Gino’s Parents
Setelah menempuh perjalanan dari London ke Jakarta selama hampir dua puluh empat jam, Gino dan Axel akhirnya tiba di apartemen Gino tepat pukul dua pagi. Keduanya pun memutuskan untuk istirahat seharian di sana sebelum mereka menemui orang tua Gino di rumah malam nanti.
Meski demikian, waktu seharian itu justru terasa amat cepat dan singkat bagi Gino yang diam-diam cemas akan bagaimana respon orang tuanya nanti pada Axel. Bahkan, hingga kini dia dan Axel telah bersiap-siap untuk berangkat ke kediaman orang tuanya, Gino tiba-tiba gugup.
Axel yang notabenenya sangat peka akan perubahan sikap si pujaan hati pun menyadari itu. Alhasil, saat dia dan Gino telah tiba di basement dan bersiap untuk masuk ke mobil Gino, Axel bertanya. “Gin, are you seriously okay? Muka kamu pucat banget.”
“Aku takut, Xel.” jujur Gino yang membuat Axel refleks meraih tangannya lalu menggenggam jemari lentiknya erat-erat.
“Everything is gonna be okay, Gin. We are gonna be okay. Trust me.” Axel menyemangati Gino, “You know, overthinking is not good for our mental health. Kamu pernah denger ini gak? You don’t have to see the whole staircase, just take the first step. It means, kita harus memulai perjalanan kita supaya bisa mencapai tujuan kita meski kita nggak bisa ngelihat gimana perjalanan lengkap kita untuk sampai ke tujuan kita itu. Right?”
“Apalagi niat kita berdua baik kok, dan Mamaku selalu bilang kalau sesuatu yang diniatkan baik pasti hasilnya akan baik juga. So, hang in there. Okay?”
Gino akhirnya bisa tersenyum dan merasa sedikit tenang usai mendengar penuturan Axel. Si lelaki berlesung pipi pun ikut tersenyum ketika Gino memberi respon dengan anggukan pelan.
“Biar aku yang nyetir,” usul Axel, “Entar kamu tunjukkin aja jalan ke rumah orang tua kamu, Gin.”
“Oke,” Gino setuju sebelum dia dan Axel masuk ke dalam mobil.
Selama dalam perjalanan menuju kediaman orang tuanya, Gino tak pernah melepaskan genggaman tangannya dengan Axel. Tautan mereka membuat Gino jauh lebih tenang. Terlebih, saat Axel mulai mengusap lembut jemarinya.
Sesampainya mobil yang Axel kemudikan di halaman rumah orang tua Gino, kedua anak manusia itu terdiam sejenak. Baik itu Gino maupun Axel sama-sama menghela napas panjang sebelum saling bertukar tatapan serius. Bahkan tanpa mengucap sepatah kata pun, mereka sudah tau makna tersirat di balik sorot mata mereka; Gino dan Axel saling menyemangati.
“Maaf ya, Xel. Seharusnya hari ini kita ada di Edinburgh, tapi kita malah dateng ke rumah orang tua aku untuk hal kayak gini.”
“It’s okay, aku malah seneng mau ketemu sama calon mertua aku.”
Tatapan Gino berubah menjadi sedu, “Jangan bikin aku sedih.”
“Hey, i didn’t mean that. Maaf ya?”
Gino mengangguk kecil lalu beralih memeluk erat tubuh bongsor Axel. Pun Axel yang dengan sigap membalasnya.
“We can do this,” bisik Axel dan dibalas gumaman oleh Gino.
Keduanya kemudian melepas tautan mereka sebelum turun dari mobil. Gino dan Axel lalu berjalan masuk ke dalam rumah dengan jantung yang berdebar tak karuan. Terlebih saat mereka tiba di ruang keluarga dan Papa serta Mama Gino ada di sana.
Gino dan Axel pun menghampiri Papa dan Mama Gino. Namun, di luar dugaan Gino, Axel lebih dulu menyapa dan menjabat tangan orang tuanya yang kini telah berdiri dan mengamati mereka.
“Malam, Om. Tante. Saya Axel.”
“Kayaknya saya baru liat kamu,” kata Papa lalu melirik ke Gino.
Paham akan tatapan penasaran Papanya, Gino lantas menjawab. “Dia orang yang aku suka, Pa.”
“Kalian kenalnya di mana? Kenapa Papa baru liat dia?”
“Pa, biarin mereka duduk dulu.” Mama menengahi mereka, “Axel, silakan duduk. Kamu juga, Gin.”
Axel dan Gino menurut, mereka kemudian duduk di sofa panjang yang berseberangan dengan si pria paruh baya juga Mama Gino.
“Aku sama Axel kenal dari Tinder awalnya,” Gino tak ingin berbasa-basi. “Waktu itu kita sama-sama sibuk sama kerjaan kita masing-masing sampai nggak ada waktu buat kenalan atau ngobrol sama orang baru. Jadi kita pake Tinder. Terus setelah empat bulan aku kenalan sama Axel terus nemu kecocokan, aku nyamperin dia ke London buat kenalan lagi di dunia nyata. Karena sejak awal aku ngasih tau dia kalau aku gak mau suka sama orang yang aku kenal dari Tinder doang. Waktu itu Axel juga pulang ke Indonesia buat nyamperin aku, tapi malah gak ketemu gara-gara aku udah di London nggak bilang-bilang.”
Alis Papa berkerut tak nyaman. Nampak kalau dia skeptis akan keputusan sang anak yang justru melabuhkan hati ke seseorang yang dia kenal dari dating apps.
“Kamu kerja di London?” Papa menatap serius ke arah Axel. “Orang tua kamu di Indonesia?”
“Iya, Om. Saya kerja di London, tapi orang tua saya tinggal di Oxford. Mama saya udah pindah dari Indonesia ke UK sejak saya masih SMA kelas dua,” jelas Axel.
“Kamu kerja di mana?”
“Saya kerja di headquarters UL Group, Om.” jawab Axel hati-hati namun disertai senyum ramah.
“Kamu pinter ya berarti,” Papa masih menatap Axel seperti seorang hakim yang tengah menanyai terdakwa. “Lulusan Oxford apa Cambridge kamu?”
“Saya gak pinter kok, Om. Tapi puji Tuhan, orang tua saya punya privilege buat nyekolahin saya di tempat bagus. Mereka juga cuma nyuruh saya buat fokus belajar dan memperkaya pengalaman.” kata Axel. “Saya lulusan Oxford pas S-1, tapi master degree-nya ngambil di Cambridge, Om.”
Papa tersenyum simpul diikuti anggukan, namun itu tidak bisa membuat perasaan Gino tenang. Sebab Papanya itu sulit ditebak.
“Orang yang punya privilege kayak kamu seharusnya bisa ketemu sama orang-orang yang setara dengan kamu tanpa main Tinder kan?” kata Papa, “Saya yakin orang tua kamu pasti ada kenalan yang punya anak dan umurnya sepantaran kamu…”
“Saya gak akan menampik kalau Gino ini juga punya privilege dari saya dan Mamanya,” timpal Papa. “Makanya saya mau ngejodohin dia sama anak dari kenalan saya yang udah saya tau bagaimana sikap dan sifatnya. Kalaupun gak kan, saya bisa tau kedua hal itu dari orang tuanya atau orang-orang terdekatnya yang juga saya kenali. Karena jujur aja, Xel. Saya gak bisa menilai seseorang yang ingin mendekati anak saya cuma dari latar belakang pendidikan atau bahkan pekerjaannya...”
“Kalau kamu belum tau, Gino itu punya trauma karena dikhianatin sama mantan pacarnya. Padahal mantannya itu berpendidikan, pekerjaannya juga bagus. Tapi karena saya gak mengenal asal usul keluarganya dan gak tau sikap sama sifatnya dari orang terdekatnya, anak saya jadi harus nanggung rasa sakit karena salah pilih. Jadi kali ini, saya gak mau kalau sampai dia salah pilih lagi.”
Gino meraih tangan Axel lalu menggenggamnya erat. Gino seolah memberitahu Axel secara tersirat untuk tak meninggalkan dirinya setelah apa yang Papanya katakan. Paham akan hal itu, Axel lantas tersenyum lalu membalas genggaman Gino tak kalah erat.
“Om bener, Mama dan Papa saya beberapa kali pengen ngenalin saya ke anak kolega atau bahkan kenalannya. Tapi Mama saya tau kalau saya juga punya trauma, Om. Jadi beliau gak memaksa saya untuk menerima.” balas Axel, “Sama seperti Gino yang pernah dikhianati, saya juga pernah sakit karena orang yang saya suka, bahkan teman-teman yang saya sayang justru cuma mau manfaatin saya. Saya selalu dihantui ketakutan kalau saya mungkin gak akan pernah bisa ketemu orang yang tulus sayang sama saya. Tapi, pas saya kenal Gino, ketakutan saya itu mulai hilang. Gak sekalipun anak Om ini peduli saya anak siapa, saya punya apa aja. Justru Gino yang ngingetin saya supaya saya gak gampang dimanfaatin orang lain.”
“Saya paham kalau Om mungkin gak bisa segampang itu percaya sama saya, tapi tolong kasih saya kesempatan, Om. Saya mau Om sama Tante mengenal saya,” kata Axel. “Saya mau punya hubungan serius sama Gino, Om. Cuma dia yang saya mau, karena saya dan Gino saling melengkapi. Orang tua saya juga udah kenal sama Gino, jadi sekarang giliran saya yang kenal sama Om dan Tante.”
Di tengah percakapan mereka, suara bel rumah menggema. Si Asisten Rumah Tangga lantas bergegas membuka pintu hingga tak lama setelahnya, sosok pria paruh baya datang menghampiri ruang keluarga dimana Gino dan Axel juga masih duduk di sana.
Saat menyadari bahwa pria itu adalah Om Bayu atau Ayah dari Zidan, Gino seketika menatap Papanya dengan alis berkerut tidak suka. Pasalnya, dia sudah memberitahu sang Papa bahwa Axel akan datang bersamanya, dan dia tak mau Axel bertemu Zidan ataupun Om Bayu di sini.
“Eh, Gino udah balik dari London ya? Kirain masih besok, jadi Om gak ngajak Zidan.” sapa Om Bayu lalu melirik lelaki yang duduk di samping Gino. Saat itu pula mata pria paruh baya itu terbelalak.
“Loh, Axel? Ini Axel kan?”
“Iya, Om.” Axel tersenyum ramah sambil bangkit dari sofa. Dia lalu bersalaman dengan Om Bayu dan berbagi peluk sesaat. “Om Bayu apa kabar? Sehat kan, Om?”
“Sehat, Xel. Kamu gimana? Kok tiba-tiba ada di sini? Om kaget.”
“Saya juga kaget, Om.” kekeh Axel, “Saya pulang bareng Gino.”
“Kamu udah lama kenal Gino?”
“Gak, Om. Baru empat bulan yang lalu. Ini juga saya baru dateng ke rumah Gino,” katanya.
“Oh, gituuu. Mama kamu nggak ikut pulang, Xel?” tanyanya lagi.
“Gak, Om. Tadinya pengen ikut andai aja urusan kerjanya udah selesai, tapi ternyata gak bisa.”
“Kirain Mama kamu pas udah pensiun jadi Dokter pengen santai-santai aja di rumah, tapi kayaknya malah makin sibuk.” Kekeh Om Bayu lalu melirik ke arah Papa Gino yang jelas amat penasaran bagaimana mereka bisa saling kenal. “Tau dia gak? Axel ini cucunya Pak Mahardika, Mama si Axel anaknya mendiang Pak Mahardika. Dulunya Dokter, temen aku sama Mamanya Zidan sejak masih kuliah Kedokteran. Tapi dia udah pensiun pas nikah lagi sama orang asli London.”
Mulut Gino setengah terbuka. Ternyata dunia bisa menjadi sangat sempit di beberapa kesempatan. Dia benar-benar tidak pernah kepikiran kalau Om Bayu dan Mama Axel berteman.
“Maaf ya, Om. Saya permisi mau ngangkat telepon dulu.” kata Axel lalu melirik Gino saat gawainya terus berdering, “Aku ngangkat telepon dari kantor dulu ya, Gin.”
Gino mengangguk, “Oke.”
Selepas Axel melenggang pergi dari ruang keluarga, Om Bayu pun dipersilahkan untuk segera duduk oleh Papa dan Mama Gino. “Aku mampir buat ngasih ini. Kemarin abis dari Sulawesi.”
“Segala pake repot-repot banget bawa oleh-oleh,” kata Papa Gino. “Yang abis dari London aja gak bawa oleh-oleh buat Papanya.”
Gino hanya menghela napas lalu geleng-geleng kepala. Sementara itu, Om Bayu kembali bersuara.
“Om masih gak nyangka loh kamu kenal sama Axel, Gin.”
Gino hanya merespon dengan senyum tipis, sedang pria paruh baya itu melanjutkan ucapannya.
“Tapi Axel anaknya emang ramah sih ya, jadi gampang diajak buat temenan. Udah gitu baik, persis kayak Mamanya, sopan pula. Dia sejak masih kecil emang enggak pernah nakal gitu,” kata Om Bayu dibalas anggukan oleh Gino, “Om udah lama pengen ngenalin dia ke adiknya Zidan, tapi kata Mama dia, Axel gak pengen dijodohin.”
“Kamu tau gak, Axel udah punya pacar apa belum?” timpalnya.
“Udah, Om. Aku pacarnya.”
Papa, Mama begitupun Om Bayu kompak terdiam. Sementara itu, Gino lantas berdeham saat dia sadar akan apa yang baru saja dikatakannya. Pasalnya, dia sama sekali tidak berpikir panjang lagi sebelum memberitahu Om Bayu bahwa dia adalah pacar Axel. Dia hanya mengikuti kata hatinya yang diam-diam gelisah ketika mendengar Om Bayu ingin Axel berkenalan dengan adik Zidan.
Sekarang gue lagi cemburu nih? Batin Gino sambil nahan malu.
“Maaf ya, Om.” Gino mendesis. “Aku denger dari Papa kalau Om sama Papa pengen jodohin aku sama Zidan. Aku tau kok kalau Zidan gak kalah baiknya, tapi aku beneran gak bisa ninggalin Axel, Om. Aku ngerasa Axel lebih bisa mengisi sesuatu yang udah lama hilang dari diri aku. Aku sama dia punya luka yang sama, mungkin itu yang bikin aku sama dia bisa saling nerima dan melengkapi.”
Gino menatap lamat-lamat wajah Papa dan Mamanya, “Pa… Ma… Maaf ya karena aku udah jarang cerita ke Papa sama Mama soal apa yang lagi aku hadapi akhir-akhir ini. Tapi aku beneran gak mau terus-terusan bergantung sama kalian. Aku juga gak bisa ngejalanin hidup yang seolah didikte Mama sama Papa. Dan yang lebih penting, aku gak mau bikin Mama sama Papa khawatir terus bikin kesehatan kalian bisa terganggu nantinya. Jadi mulai sekarang, biarin aku nentuin pilihan aku sendiri ya? Termasuk soal laki-laki yang nantinya jadi pendamping aku. Apapun yang terjadi nantinya, i promise you i’ll be okay and i’ll try to face it. Gagal atau berhasil dalam pilihan bakal jadi pelajaran kan? And that’s life.”
“Tapi aku yakin kok, Axel bukan orang yang salah. Aku pun bisa nerima dia kayak sekarang musti ngelewatin proses yang cukup panjang sampai aku yakin kalau aku pantas buka hati buat dia,” timpalnya. “Jadi aku mohon… Jangan paksa aku buat tunangan sama Zidan. Aku mohon, Pa, Ma.”
“Om ngerti, dan Om gak akan maksa kok. Lagian Om sama Papa kamu juga pengen ngobrol soal rencana itu pas kamu udah di Indonesia, supaya kamu juga bisa memilih mau lanjut atau gak. Om aja belum ngobrol serius kok sama Zidan,” Om Bayu senyum.
Gino ikut tersenyum lega lalu beralih menatap Papa dan Mama.
“Oke, Papa percaya sama kamu dan Axel karena Om Bayu yang kenal sama dia dan orang tuanya udah tau gimana sikap Axel. Tapi, kalau di kemudian hari dia justru nyakitin kamu, Papa gak bakalan tinggal diem aja.” tegas si Papa, sedang Mama tersenyum lembut. Gino pun paham bahwa wanita paruh baya itu hanya ingin yang terbaik untuknya di masa depan.
“Makasih, Pa, Ma.”
Pada saat yang bersamaan, Axel pun kembali dan datang dari arah pintu utama rumah. Kali ini dia tidak datang dengan tangan kosong, namun dia membawa tiga buah paper bag berisi oleh-oleh yang tadinya dia simpan di mobil Gino. “Om, Tante, ini ada sedikit oleh-oleh dari London.”
“Oh, pantes Gino gak beli oleh-oleh buat Papanya. Orang udah dibeliin sama pacarnya,” kata Om Bayu usai menerima oleh-oleh yang juga Axel berikan padanya. “Makasih banyak ya, Xel. Kamu jaga Gino baik-baik. Om sampai rela batalin rencana pertunangan Gino sama anak Om demi kamu.”
Axel terkekeh, “Makasih, Om.”
Sementara itu, Gino hanya diam sambil menghindari tatapan Axel saat pandangan mereka bertemu di satu poros. Axel pasti akan bertanya tentang maksud dari ucapan Om Bayu setelah ini, pikir Gino sambil menyiapkan hati jika saja Axel meledeknya atau bahkan menggodanya nanti.