The Plot Is Ploting

Jantung Nala juga Saka seketika bergemuruh ketika orang tua di hadapan mereka hanya terdiam sambil memandangi keduanya bergantian. Nala yang seperti biasa selalu mengambil inisiatif pun melangkah lebih dahulu. Dia memberanikan diri menghampiri Mama, Papa, Bunda dan Ayah di depan pintu kamar lalu bersuara.

“Ma, Pa, Ayah, Bunda, aku bisa jelasin...” kata Naka meski para orang tua itu belum bertanya.

“Aku sama Saka emang saling suka, tapi kita berdua enggak pacaran. Aku sama Saka juga baru tau kalau ternyata kita punya perasaan ke satu sama lain sebulan belakangan,” jelas Naka. “Tapi kita udah mutusin buat saling ngelupain perasaan kita sebelum kejadian hari ini kesebar fotonya. Kita berdua ngelakuin itu karena kebawa suasana gara-gara sedih harus milih pisah supaya hubungan pertemanan kita berdua juga Mama, Papa, Bunda dan Ayah baik-baik aja. Itu yang terakhir.”

“Aku mutusin buat pindah ke LA juga supaya aku sama Saka gak ada komunikasi lagi, gak bareng mulu, supaya kita bisa move on.” timpalnya, “Aku… Bener-bener minta maaf. Aku yang awalnya ngaku kalau aku suka sama Saka.”

“Aku nyesel semuanya jadi kayak gini,” lirih Naka. “Tapi aku mohon dan berharap Mama, Papa, Ayah sama Bunda hubungannya baik-baik aja kayak biasanya. Yaaa?”

“Aku janji, abis ini, aku bakalan tunjukkin ke orang-orang kalau aku bisa berubah dan gak bikin Mama, Papa, Bunda sama Ayah malu lagi karena suka laki-laki dan itu Saka, sahabatku sendiri.”

“Aku yang salah,” Saka ikut buka suara. “Andai aja aku juga nahan diri buat enggak ikut confess ke Naka, semuanya gak bakal kayak gini. Naka pasti udah move on karena patah hati kalau dia mikir cintanya cuma bertepuk sebelah tangan. Aku juga yang hari ini inisiatif nyium Naka duluan.”

“Aku juga janji bakal ikhlasin Naka pergi abis ini,” timpalnya. “Supaya aku sama Naka bisa ngelupain perasaan ke satu sama lain dan gak malu-maluin lagi.”

“Emang Mama pernah bilang kalau Mama malu?” kata Mama.

“Bunda juga gak pernah malu.”

“Ayah juga.”

“Papa juga kok.”

Saka dan Naka pun refleks saling berbagi tatapan bingung. Naka kemudian kembali memandangi empat paruh baya di depannya.

“Mama, Papa, Bunda sama Ayah gak marah aku sama Saka kayak gini? Yang suka sama laki-laki?”

“Loh? Kenapa kita semua harus marah? Jaman udah berubah, Na. Semua manusia di bumi berhak dapetin hak hidup yang setara, termasuk soal cinta. Love is love.”

“Tapi waktu itu Mama bilang ke aku supaya aku gak kayak Naka yang batalin nikahannya dan gak main-main sama cewek, berarti Mama pengen aku nikah sama cewek kan?” Saka menimpali.

“Bukan gitu maksudnya, Saka. Mau itu kalian suka sama cowok atau cewek, sebenernya Mama gak masalah. Walaupun jujur aja kita semua kaget karena kita justru gak nyadar dan gak tau kalau kalian saling suka, tapi kita sama sekali gak menentang itu kok.” jelas Mama, “Yang Mama maksud supaya kamu gak kayak Naka waktu itu juga karena dia gak jelas pendiriannya, sukanya main-main sama pasangannya, gak mau serius. Bukan masalah cowok atau ceweknya. Lagian kalian juga seringnya ngenalin cewek ke kita semua, jadi kita mikirnya kalian suka cewek.”

Bunda mengangguk setuju lalu melipat lengannya, “Kalian ini nih ngomongnya seolah Bunda sama Mama ini kayak Ibu-ibu kejam yang ada di drama sama AU AU boys love, yang gak bakal ngerestuin anaknya jadi homo.”

Lagi, Saka dan Naka dibuat kaget atas ucapan si paruh baya. Sebab kedua wanita yang notabenenya datang dari masa dimana cinta antara dua pria masih sangat tabu justru tahu tentang drama boys love hingga cerita fiksinya.

“Bunda tau boys love dari mana?” tanya Saka sambil mengernyit.

“Gini nih emang kalau anak-anak udah gede terus gak perhatian sama orang tuanya,” sinis Mama sambil menyenggol pelan lengan Bunda. Dua wanita paruh baya itu tak beda dengan ibu-ibu lain yang selalu dramatis dan julid.

“Mama sama Bunda kalian ini lagi demen-demennya sama aktor boys love Thailand,” sahut Ayah. “Siapa, Bun? Ayah lupa.”

Bunda dan Mama pun kompak menunjukkan wallpaper gawai mereka. Di handphone Mama terpampang wajah aktor Sky Wongravee, sementara Bunda menggunakan wallpaper dengan foto Nani Hirunkit. Saat itu pula Mama dan Bunda refleks berseru

“Iminaaaaa! SkyNaniii!”

Saka dan Naka kehabisan kata. Kedua anak manusia itu refleks menganga dengan raut wajah tak percaya. Di saat mereka telah menangis bahkan dibuat gelisah tentang hubungan mereka nanti nyaris satu bulanan lamanya, hal yang di luar ekspektasi ini justru membuat mereka menjadi badut dari kehidupan yang amat kejam.

“Tapi Sky sama Nani gak main boys love perasaan,” kata Saka sambil menggaruk-garuk kepala karena masih merasa tak percaya atas apa yang tadi didengarnya.

Boys love atau enggaknya kan tergantung kepercayaan masing-masing, Sa.” decak Bunda dengan raut tak terima. “Coba deh kamu nonton series-nya, gay banget.”

Naka memijat keningnya. Meski dia bahagia karena orang tua mereka bisa menerimanya dan Saka, tapi tetap saja dia dibuat pening karena Mama dan Bunda yang diam-diam adalah fujoshi.

“Terus kenapa tadi Mama, Papa, Bunda sama Ayah natap kita berdua pake tampang sedih sih kalau emang bisa nerima kita? Aku udah takut banget tau,” kata Naka lalu menghela napas pelan.

“Gimana kita enggak sedih kalau privasi kalian malah dikuliti sama orang-orang? Mana komentar mereka jahat-jahat,” kata Bunda.

“Nah, bener. Yang paling penting sekarang kita harus nyari orang yang nyebarin foto kalian. Enak aja ngambil foto tanpa izin terus nyebarin ke media,” timpal Papa. “Mereka gak tau gimana kalian udah berusaha nutupin perasaan kalian bahkan saling ngelupain.”

“Iya, ayo kita cari orangnya. Mau Mama pukul!” Mama menggebu.

“Aku udah ketemu orangnya kok, Ma. Sempet aku pukulin juga dia.”

Papa lantas menghampiri Saka lalu menepuk-nepuk pundaknya, “Ini baru anak Papa nih. Jagoan.”

“Kalau gitu, sekarang giliran Naka yang harus Mama pukul.”

Naka melotot, “Kok aku?”

Mama mengangkat gawainya dan bersiap-siap untuk memukuli si putra semata wayang, tapi Papa, Bunda, dan Ayah seketika jadi penengah, seperti biasa. Ketiga paruh baya itu menahan Mama, sedangkan Saka menuntun Naka agar bersembunyi di belakang punggungnya. Ya. Sangat kacau.

“Mama gak marah kalau kamu suka laki-laki, tapi Mama marah karena kamu malah macarin perempuan buat nyembunyiin seksualitas kamu.” omel si Mama yang bahkan masih berusaha untuk menjangkau Naka agar pukulannya dapat mendarat. “Kamu ini emang bajingan yang suka mainin hati perempuan!”

“Ma, gak gitu. Dengerin dulu,” Saka yang menjadi benteng pertahanan antara Naka dan Mama yang masih mengamuk pun angkat bicara. “Naka gak berniat macarin cewek supaya seksualitasnya gak ketahuan, justru Naka kayak gitu karena dulunya dia masih denial kalau dia suka sama laki-laki, suka aku. Makanya Naka macarin semua cewe yang menurutnya menarik supaya bisa terdistraksi dari apa yang dia rasain ke aku, Maaa.”

“Oh, dan soal Lily.” timpal Saka, “Naka macarin Lily karena dia ngerasa Lily bisa bikin dia tenang dan gak kepikiran soal perasaan yang menurutnya aneh ke aku. Naka macarin Lily buat lupain aku juga, tapi Naka malah gak sengaja mergokin Lily selingkuh dan dia ngerasa biasa aja. Jadi, abis itu Naka putus sama Lily terus confess ke aku karena dia sadar kalau dia masih ada rasa sama aku. Gitu ceritanya, Ma.”

Mama akhirnya sedikit tenang meski napasnya telah ngos-ngosan. “Kalau gak ada Saka, udah kena pukul kamu, Na.”

“Ya lagian Mama gak mau dengerin aku dulu,” sahut Naka yang masih bersembunyi di belakang Saka. Kini ia bahkan mencengkeram kemeja Saka supaya semakin merasa aman dari amukan tiba-tiba si Mama.

“Udah, udah, daripada kita ribut-ribut gini gimana kalau kita party aja?” canda Ayah yang membuat Naka dan Saka mendengus pelan.

“Apa sih, Yah.”