What are we?

Gino dan Axel telah tiba di kota London sejak jam sebelas pagi, namun Axel sendiri harus pergi ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya yang tersisa. Axel bahkan telah memberitahu Gino sebelumnya bahwa dia mungkin akan pulang sedikit terlambat, jadi Gino tak perlu menunggunya untuk makan malam bersama.

Alhasil, setelah tadi Gino makan malam seorang diri, kini dia telah duduk di sofa ruang tengah. Gino menyalakan televisi di sana guna mengusir rasa sepinya. Pasalnya, untuk bertukar kabar dengan si sahabat di Jakarta, Denny, sudah tak memungkinkan karena zona waktu yang terpaut enam jam.

Meskipun Axel sebenarnya telah memberitahu Gino untuk keluar berjalan-jalan di area notting hill jika saja dia bosan terus-terusan di apartemen, tapi Gino memilih untuk beristirahat saja. Tiga hari mengelilingi berbagai tempat di Oxford cukup membuatnya lelah secara fisik, namun menyisakan bekas indah di relung hatinya.

Tak lama berselang, suara pintu apartemen yang dibuka seketika menggema. Gino yang semula merebahkan tubuhnya di sofa panjang pun bergegas bangkit dari posisinya sambil menanti Axel masuk ke ruang tengah.

“Hi!” sapa Axel saat dia datang dan menghampiri Gino. Dia lalu mengangkat box yang dia bawa. “Aku bawa sesuatu buat kamu.”

“Pizza ya?” Tebak Gino.

Axel mengangguk lalu duduk di sisi kanan Gino. Dia kemudian membuka dua kotak pizza yang dibawanya, “Ini pizza home made paling enak di London. Kamu udah pernah nyoba belum, Gin?”

“Belum, aku kalau ke London gak pernah nyoba beli pizza sih.” kata Gino, “Kalau di Indonesia juga aku biasanya makan pizza pas lagi pengen minum bir doang.”

“Kamu muak ya makan tepung-tepungan mulu?” kekeh Axel.

“Dikit,” Gino senyum. “Tapi aku suka pizza kok. Makasih ya, Xel.”

Axel lantas ikut tersenyum lalu mengacak-acak pelan rambut Gino, “Kalau gitu dimakan ya.”

“Di kulkas kamu masih ada bir kan? Aku boleh minta satu gak?”

“Keknya masih ada dua,” katanya. “Kamu biasanya minum berapa kaleng sampai kamu tipsy, Gin?”

“Empat atau lima.”

“Okeee, kalau gitu kamu cuma boleh minum satu.” tutur Axel, “Takut kamu tipsy terus ngasih nomor WhatsApp kamu lagi ke orang random di Instagram.”

Gino menipiskan bibirnya sambil menahan senyum lalu memukuli pelan bahu Axel, “Dibilang aku gak tipsy semalem! Lagian kan birnya emang sisa dua doang.”

Axel pun hanya tertawa sebelum mencubit gemas pipi Gino. Axel lalu bangkit dari duduknya dan berkata, “Tunggu bentar ya, biar aku ambilin birnya buat kamu.”

Gino lantas mengangguk sambil mengamati Axel yang berjalan ke arah dapur. Tak lama berselang, Axel pun kembali dengan dua kaleng bir hitam di tangannya.

Axel kembali duduk di sisi Gino, membuka satu kaleng bir hitam itu, lalu menyodorkan pada Gino.

Thanks, Xel.”

“Kamu biasanya pengen minum bir di waktu kayak gimana, Gin?”

“Tergantung sih, kalau aku lagi sedih banget, aku pasti pengen minum bir. Tapi kalau aku abis seneng banget juga aku kadang minum bir, kayak sekarang ini.”

Axel menahan senyumnya. Dia merasa sedang berada di atas awan karena Gino secara tidak langsung berkata bahwa Gino sangat senang selama perjalanan mereka di Oxford kemarin. Axel kemudian menyodorkan kaleng bir yang dipegangnya dan telah dia buka untuk Gino, “Cheers?”

Gino tersenyum manis sebelum mempertemukan kaleng birnya dengan milik Axel hingga saling bertubrukan pelan. Keduanya pun menenggak bir itu perlahan lalu meletakkannya di atas meja setelahnya; ketika dirasa cukup.

“Kalau kamu sendiri gimana, Xel?” Kini giliran Gino yang bertanya. “Kamu suka minum. bir on daily basis kah, atau?”

Axel terkekeh, “Gak, aku juga minum bir di waktu tertentu aja. Misalnya pas aku lagi capek dan stress karena kerjaan, atau pas aku lagi seneng kayak sekarang.”

Gino mengulum senyumnya lalu mengangguk paham. Gino dan Axel kemudian mulai menyantap pizza di hadapan mereka sambil bercerita. Gino lantas memulai pembicaraan mereka dengan bertanya tentang pekerjaan Axel hari ini di kantor. Pasalnya, Axel sangat hectic dan terlihat lelah. Beruntung, Axel berkata bahwa dia tak merasa stress karena itu.

“Kamu di rumah doang seharian tadi ya?” kini Axel yang bertanya.

“Mhm, kayaknya aku kecapean gara-gara pas di Oxford kemarin aku main sepedaan lama banget.”

“Tapi seneng kan?” kekeh Axel.

“Iya, seneng kok.” Gino mengulas senyum manis di bibirnya, tapi saat dia tiba-tiba mengingat satu hal, dia pun berdeham. “Xel, aku kan udah cerita sama kamu soal hubungan masa lalu aku, bahkan pengalaman buruk aku dalam hal percintaan. Kamu gak mau cerita juga gitu? Aku penasaran, jujur.”

Axel menopang kepalanya di sandaran sofa sambil menatap wajah Gino, “Aku baru pacaran satu kali selama aku hidup tau, Gin. Itupun pas aku SMA doang, gak lama sebelum aku pindah.”

Gino kaget, “Jangan bilang kamu putus sama pacar kamu gara-gara kamu musti pindah ke sini?”

“Gak,” kekeh Axel. “Aku emang udah putus sama mantan aku itu sebelum Mamaku bilang kita berdua bakalan ikut Papa ke UK.”

“Terus aku putus sama dia gara-gara aku tau kalau dia tuh cuma manfaatin aku,” Axel tersenyum kecut mengingatnya. “That’s why sekarang aku susah banget nemu orang yang cocok buat aku jadiin pacar bahkan calon pasangan hidup. Soalnya, aku selain gak pengen ketemu sama orang yang gampang kemakan kalimat manis kek suami pertama Mamaku, aku juga takut ketemu orang yang gak tulus sayang sama aku, Gin.”

“Kata orang, aku terlalu pemilih. Tapi kalau gak pemilih kek gini, aku mungkin bakalan ketemu sama orang yang gak tepat lagi kan?” timpalnya lalu terkekeh.

Gino mengangguk, “Kita emang musti jadi orang yang pemilih kalau udah menyangkut teman hidup. Aku juga kayak gitu kok.”

“Seumur hidup itu lama banget buat dijalani dengan orang yang gak tepat,” timpalnya dan dibalas anggukan setuju oleh Axel.

“Aku orang yang tepat kok, Gin.” Goda Axel, sedang Gino hanya menahan senyum lalu kembali menenggak perlahan birnya.

“Terus gimana kamu bisa yakin kalau aku ini orang yang tepat buat kamu sih, Xel?” tanya Gino.

“Karena aku sama kamu saling melengkapi, Gin.” senyum Axel kembali merekah, “Kamu punya masa lalu yang pahit dan mirip sama masa lalu Mama aku, jadi aku nggak akan mungkin biarin kamu ngalamin hal yang serupa untuk kedua kali. Karena sama aja aku nyakitin Mama aku juga kalau aku jadi orang yang kayak Papa kandungku. Aku gak mau jadi orang jahat kayak dia, Gin.”

“Dan aku… Aku juga punya masa lalu yang gak mengenakkan. Aku ngeliat gimana Papaku khianatin Mamaku, aku juga ngeliat gimana mantan pacar dan orang-orang di sekitarku cuma manfaatin aku karena aku terlalu percaya sama mereka, tapi aku yakin kamu gak bakalan bikin aku ngerasain hal yang sama lagi, Gin.” timpal Axel.

“Karena kamu pun tau gimana rasanya dikhianati. Kamu… Tau gimana sakitnya dibohongi sama orang yang kamu suka dan udah kamu percayai,” katanya. “Kita ini sama-sama korban yang mencari orang yang tepat supaya kita gak ngerasain sakit serupa lagi kan?”

We heal each other, Gin…” Axel kemudian beralih membelai pipi kanan Gino, “Sejak aku kenal dan banyak ngobrol sama kamu, aku ngerasa bahagia dan jauh lebih hidup dari sebelumnya. Aku jadi punya tujuan yang jelas, padahal kemarin-kemarin aku tuh cuma letting my life go the way it is…”

“Tapi sekarang, aku pengen jadi orang yang jauh lebih baik buat kamu. Aku mau jadi seseorang yang bisa kamu andalkan dan bisa jadi support system kamu, yang bisa bikin kamu bahagia juga, just the way you did to me.”

Gino menatap mata Axel lamat-lamat. Dia seolah mencari celah kebohongan di sana, tapi sorot mata lelaki berlesung pipit itu justru menawarkan kesungguhan yang entah kenapa enggan Gino sia-siakan. Meski jauh di lubuk hatinya masih tersimpan sebuah ketakutan, namun Gino justru mendapatkan dorongan untuk berani mencoba; yang dia sendiri tidak tahu datangnya dari mana.

Gino kemudian menghapus jarak antara wajahnya dengan Axel. Ia lalu mengecup lembut bibir Axel sambil memejamkan mata, tapi persekian sekon kemudian, Axel justru mendorong pelan tubuh Gino hingga tautan itu terlepas. Axel menatap wajah Gino panik.

“Gin? Kamu tipsy ya?”

NoI’m completely sober, Xel.”

“Kamu gak bakal nyesel kan, abis cium aku?” Axel memastikan lagi dan dibalas anggukan oleh Gino.

Meski begitu, Axel masih terlihat skeptis atau lebih tepatnya tidak menyangka bahwa Gino akan mencium bibirnya seperti tadi.

I’ll give you a chance to run to your room right now if you feel the kiss was just an accident,” wajah bahkan suara Axel amat serius.

Gino sendiri hanya menghela napasnya pelan lalu kembali mengecup singkat bibir Axel.

And do you think this was an accident for the second time?

Axel menahan senyumnya lalu menggenggam tangan kanan Gino dengan tangan kirinya.

“Kamu udah gak ada kesempatan buat lari sekarang,” bisik Axel lalu menarik pelan tengkuk Gino dengan tangan kanannya. Kedua anak manusia itu pun akhirnya berbagi ciuman lembut, namun perlahan menjadi amat intens.

Selagi Axel memagut bibir Gino dan sesekali memiringkan kepala ke kiri dan kanan guna mencari posisi yang paling nyaman untuk melahap habis bibir manis Gino, ibu jari Axel pun tak henti-henti mengusap lembut punggung tangan si pujaan hati yang sedari tadi dia genggam. Melalui setiap usapan itu pula Axel seolah ingin mencoba memberitahu Gino secara tersirat bahwa Gino akan aman bersamanya dan tak perlu khawatir karena ada dirinya yang akan selalu menenangkannya.

Cukup lama saling berbagi saliva, Axel kemudian menyudahi lebih dahulu ciuman mereka. Dia lalu menatap wajah Gino yang telah memerah itu lamat lalu bertanya,

What are we?

Gino yang masih mencoba untuk mengatur napasnya tersenyum tipis lalu berkata, “More than friends, less than boyfriends, no?

“Tapi kita udah ciuman,” balas Axel, “Aku cuma pengen nyium pacar atau pasangan hidup aku, tau. Gimana dong? Kamu harus jadi pacar aku. Tanggung jawab.”

Gino terkekeh sebelum memeluk tengkuk Axel. Wajahnya pun dia tenggelamkan sejenak di pundak Axel, sementara Axel membalas dekapan Gino dengan memeluk erat pinggang rampingnya masih dalam posisi duduk di atas sofa.

“Kasih aku waktu dikit lagi ya, Xel?” gumam Gino sebelum menarik dirinya dari pelukan Axel guna melihat raut wajah lelaki di hadapannya itu. “Aku gak bisa ngebohongin diri aku sendiri kalau setelah beberapa hari aku ngabisin waktu aku di sini bareng kamu, aku tuh sadar kalau aku udah suka sama kamu.”

“Kamu nggak ada bedanya sama Axel yang aku kenal dari Tinder,” katanya. “You give me butterflies, and you make me feel safe here.

“Tapi aku justru belum siap buat ngubah status kita, bukan karena aku masih gak yakin atau enggak percaya sama kamu, tapi aku gak mau ketakutan yang masih ada di hati aku justru bakal jadi masalah dalam hubungan kita nanti.” kata Gino. “Aku… Khawatir kalau rasa takut aku itu bakalan jadi alasan aku kehilangan kamu yang udah bikin aku berani buat buka hati lagi. Aku nggak mau kehilangan orang yang aku sayang untuk kedua kali karena kesalahan aku.”

“Gin, aku ngerti kalau emang kamu belum siap buat ngubah status kita. I’ll be waiting for you. But pleaseCan you stop blaming yourself? Aku udah pernah bilang kan sama kamu? Kalau mantan kamu itu pergi ya karena emang dianya aja yang nggak bisa setia sama kamu. Aku gak suka kalau kamu ngomong gini soal diri kamu sendiri.” Axel menatap wajah Gino dengan raut sedu, “It hurts me. You are enough, Gin.”

Gino tersenyum haru diikuti anggukan kecil, “Thanks, Xel.”

“Jadi kamu udah suka aku kan?”

“Mhm,” gumam Gino sebelum menenggak habis birnya yang tersisa, pasalnya Axel tak henti-henti menatap wajahnya lamat sambil menyeringai tipis. Gino jelas salah tingkah dibuatnya.

“Pelan-pelan aja minumnya, aku gak bakalan minum bir itu dari mulut kamu kok.” goda Axel yang membuat Gino refleks terbatuk.

Axel lantas panik lalu mengusap punggung Gino, “Are you okay?”

“Kayaknya aku udah ngantuk deh, Xel.” Gino berdeham pelan, “Aku ke kamar duluan ya. Bye.”

“Okee. Sweet dreams, Sayang.”

Gino yang baru saja bangkit dari sofa seketika mendelik ke arah Axel sebelum memukuli lelaki yang dia sukai itu dengan bantal.

“Kita belum pacaran ya, gak usah manggil-manggil sayang segala.”

Axel tertawa, “Kan latihan, Gin.”

“Bodo ah,” gumam Gino sebelum bergegas meninggalkan ruang tengah menuju kamar tamu. Sementara Axel justru refleks merebahkan tubuhnya di sofa sambil menggeliat seperti ulat karena gemas sekaligus bahagia.