Impatient
Tidak kunjung mendapatkan satu pun balasan atas pesannya pada Naka sejak sore tadi membuat Saka lantas mendatangi kantor sahabatnya itu. Meski jarum jam sudah menunjuk tepat ke angka sembilan malam, tapi Saka yakin Naka masih berada di studionya.
Sesuai dugaannya, ketika Saka membuka pintu studio utama sahabatnya itu, dia mendapati Naka sedang sibuk berkutat di depan komputer. Naka jelas tak menyadari kehadirannya, sebab telinga Naka ditutupi headphone hingga dia tidak bisa mendengar apa-apa selain musik yang kini sedang dia kerjakan amat serius.
Saka lalu menghampiri Naka dan membuka pelan headphone dari telinganya sang sahabat. Saat itu pula Naka lantas mendongak dan mendapati Saka telah berdiri di sisinya sambil menatapnya lekat-lekat sejenak sebelum bersuara.
“Kenapa chat gue gak lo baca?”
Naka menghela napas, “Lo gak liat gue lagi sibuk? Kan kita bisa ngomong pas pulang ke rumah.”
“At least kasih tau gue dong, Na. Bilang kalau lo ada kerjaan biar gue nggak khawatir,” lirih Saka.
Naka hanya dia sambil menatap lurus ke dalam netra madu Saka sesaat, “Gue lagi capek banget, Sa. Gak usah ngajak berantem.”
Saka tidak mengatakan apa-apa. Dia pun memilih berbalik lalu berjalan ke arah sofa panjang yang ada di dalam studio Naka. Sementara itu, Naka kembali memusatkan atensinya ke arah layar komputer di hadapannya.
Selagi Naka masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya, Saka yang duduk bersandar pada sofa pun tak henti-hentinya memandangi Naka dari arah belakang. Meski yang bisa Saka lihat hanyalah punggung Naka, tapi Saka bisa menebak bahwa sahabatnya itu sama frustasinya dengan dirinya. Nampak dari gerakan Naka yang sesekali memijat keningnya dan hembusan napasnya yang berat.
Waktu terus berjalan dan Saka masih menunggu Naka hingga sahabatnya itu selesai dengan pekerjaannya. Sudah terhitung dua puluh lima menit sejak Saka duduk di sofa sambil mengamati Naka dalam diam. Kemeja putih Saka yang awalnya terkancing rapih kini telah dibuka dari dua kancing teratas. Meski studio Naka memiliki penyejuk ruangan, namun Saka merasa pendingin itu tak mampu meredam gejolak yang ada di dalam dirinya saat ini
Ketika layar komputer di depan Naka akhirnya menjadi gelap, tanda bahwa Naka baru saja mematikan dayanya, Saka lantas menghela napas lega. Terlebih saat Naka mulai beranjak dari kursinya dan menghampiri Saka sebelum ikut duduk di atas sofa.
“Apa yang tadi gue lakuin salah ya, Na?” tanya Saka tanpa basa-basi. “Gue gak seharusnya ngasih tau lo soal perasaan gue ini ya?”
“Lo gak salah kok,” jawab Naka. “Pasti lo juga lega abis confess.”
Naka tersenyum miring, “Gue cuma bingung harus bereaksi kayak gimana. On the one hand, I feel good, but on the other hand, everything just feels so wrong…”
“Gue juga ngerti lo ngelakuin itu lagi-lagi buat gue,” timpal Naka. “Mungkin ini yang bikin gue suka sama lo ya, Sa? Bahkan di situasi yang sulit buat lo sekalipun, elo tuh selalu aja mikirin gue supaya gue gak menderita lebih dari lo.”
“Makanya gue selalu ngerasa aman sama lo,” jelas Naka.
Saka dan Naka pun berbagi senyum sejenak. Meski sorot mata mereka masih terpancar keputusasaan, namun di balik dada mereka timbul kesejukan tiap kali mereka mencoba untuk saling memahami satu sama lain.
“Mungkin ini juga yang bikin gue suka sama lo, Na.” kata Saka, “Lo selalu nyoba buat ngertiin setiap perlakuan gue dari berbagai sisi. Lo ngingetin gue kalau gue salah, gitu juga sebaliknya. Lo pun gak pernah lupa mengapresiasi gue sekecil apapun yang gue lakuin.”
“Lo gak pernah bikin gue ngerasa ditinggalin,” timpalnya lembut.
Saka lalu meraih tangan kanan Naka dan menggenggamnya erat, “Kita pulang sekarang ya? Mata lo kelihatan udah capek banget.”
Saka lantas bangkit masih sambil menggenggam erat tangan Naka, namun bokong Saka justru harus kembali mendaratkan mulus di permukaan lembut sofa itu kala Naka menariknya dengan kuat. Waktu pun terasa begitu cepat bagi Saka ketika Naka tiba-tiba mengikis jarak wajah mereka hingga berakhir mengecup bibir penuhnya. Kecupan itu pun bertahan selama beberapa saat sebelum Naka kembali menatap lamat-lamat netra madu Saka.
“Jadi gini ya rasanya ciuman sama cowok?” kekeh Naka.
“Kayaknya lo harus belajar dulu deh sama ahlinya,” ledek Saka.
“Siapa emangnya?”
“Gue,” bisik Saka sebelum meraup bibir tipis Naka.
Saka melumat lembut bibir atas dan bawah Naka bergantian. Pun Nala yang dengan sigap berusaha mengimbangi pagutan Saka yang temponya berangsur cepat. Baik itu Saka maupun Naka sama-sama memejamkan mata sambil terus berbagi rasa manis dari ciuman pertama yang tercipta di antara mereka. Mereka seolah tidak ingin memikirkan hal-hal menyakitkan yang mungkin akan mereka lewati kedepannya untuk saat ini. Saka juga Naka hanya ingin membebaskan rasa yang sudah lama mereka pendam.
Terlalu larut dalam ciuman yang semakin berantakan dan liar itu membuat Naka nyaris kehilangan akal. Di sela-sela aksinya yang menciumi rakus bibir Saka, jari Nala lantas menggerayangi satu persatu kancing kemeja Saka. Namun, sebelum dia berhasil membuka semua kancing itu, Saka lebih dulu menahannya.
“Calm down,” Saka terengah-engah lalu terkekeh lembut. “Kamu gak sabaran banget.”
Mendengar Saka menggunakan sapaan ‘aku–kamu’ membuat Naka seketika pening. Dia lalu bernisitaif bangkit dari posisinya saat ini dan berakhir duduk di atas pangkuan sahabatnya itu.
Naka kemudian mencengkeram kedua pergelangan tangan Saka dan meletakkan masing-masing di samping kepala sang sahabat yang kini bersandar pada sofa. Setelahnya, Naka lantas sedikit membungkuk hingga wajahnya sejajar dengan Saka lalu berbisik.
“Lo top apa bottom, Sa?”
“I can do both for you,” seringai Saka, sedang Naka menggigit bibir bawahnya sesaat sebelum kembali menciumi bibir Saka.
Ciuman Naka kemudian perlahan turun ke leher hingga dada Saka, namun lagi-lagi, Saka tiba-tiba menghentikan aksinya. Terlebih, saat Naka mencoba melepaskan celana kain yang dikenakan Saka.
“Kita gak ada persiapan apa-apa, Na. Making love sama cewek dan cowok itu beda banget loh,” kata Saka dengan suara lembutnya. “Let’s go home first. Di rumah gue ada kondom sama lubricant kok.”
“Cuma butuh dua itu kan?” tanya Naka yang dibalas anggukan oleh Saka. “Kalau gitu biar gue beli di Alfamart dulu. Lo tunggu di sini.”
Saka hanya mampu menganga melihat Naka bangkit sebelum bergegas keluar dari studionya. Naka benar-benar tak sabaran.