Adu Domba

Dalam perjalanannya pulang ke rumah setelah tadi mengunjungi kediaman Gandi, kini Gavi lantas terlelap. Sedang paha Nala—yang duduk di sebelah kanan si kecil—menjadi bantal bagi kepala Gavi.

Sampai tidak lama berselang, mobil yang dikemudikan Gandi pun berhenti melaju tepat di halaman rumah Nala dan Arsen. Gandi kemudian balik badan ke arah Nala dan Gavi yang duduk di jok belakang sambil bertanya.

“Anaknya mau lo bangunin, Nal?”

“Gak, Di. Gavi biar langsung gue gendong aja masuk ke rumah.”

“Ya udah, biar gue aja yang gendong Gavi.” tawar Gandi.

“Gak usah,” tolak Nala dengan senyum. “Lo langsung balik aja, kasian istri lo sendiri di rumah.”

“Gue gak enak loh, Nal. Udah lah gue bawa lo sama Gavi ke rumah gue karena Erika ngidam, masa abis ini gue langsung pulang aja?”

“Kita udah temenan berapa lama sih, Di? Lo nih ngomongnya udah kek orang lain aja,” dengus Nala. “Gue masuk dulu ya, lo hati-hati pulangnya. See you besok ya, Di.”

“Oke,” pasrah Gandi. “Makasih ya udah bantu gue nurutin maunya Erika. Ngerepotin banget gue.”

“Besok giliran lo yang gue bikin repot di lokasi, tenang aja.” kata Nala diikuti kekehan sebelum ia keluar dari mobil si manager dan berjalan masuk ke dalam rumah dengan Gavi dalam gendongan.

Sesampainya di ruang tamu, Nala justru dibuat terkejut ketika dia mendapati Arsen sedang duduk berhadapan dengan Ronald pada dua sofa berbeda. Sementara itu, sang suami yang telah menyadari kedatangannya lantas berdiri dan dengan sigap menghampiri Nala.

“Gavi udah bobo, Pa?”

“Mm, ini mau langsung aku bawa ke kamarnya.” sahut Nala sambil melirik sekilas ke arah Ronald.

“Sini, Sayang. Biar aku yang bawa Gavi ke kamar,” kata Arsen lalu mengambil alih Gavi ke dalam gendongannya. Dia kemudian berjalan melewati sofa; tak lupa pula berpamitan dengan Ronald untuk membawa Gavi ke kamar.

Nala yang diam-diam sudah kepalang kesal sendiri hanya berjalan di samping suaminya tanpa menoleh atau menyapa Ronald lagi. Sampai saat mereka sudah cukup jauh dari ruang tamu, Arsen yang sudah bisa menebak isi kepala Nala dari raut wajahnya lantas membuka suara.

“Aku gak ngundang dia ke rumah loh, Pa.” katanya, “Tadi pas aku lagi meeting sama anak-anak di studio, dia tiba-tiba dateng. Gak bilang-bilang atau ngechat dulu.”

“Kok dia tau kamu di rumah?”

“Tadi pas nolak ajakan ngopi dia, aku bilang kalau aku ada meeting sama tim.” Arsen lalu masuk ke kamar Gavi saat Nala membuka pintu untuknya, setelahnya dia melanjutkan ucapannya. “Dia datang buat ngajakin aku bikin konten podcast bareng lagi sih.”

“Terus kamu iyain?” tanya Nala dengan kedua lengan yang dia lipat sambil memandangi Arsen yang kini meletakkan tubuh kecil Gavi di atas tempat tidurnya.

“Aku bilang gak bisa, soalnya aku udah banyak schedule juga kan.”

Nala menghela napasnya gusar. Namun, baru saja Nala hendak kembali bersuara, Gavi tiba-tiba bergumam lirih dengan matanya yang masih tertutup rapat.

“Papa… Ayah…”

“Gavi kenapa, Sayang?” Arsen yang lebih dahulu menyahut. “Ayah sama Papa di sini, Nak.”

Gavi perlahan membuka kedua matanya meski tak sepenuhnya. “Ayah, Gavi haus. Gavi mau susu.”

“Oke, Ayah bikinin dulu ya?”

Gavi mengangguk, tapi sebelum Arsen beranjak dari posisinya yang semula duduk di tepi tempat tidur sang anak, Nala lebih dahulu menahan Arsen.

“Jangan, biar aku aja yang bikinin susu buat Gavi. Sekalian aku mau bilang ke Bang Ronald itu kalau kamu musti nemenin anak kamu sampai bobo lagi.” ujar Nala agak kesal, “Dia gak tau waktu banget tau gak? Udah malam banget loh, tapi dia belum pulang. Kamu juga udah nolak ajakan dia tadi kan?”

“Udah, Sayang.”

“Ya udah, kamu diem aja di sini. Temenin Gavi,” titah Nala lalu keluar dari kamar sang anak.

Nala kemudian turun dari lantai dua ke lantai dasar sebelum dia melanjutkan langkah ke ruang tamu. Dan benar saja, Ronald masih ada di sana. Alhasil, Nala lantas menghampiri lelaki itu.

“Bang, maaf ya. Bang Ronald jadi nungguin Arsen sendiri,” katanya. “Arsen lagi nemenin anaknya di kamar. Gavi kebangun, mana dia kalau udah ngelihat Ayahnya gak bakalan ngizinin Arsen jauh-jauh sebelum dia bobo lagi soalnya.”

“Kalau masih ada yang mau Bang Ronald bicarain sama suami aku, mungkin bisa di waktu lain. Pas Arsennya lagi luang.” Nala secara tidak langsung mengusir Ronald.

“Kalau kita aja yang ngobrol mau gak, Nal?” Ronald senyum tipis dan nyaris menyerupai seringai.

“Maaf ya, Bang. Aku juga gak bisa lama-lama. Aku bisa turun ke sini karena pengen bikin susu doang buat anaknya. Entar aku dicariin.”

Ronald mengangguk lalu berdiri dari sofa. Dia kemudian berjalan menghampiri Nala dan tiba-tiba mengusap bahu kiri Nala. Sontak Nala refleks menghindar dengan raut wajah tidak nyaman. Namun Ronald justru terkekeh seolah tak terjadi apa-apa. “Kalau gitu aku pulang ya, Nal. Eh iya, kamu rajin-rajin ikut ngopi bareng aku sama Arsen dong. Kalau suami kamu ngelirik cowok lain di cafe, aku gak tanggung jawab loh ya.”

Nala menatap Ronald tidak suka, “Suami aku gak kayak gitu, Bang.”

“Kamu jangan naif dong, Nal. Aku udah pernah liat Arsen senyumin cowok lain di cafe loh, tapi waktu itu langsung kuingetin kalau dia udah punya kamu. Cuman nggak tau ya, dia dengerin aku apa gak. Makanya kamu harus ikut, Nal.”

Nala menghela napas pelan, “Aku musti bikinin susu buat anak aku. Dia pasti nunggu. Permisi, Bang.”

Tanpa mendengar respon lelaki itu, Nala lantas berjalan ke arah dapur. Di sana, dia pun bertemu dengan si asisten rumah tangga yang sedang sibuk mengepel.

“Loh, Bi Ayi kok belum tidur?”

“Saya mau beresin ini dulu, Pak.”

“Gak usah, dilanjutin besok pagi aja. Bi Ayi, tolong kasih tau Pak Teja buat ngunci pager ya. Bibi juga tolong kunci pintu utama.”

“Sekarang, Pak?”

“Iya, sekarang.”

“Baik, Pak.”

Sepeninggal Bi Ayi, Nala seketika bergegas membuat susu formula untuk Gavi. Setelahnya, dia pun kembali ke kamar si anak dengan sebotol susu di tangan kanannya. Sesampainya di tempat tujuan, Nala kemudian memberikan susu formula itu pada Gavi yang telah setengah tertidur. Sementara itu, Arsen yang menyadari raut wajah Nala terlihat sepat pun bertanya.

“Ada apa, cintaku? Kok mukanya cemberut gitu, hm?” katanya.

“Si Ronald Ronald itu ngasih tau aku supaya aku rajin ikut ngopi bareng kalian berdua, katanya biar kamu gak ngelirik cowok lain.” dengus Nala lalu menatap Arsen tajam. “Emang bener ya, kamu kalau ke cafe suka caper, senyumin cowok lain di sana?”

“Wah udah enggak bener nih si Ronald,” Arsen lantas ikut kesal. “Padahal kalau dia ngajakin aku ngopi, dia tuh bilang supaya aku ajakin kamu juga. Katanya biar kamu bisa aku awasin tau, Nal. Takut kamu cari cowok lain kalau aku nongki gak ngajakin kamu. Tapi aku jawab, kamu gak bakal gitu. Aku kan tau kamu gimana.”

“Aku juga ngapain deh caper di cafe?” timpal Arsen, “Gak caper pun, aku pasti bakal jadi pusat perhatian. Kan aku artis. Kamu juga kalau ke cafe pasti senyum kan kalau disapa sama fans kita?”

“Aku emang senyum, tapi aku tuh cuma senyumin fans yang nyapa. Bukan karena ganjen,” jelasnya. “Dia kira aku semurahan itu apa, buat caper sama cowok random di cafe? Dia gak pernah baca apa ya, gimana perjuangan aku buat dapetin kamu lagi waktu itu, Pa?”

“Ya kan mana tau aja hati kamu udah berubah, Yah.” kata Nala.

“Kamu gak percaya aku, Nal?”

Nala menatap kedua bola mata suaminya lamat-lamat, “Aku gak mungkin percaya sama omongan Ronald, apalagi tanpa bukti. Tapi kan gak menutup kemungkinan kalau suatu saat kamu berubah.”

“Gak. Gak bakalan,” tegas Arsen. “Aku cuma pengen kamu. Titik.”

Nala tersenyum tipis sebelum mendekap erat tubuh suaminya. Pun Arsen yang dengan sigap membalas dekapan Nala tidak kalah erat. Arsen pun diam-diam berpikir tentang apa maksud dan tujuan Ronald yang terkesan mau mengadu domba dia dan Nala.

“Firasat kamu emang gak pernah salah ya, Nal.” gumam Arsen lalu beralih menangkup wajah Nala. “Kamu udah ngelarang aku buat sering-sering ketemu sama dia, karena kamu ngerasa ada yang aneh sama dia. Ternyata bener, dia kesannya malah pengen adu domba kita berdua nggak sih?”

“Asal kamu tau ya, dia juga main nyentuh aku sembarangan tadi. Segala pake ngusap-usap bahu aku pas pamit pulang. Aku gak nyaman banget,” kata Nala yang membuat wajah Arsen memerah.

“Aku harus ngasih dia pelajaran,” gumam Arsen dengan rahangnya yang mengeras, pun tangannya dia kepalkan saking emosinya.

Namun, Nala dengan amat sigap menenangkan si suami dengan meraih tangan Arsen . Nala lalu menggenggam erat tangan sang suami sambil sesekali mengusap punggung tangan Arsen dengan ibu jarinya. “Jangan. Aku gak mau kamu mukulin orang. Sekarang kamu ngerti maksud aku kan?”

“Jadi mulai sekarang dengerin aku, Sen. Gak usah deket-deket sama dia lagi ya? Aku gak suka.” timpal Nala yang seketika dibalas anggukan oleh si suami tercinta.

“Aku selalu dengerin kamu, Nal.”