama makan. Bukan gue doang yang makan, terus lo cuma ngeliatin gue makan, Nala.”

Nala pun tersenyum tipis diikuti gelengan kepala. “Nggak, buat lo aja, Sen. Gue udah kenyang kok.”

“Kenyang abis sarapan sama suami ya?” sindir Arsen lalu melahap sandwich dari Nala.

“Lo mau makan apa berantem?”

Arsen menahan tawa. Dia lalu menelan sandwich di mulutnya sebelum mendekatkan wajahnya dengan Nala. Arsen pun berbisik.

“Mau makan lo terus berantem di ranjang, Nal.” seringai Arsen.

“Masih pagi udah sange lo,” kata Nala lalu menoyor kepala Arsen.

Arsen hanya tersenyum sambil memerhatikan Nala yang kini berdiri dan meninggalkan meja makan. Nala berjalan ke arah kulkas sebelum akhirnya dia membuka lemari pendingin itu.

“Udah waktunya lo belanja lagi gak sih, Sen?” Nala menoleh ke Arsen sejenak. “Bahan makanan di kulkas lo udah hampir habis.”

“Mau belanja bareng?” tanya Arsen, sedang Nala nampak berpura-pura berpikir keras.

“Belanja bareng yuk,” ucap Arsen yang seketika mengubah tanya menjadi ajakan. Sontak hal itu membuat Nala terkekeh diikuti anggukan pelan dan senyuman.

“Tapi abis jemput Gavi ya?” usul Nala. “Dia juga mau ketemu lo.”

“Oke!”

Nala menahan senyum melihat ekspresi antusias Arsen sebelum kembali menoleh ke kulkas. Dia kemudian membuka freezer dan mendapati bahwa masih ada dua bungkus ice cream yang tersisa.

Nala pun mengambilnya sebelum menutup kulkas itu dan kembali mendaratkan bokong di samping Arsen yang telah menghabiskan sandwich buatannya. Nala lalu menyodorkan satu bungkus ice cream tadi ke Arsen dan berkata.

“Sisa dua di kulkas. Berarti buat dimakan berdua,” ujarnya yang membuat Arsen tersenyum lalu meraih ice cream pemberiannya.

Kedua anak manusia itu pun perlahan melahap ice cream mereka. Baik itu Arsen maupun Nala sesekali asik saling melirik sebelum sama-sama membuang muka sambil menahan senyum.

Atmosfer di meja makan itu pun seolah membawa mereka pada ingatan belasan tahun silam. Dimana Arsen dan Nala juga kerap memakan ice cream di sekolah sambil bertukar cerita.

“Nal, kalau dipikir-pikir… Genre percintaan kita tuh love and hate relationship banget ya dari dulu.”

“Lo inget gak sih yang pas gue ke ruang seni terus maksa anak-anak teater buat pulang?” kekeh Arsen. “Gara-gara itu lo ngamuk terus mulai gak suka sama gue.”

“Inget lah,” Nala tersenyum tipis. “Gue juga inget pas akhirnya kita mulai damai dan temenan gara-gara gue nolongin lo pas lo lagi dikeroyok sama si geng badung.”

“Mm, pas itu juga gue mulai suka sama elo.” ujar Arsen. “Gue jadi paham kalau lo itu keras di luar, tapi lembut banget di dalam. Dan elo masih gitu sampai sekarang.”

“Gue tau,” Nala senyum meledek. “Nggak lama setelah itu lo malah keluar dari OSIS terus masuk ke teater. Ketahuan banget lo lagi ngincer seseorang dan orang yang selalu lo intilin itu ya gue.”

“Lo juga tau gak, kalau lo nggak cuma bikin gue jatuh cinta sama pribadi lo, tapi juga ke acting?”

Nala mengangguk. “Tau. Gue liat kok gimana waktu itu elo serius banget buat belajar soal acting.”

“Makasih ya, Nal.”

Nala senyum, “Buat apa?”

“Buat semuanya, because you’ve given me everything that makes me happy.” ucap Arsen. “Cinta, impian, kesempatan buat jadi pribadi yang lebih baik, banyak.”

Nala hanya geleng-geleng kepala sambil menahan senyum. Dia lalu meraih gawainya, mengarahkan kamera ke ice cream-nya juga Arsen yang saling bersentuhan hingga terdengar suara jepretan.

“Ngapain sih?” kekeh Arsen.

Nala tidak menjawab. Dia hanya tersenyum tipis sambil melirik sesekali ke Arsen. Tidak lama setelahnya, gawai Arsen lantas berdenting. Saat itu pula dia meraihnya dan mendapati Nala mengirimkan foto itu padanya.

Namun yang membuat Arsen tidak bisa berhenti tersenyum adalah pesan yang ia sematkan.

Nala menulis, “Nala ❤️ Arsen.”

Arsen lalu kembali meletakkan gawainya di atas meja sebelum memusatkan atensinya ke Nala. Perlahan, Arsen mendekatkan wajahnya ke Nala. Mata Arsen pun tertuju ke bibir merah Nala yang seolah merayunya. Namun, belum sempat Arsen menciumi celah ranum itu, Nala telah lebih dulu menahan pergerakannya.

Nala meletakkan ice cream tepat di permukaan bibir Arsen sambil terkekeh kecil sebelum bersuara. “Katanya nunggu new year’s gift.”

Sontak Arsen memundurkan badannya diikuti helaan napas berat. Sementara Nala tertawa.

“Gimana cara gue ngelanjutin hidup sampai malam tahun baru tanpa nyium lo ya,” Arsen mulai dramatis, sama seperti biasanya.

Nala mendengus. Dia lalu meraih tangan kanan Arsen. Diciuminya punggung tangan Arsen sejenak hingga si empu tersenyum tipis.

“Lo aja bisa nunggu gue sampai tujuh tahun, masa nunggu satu bulan aja gak bisa?” ledek Nala.

Lagi, Arsen menghela napas. Wajahnya sudah amat pasrah.

“Kenapa juga ya gue bisa terjebak sama permainan tanpa dicium lo ini, Nal. Belum sehari udah stres.”

Nala menahan tawanya sebelum melanjutkan agenda memakan ice cream. Dia lalu bersandar di bahu Arsen yang masih gusar.

“Sen?”

“Apa?”

“Dengerin baik-baik.”

“Apa yang mau didengerin?”

Nala pun berhenti memakan ice creamnya sejenak. Ia mendongak ke arah Arsen sebelum bersuara.

I love you.”

Arsen pun mati-matian menahan senyum. Dilahapnya ice cream yang masih tersisa dalam sekali suapan saja. Sebab, jika Arsen tak melakukan itu. Sudah pasti saat ini dia telah meciumi Nala rakus.