Decision
Gino yang baru saja berbincang dengan sang Papa melalui pesan singkat lantas menghela napas panjang. Dia kemudian menatap Axel yang baru saja datang dari arah dapur dan menghampirinya yang sedang duduk di sofa ruang tengah. Axel membawa sebuah piring berisi buah apel yang telah dia kupas. Dia lalu menyuapi si pujaan hati sambil tersenyum. Namun, senyuman Axel itu justru memicu rasa sakit di dada Gino.
“Aku udah ngomong sama Papa soal rencana aku ke London.”
“Terus kata Papa kamu gimana?”
Gino menelan ludah, “Kayaknya aku harus nolak offering letter dari B&C, Xel. Aku gak bisa ke London dalam waktu dekat.”
“Kenapa, Gin?” Axel meletakkan piring yang sedari tadi ia pegang di atas meja. “Papa gak setuju?”
“Gak gitu,” Gino menghela napas panjang. “Tapi Papa aku khawatir kalau kedepannya bakalan timbul omongan negatif soal kita karena orang-orang tau kamu sama aku pacaran dan kita sama-sama di London. Kamu tau sendiri kan orang-orang di sini kek gimana. Meskipun nanti kita gak tinggal serumah juga tetep aja bakalan ada sentimen negatif, apalagi saingan bisnis Papaku banyak. Bukan nggak mungkin mereka bakal nyari cara buat ngejatuhin aku sama nama keluarga aku. Dan aku yakin, nama kamu sama keluarga kamu bisa ikut keseret.”
“Papa sebenernya ngasih aku solusi,” timpal Gino. “Papa… Bilang kalau kita musti nikah atau minimal tunangan supaya status kita jelas di mata orang.”
“But I can’t take that solution,” Gino menatap Axel sedu. “Kita baru aja pacaran, kita juga baru nyoba buat saling nyembuhin luka yang kita punya. Menurut aku, nikah atau tunangan tuh terkesan buru-buru banget…”
“Mikirin hal itu aja udah bikin aku ke-trigger,” Gino menunduk. “Aku pernah pengalaman punya niat untuk serius sama mantan pacar aku dan berakhir gagal… Sementara kamu sendiri juga punya pengalaman ngeliat orang tua kamu pernikahannya gagal.”
“Aku takut dengan kita buru-buru ngambil keputusan itu bakalan bikin hubungan kita enggak berjalan dengan baik,” Gino mengulum bibirnya sesaat. “Masih ada banyak hal yang gak kamu lihat dari aku, begitu juga aku. Jadi aku pengen kita bisa ngelewatin setiap step itu sambil ngembangin hubungan kita ke arah yang lebih serius nantinya.”
“Ibarat kita pengen naik tangga tapi kita malah ngelangkahin lima anak tangga sekaligus, apa gak bakal jatuh?” lirih Gino lalu meraih tangan Axel sebelum menggenggam jemarinya erat.
“Aku percaya kok sama kamu, tapi aku bener-bener pengen hubungan kita works, Xel. Aku gak mau keputusan yang buru-buru bakal jadi alasan yang bikin aku kehilangan kamu nantinya.”
“Kita jalanin aja dulu ya? Kalau nanti kita ngerasa udah cukup matang buat ngelangkah ke arah yang lebih serius, aku bakalan nyusul ke London.” final Gino.
“Aku aja yang balik ke Indonesia ya?” pinta Axel, “Orang-orang di sini gak bakalan ngomongin kita kalau mereka ngeliat kita, Gin.”
“Kamu jangan gila deh, Xel. Aku tau kamu udah males balik ke Indonesia. Kamu bahkan punya banyak kenangan gak baik di sini. Tunggu bentar aja. Ya, Sayang?”
“Jadi kita harus LDR?”
Gino mengangguk lemah.
“Kamu bakalan baik-baik aja?”
Gino tidak menjawab, tapi sorot matanya menunjukkan kepiluan. Menyadari hal itu, Axel seketika berdiri lalu melenggang ke arah kamar tamu apartemen Gino. Dia meninggalkan Gino seorang diri di ruang tengah. Gino paham jika Axel marah atau kesal padanya. Hubungan jarak jauh jelas adalah hal yang membuatnya tak baik-baik saja. Namun, di sisi lain, dia justru masih takut untuk ambil langkah yang terlalu buru-buru.
Tak lama berselang, Gino lantas mendengar suara pintu kamar kembali dibuka. Dia menoleh dan mendapati sang pacar berjalan ke arahnya. Namun, saat kini Axel telah menghampirinya, Gino justru dibuat heran. Sebab, Axel tiba-tiba berlutut tepat di hadapannya. Axel kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku piyamanya. Saat itu pula Gino menahan napas. Pasalnya, Axel baru saja mengeluarkan cincin.
Axel lalu meraih tangan kanan Gino dan menggenggamnya, “Gin, aku tau kamu takut buat buru-buru melangkah. Aku pun paham keputusan ini kamu ambil karena kamu pengen hubungan kita works. Aku siap nunggu kok.”
“Tapi ngeliat gimana kamu justru gak yakin kalau kamu bakal baik-baik aja pas kita LDR nanti malah bikin aku ikutan takut juga,” kata Axel. “Gimana kalau hal yang kita takutin justru malah kejadian karena kita terpisah sama jarak?”
“Gimana kalau kita ngerasa sepi karena kita gak bisa ada buat satu sama lain secara langsung kayak orang-orang pacaran pada umumnya?” timpalnya. “Terus gimana kalau kita sama-sama kepikiran apa kita masih setia dan gak saling nge-khianatin?”
“Ada banyak kemungkinan buruk juga kalau fokus kita cuma ke hal yang bisa bikin hubungan ini gak works,” timpalnya. “Gin, gak ada kata buru-buru kalau niat kita buat melangkah ke jenjang yang lebih serius itu salah satunya juga buat saling nyembuhin dan belajar lebih jauh lagi hal yang belum kita tau satu sama lain…”
“Kita masih bisa kok ngelewatin setiap stepnya meskipun status kita udah di tahap yang serius,” Axel mengusap punggung tangan Gino dengan ibu jarinya, “Kita sama-sama punya ketakutan. Kita juga sama-sama punya luka dari masa lalu. So we’re supposed to go through the healing process together, aren’t we? Bukan LDR.”
“Kamu mungkin berpikir kalau ini terlalu cepat dan masih ada banyak hal yang belum kamu lihat dari aku, tapi aku janji bakal berusaha bikin kamu bahagia. Aku gak bisa janji kalau kita gak akan ada cekcok di masa depan, karena dalam sebuah hubungan pasti ada naik turunnya kan? But I promise you, i wont hurt you…”
“You deserve the world and all the good things it offers. I promise to give you mine if I fail to find that world for you,” Axel lalu menarik napas dalam-dalam. “Kamu mau ya tunangan sama aku, Sayang?”
Mata Gino berkaca-kaca. Axel kembali berhasil membuatnya berani melawan ketakutannya.
“Itu cincin buat siapa?”
“Cincin buat kamu kalau kamu mau jadi tunangan aku,” sahut Axel sambil menunggu jawaban dari si pujaan hati. “So, will you?”
“Kamu belum pakein cincin itu ke aku aja, aku udah tau kalau cincin itu bakalan kekecilan di jari manis aku, Xel.” kekeh Gino.
“My bad,” Axel menatap cincin di tangannya dengan raut pasrah. “Aku ngide beli cincin tapi aku malah gak tau ukuran jari kamu. It’s my first time buying a ring to my lover, so I’m still confused.”
“Oke, dimengerti.” kekeh Gino. “Propose to me again when you buy a new one. And I’ll say yes.”
“Beneran?” mata Axel berbinar.
Gino tersenyum, “Mm.”
Axel tersenyum lebar sebelum memasangkan cincin itu ke jari manis Gino meski kekecilan. Dia lalu beranjak dari posisinya dan memeluk erat tubuh pacarnya.
“Makasih, Sayang.”
“Makasih juga ya, Xel. Kamu selalu bisa bikin aku berani ngelawan ketakutan aku. And hope I could do the same for you.”
“You already did the same for me,” bisik Axel lalu mengecup lembut kepala Gino. “You’ve given me everything that I dream of, Gin.”
“You’re my dream come true.”