Ngobrol
Setelah semua kesibukannya usai dan Arsen juga telah kembali ke rumah, kini Nala dan sang suami berjalan beriringan ke kamar si kecil. Gavi sudah lebih dahulu masuk ke kamarnya dan bersiap untuk tidur pada jam yang telah menjadi kebiasaannya. Namun, saat mendengar ketukan pintu dari arah luar, Gavi buru-buru bangkit lalu membuka pintunya. Alhasil, Gavi lantas mendapati Arsen dan Nala berdiri tepat di hadapannya sambil tersenyum.
“Papa sama Ayah boleh masuk gak, Sayang?” tanya Nala. “Papa mau ngobrol bentar sama Gavi.”
Gavi mengangguk kecil sebagai jawaban sebelum melangkah ke arah ranjangnya, mendahului si Papa dan Ayah. Arsen dan Nala pun mengikuti anak mereka itu hingga ketiganya berakhir duduk bersila di atas tempat tidur Gavi.
“Gavi ngapain aja di rumah hari ini, Sayang?” tanya Arsen sambil mengusap puncak kepala Gavi.
“Main PS sama Om Gandi,” sahut Gavi tanpa menoleh ke Ayahnya. Dia justru sibuk memainkan jari-jari kecilnya sambil menunduk.
“Sayang,” Nala meraih pipi Gavi lalu membelainya. “Kalau Gavi diajak ngobrol, perhatiin orang yang lagi bicara atau nanya ya?”
“Gavi mau jadi anak yang sopan kan?” timpalnya. “Gini caranya.”
Gavi akhirnya mendongak ke arah Nala sebelum menoleh ke Arsen yang duduk di sisi kirinya. Arsen pun menyunggingkan senyum lembut saat netranya bertemu dengan milik sang anak.
“Gavi masih sedih ya, hm?” tanya Arsen lalu meraih jemari anaknya dan menggenggamnya, “Masih nggak mau ngobrol sama Ayah?”
Gavi masih diam, namun sangat jelas bahwa dia berusaha untuk menahan tangisnya. Bibir Gavi bahkan sesekali melengkung ke bawah, tapi dia berusaha untuk mengulumnya agar tak terlihat.
Sayangnya, Arsen dan Nala bisa melihat hal itu dengan mudah.
“Sayang, Ayah sama Papa minta maaf ya?” Arsen lantas kembali buka suara melihat anaknya tak mampu lagi berkata-kata. “Ayah sama Papa janji, ulang tahun Gavi setelah ini bakalan kita rayakan bareng-bareng. Ayah sama Papa bakal ngasih tau Om Gandi sama Om Endra kalau Ayah Papa gak mau kerja pas ulang tahun Gavi.”
Arsen lalu melirik Nala, “Kamu setuju kan, Pa? Kita musti bikin aturan kalau jadwal kita harus kosong pas ulang tahun Gavi.”
“Mm, aku setuju.” sahut Nala.
Arsen pun kembali memusatkan atensinya ke sang anak. “Minggu depan, kita juga bakal jalan-jalan ke Taman Mini kalau Ayah sama Papa udah pulang dari Bandung.”
“Gak apa-apa ya, Sayang? Lewat dua hari dari ulang tahun Gavi?” lanjutnya, “Biar pas hari Minggu.”
“Emang Ayah sama Papa boleh ke sana?” lirih Gavi. “Nanti Ayah sama Papa dikejar orang yang mau minta foto Ayah sama Papa.”
Nala menghela napas lalu ikut menggenggam tangan si kecil.
“Boleh kok, Sayang.” katanya.
“Tapi, Ayah abis ngomong sama temen Opa yang kerja di sana, pas kita ke sana, orang-orang gak boleh masuk dulu. Supaya Ayah sama Papa bisa ngerayain ulang tahun Gavi sama keluarga aja. Biar Gavi banyak waktu sama Ayah dan Papa nanti,” jelas Nala.
“Gimana? Gavi mau ya, Nak?”
Gavi menatap Ayah dan Papanya bergantian sebelum mengangguk kecil. Arsen dan Nala pun refleks tersenyum tipis lalu memberikan kecupan singkat di kepala Gavi.
Setelahnya, Nala lantas kembali menatap wajah Gavi lekat-lekat. Ada berbagai emosi di netranya. Dia senang karena Gavi akhirnya mau mendengar dan berbicara dengan mereka, namun di saat yang sama, Nala masih merasa sedih karena ucapan Gavi yang merasa tidak ditemani kemarin.
“Papa sama Ayah minta maaf ya, Sayang?” ucap Nala. “Papa sama Ayah bukan gak mau nemenin Gavi main atau jalan-jalan lagi…”
“Tapi Ayah sama Papa harus kerja karena udah bikin janji duluan sama temen kerjanya Ayah sama Papa,” jelas Nala yang mencoba membuat Gavi paham perihal kontrak kerja dengan bahasa yang lebih mudah. “Kalau janji harus ditepati kan, Sayang?”
Gavi mengangguk kecil.
“Papa juga mau berlama-lama di rumah sama Gavi kok,” lirih Nala.
“Papa sama Ayah sedih kalau gak bisa nganterin Gavi ke sekolah atau gak jalan-jalan sama Gavi,” timpal Nala sebelum setetes air mata membasahi pipinya. “Tapi Ayah sama Papa harus tetap ke tempat kerja. Itu juga buat Gavi.”
“Nanti, kalau Gavi udah gede dikit, Papa sama Ayah bisa kok jelasin ke Gavi sampai paham.”
Nala memaksakan senyumnya. “Sekarang Gavi masih terlalu kecil. Papa gak mau Gavi mikir berat. Papa sama Ayah cuma pengen Gavi belajar dan main kayak anak-anak seusia Gavi.”
“Gavi bikin Papa sedih ya?”
Si kecil akhirnya bersuara amat lirih sambil menghapus air mata di pipi Nala. Mata Gavi memerah.
“Gavi minta maaf, Papa. Jangan nangis. Gavi janji gak nakal lagi.”
“Gak, Sayaang. Gavi enggak bikin Papa sedih kok. Justru Papa yang udah bikin Gavi sedih,” kata Nala. “Papa bikin Gavi ngerasa sendiri.”
“Papa minta maaf ya?”
Gavi mengangguk sebelum Nala menariknya ke dalam dekapan hangat. Saat itu pula tangis Gavi akhirnya terbebas. Begitu pun Nala yang seketika tersedu-sedu.
Sementara itu, Arsen yang melihat kedua malaikatnya telah berlinang air mata pun refleks mendekap Nala dan Gavi erat-erat. Tak lupa pula dia memberi kecupan sayang masing-masing di puncak kepala anak dan sang suami tercinta. Sampai tak lama setelahnya, Gavi pun menoleh ke arahnya; beralih mendekapnya.
“Ayah, jangan nangis juga ya?” pinta Gavi. “Gavi minta maaf.”
“Iya, Sayang. Ayah gak nangis,” kekeh Arsen dengan mata yang berkaca-kaca, “Ayah juga minta maaf kalau akhir-akhir ini Ayah sama Papa jarang nemenin Gavi belajar, jalan atau main di rumah.”
“Apalagi kalau di rumah juga ada kamera, sampai-sampai Gavi jadi berpikir kalau Ayah sama Papa tuh tetep kerja pas lagi di rumah, bukannya nemenin Gavi.” timpal Arsen. “Tapi Ayah pengen Gavi tahu, kalau dengan Ayah sama Papa kayak gitu, kita bisa bantu orang-orang yang kerja di kantor kita. Kayak Om Sena, Tante Clau, Kak Bian, pokoknya semua yang sering Gavi lihat di ruang kerja.”
“Bantu gimana, Ayah?”
Pertanyaan Gavi membuat Arsen tersenyum sebelum menjawab.
“Karena dengan mereka pegang kamera dan nge-rekam kita, itu artinya mereka juga kerja. Dan karena mereka kerja buat Ayah sama Papa, nanti Ayah dan Papa ngasih mereka upah buat dipake beli makanan, baju dan lain-lain.”
“Coba Gavi bayangin deh, kalau mereka gak kerja, mereka mau dapet uang dari mana?” tanya Arsen. “Sama kayak Ayah dan Papa yang kerja supaya Gavi bisa sekolah di tempat bagus, beli apa yang Gavi mau dan yang paling penting, Ayah sama Papa pengen Gavi bangga punya orang tua yang mau kerja keras buat Gavi.”
“Gavi masih terlalu kecil buat paham,” katanya. “Tapi Ayah sama Papa bakal berusaha kok buat tetap kerja sambil nemenin Gavi, supaya Gavi gak ngerasa kalau Gavi ditinggal sendirian.”
Arsen mencubit pelan pipi Gavi, “Gavi udah gak ngambek kan?”
“Iya, Ayah.”
“Ya udah, malam ini Ayah sama Papa tidur bareng Gavi, mau ya?”
“Mau, Ayah.” Gavi melirik tempat tidurnya sejenak. “Tapi tempat tidur Gavi sempit. Enggak muat.”
Arsen terkekeh, “Kita tidurnya di kamar Ayah sama Papa, Sayang.”
Gavi mengangguk antusias. “Ayo, Ayah. Ayo, Papa. Gavi mau bobo.”
“Sini, biar Ayah gendong.”
Nala akhirnya bisa tersenyum lega melihat Gavi telah kembali aktif berceloteh dan bermanja-manja ke sang Ayah yang kini menggendongnya. Dia pun ikut berjalan ke luar kamar saat anak dan suaminya itu memanggilnya agar segera menyusul mereka.