Coffeeshop

Setelah bersiap-siap, Gino lantas keluar dari kamar, dan alangkah kagetnya dia saat mendapati si lelaki berlesung pipi kini telah berdiri tepat di hadapannya. Axel cengar-cengir sebelum bersuara.

“Udah siap?”

Gino mengangguk, namun atensi Gino kemudian beralih ke kunci yang sedang dipegang oleh Axel.

“Kamu pengen bawa mobil?”

“Iya, coffeeshop-nya lumayan jauh kalau kita jalan kaki, Gin.”

“Aku pengen naik bus,” kata Gino. “Orang-orang London biasanya naik bus kan? Aku pengen nyoba kebiasaan orang London, mana tau aku tertarik pindah ke sini.”

Axel refleks mengulum bibirnya guna menahan senyum. Dia lalu mengangguk dan memasukkan kunci mobilnya ke dalam saku baju hangatnya. “Oke, kalau gitu kita naik bus. As you wish, cutie.”

“Oh iya, kamu ada kartu Oyster atau Travelcard gak?” timpalnya.

“Aku ada Travelcard kok, Xel.”

“Oke, kalau gitu kita berangkat sekarang yuk.” ajak Axel yang dibalas anggukan oleh Gino.

Kedua anak manusia itu pun berjalan beriringan keluar dari unit apartemen Axel hingga mereka sampai ke jalan raya. Axel menuntun Gino menuju halte bus sambil sesekali bercerita tentang kehidupan kerjanya selama di London. Pun Gino yang berbagi pengalaman.

Sampai saat mereka telah tiba di halte, Axel dan Gino dibuat kaget saat mendengar suara seorang wanita memekik. Axel dan Gino pun menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang wanita tua yang kiranya telah berusia lima puluhan sedang bergegas memungut belanjaannya yang berjatuhan tak jauh dari halte.

Buru-buru Axel menghampiri wanita tua tersebut, begitu juga Gino yang berniat menolongnya. Axel dan Gino kemudian saling melemparkan senyuman manis selagi mereka membantu wanita tadi memungut belanjaannya. Sebab, tanpa mengucap sepatah kata pun, mereka justru kompak berinisiatif untuk membantu di saat orang lain yang berlalu lalang di sana terlihat tak peduli.

Axel kemudian mengajak wanita itu berbincang hingga mereka tahu bahwa penyebab belanjaan si paruh baya berjatuhan tidak lain karena paper bag-nya sobek.

Where are you going?

There. My house is across that street,” kata wanita itu diikuti senyum ramahnya. “Thanks for helping me. You guys must be in a hurry. Go on. I can carry all this.

No, you have a lot of groceries. You need a new paper bag. Wait for me here for a minute,” kata Axel lalu menepuk pelan pundak Gino. “Bentar ya, Gin. I’ll be back.”

Gino mengangguk sambil terus memandangi Axel yang tiba-tiba berlari ke arah salah satu toko di pinggir jalan, tak jauh dari halte. Tanpa sadar, senyum merekah di bibir ranum Gino, hingga wanita tua yang masih berdiri di sisinya itu ikut tersenyum lalu bertanya.

Your boyfriend?”

Gino tersadar dari lamunannya lalu menggeleng diikuti senyum tipis, “No, he’s… My bestfriend.”

You guys look great together. So, I thought you guys were boyfriends, I’m sorry,” ucap wanita tua itu.

It’s okay. No worries.”

Tidak lama setelahnya, Axel akhirnya kembali dengan satu paper bag besar di tangannya. Dia dan Gino kemudian mulai memasukkan belanjaan wanita tua ke dalam paper bag baru itu hingga semua belanjaannya yang berjatuhan tadi masuk ke sana.

Thank you very much,” wanita tua itu tak henti mengucapkan rasa terima kasihnya pada Gino dan Axel. “I owe you guys big one.”

We’re happy to help,” kata Axel lalu melirik ke Gino, “Right?”

Gino mengangguk setuju diikuti senyum. “Take care on the way.”

Setelah si wanita tua berpamitan dan mulai menyebrangi jalan di depan mereka, Gino pun melirik Axel yang justru masih menatap wanita itu dengan tatapan yang seolah ingin memastikan apa wanita itu akan baik-baik saja. Persekian detik kemudian, Axel akhirnya kembali menoleh ke arah Gino yang berada tepat di hadapannya. Axel dibuat sedikit salah tingkah melihat Gino diam sambil terus memandanginya.

“Kamu kenapa ngeliatin aku kayak gitu?” Axel terkekeh.

“Kamu nyuri paper bag tadi ya?” canda Gino, sedang Axel tertawa. “Lari kamu tadi kenceng banget.”

“Gak, tapi aku beli ini.” jawab Axel sambil membuka syal berwarna biru malam yang ada di lehernya.

Axel kemudian melilitkan syal itu ke leher Gino, “Tadi aku bingung pengen beliin apa buat kamu, tapi aku inget kamu gak pernah pake syal. Padahal bentar lagi musim dingin. Semoga kamu suka ini ya. Oh, dan jangan salah paham. Meskipun paper bag Ibu tadi gak robek, aku emang mau beli sesuatu buat kamu sebagai kenang-kenangan. Diterima ya?”

“Tadinya aku gak pengen nerima, tapi karena kamu udah masangin syal ini di leher aku, ya udah deh aku terima. Thanks, Mr. Nice guy.”

Axel memicing, “Mr. What?”

“Busnya udah dateng tuh,” Gino tidak ingin mengulang apa yang baru saja dia ucapkan. “Ayo, Xel.”

Axel mengulum senyumnya lalu mengikuti Gino yang kini telah melangkah lebih dulu ke arah bus berwarna merah itu. Mereka kemudian masuk sebelum duduk bersisian dengan Gino yang berada tepat di samping jendela.

Ketika bus itu mulai melanjutkan perjalannya, Axel mengeluarkan air pod dari saku baju hangatnya. Dia lalu memasangkan satu air pod itu ke telinga kanan Gino, sedangkan satunya lagi dia pakai untuk dirinya sendiri. Gino sama sekali tidak berkutik saat Axel melakukan hal itu. Dia justru diam-diam menahan senyum sambil menunggu lagu apa yang akan mereka dengar bersama.

Persekian sekon berselang, Gino justru menahan tawa ketika Axel mulai memutar musik dari gawai di tangannya. Gino kemudian menoleh ke Axel lalu memukuli bahu lelaki di sisinya itu pelan. Pasalnya, Axel justru memutar lagu dangdut, seolah sengaja mengingatkan Gino tentang pekerjaan yang ia akui di Tinder.

Axel begitu juga Gino sama-sama menahan tawa agar penumpang lain tidak terganggu. Setelahnya, Axel pun mengganti lagu yang ia putar tadi dengan lagu romantis.

“Gimana? Kamu suka lagunya?”

“Mm, aku suka lagu Eric Benét.”

“Kalau aku gimana? Suka gak?”

Gino menahan senyum, “Belum, gak tau besok atau lusa gimana.”

Axel mengulum bibirnya hingga hanya lesung pipinya yang kini tersenyum. Sebab, meski Gino masih enggan memberi jawaban pasti, namun kali ini Gino seolah memberinya sedikit titik terang bahwa masih ada harapan untuk Gino bisa menyukainya.


Usai perjalanan singkat mereka dengan bus berakhir, Axel dan Gino kembali berjalan bersisian menuju coffeeshop dimana Axel telah mengatur janji dengan teman-teman semasa kuliahnya yang juga berasal dari Indonesia. Saat memasuki coffeshop, Axel lantas tidak butuh waktu lama untuk menemukan mereka. Yogi, Jerry, dan Dean duduk tak jauh dari pintu masuk coffeshop itu. Mereka seketika melambaikan tangan sambil tersenyum saat melihat Axel dan Gino datang.

“Hai! Gino kan?”

Jerry yang paling bersemangat mengajak Gino berjabat tangan saat Axel dan Gino menghampiri meja mereka. Namun, Axel buru-buru menepis kuat tangan Jerry.

“Biarin Gino duduk dulu.” kata Axel lalu menarik satu kursi untuk Gino, “Ayo duduk, Gin.”

Thanks,” ucap Gino sebelum duduk pada kursi itu, Axel pun ikut duduk di samping kirinya.

We’ve been waiting for this,” kata Dean. “Welcome, Gino. Kenalin aku Dean, dia Jerry, itu Yogi.”

“Salam kenal semuanya,” balas Gino diikuti senyuman ramah.

“Gino, kamu cakep bangeeet.” kata Jerry sambil memandangi Gino dengan tatapan takjub, “Ngeliat foto kamu di Tinder aja kita udah kaget, apalagi dilihat secara langsung gini, Ya Tuhan.”

“Emangnya Axel nunjukin foto aku ke kalian ya?” tanya Gino lalu melirik Axel sekilas, sementara Axel sendiri hanya geleng-geleng kepala pasrah melihat reaksi teman-temannya tentang Gino.

“Iya, gue dukun soalnya. Jadi si Axel minta gue ngirim pelet buat lo, soalnya elo gak bisa suka—”

“HEH!”

“HEH!”

“HEH!”

Axel, Dean dan Jerry kompak menghentikan Yogi. Sementara sang tersangka justru tertawa sebelum berkata, “Bercanda ya, Gin. Gue bukan dukun sumpah.”

“Dia emang gitu tuh, Gin. Suka asbun, mana kalau lagi asbun dia ngomongnya kek serius banget. Kadang ada orang yang beneran kegocek tau nggak?” jelas Jerry, sedang Gino hanya terkekeh.

“Axel nunjukin foto kamu ke kita bertiga sekaligus curhat waktu dia unmatch kamu di Tinder,” Dean kembali mengambil alih percakapan itu, “Glad you’re here now. Akhirnya kalian ketemu.”

“Udah, gak usah ngebahas soal Tinder.” Axel buka suara. “Gino belum pesen minum loh, btw.”

“Gak usah dibahas biar lo gak malu kan?” Yogi meledek Axel.

“Pesen gih, Gin. Axel yang bayar,” Jerry menimpali guna menggoda Axel yang lantas mengepalkan tangan ke arahnya dan Yogi.

“Gin, kamu pengen apa? Biar aku yang pesenin,” Axel menawarkan.

“Americano decaf aja, Xel.”

“Oke, kamu tunggu di sini bentar ya.” Axel kemudian berdiri dari kursinya. “Lo bertiga jangan ngomong yang aneh-aneh ke Gino. Takut dia gak nyaman.”

“Yeee, padahal yang dari tadi bikin Gino gak nyaman kan lu.” canda Yogi, “Iya nggak, Gin?”

Gino tidak menjawab, namun dia mengajak Yogi untuk high five. Sontak tawa meledak di meja itu, sedang Axel yang masih berdiri di sana berkata, “Oh gitu yaa?”

Gino terkekeh pelan lalu meraih tangan kiri Axel, “Bercanda, Xel.”

“Cieeee!” Jerry refleks memekik, tapi berhasil dibungkam Dean.

Axel pun tersenyum tipis lalu mengacak-acak pelan rambut Gino saat lelaki itu melepaskan genggaman di tangan kirinya. Setelahnya, Axel lantas berjalan menjauhi meja mereka menuju meja pemesanan sekaligus kasir.

“Jadi gimana Axel menurut kamu setelah kalian ketemu langsung?” Dean menopang pipinya sendiri sambil tersenyum ke arah Gino.

“Gak ada bedanya dari yang aku kenal di Tinder sih,” kekeh Gino. “Flirty, but such a polite cat, enak diajak sharing, dan care banget.”

“Berarti temen aku itu udah ada kesempatan buat disukain sama kamu belum, Gin?” canda Jerry.

“Aku… Masih gak yakin,” jujur Gino. “Aku punya pengalaman buruk dalam percintaan, so…”

“Axel juga cerita kok soal itu, Gin.” Dean menatap Gino iba. “I’m so sorry to hear that. That’s must be a traumatic experience.”

Thanks, aku udah baik-baik aja kok sekarang. Tapi ya gitu, aku malah jadi punya trust issue.”

“Gue ngerti kalau lo mungkin masih ragu sama Axel karena pengalaman buruk lo, apalagi kalian awal kenalannya dari dating apps,” Yogi mulai ikut bersuara, “Tapi serius ya, Gin. Biar kata si Axel tampang sama mulutnya kayak playboy kelas kakap, dia tuh sebenernya cupu banget soal cinta-cintaan gini.”

“Makanya kita bertiga, sahabat-sahabatnya nih, kasian banget sebenernya sama dia.” timpal Yogi, “Soalnya dia gak pernah nemu seseorang yang sesuai tipenya di real life, eh sekalinya ketemu malah di dating apps.”

“Bener kata Yogi, Gin.” timpal Jerry, “Axel baik kok anaknya. Minusnya Axel tuh cuma satu, dia kalau pengen deketin orang pasti flirty banget, tapi sekalinya orang itu gampang kemakan sama kata-kata manisnya, eh malah dia ghosting terus nyari yang lain. Makanya dia ngejar lo banget soalnya ya lo tuh tipe dia yang selama ini dia selalu cari.”

“Axel kayak gitu juga karena ada pengalaman buruk, tapi dia gak pernah cerita detailnya ke kita.” kata Dean, “Terus dia flirty kayak gitu nggak sekaligus ke banyak orang. Dia ngejadiin itu alat buat nyeleksi orang yang pengen dia deketin, ibarat nggak memenuhi passing grade, ya auto gak lolos.”

Gino, Yogi, dan Jerry kompak tertawa karena ucapan Dean.

“Eh, Gin. Tapi jangan bilang ke Axel kalau kita ngasih tau lo ini ya?” pinta Yogi, “Dia gak suka banget sebenernya kalau kita ikut campur ke urusan private life dia. Axel juga udah wanti-wanti kita bertiga, kalau dia pengen ngenalin lo ke kita ya supaya kita juga bisa temenan sama lo. Apalagi kita bertiga tuh awalnya juga gak percaya sama lo karena si Axel kenal lo di Tinder.”

“Tapi ngeliat gimana Axel waktu itu ngejelasin how happy he is when he talked to you sambil nangis pas dia nge-unmatch lo, terus, dia juga cerita kalau lo gak peduli dia siapa dan punya apa, kita bertiga jadi percaya kalau lo bener orang baik dan tulus yang bisa bikin dia bahagia,” katanya.

Hush, anaknya udah dateng.” Jerry memberi kode agar Yogi segera menyudahi percakapan itu. “Gimana kerjaan kamu, Gin?”

Jerry mengedipkan satu matanya ke Gino, tanda agar Gino ikut berpura-pura bahwa sejak tadi mereka membahas hal yang lain.

“O-oh… Aku udah resign,” Gino berdeham lalu menoleh ke Axel yang baru saja duduk di sisinya.

“Mereka gak ngomongin yang aneh-aneh soal aku kan, Gin?”

“Gak adaaa,” kata Gino.

“Apaan sih, Xel. Kegeeran amat,” ledek Jerry, “Orang dari tadi kita ngegombal Gino di belakang lo.”

“Gombal aja. Lo pikir Gino bisa kemakan sama gombalan lo?”

“Lah kok tau? Udah berapa lama pengalaman nice try-nya, Pak?” ledek Yogi yang membuat Gino, Dean dan Jerry tertawa, sedang Axel lantas melempar sahabat karibnya itu dengan satu french fries yang ada di meja mereka.