jaesweats

See? Kita gak bau, Bi.”

Jeva melipat lengan di depan dada sambil tersenyum puas.

“Pasien terakhir di ICVCU udah keluar tadi,” timpalnya, “Malam ini kita cuma jagain bed kosong.”

Biru yang semula sedang sibuk memeriksa tugas dari dosen saat kuliah pagi tadi lantas melirik ke Jeva. Sorot mata Biru pun kesal.

Sementara itu, Rayhan yang ada di samping Jeva hanya terkekeh sambil memerhatikan interaksi dua sekawan itu. Terlebih, Jeva sedari tadi asik mengusili Biru. Sangat menyenangkan melihat keduanya sesekali beradu mulut.

Ditambah lagi, yang Rayhan lihat dari Biru selama ini hanya lah sisi tenang dan tidak banyak bicara. Tapi saat bersama Jeva, Biru akan selalu mengoceh dan mengomel.

“Lo kalau ngomong gitu sama aja lagi mengundang tau gak?” decak Biru, “Lo gak inget waktu jaga di RSJ apa? Pasien tiba-tiba rame pas lo abis bilang tumben sepi.”

Tawa Jeva terbebas. Namun saat sadar kalau dia sedang berdiri di depan meja perawat ICVCU, Jeva mengulum bibirnya rapat-rapat. Jeva takut diomeli lagi nantinya.

“Lo percaya mitos itu, Bi?”

Biru mengangguk, “Mm.”

“Tapi gue gak percaya,” sela Jeva, “Gue yakin, waktu itu tuh cuma kebetulan. Mau gue buktiin gak?”

“Lo gak usah banyak tingkah deh malam ini,” Biru menutup lembar tugas juga logbook-nya, “Lo jaga di sini dulu ya, gue mau ke toilet.”

“Kalau gue bilang, tumben sep—”

Ucapan Jeva terhenti ketika Biru menonjok bahunya cukup keras sebelum melenggang ke toilet. Jeva pun mengulum bibir rapat-rapat sambil menahan erangan. Tapi di persekian detik kemudian Jeva justru senyam-senyum sambil memandangi figur Biru.

“Biru lucu ya kalau lagi kesel.”

“Mm.”

Jeva refleks bergumam, masih sambil tersenyum. Namun saat sadar jika dia baru saja merespon ucapan Rayhan, Jeva lantas kaget lalu berdeham. Dia pun berusaha menghindari tatapan si ketua.

“Maksud gue, Biru lucu karena dia kalau kesel tuh kayak orang lagi ngelawak. Nothing more.”

Jeva menjelaskan tanpa diminta. Membuat senyum meledek di bibir Rayhan semakin lebar.

“Kenapa lo senyam-senyum sih?” decak Jeva, “Udah, balik ke Julian sana. Kasian dia jaga sendirian.”

Rayhan menarik napas dalam-dalam lalu mengangguk pelan. Senyumnya masih belum hilang, membuat Jeva kian salah tingkah.

“Pergi lo, Ray.” usir Jeva.

“Lo boleh bohongin orang lain kalau lo nggak suka Biru,” tutur Rayhan, “Tapi jangan bohongin diri lo sendiri, Jev. Mata lo tuh gak bisa bohong. You adore him more than a friend. Just saying.”

Jeva menatap lurus ke dalam mata Rayhan sesaat sebelum membuang muka. Bersamaan dengan helaan napas panjang.

“Menurut lo Biru tau gak?” tanya Jeva dengan tatapan kosongnya.

“Untuk sekarang sih gue gak tau,” sahut Rayhan. “Gue belum kenal Biru se-dalam lo. So i’m sure you know it more than anyone, Jev.

“Tapi menurut gue, cepat atau lambat, Biru will figure it out.”

Satu tangan Rayhan kemudian menepuk pelan pundak Jeva.

“Gue ngerti kalau Biru sensitif sama hubungan sesama jenis,” timpal Rayhan, “Tapi lo jangan takut buat jujur, Jev. Karena pada akhirnya, Biru pasti bakalan tau.”

Jeva tersenyum miring, matanya sendu. Kepalanya menunduk.

“Gue tau,” gumam Jeva, “Tapi gak semudah itu. I might hurt him.”

Rayhan menghela napas panjang, “Oke, semuanya balik ke lo kok.”

Jeva menoleh ke temannya itu. “Gue bisa percaya sama lo kan?”

Rayhan yang paham akan arah pembicaraan Jeva mengangguk.

“Gue juga masih pacaran sama Julian, tapi kita pura-pura udah putus biar nggak ketahuan.” kata Rayhan “Jadi kita satu sama kan? Lo tau rahasia gue, dan gue tau rahasia lo. Gue percaya sama lo.”

“Bener-bener ya lo berdua.” Jeva tak habis pikir, “Tapi bagus deh.”

“Kalau gitu gue balik ke Jul dulu.”

“Oke,” Jeva melambaikan tangan.

Sesaat setelah Rayhan pergi, Jeva lantas dibuat kaget saat telepon ruang ICVCU berdering. Alhasil, tanpa harus menunggu perintah dari perawat terlebih dahulu—seperti biasa—dia dengan sigap menjawab panggilan telepon itu.

“Halo, dengan Ruang ICVCU.” sapa Jeva pada sang penelpon.

“Saya Jeva, Koas Kardiologi. Ada yang bisa dibantu?” tanyanya.

“Halo, Dek. Tolong sampaikan kepada perawatnya, ada pasien baru dari ruangan akan masuk ke ICVCU dengan diagnosa chest pain ecg STEMI.” kata sosok di seberang sana yang Jeva duga adalah salah satu Dokter residen.

“Mohon dipersiapkan ya. Terima kasih,” jelasnya, Jeva agak kaget.

“Baik, Kak.”

Biru yang telah datang dari toilet menghampiri Jeva dan bertanya.

“Kenapa, Jev?”

“Ada pasien,” Jeva mendesis, “Lo tunggu di sini. Gue mau bilang ke perawat dulu buat nyiapin bed.”

Biru mengangguk, sedang Jeva lantas bergegas ke arah perawat. Setelahnya, mereka kemudian masuk ke ruang ICVCU bersama.

Perawat menyiapkan bed serta alat-alat penunjang. Biru juga Jeva pun berusaha membantu, meski lebih banyak memantau. Sebab, baru kali ini mereka jaga malam di ruang ICVCU yang jelas sangat berbeda saat di RSJ dulu.

Sampai tak lama berselang, suara brangkas menggema hingga kian mendekati ruangan ICVCU. Jeva dan Biru hanya saling menatap sejenak dengan raut gugupnya. Terlebih saat mereka sayup-sayup mendengar suara pasien yang amat jelas tengah kesakitan.

Ketika pasien itu telah masuk ke ruangan ICVCU, dapat Jeva dan Biru lihat jelas bahwa sosok itu adalah pria paruh baya berbadan tambun. Pasien itu lalu menjerit sambil mencengkeram dadanya.

“Dok… Sakit…”

Tanpa membuang waktu, pasien itu dipindahkan dari brangkar ke bed oleh perawat yang dibantu Jeva dan Biru. Sementara di sisi bed pasien ada seorang Residen Kardiologi yang membantu satu perawat lain memasang masker oksigen juga oximetry ke pasien.

“Papaaa!”

“Dokter, Papa saya!”

Atensi Biru lantas beralih ke arah anak kecil lelaki yang dia tebak berusia delapan tahunan. Anak itu menangis tersedu-sedu saat melihat si Papa terbaring di bed.

“Dek...” Jeva yang juga melihat anak itu menangis pun berkata, “Adek tunggu di luar dulu yaa?”

“Dokter, Papa saya enggak akan kenapa-kenapa kan?” tanyanya.

Jeva melirik Biru juga perawat dan residen yang ada di sana sebelum kembali memandangi wajah sembab anak lelaki tadi.

“Dokternya bakal berusaha kok buat bikin Papa adek sembuh,” Jeva menenangkan anak itu, “Ayo, Kakak anterin ke luar ya.”

Biru hanya memerhatikan Jeva yang mengantar anak laki-laki itu keluar dari kubical bed yang dibatasi dengan tirai berwarna hijau muda. Di antara celah tirai, Biru masih bisa melihat anak itu tersengguk-sengguk melihat si pria paruh baya yang kini telah mendapatkan terapi dari residen. Nampak anak itu tidak ingin jauh dari Papanya, namun Jeva harus tetap membawanya untuk keluar.

“Dek, kamu Koas yang jaga kan?”

Biru terlonjak saat sang Dokter residen menepuk pundaknya.

Terlalu larut memikirkan anak tadi, Biru sampai nyaris tidak sadar jika residen telah selesai melakukan tindakan. Beruntung, residen yang Biru kenal bernama Dokter Sean itu cukup baik dan tidak menggertak karena dirinya malah terjebak dalam lamunan.

“Iya, Kak.”

“Pasien ini tolong di-follow ketat ya,” titah sang Dokter Residen.

“Baik, Kak.”

Dokter Residen kemudian keluar dari kubical itu. Biru pun beralih memerhatikan sang pasien yang terbaring di atas bed. Nampak pria paruh baya itu sudah mulai agak tenang, meskipun sesekali wajahnya menunjukkan ekspresi tidak nyaman dan sesak napas.

“Gimana, Bi?”

Biru yang masih setia berdiri di samping bed pasien menoleh ke Jeva yang datang. Suara teman Koas-nya itu sangat lah pelan.

“Dokter Sean nyuruh kita buat monitor ketat pasien,” kata Biru.

Jeva mengangguk paham.

“Terus gimana sama anaknya?”

“Lagi diajak ngobrol sama Dokter Sean di luar,” jawab Jeva, “Kasian banget gue denger cerita dia, Bi.”

“Emang dia kenapa?” bisik Biru.

“Katanya, Papa sama Mamanya tuh baru cerai satu tahun lalu. Terus dia tinggal sama Papanya.”

Jeva menatap sendu ke arah pasien, “Sejak Bapak ini cerai sama istrinya, dia sakit-sakitan.”

“Sebelumnya, pasien ini juga udah pernah kena serangan jantung kayak gini.” jelas Jeva.

“Terus keluarganya yang lain mana?” tanya Biru lagi, “Kenapa cuma anaknya yang nemenin?”

“Pada di luar kota katanya,” jawab Jeva, “Tapi adek yang di luar tadi udah nelfon Mamanya sebelum bawa Papanya ke rumah sakit tadi. Masih di jalan deh paling.”

“Dokter…”

Jeva dan Biru kompak menoleh ke pasien saat mendengar suara pelannya. Si pria paruh baya pun masih meringis kesakitan di bed.

“Iya, Pak?” sigap Biru.

“Anak saya… Tolong…”

“Mau dipanggil, Pak?” tanya Jeva.

Si pasien mengangguk lemah.

“Sebentar ya, Pak.”

Jeva pun bergegas keluar, sedang Biru kembali memonitor pasien.

“Bapak kalau ada keluhan lain, boleh kasih tau saya ya, Pak.”

Anggukan lemah kembali jadi respon dari si pria paruh baya.

“Papaaaa!”

Anak lelaki itu berlari ke arah si paruh baya, berdiri di samping bed. Air matanya kembali jatuh.

“Papa udah sembuh kan?” anak itu tersengguk-sengguk, “Papa udah boleh pulang abis ini kan?”

“Maafin Papa,” lirih sang pasien. “Nala baik-baik sama Mama ya?”

Anak bernama Nala itu seketika menggeleng kuat, “Nala maunya sama Papa aja. Jangan pergi, Pa.”

Tidak ada kata lain yang terucap dari bibir si pasien, sebab jeritan kesakitan kembali terbebas dari celah bibir pucatnya. Bersamaan dengan alarm monitor yang menyala dengan kencang dan menunjukkan bahwa serangan terjadi lagi. Jeva dan Biru panik lalu menekan bel di samping bed. Sementara anak pasien itu kian histeris melihat kondisi Papanya.

Dalam sekejap mata, si Dokter Residen yang berjaga pun datang dan menghampiri pasien. Dokter Sean menatap monitor sekilas dan menadapati jantung si pria paruh baya berhenti berdetak.

“Papaaa, jangan tinggalin Nala!”

Tangan Biru membeku seperti es melihat anak lelaki di sisinya itu menangis sejadi-jadinya. Tanpa sadar mata Biru mulai memanas hingga berkaca-kaca. Dadanya pun terasa amat sesak ketika mendengar Nala mengucapkan kalimat yang membuat tungkai Biru melemas itu berkali-kali.

“Bi, minggir dikit.” bisik Jeva di samping Biru yang membeku, “Dokter Sean mau ngasih RJP.”

Heran melihat Biru tak berkutik, pada akhirnya Jeva lalu menarik pelan pinggang Biru. Alhasil, si Dokter Residen bisa dengan leluasa memberikan Resusitasi Jantung Paru atau CPR ke pasien.

“Bi, lo kenapa?”

Jeva khawatir. Sebab dia melihat napas Biru mulai tidak beraturan.

“Jev, gue mau bantu ngasih JPO.”

“Eh bentar,” Jeva melarang, “Kita belum dikasih instruksi apa-apa.”

“Tapi Papanya enggak boleh ninggalin dia,” balas Biru lirih.

Jeva mendesis pelan lalu kembali menatap si Dokter Residen yang berusaha keras untuk membuat detak jantung pasiennya kembali. Namun sampai beberapa puluh menit berlalu, belum juga timbul tanda detak jantungnya kembali.

“Dok, boleh saya bantu?” tawar Biru saat melihat kening Dokter Sean telah dibanjiri keringat.

Si Dokter Residen mengangguk. Membiarkan Biru melakukan tindakan yang telah diajarkan. Namun nihil, sampai tangan dan pinggul Biru mulai lelah pun tak ada tanda detak jantung pasien kembali. Biru hampir menangis.

“Bi, gantian. Lo udah keringetan.”

Jeva membiarkan Biru untuk beristirahat dan beralih memberi tindakan pijat jantung ke pasien. Tapi hasilnya tetap saja sama.

Sementara itu, Dokter Sean yang telah selesai memberi obat-obat emergency kepada pasiennya itu pun meminta Jeva berhenti pula. Sebab kini keringat Jeva bahkan telah menetes ke tubuh pasien.

Sang Dokter Residen kembali mencoba memberi RJP. Namun, setelah nyaris satu jam, usaha mereka tidak membuahkan hasil.

Saat itu pula, dengan berat hati, si Dokter harus menyampaikan berita kematian di depan Nala; anak pasien. Bersamaan dengan sosok wanita paruh baya yang baru saja datang, tepat setelah jiwa si paruh baya meninggalkan dunia untuk selama-lamanya.

“Papaaaa!”

“Mas! Bangun, Mas! Kamu jangan bercanda, Mas!” teriak si wanita paruh baya, “Jangan pergi, Mas!”

Mendengar dan melihat anak juga Ibu itu bersahut-sahutan di depannya sambil menangis keras membuat Biru semakin lemas. Ia menatap kosong ke arah pasien dengan pipi yang telah basah.

“Bi,” Jeva yang berdiri di samping Biru lantas menggenggam erat tangan temannya itu. “I’m here.”


Usai menyaksikan kepergian si pasien beberapa jam yang lalu, Biru dan Jeva kembali berjaga di ICVCU seperti semula. Tidak ada tanda-tanda jika pasien lain akan datang, malam pun sudah kian larut. Tapi, Jeva dan Biru justru belum tertidur. Keduanya duduk bersisian di kursi konsultasi.

Jeva bisa melihat gelagat murung Biru sedari tadi. Sejak mereka duduk di kursi itu, Biru bahkan belum pernah mengucapkan sepatah kata padanya. Namun, Jeva paham bahwa pengalaman pertama Biru melihat pasien yang tidak bisa tertolong lagi pasti membuatnya amat sedih.

We did our best, Bi.” kata Jeva sambil merangkul bahu Biru.

“Tapi kita nggak bisa ngelawan kehendak sang pencipta,” lanjut pemilik si lesung pipi. “Apa yang bisa gue lakuin supaya lo bisa ngerasa lebih baik? I will do it

Biru menoleh ke Jeva sebelum menggeleng pelan. Setelahnya, Biru hanya menghela napasnya panjang sebelum menyandarkan kepala di bahu Jeva. Dia perlahan memejamkan mata saat tidak ada penolakan dari teman Koasnya.

It’s okay to feel sad, Bi. It’s okay.”

Jeva mengusap pelan rambut Biru dengan satu tangannya. Sementara itu tangannya yang lain menggenggam jemari Biru.

“Makasih ya, Jev.” gumam Biru.

Jeva tersenyum, “Mm.”

Jeva duduk di salah satu kursi yang tidak jauh dari gerobak tukang nasi goreng. Di sana pula Jeva bisa sesekali melirik ke arah jalan di depan warung makan itu untuk memastikan apakah Biru sudah datang atau belum.

Sampai tidak lama berselang, sebuah mobil Ayla berwarna putih terparkir di depan warung. Jeva pun sedikit memicing, sebab mobil itu nampak tidak asing. Namun, Jeva belum bisa mengingat pasti di mana dia pernah melihatnya.

Persekian sekon kemudian, sosok yang sedari tadi Jeva tunggu keluar dari mobil itu. Biru nampak tersenyum ramah sebelum kendaraan roda empat yang mengantarnya tadi meninggalkan jalan di depan warung makan.

“Bi!”

Pandangan Biru seketika tertuju ke Jeva yang meneriakinya. Biru kemudian geleng-geleng kepala lalu menghampiri temannya itu.

“Kenapa pake teriak-teriak segala sih?” kata Biru bersamaan dengan bokongnya yang telah mendarat di kursi tepat di samping Jeva, “Ganggu orang yang lagi makan tau.”

“Enggak,” Jeva mengedarkan pandangan ke meja lain sejenak, “Tuh, mereka diem-diem aja.”

Biru hanya mendengus, sebab seorang pelayan warung telah mendatangi mereka. Jeva pun mulai memberitahu pesanannya diikuti Biru yang juga memesan menu serupa; nasi goreng ayam. Usai sang pelayan melenggang pergi, Jeva lantas kembali bersuara.

“Yang nganterin lo tadi siapa sih, Bi?” tanyanya, “Kayaknya gue pernah liat mobil itu deh.”

Biru berdeham, terlihat ragu untuk memberitahu Jeva. Namun, tatapan menuntut temannya itu entah kenapa tidak bisa membuat Biru menutupinya. Biru yakin akan lebih banyak pertanyaan dari Jeva jika dia tidak mengatakan yang sesungguhnya.

“Itu Kak Maudy, residen yang bantuin kita pas di poli RSJ kemaren.”

“Nah, bener kan. Berarti gue liat mobilnya di parkiran RSJ,” mata Jeva kemudian menyipit, “Kok lo bisa ke sini bareng dia?”

“Gue ketemu sama dia di luar tadi,” Biru mengambil tisu lalu mengelap meja di hadapannya yang sedikit basah, “Terus dia sekalian mau ke daerah sini, jadi ya udah, dia ngasih gue tebengan.”

“Oh, jadi yang lo bilang ada urusan di luar tuh buat ketemu sama dia?” tanya Jeva dengan nada meledek, “Lo deket sama dia ya gue liat-liat.”

Biru hanya diam. Dia menyibukkan dirinya dengan mengecek notifikasi dari Dara di gawainya.

“Lo lagi PDKT sama dia, Bi?”

Seperti biasa, Jeva tidak akan bisa diam begitu saja. Seolah tak ada kepuasan atas jawaban Biru.

“Jadi tipe lo cewek yang lebih tua nih?” timpalnya.

Helaan napas panjang Biru bebaskan, diikuti tatapan kesalnya kepada Jeva.

“Jangan mulai deh, Jev.” Katanya, “Gue ke sini mau makan sama lo, gak usah bikin badmood.”

“Yang harusnya badmood itu gue,” decak Jeva.

Celetukan Jeva membuat alis Biru bertaut, “Maksud lo?”

“Lo gak bilang kalau mau nge-date,” cebik Jeva, “Tau gini gue gak usah bawain barang lo ke kos-an, biar gebetan lo aja noh yang bantuin. Masa dia gak ada usaha nunjukin perhatian ke lo?”

“Jadi lo bawain barang gue ke kos-an buat nunjukin perhatian lo?” balas Biru.

Jeva melipatan lengannya, “Masih perlu gue jawab?”

“Kenapa?” tanya Biru, “Lo kan bukan gebetan gue?”

“Tapi gue lagi nge-gebet lo,” jawab Jeva.

Tubuh Biru mendadak beku seperti es saat mendengar penuturan Jeva. Dia pun seketika menyesal bertanya seperti tadi.

“Sekali lagi lo bilang gitu, gue pergi.” Biru membuang muka.

Jeva tersenyum, mendekatkan wajahnya ke telinga Biru lalu berbisik. “Gue nge-gebet lo, Bi.”

Menghela napas berat, Biru kemudian berdiri dari kursinya. Namun sebelum kakinya terangkat guna berpura-pura hendak meninggalkan tempat itu, pergelangan tangan Biru sudah lebih dulu dijegal oleh Jeva. Pemilik lesung pipi itu tertawa sambil menarik Biru agar kembali duduk di sampingnya.

“Mau ke mana sih, Bi? Abangnya udah bikin nasi goreng buat kita.”

Biru hanya memberi death glare, namun Jeva kembali tertawa.

“Masih mau nanya ‘kenapa’ ke gue gak? Hm?” ledek Jeva.

“Gak,” jawab Biru singkat.

Jeva lantas menahan tawanya. Dia mengulum bibir sambil menoyor pelan kepala Biru.

“Kan kemaren gue udah bilang, gue bakalan berhenti jagain lo, termasuk ngasih lo perhatian kayak gini, kalau udah ada yang gantiin posisi gue.” jelas Jeva.

“Jadi kalau lo punya gebetan, bilang sama gue.” timpalnya.

“Biar gue liat usaha dia gimana. Dia bisa jagain lo dan merhatiin lo apa gak kalau udah pacaran sama lo nanti,” Jeva tersenyum.

“Gue nggak bakalan ngasih restu kalau gebetan lo gak ada inisiatif buat merhatiin dan jagain lo, Bi.”

“Terus kalau lo gak ngasih restu, gue bakal peduli gitu?” cibir Biru.

“Lo mungkin gak peduli, tapi gue bakal terus gangguin lo ampe lo peduli.” Jeva menjulurkan lidah.

Biru mendengus, “Whatever.”

Jeva tersenyum lembut, sedang matanya menatap Biru lamat.

“Jadi lo beneran lagi PDKT sama Kak Maudy, Bi?” tanya Jeva.

“Enggak,” decak Biru. “Dibilang tadi cuma ketemu. Lo aja yang mikirnya malah ke mana-mana.”

“Ya lo gak nge-jawab sih tadi,” kata Jeva, “Diem berarti iya.”

“Mending lo yang diem deh, Jev.” decak Biru, “Gue tuh makin laper dengerin lo ngoceh tau nggak?”

Jeva melakukan gerakan menarik resleting ke samping di depan bibirnya. Dia tersenyum sambil menopang kepalanya dengan tangan di atas meja sebelum menatap wajah Biru lekat-lekat.

Biru yang semula memandangi layar gawai karena membalas pesan Dara tidak menyadari jika Jeva sedang memusatkan atensi padanya. Sampai saat dia melirik ke arah temannya itu, Biru ikut terjebak ke dalam permainan adu pandang yang Jeva ciptakan.

“Kenapa lo senyam-senyum?”

“Lo juga senyam-senyum,” balas Jeva diikuti kekehan. “Kenapa?”

Biru mengulum bibir, berusaha menyembunyikan senyum tipis yang entah sejak kapan terlukis di sana. Dia lalu meletakkan telapak tangannya di atas wajah Jeva agar temannya itu berhenti memandanginya. Namun, Jeva justru tiba-tiba saja meraih pergelangan tangan Biru. Jeva kemudian mengendus wangi segar yang menguar dari sana.

“Lo abis ganti parfum, Bi?”

“Mm. Enak kan wanginya?”

Jeva mengangguk, “Bagi dong.”

“Ogah,” Biru menarik tangannya yang masih digenggam Jeva hingga terlepas, “Entar gue malah dikira abis pelukan sama lo kalo wangi parfum kita sama.”

“Lo baru aja ngasih gue ide supaya gue meluk lo abis ini, Bi.”

“Peluk aja kalau lo berani.”

Biru lalu mengepalkan tinju di depan wajah Jeva, tapi temannya itu justru tertawa. Jeva nampak puas mengusilinya, sedang Biru hanya geleng-geleng kepala.

Pelayan pun membawakan es teh dan es jeruk—yang tadi dipesan Jeva dan Biru—lebih dulu. Hal itu juga menjadi sebuah pertanda pula kalau sebentar lagi nasi goreng mereka akan menyusul.

“Abis makan lo mau langsung pulang?” Jeva lalu membasahi tenggorokannya dengan satu tenggak es teh tawar yang ia pesan. Matanya menatap Biru.

Biru menggeleng pelan, “Gue mau nemenin lo di kos-an.”

Jawaban Biru sontak membuat Jeva terbatuk. Beruntung Jeva sampai tidak menyembur Biru yang saat ini menatapnya kaget sambil menepuk punggungnya.

“Pelan-pelan,” gumam Biru.

Sementara itu, Jeva seketika menatap Biru tidak percaya.

“Tadi lo bilang mau nemenin gue di kos-an?” Jeva menelan ludah, “Lo mau nginep di kamar gue?”

“Ya enggak lah, kan gue punya kamar sendiri.” jawab Biru.

“Tadi gue juga udah minta tolong sama si Julian supaya naroh satu kunci kamar buat gue di kos-an.”

Mata Biru kemudian memicing, “Kenapa lo keliatan kaget gitu? Lo takut gue tidur di kamar lo?”

“Enggak,” jawab Jeva cepat.

Biru masih menatap Jeva dengan raut mengintimidasi, “Jev, lo lagi nyembunyiin apa di kamar lo?”

“Gak ada, Bi.”

“Jangan-jangan lo bawa cewek?”

“Enggak,” Jeva mendesis frustasi.

“Gue cuma kaget aja gara-gara lo mau nginep gak bilang-bilang.” jelasnya, “Lo baik-baik aja kan? Atau lagi ada masalah di rumah?”

“Gak ada,” Biru mendengus.

“Dibilang gue mau nemenin lo di kos-an,” lanjut Biru bergumam.

“Tapi kenapa?”

Biru tersenyum mendengar pertanyaan Jeva barusan.

“Sekarang elo yang nanya ‘kenapa’ ke gue,” ledeknya.

Jeva menghela napas pasrah.

“Kena gue.”

Biru tertawa ringan, bersamaan dengan pelayan yang membawa pesanan mereka tadi. Namun, sebelum melahap nasi goreng ayamnya, Biru lantas bersuara.

“Abis makan temenin gue cari angin bentar ya, Jev?” pintanya.

Jeva terdiam untuk sesaat, sebab sangat jarang Biru mengajaknya untuk sekedar mencari angin di luar. Biasanya, Jeva lah yang lebih dulu harus membujuk Biru. Jeva pun tidak bisa menampik rasa heran sekaligus khawatirnya.

“Bi, lo beneran baik-baik aja?”

Alis Biru berkerut, “Emang gue keliatan lagi gak baik-baik aja?”

“Tingkah lo dari tadi agak beda dari biasanya tau, Bi.” kata Jeva.

“Beda gimana?”

“Gak biasanya lo mau keluar rumah kalau gak ada urusan penting,” jelas Jeva, “Terus lo juga jarang banget pengen ditemenin nyari angin. Jujur sama gue, Bi.”

Sejenak Biru menatap wajah Jeva sebelum membuang muka. Biru lalu beralih mengaduk-aduk nasi goreng ayamnya bersama asap yang masih mengepul dari sana.

“Gue baik-baik aja.”

Biru melirik Jeva sekilas sebelum kembali memusatkan atensinya ke nasi goreng di hadapannya.

“Kalau pun gue gak baik-baik aja kan ada lo di samping gue.” kata Biru, “Lo bilang bakal jagain gue sampai ada yang gantiin lo kan?”

Kepala Jeva mengangguk pelan. Dia lantas mati-matian menahan senyum agar tidak dilihat Biru.

“Gue udah boleh makan kan?”

“Mm, boleh.”

Jeva lalu mengacak-acak rambut Biru, “Makan yang banyak ya, Bi.”

“Kamu cantik banget, Sayang.”

Deva yang sedang mengunyah crab cake pesanannya seketika tersenyum malu-malu. Sebab, entah sudah yang ke-berapa kali Arga berbisik rendah di samping telinganya. Sang Alpha seolah tak pernah bosan memuji-mujinya. Terhitung sejak mereka masih di rumah tadi; sebelum berangkat.

Entah itu mengatakan bahwa dia suka penampilan Deva malam ini. Tangan Deva yang Arga genggam semakin lembut sejak hamil lagi. Dan masih banyak pujian lainnya.

Menoleh ke suaminya itu, Deva kemudian mengecup ringan pipi kanan Arga sekilas. Membuat si empu ikut tersenyum bahagia.

“Papi sama Papa kenapa cium-cium pipi di sini sih?” suara Danu yang melayangkan protes lantas menggema, “Danu nggak dikasih tau kalau boleh cium-cium juga.”

Kekehan mengalun merdu dari celah ranum Deva. Rasa gemas pun tidak tertahankan saat dia melihat anaknya itu merenggut.

“Loh, Papi kan suaminya Papa. Jadi Papi boleh cium-cium Papa dimana aja lah,” balas Arga usil.

“Tapi Danu kan anaknya Papa, Danu juga mau dicium-cium Papa dimana aja.” sela Danu.

“Udah, udah. Jangan ribut.”

Deva menengahinya lalu sedikit membungkuk. Deva mengecup pipi kiri sang anak yang duduk di sisi kanannya sejenak. Sementara Arga yang berada di sisi kirinya terkekeh pelan melihat mereka.

“Danu juga udah dapet kan?”

“Iya,” Danu pun tersenyum puas, “Makasih ya, Papa. Danu seneng.”

“Sama-sama, Sayang.”

Deva mengusap sayang puncak kepala Danu sambil tersenyum.

“Ayo, Danu lanjutin makannya.”

“Iya, Papa.” sahut Danu patuh.

“Kamu juga lanjutin makan kamu, Sayang.” Arga menyodorkan satu suapan crab cake yang telah dia potong kecil untuk sang Omega. “Si Baby masih laper kayaknya.”

Satu tangan Deva membelai pipi Arga. Saat makanan di mulutnya telah ia telan, Deva pun berkata.

“Makasih, Mas.”

Arga tersenyum manis sebagai jawaban. Membuat cekungan di kedua pipinya semakin dalam.

“Danu mau cobain ini juga gak?” Arga menawarkan. “Sini, Papi suapin. Buka mulut lebar-lebar.”

“Mau!”

Danu yang selalu bersemangat ketika Papi atau Papanya hendak menyuapinya seketika membuka mulut, seperti titah Arga. Namun bukannya menerima suapan dari sang Papi, Danu harus menelan kekecewaan karena Arga justru mengusili si buah hati. Pasalnya, Arga justru menyodorkan sendok berisi crab cake ke Danu, tapi ia buru-buru memakannya saat si sulung sudah ingin melahapnya.

“Papi!”

Arga mengunyah lalu menelan crab cake di mulutnya. Sesaat setelahnya, ia tertawa melihat raut kesal di wajah anaknya itu.

Deva geleng-geleng kepala. Arga selalu saja senang mengusili anak mereka. Meski begitu, Deva pun mengakui bahwa Danu sangatlah menggemaskan saat merenggut.

“Mas, jangan digituin ih anaknya.”

Deva menepuk paha suaminya. Arga masih memandangi Danu dengan tawanya yang tersisa.

“Sini, Sayang. Papi becanda tadi.”

“Gak mau.”

Danu mendorong piringnya yang kini masih menyisakan beberapa potong daging steak pesanan si Papi. Dia lalu mendongak pada Papanya sambil mencebik kesal.

“Danu udah gak mau makan.”

“Loh, Sayang…” Deva mendekap anaknya dari samping, “Danu lagi ngambek? Kesel ya sama Papi?”

Danu mengangguk lalu memberi death glare pada Arga yang mati-matian menahan rasa gemasnya. Sang Alpha menopang kepalanya dengan satu tangan di atas meja, senyumnya tidak pernah hilang.

“Mas, minta maaf sama Danu.”

Arga terkekeh pelan lalu meraih satu tangan Danu. Ia kemudian menggenggam jemari kecil itu.

“Papi minta maaf ya, Sayang?” ucap Arga, “Papi gemes banget kalau liat Danu sebel soalnya. Mukanya mirip sama Papa tau.”

Danu masih mencebik. Bibirnya yang ranum condong ke depan.

“Sekarang makanannya diabisin ya, Sayang?” bujuk Arga, “Danu udah belajar kan, kalau makanan nggak boleh disisain kayak gini?”

Danu mengangguk, “Papi udah Danu maafin, tapi Danu harus disuapin sama Papi ya. Paham?”

“Iyaaa, paham. Tapi disuapinnya satu kali aja ya,” kata Arga, “Buat gantiin yang tadi. Kan Danu udah gede. Maafinnya juga ikhlas kan?”

“Oke, Papi.”

“Pinternya anak Papi.”

Danu tersenyum simpul melihat Arga mulai mengambil makanan untuknya lalu menyodorkannya. Dengan senang hati Danu lantas menerima itu, melahapnya habis.

“Makasih, Papi.”

“Sama-sama, Sayang. Itu dilanjut lagi ya makannya,” titah si Alpha.

“Papi, kalau dagingnya udah abis, Danu boleh main ke sana nggak?”

Danu menunjuk ke area terluar rooftop restoran. Sebab, kini ia dan kedua orang tuanya berada di samping pintu penghubung outdoor seating dengan indoor.

“Boleh,” jawab Arga, “Tapi nggak boleh lari-larian dan kejauhan ya mainnya? Di sini ramai, Papi gak mau Danu jatuh karena ditabrak orang, atau malah Danu ganggu orang yang lagi makan. Paham?”

“Paham, Papi.” sahut si kecil.

“Danu juga mainnya sampai di ujung sana aja,” Arga menunjuk satu spot dimana beberapa anak kecil yang sekiranya seumuran dengan Danu berkumpul. “Biar Papi sama Papa bisa ngeliat Danu dari sini. Danu bisa kan, Sayang?”

“Bisa, Papi.”

Good.”

Deva tersenyum. Sebuah momen yang selalu dia anggap berharga adalah ketika Arga memberi sang putra sulung kebebasan, namun juga batasan supaya Danu tetap dalam pengawasan mata mereka.

Melihat Danu dan Arga telah kembali melahap makanan di hadapan mereka, Deva lantas hendak melakukan hal serupa. Tapi saat Deva ingin mengambil salad dari piring lain, netranya tidak sengaja menangkap figur sosok pria paruh baya dari meja outdoor seating. Sosok itu jelas tengah memerhatikan anaknya.

Deva sama sekali tidak berpikir negatif. Sebab pandangan si pria paruh baya ke Danu amat teduh. Seperti seorang Ayah yang amat memerhatikan tingkah anaknya.

Sampai ketika tatapan sosok itu pindah ke Arga, jantung di balik dada Deva bertalu dengan cepat.

Bagaimana tidak?

Pria paruh baya itu memandangi Arga cukup lama hingga matanya nampak berkaca-kaca. Perasaan Deva tiba-tiba tidak enak. Deva yakin ada sesuatu dengan si pria paruh baya di luar dan suaminya.

“Sayang?”

Deva tersentak lalu menoleh ke Arga yang baru saja memanggil.

“Ya, Mas?”

“Kamu ngelamun?” tanya Arga, “Lagi mikirin apa sih? Tell me.”

Menelan ludah, Deva kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Arga. Di sana, Deva pun berbisik.

“Mas… Ada orang yang ngeliatin kita daritadi. Coba kamu ngelirik ke meja B7 yang di luar itu deh.”

Mengikuti instruksi suaminya, netra Arga pun menyapu meja yang dituju. Saat iris madunya kemudian bertemu tatap dengan seseorang yang sebenarnya tidak ingin dia lihat bahkan ingat lagi, Arga pun buru-buru menunduk.

Persis seperti saat si Arga kecil dengan tidak sengaja membuka pintu kamar orang tuanya hingga menemukan sosok pria di depan sana tengah berhubungan badan dengan wanita selain Mamanya. Dia hanya menunduk lalu berlari dengan air mata membanjiri pipi.

Sosok pria yang pernah ia sebut dan panggil dengan kata, “Papa.”

“Mas?” Deva kembali berbisik kala melihat wajah sedu Arga. “Kamu kenal sama orang itu?”

Arga mengangguk, menoleh ke Omeganya itu sambil menghela napas panjang sebelum berbisik.

“Itu mantan suaminya Mama.”

Deva terbelalak, “Papa kamu?”

“Mm,” Arga memaksakan senyum di bibirnya, “Udah, jangan noleh.”

“Kamu baik-baik aja, Mas?” Deva khawatir, “Kalau Mas mau pulang sekarang, gak apa-apa. Ayo, Mas.”

Arga meraih satu tangan Deva. Ia menciumi punggung tangan sang Omega sejenak lalu tersenyum.

“Aku emang nggak baik-baik aja,” bisik Arga, “Ingatan aku tentang apa yang udah dia lakuin enggak bakal bisa aku lupa sampai mati.”

“Tapi kamu pernah bilang kan—”

“Habis!”

Ucapan Arga harus terhenti saat Danu tiba-tiba berseru. Anaknya itu menunjukkan piringnya yang telah bersih pada Deva dan Arga.

“Danu udah boleh main ke sana kan, Papi?” mata Danu berbinar.

“Iya, boleh.” sahut si Alpha, “Tapi Danu inget pesan Papi tadi yaa?”

“Iya, Papi.”

Danu turun dari kursi. Ia berjalan dengan langkah kecil nan riang ke salah satu spot dimana ada beberapa anak kecil bermain.

Sementara itu, Deva yang melirik ke arah Papa mertuanya itu pun bisa melihat bagaimana si paruh baya memerhatikan Danu lamat. Papa Arga itu tersenyum lembut.

“Kayaknya Papa kamu datang sendiri deh, Mas.” gumam Deva melihat bahwa tak seorang pun menemani si paruh baya di sana.

“Gak apa-apa,” kata Arga, “Biarin dia ngejalanin hidupnya kayak gitu. Itu pilihan dia sejak awal.”

“Selingkuh itu pilihan, bukan kecelakaan. Apalagi paksaan.” lanjutnya, “Andai aja waktu itu dia nggak nge-khianatin Mama, mungkin sekarang dia udah main atau bercanda sama cucunya.”

But look at him now, dia cuma bisa ngeliatin cucunya dari jauh.” Arga tersenyum miring, “Nyali dia gede sih kalo berani datengin aku terus minta ketemu cucu. Itu pun kalau dia nggak punya malu.”

Deva mengangguk kecil sebelum kepalanya ia sandarkan di bahu sang Alpha. Tangannya dan Arga masih saling menggenggam erat.

“Terus gimana sama kamu, Mas?” Deva khawatir, “Tadi kamu bilang kalau kamu enggak baik-baik aja.”

Arga mengecup kepala suaminya. Menghirup aroma manis sampo Deva yang menggoda hidungnya sejenak dengan mata terpejam.

“Kamu pernah bilang kan sama aku, kalau aku gak bakalan bisa berbagi rasa sakit sama kamu kalau aku sendiri belum bisa menerima rasa sakit itu,” Arga kembali membuka matanya.

“Sekarang aku udah nerima rasa sakit itu. Aku udah nerima kalau emang gini jalan hidup aku sama Mama supaya sampai ke hari ini.”

“Dulu aku selalu berpikir, kenapa semua ini harus terjadi sama aku dan Mama ya?” Arga tersenyum miring, “Kenapa Papa ngelakuin hal yang bikin aku sama Mama terluka dan gak percaya cinta?”

“Tapi sekarang aku justru mikir, apa ya yang bisa aku ambil jadi pelajaran buat pernikahan aku sama Deva atas apa yang pernah terjadi ke aku dan Mama dulu?”

“Apa ya yang aku lakuin supaya Deva sama anak-anak aku nanti nggak bakal ngerasain apa yang pernah aku sama Mama rasain dulu?” sang Alpha melanjutkan.

“Dan sekarang… Aku punya kamu di samping aku,” Arga menunduk sambil tersenyum kepada Deva.

“Jadi kalau aku ngerasa sakit atau nangis karena nginget perbuatan Papa, aku punya kamu buat jadi tempat berbagi dan bersandar.”

Penuturan Arga nyaris membuat Deva menitikkan air matanya. Ia memang sudah tau bahwa suami tercintanya itu adalah sosok pria yang amat kuat. Namun melihat bagaimana sang Alpha menyikapi momen pertemuannya dengan si paruh baya—yang dulu pernah menorehkan luka bagi Arga dan Mama—dengan tenang membuat Deva kian kagum tentang betapa kuatnya Arga merasakan luka itu.

“Iya, Mas. Kamu punya aku.”

“Mm. You’re mine.” kekeh Arga.

Deva ikut terkekeh. Tapi sesaat setelahnya, ia teringat sesuatu.

“Oh iya, Mas. Soal Papa kamu… Kita kasih tau Danu gak ya kalau pria yang di sana itu Opanya?”

Arga menggeleng, “Danu emang harus tau Opanya, gimana pun juga, suatu saat dia pasti bakalan nanya. Tapi gak sekarang, Dev…”

“Danu masih terlalu kecil untuk dikasih banyak pemahaman soal perpisahan di dalam pernikahan.” katanya, “Nanti. Ada waktunya.”

Deva mengangguk, “Oke.”

“Papi! Papa!”

Suara Danu yang berlari kecil ke arah meja Deva dan Arga lantas mencuri atensi keduanya. Danu terlihat sangat buru-buru saat ini. Seperti ingin mengatakan sesuatu yang sangat mendesak.

“Sayang, pelan-pelan.” kata Deva lembut, “Danu kenapa, Sayang?”

“Tadi Danu dapet temen baru di sana,” si kecil menunjuk ke spot dimana ia bermain tadi, “Terus Danu dikasih kalung ini sama temen baru Danu, Papa. Liat!”

“Ini beneran Danu dikasih, Nak?”

“Iya. Katanya Danu harus ambil, nggak boleh nolak.” jelas si kecil.

Mata Deva berkedip cepat, sebab perhiasan yang digenggam sang anak adalah edisi terbatas dari brand favorite si Mama mertua. Persis seperti milik mertuanya. Deva jelas tau harganya selangit.

“Ini kalung mahal loh. Orang tua temen baru Danu udah tau gak?”

“Udah, itu Danu dikasih. Terima aja,” Arga menengahi, “Kalau pun orangnya minta ganti, aku bisa ganti yang lebih mahal dari itu.”

“Tapi, Mas…”

Arga mengusap lembut paha atas Deva sebelum berbisik rendah di samping telinga Omeganya itu.

“Itu kalung pernikahannya Mama sama Papa,” kata Arga, “Pasti itu dari laki-laki yang di meja sana.”

“Gak apa-apa Danu ambil, Mas?”

“Mm,” gumam Arga. “Kasian kalo Danu disuruh balikin. Tuh liat aja anaknya sampai seneng banget.”

Deva mengerti maksud Arga. Ia pun hanya mengangguk sebagai respon lalu kembali menatap ke Danu yang kini duduk di sisinya.

“Ya udah, itu kalungnya Danu simpen baik-baik ya, Sayang?”

“Iya, Papa.”

Danu kemudian menunjuk air di atas meja, “Danu mau minum.”

Deva segera membantu si kecil meraih gelas. Sementara Arga melalui ekor matanya justru bisa melihat sang Papa telah berjalan meninggalkan mejanya tadi. Arga berpura-pura tidak melihat saat pria itu melewatinya, Danu dan Deva guna keluar dari restoran.

Meski masih ada luka hingga rasa benci yang Arga simpan di dalam hatinya jika mengingat ulah sang Papa, namun si Alpha diam-diam iba melihat figur pria paruh baya itu. Di umurnya yang sudah tidak muda lagi, Papanya terlihat amat tak terurus. Tubuhnya yang dulu berisi kini telah jadi kurus kering.

Bahkan, saat Arga bertemu tatap dengan Papanya tadi, kedua bola mata si paruh baya amat merah, sedang wajahnya terlihat pucat. Arga yakin Papanya sudah sering mengkonsumi alkohol sekarang.

Arga, memang, tidak mau tau lagi tentang sang Papa. Tapi dengan membiarkan anaknya menerima pemberian yang Arga tau berasal dari si Papa, menurutnya sudah cukup untuk membebaskan rasa kasihannya kepada si paruh baya.

Dan bagaimana pun juga, sosok itu tetaplah bagian dari dirinya. Ia lahir dari darah daging Papa.

“Papi kenapa nangis?”

Arga nyaris tidak sadar jika air mata telah membasahi pipinya andai saja Danu tidak bertanya. Deva lantas menggenggam erat tangan suaminya, menatap sang Alpha dengan ekspresi khawatir.

Arga pun menoleh. Ia tersenyum tipis kepada anaknya juga Deva.

“Papi inget sesuatu tadi,” jawab Arga jujur, “Tapi Papi nggak apa-apa kok. Ayo, kita lanjut makan.”

“Papi nggak nangis karena Danu diambilin air sama Papa tapi Papi gak diambilin kan?” tanya Danu.

Arga tertawa renyah, “Gak dong. Kan Papi yang selalu ngambil air buat Papa. Danu nggak bisa kan?”

“Bisa!” Danu tidak mau kalah.

Sebelum kedua malaikatnya itu kembali terlibat keributan kecil, Deva lantas menyuapi suaminya dengan salad. Danu pun tertawa melihat Papinya yang baru saja hendak berbicara justru harus mengunyah. Namun setelah itu, Deva melakukan hal serupa pula pada Danu. Deva lalu terkekeh.

“Kalo lagi makan gak boleh ribut loh,” tegur Deva, “Ayo, diabisin.”

“Oke, Papa.”

“Iya, Sayang.”

Biru menunggu Jeva keluar dari rumah di samping mobilnya. Dia bersandar di sana sambil sesekali melirik minuman kesukaan Jeva yang tadi dibelinya. Sejujurnya, Biru tidak pernah melakukan hal semacam ini sebelumnya. Ketika dia dan Jeva berselisih kecil pun mereka hanya akan berbincang dan menyelesaikan semuanya di pesan WhatsApp. Namun, Biru yang beberapa saat lalu sudah kepalang gelisah tidak bisa lagi menahan diri untuk tak datang ke rumah Jeva; seperti saat ini.

Persekian menit berselang, Jeva pun datang. Pintu pagar dia buka hingga mendapati Biru berada di hadapannya, menunggunya. Jeva lalu refleks tersenyum lembut.

Biru menghela napasnya lalu mengikis jarak antara dirinya dengan Jeva. Mereka berdiri saling berhadapan dan hanya terlampau satu jengkal saja.

“Nih, buat lo.” Biru menyodorkan kantongan berisi minuman yang disukai Jeva, “Maaf tadi gue lupa kalau kita berangkat bareng, Jev.”

Kekehan merdu Jeva menggema, sedang satu tangannya meraih kantongan pemberian Biru itu.

“Santai aja kali,” kata Jeva, “Gue gak marah, malah tadi gue sama si Ray ngakak gara-gara lo lupa.”

“Jadi lo pulang bareng Ray?” Biru bertanya, Jeva pun menggeleng.

“Gue naik ojol,” jawab Jeva, “Gue takut Ray bakal ketemu Papa kek lo tadi pagi kalau nganterin gue.”

“Tapi pas gue nyampe di rumah, ternyata Papa sama Mama bilang kalau mereka gak bakal pulang.”

Alis Biru mengernyit, “Papa sama Mama lo kok nggak pulang, Jev?”

“Malam ini mereka mau nginep di rumah Kakak pertama gue,” sahut Jeva, “Anaknya sakit, terus suaminya juga lagi ke luar kota. Kakak gue bertiga doang sama ART-nya. Mana Kakak gue juga lagi hamil anak kedua, jadi Papa Mama gue mau nemenin dia.”

Biru mengangguk paham. “Ya udah, kalo gitu gue balik dulu.”

“Masuk dulu kek, Bi.” cebik Jeva. “Sejak gue pindah ke sini kan lo juga belum pernah mampir, Bi.”

“Lo sekalian makan malam di sini aja, Bibi gue lagi masak di dalem.” timpal Jeva, “Temenin gue. Yaa?”

“Entar deh, kapan-kapan. Gue mau nugas,” Biru menepuk bahu Jeva pelan. “Gue cabut dulu ya.”

Jeva mencebik sambil menahan senyum di bibirnya, “Tau gini, gue pura-pura ngambek aja tadi.”

“Lo nggak usah kayak anak kecil deh,” Biru geleng-geleng kepala. “Kan ada Bibi lo yang nemenin.”

“Ya udaaah,” Jeva melipat lengan di depan dada lalu membuang muka ke arah lain, “Pulang sana.”

“Padahal gue mau ngasih sesuatu tadi,” timpal Jeva, “Tapi ya udah.”

Senyum Biru mengembang saat melihat ekspresi dramatis Jeva.

“Ngasih apa?” tanya Biru.

“Kalo mau tau, masuk dulu.”

Biru menggeleng, “Gak ah.”

“Ya udah,” Jeva berdecih.

Biru terkekeh. “Gue pulang ya.”

Jeva melirik Biru dengan ekor matanya sekilas lalu kembali menatap ke objek lain. “Ya.”

“Makan yang banyak.”

“Mm.”

“Mixue dari gue diabisin.”

Jeva tidak mampu lagi berpura-pura menahan senyum bahagia di wajahnya mendengar ucapan Biru. Alhasil, Jeva menoleh lalu mengangguk pada Biru yang kini berjalan mundur ke mobilnya.

“Lo jangan ngebut ya, Bi?”

Biru mengangguk. Dia membuka pintu mobilnya sebelum masuk dan duduk di balik kemudinya. Tapi tanpa Biru duga, Jeva tiba-tiba menghampiri jendela di sampingnya sambil mengoceh.

“Pokoknya kalau lo udah nyampe di rumah langsung kabarin gue,” kata Jeva, “Jangan sampai lupa.”

Biru menatap lurus ke dalam mata Jeva, “Kenapa gue harus ngabarin lo? Lo bukan pacar gue yang harus selalu gue kabarin.”

“Ayo,” ajak Jeva.

Biru heran, “Ayo apaan?”

“Pacaran.”

Sejenak Biru terdiam. Dia kaget mendengar penuturan tiba-tiba temannya itu. Apalagi, kini Jeva justru tersenyum manis padanya.

Sensasi panas seketika menguar, menyambangi wajah Biru. Irama degup jantungnya pun tidak lagi normal. Biru gelisah sekarang.

“Lo mau gue tonjok?” kata Biru lalu menghindari tatapan Jeva dan menyalakan mesin mobil.

Jeva terbahak. Satu tangannya kemudian terjulur dan melewati jendela mobil Biru yang terbuka. Jeva menoyor pelan kepala Biru.

“Ya lagian, lo gak mau ngabarin kalau ke temen sendiri.” katanya,

“Gue khawatir, Bi. Gue cuma gak mau kejadian pas semester tiga dulu keulang lagi sama lo.” timpal Jeva, “Traumatic buat gue tau.”

Garis tipis melengkung di bibir ranum Biru. Dia seketika teringat dengan kejadian tiga tahun lalu. Dimana Biru terlibat kecelakaan mobil, dan Jeva yang membawa dirinya ke rumah sakit terdekat.

“Yang pas lo nangisin gue karena ngira gue bakal mati?” tanya Biru lalu menatap lamat wajah Jeva.

“Gak usah bahas nangisnya, tapi kecelakaan lo, Bi.” Jeva berkacak pinggang, “Lo tau gak sih, tiap lo bilang pengen nyetir sendiri, gue selalu panas dingin. Gue sampai harus ngikutin lo dari belakang biar gue gak mati karena takut.”

“Tadi aja pas gue gak liat mobil lo di parkiran, kaki gue ampe lemes banget, Bi. Gue takut lo kenapa-kenapa di jalan kayak waktu itu.”

Biru mendengus pelan, “Bawel.”

Jeva menatap Biru tak percaya. Mulutnya pun lantas menganga.

“Gue lagi ngingetin loh, Bi.”

“Iyaaa,” Biru tersenyum, “Entar gue kabarin pas nyampe. Oke?”

“Oke,” Jeva menghela napas.

“Dah!”

Jeva mengangguk, sedang Biru mulai menginjak pedal gas mobil hingga kendaraan roda empat itu melaju. Sesekali Biru melirik ke spion tengah, di sana Biru bisa melihat Jeva masih berdiri sambil menatap mobilnya yang semakin menjauh. Senyum Biru kembali merekah tanpa dia sadari. Tapi sesaat setelahnya, Biru mendesis pelan. Lo kenapa, Bi? Batinnya.

Selepas makan siang bersama di kantin, para anggota kelompok yang diketuai oleh Rayhan pun melangkah bergerombol menuju tempat dimana masing-masing mereka ditugaskan. Namun, Biru yang merasa masih punya cukup waktu untuk berbincang dengan Jeva lantas menahan lengan kiri temannya itu. Jeva pun menoleh, menatap Biru yang kini bersuara.

“Gue mau ngomong bentar sama lo,” katanya, “Ikut gue ke taman.”

Jeva mengangguk. Dia kemudian menoleh ke Julian serta Rayhan yang menyadari bahwa dia dan Biru tiba-tiba berhenti berjalan.

“Lo pada duluan aja,” Jeva paham maksud tatapan teman Koas-nya itu, “Gue sama Biru ada urusan.”

“Oke,” jawab Rayhan.

Biru lantas mengambil langkah lebih dulu dari Jeva. Dia berjalan di depan Jeva yang mengekori dirinya sembari berpikir tentang hal yang sedaritadi mengusiknya.

Tentang Papa Jeva serta alasan mengapa Jeva tidak bercerita.

Sesampainya di taman, Biru lalu membawa Jeva ke pendopo besar yang ada di sana. Mereka duduk bersisian di bagian depan tempat itu yang mana terdapat tiga anak tangga. Sebab hanya spot itu lah yang cukup sepi dari pasien RSJ.

“Lo mau ngomong apa, Bi?”

Jeva membuka suara. Sedang Biru lantas menoleh padanya.

“Yang keluar dari rumah lo tadi pagi itu Prof Harry kan?” tanya Biru tanpa basa-basi, “Papa lo?”

Tersenyum tipis, Jeva memberi respon anggukan. “Iya, Papa gue.”

“Kenapa lo nggak pernah ngasih tau gue soal Papa lo?” kata Biru.

“Gue nunggu lo nanya ke gue, Bi.”

Entah kenapa jawaban Jeva tiba-tiba saja membuat Biru merasa marah. Biru bahkan menghela napas gusar sebelum bersuara.

“Lo aja selalu bilang supaya gue mau cerita sama lo, entah itu hal penting atau enggak...” ocehnya.

“Tapi sekarang malah elo yang nyembunyiin sesuatu dari gue,” timpal Biru diikuti dengus pelan.

“Jadi kalau aja gue gak papasan sama Papa lo pagi tadi dan gak nanyain lo kayak gini, elo bakal terus-terusan nyembunyiin hal ini dari gue?” Ya, Biru kelepasan.

Jeva menahan senyumnya sesaat sambil memandangi wajah Biru. Nampak jika temannya itu kesal.

“Ngeliat lo ngomel kayak gini tuh bikin gue berasa abis dipergokin bohong sama pacar gue deh, Bi.”

Biru mengeraskan rahang. Satu pukulan pun dia daratkan tepat di bahu kanan Jeva hingga sang empu mengaduh lalu tertawa.

“Jangan ngalihin topik!”

Jeva terkekeh pelan. Ia kemudian merangkul bahu Biru, tersenyum manis lalu geleng-geleng kepala.

“Gue nggak ada maksud atau niat buat nyembunyiin semua ini dari lo juga kok, Bi.” Jeva menjelaskan.

“Kalo aja gue gak mau ketahuan, pas lo datang nge-jemput gue tadi, gue bakal ngelarang Papa gue keluar dari rumah dulu.”

“Tapi gue gak berani ngasih tau lo kalau bukan lo yang pengen tau atau nanya soal hubungan gue sama orang tua gue,” timpal Jeva sambil menatap Biru lamat.

“Karena selama hampir empat tahun kita temenan… Lo juga nyaris gak pernah ngomong soal hubungan lo sama orang tua lo.”

“Dari situ juga gue berasumsi kalau lo emang nggak nyaman bahas soal gituan. Meskipun ke gue, temen lo sendiri,” timpalnya.

Biru membisu sesaat. Dalam hati dia membenarkan ucapan Jeva. Pertemanan mereka tidak lah se-intim itu hingga saling bercerita serius tentang orang tua mereka.

Sama seperti Jeva, bukan karena Biru tak mau bercerita. Tapi ada alasan yang membuat ia memilih untuk tidak memberitahu orang lain, meskipun ke teman sendiri.

Terlebih, orang itu adalah Jeva.

Tapi kenapa Biru justru merasa marah beberapa saat yang lalu?

Kenapa Biru merasa jika Jeva tak menganggapnya orang terdekat?

Kenapa Biru ingin tau hal yang Jeva lalui dan simpan sendiri?

Kenapa Biru kecewa karena Jeva justru tak bercerita kepadanya?

Biru berpikir sambil merenung.

“Bi?”

Jeva menggoyang-goyangkan tubuh Biru. Bahu temannya itu masih dia rangkul dengan erat.

“Lo marah sama gue?”

“Nggak,” Biru menjawab dengan cepat, “Gue cuma kaget aja tadi.”

Mengangguk paham, Jeva lalu melepaskan tautannya dengan Biru. Dia beralih meremas kedua lututnya sambil menatap kosong ke arah depan. Biru yang melihat itu lantas menepuk pundak Jeva.

“Gue kan udah pernah bilang ke lo, telinga gue terbuka kok buat lo. Jadi kalau ada yang pengen lo ceritain, i’m all ears,” tutur Biru.

Jeva kembali menoleh pada Biru. Meski senyum mengembang di bibirnya, namun Biru menyadari bahwa kini sorot mata Jeva sedu.

Menarik napasnya dalam-dalam, Jeva kemudian mulai bercerita.

“Papa gue nyembunyiin status gue sebagai anaknya kayak gini karena permintaan gue sendiri kok, Bi.” ungkap Jeva yang sukses membuat Biru terbelalak heran.

Di saat orang-orang di luar sana akan berbangga hati lalu unjuk diri karena memiliki Ayah yang notabenenya seorang Professor sekaligus Direktur rumah sakit besar, Jeva justru sebaliknya. Biru penasaran apa yang membuat temannya itu berpikir demikian.

“Emang ada apa sampai lo gak mau orang lain tau kalau lo itu anaknya Prof Harry?” tanya Biru.

Sejenak Jeva menarik napas.

“Waktu kecil dulu, gue anaknya nakal banget.” kekeh Jeva, “Gue nggak bisa dibilangin sama Papa Mama gue. Udah gitu, gue bego lagi. Gak kayak kakak-kakak gue.”

Jeva melipat kedua lengannya di atas lutut, “Terus karena gue ini nakal plus bego, sejak kecil gue juga selalu dibanding-bandingin sama dua kakak gue yang pinter.”

“Bukan cuma sanak saudara gue yang ngebandingin, tapi sampai ke orang-orang yang kenal Papa Mama gue pun seriiiing banget ngebandingin gue sama kakak-kakak gue. Dan itu di depan gue.”

Biru menatap Jeva kasihan. Dia memang tidak pernah berada di posisi Jeva, namun Biru sangat paham betapa tidak enaknya jika dibandingkan dengan orang lain.

“Sampai pas gue SMP, gue udah ngerasa risih karena dibandingin mulu. Jadi sejak saat itu gue tuh belajar keras banget supaya gue juga bisa dapet rangking di kelas kayak kakak-kakak gue,” jelasnya.

“Tapi setelah berhasil dapet apa yang gue targetin, lo tau nggak respon keluarga sama orang-orang di sekitar gue?” kekehnya. “Mereka bilang kalau gue masih kalah sama kakak-kakak gue.”

“Gue ampe dibilang bisa dapet rangking juga paling karena guru di sekolah tau kalau Kakek gue yang punya yayasan,” jelas Jeva, “Terus gak mau bikin keluarga gue malu karena kakak-kakak gue dulunya emang pinter.”

“Nah, terus abis itu gue bikin onar di sekolah. Gue mukul temen yang ngeledekin gue.”

“Gue diledekin, katanya gue anak emas yang enggak bisa ngelakuin apa-apa kalau aja bukan karena status keluarga gue,” timpal Jeva.

“Akhirnya Papa gue marah, gue disuruh minta maaf tapi gue gak mau.” Jeva tertawa hambar. “Gue malah ngamuk pengen pindah sekolah aja. Gue gak suka orang-orang nganggap gue anak emas.”

“Beruntung, gue punya satu Om, dia sepupu Mama gue, yang udah baik banget mau bawa gue pergi karena kasian ngeliat gue nangis mulu pas dia ke rumah,” katanya.

“Jadi waktu itu gue ikut sama Om gue ini dan langsung pindah ke Bandung, sekaligus nyoret diri dari kartu keluarga.” kekeh Jeva, sementara Biru lantas terbelalak.

“Soalnya Papa gue awalnya gak ngizinin. Papa takut gue malah makin nakal tanpa pengawasan dia di sana. Papa gue masih gak percaya sama gue, Bi.” katanya. “Tapi Om gue nge-jamin kalau gue bakal jadi baik di Bandung.”

Mata Biru pun menyipit, “Jangan bilang nama lo beneran dipindah dari kartu keluarga Papa lo, Jev?”

“Bener kok. Dibilang gue dicoret dari KK Papa,” Jeva tergelak, tapi matanya justru berkaca-kaca.

“Nama gue dipindahin ke kartu keluarga Om gue di Bandung,” Jeva senyum, “Nama gue juga masih di sana sampai sekarang.”

Jeva lalu menyeka matanya yang sedikit berair. Biru membiarkan Jeva agar lebih tenang sejenak.

“Terus abis itu gimana? Lo SMA di Bandung juga kan?” tanyanya.

“Iya,” sahut Jeva, “Di sana, gue berusaha lagi buat nunjukin ke Papa sama Mama kalau gue bisa.”

“Gak usah deh mereka muji-muji gue,” Jeva lalu tersenyum miring, “Mereka bilang you did well aja gue udah feel appreciated kok.”

“Tapi ternyata enggak, bahkan ketika gue bisa masuk ke SMA favorite di Bandung, yang isinya anak-anak pinter semua, ampe bikin gue kek belajar berdarah-darah karena gue musti bersaing sama mereka, Papa Mama gue tetep aja gak pernah ngapresiasi usaha gue.” suara Jeva pun lirih.

“Kadang gue nggak mau ngobrol sama mereka karena takut bakal denger kalimat yang ngejatohin semangat sama kepercayaan diri gue tau, Bi.” Jeva lalu menunduk.

Long story short, sebelum lulus SMA, Om gue ngasih tau Mama sama Papa gue kalau gue salah satu anak berprestasi di sekolah dan dapet kuota bebas tes buat masuk Universitas,” suara Jeva menjadi lirih, “Dan lo tau nggak? Papa gue tiba-tiba dateng terus nyuruh gue masuk Kedokteran.”

“Awalnya… Gue gak mau nurutin kata Papa,” tutur Jeva, “Tapi Om gue bilang, gue harus manfaatin kesempatan itu buat nunjukin ke Papa sama Mama kalau gue bisa kek mereka pake usaha sendiri.”

“Jadi sebelum gue daftar masuk Universitas dulu, gue bilang ke mereka, kalau mereka mau gue masuk FK, gue gak pengen ada yang tau kalo gue anak mereka sampai gue bisa kelar Koas.”

Suara Jeva bergetar, “Karena gue mau mereka ngeliat usaha gue dan gak terus-terusan berpikir kalau gue gak bisa apa-apa tanpa privilege dari status keluarga.”

And I did it,” air mata tidak bisa lagi Jeva bendung, “Sampai hari ini… Jalan gue emang gak begitu mulus. Apalagi awalnya gue sama sekali gak pernah kepikiran mau jadi Dokter kayak orang tua dan kakak-kakak gue. Tapi setelah masuk FK, gue justru nemuin alasan gue pengen jadi Dokter.”

“Dan sekarang gue seneng...”

“Karena gue bisa nunjukin sama orang tua gue kalau gue juga bisa kok mengejar impian gue dengan usaha sendiri tanpa dispesialin.”

“Gue juga bisa nunjukin kalau anak mereka yang nakal sama bego ini gak cuma ‘taunya malu-maluin’ keluarga,” Jeva terisak.

Mendengar cerita Jeva membuat Biru sadar bahwa ucapan teman Koas-nya di grup WhatsApp tadi itu adalah isi hati sesungguhnya dari Jeva. Kini Biru pun semakin paham mengapa Jeva terkesan memilih untuk menghabiskan waktu dengan teman-temannya ketimbang berdiam di rumahnya.

Jeva juga punya luka yang justru dia sembunyikan di balik setiap tawa dan candanya selama ini.

Perlahan, satu tangan Biru lantas bergerak. Dia mengusap lembut punggung Jeva yang bergetar.

You did well, Jeva.”

Jeva pun menyeka wajahnya yang dibanjiri air mata tepat saat Biru mengucapkan kalimat magic itu. Dia menoleh, tersenyum lembut kepada Biru yang ada di sisinya.

Thanks ya, Bi.”

I mean it,” Biru merangkul bahu Jeva, “Lo hebat banget tau, Jev.”

“Lo bisa ngejadiin perbandingan orang-orang sebagai motivasi buat jadi lebih baik,” timpalnya.

Jeva tersenyum haru. Mendengar ucapan Biru amat menenangkan.

“Tapi, Jev…” Biru mendesis pelan, “Orang-orang jadi bikin asumsi jelek tentang lo. Dibilang anak hasil hubungan gelap lah segala macem. Lo yakin bisa nerusin?”

Jeva mengangguk mantap, “Bisa. Ini gak ada apa-apanya buat gue.”

“Terus lo yakin kalau lo gak bakal ketahuan sampai kelar Koas?”

Biru skeptis. “Lo liat orang-orang udah pada nyari tau soal lo kan?”

“Gue sebenarnya gak yakin dari dulu,” Jeva menatap Biru lamat. “Karena gue tau… Sesuatu yang disembunyiin bakalan ketahuan juga, entah hari ini atau besok.”

“Tapi Papa gue selalu bilang kok sama orang RS, supaya enggak usah khawatirin gue atau nyari tau soal gue. Biarin gue belajar mandiri dan gak perlu dimanja.”

Kepala Biru mengangguk paham. Namun, kini dia justru tiba-tiba saja memikirkan satu hal lain.

“Jev?”

“Mm?”

“Dara udah tau soal ini?”

Jeva menggeleng, “Dara gak tau, Bi. Cuma lo yang tau kisah hidup gue yang udah gue ceritain tadi.”

“Kok lo nggak cerita sama Dara? Dia kan pacar lo dulu,” kata Biru.

Sejenak Jeva menarik napasnya. Kepalanya mendongak ke langit yang telah dihiasi awan hitam, nampak jika hujan akan datang.

“Lo tau nggak sih, Bi. Gue berani cerita kayak gini cuma sama lo,” kata Jeva, “Karena lo doang yang udah sering ngeliat gue nangis.”

“Jujur aja gue gak pengen orang lain tau semenyedihkan apa gue dulu,” lanjutnya. “Gue cuma mau orang-orang ngenalin Jeva yang sekarang; banyak ngomong, gak keliatan suka nangis dan taunya ketawa-ketawa bahagia doang.”

“Termasuk Dara,” Jeva menoleh, “Bisa rusak branding keren gue.”

Biru memutar bola mata. Dia tidak setuju dengan ucap Jeva.

“Justru lo tuh harusnya berbagi suka dan duka sama orang yang lo cintai. Bukan malah pretending that you’re okay when you aren’t.”

Mata Jeva tetap terpaku kepada netra legam Biru, “Gitu ya, Bi?”

“Gitu aja lo gak tau?” decak Biru. “Bagus deh Dara putus sama lo.”

Jeva tersenyum sambil menoyor pelan kepala Biru. Sedang sang empu mendelik kesal padanya. Tapi raut kesal Biru tak bertahan lama, sebab ia kembali bertanya.

“Terus gimana hubungan lo sama orang tua lo sekarang, Jev?”

“Ada kemajuan sih,” kekeh Jeva. “Mama sama Papa gue udah gak pernah banding-bandingin gue.”

“Mereka juga udah sering nanya apa aja kesulitan gue,” jelas Jeva. “Cuman ya gitu, gue masih agak kaku ngobrol sama Mama Papa gue gara-gara kelamaan pisah.”

“Mungkin mereka udah belajar buat ngertiin perasaan anaknya dan ngeliat usaha gue,” kata Jeva. “Gitu juga sama gue, Bi. Gue juga belajar buat ngertiin mereka.”

“Meskipun mereka pernah bikin gue ngerasa sakit, tapi gue sadar kalau mereka berdua juga cuma manusia. Mereka bisa salah, tapi juga bisa ngejadiin kesalahannya sebagai pelajaran yang berharga.”

Penuturan Jeva sedikit menyentil benak Biru. Apa yang Jeva alami memang sangat berbeda dengan dirinya. Namun dia cukup kagum akan betapa lapangnya hati Jeva.

“Jeva! Biru!”

Teriakan Salsa membuat Jeva dan Biru seketika menoleh ke arah dimana satu-satunya teman Koas wanita mereka itu berada.

“Kita dapet tugas!”

Jeva mengangkat tangan sambil mengacungkan satu jempolnya. Dia kemudian berdiri sebelum mengulurkan tangannya ke Biru.

“Ayo, Bi.”

Melihat tangan Jeva yang terulur guna membantunya ikut berdiri membuat Biru nyaris meraihnya. Namun sebagian dari diri Biru tiba-tiba mengingatkannya agar tidak meneruskan niatnya itu.

“Gue bisa berdiri sendiri, Jev.”

Biru menatap lurus ke layar lebar di depan sana dengan sorot mata kosong. Semenjak membaca chat Salsa sebelum penayangan film dimulai tadi, pikiran Biru kacau.

Bahkan hingga film yang diputar sudah nyaris selesai, Biru tidak begitu memerhatikan satu demi satu adegan. Biru terlalu sibuk akan hal yang mengganggunya.

Sampai tidak lama berselang, lampu bioskop kembali menyala. Menandakan bahwa pemutaran film juga telah usai. Saat itu pula Biru lantas sadar dari dunianya.

“Gimana film pilihan gue, Bi?”

Biru lalu menoleh pada Jeva yang tiba-tiba bertanya. Dia menelan ludah diikuti anggukan lamban.

“Bagus,” jawab Biru singkat.

Jeva tersenyum, namun tarikan bibirnya terkesan meledek. Biru pun paham akan hal itu. Namun, entah kenapa Biru justru kembali merasa gelisah—bahkan bersalah kepada Jeva yang ada di sisinya.

Biru berpikir kalau Jeva mungkin akan mengira bahwa dia benar-benar tidak ingin jalan bersama. Mengingat sebelum berangkat ke bioskop tadi, Biru terkesan malas untuk sekedar bersiap-siap saja.

Lalu sekarang, Biru pun terkesan tidak menikmati film yang dipilih oleh Jeva. Jelas jika Jeva tau kalau pikiran dan raganya tak bersama.

“Pulang yuk,” ajak Jeva sebelum bangkit dari kursi, diikuti Biru.

Biru yang mengekor di belakang Jeva tidak henti-henti meremas jemarinya. Terlebih melihat Jeva hanya berjalan di depannya dan tidak berceloteh lagi kepadanya.

“Jev…”

Langkah Jeva terhenti ketika Biru memanggilnya. Dia lalu berbalik.

“Mm?” Jeva mengangkat alisnya.

“Lo udah mau langsung pulang?”

“Kenapa, Bi?” Jeva balik bertanya, “Kalau lo mau mampir ke suatu tempat bilang aja, gue anterin.”

Biru menghela napas, “Gue mau jalan kaki di luar bentaran. Elo bisa nemenin gue nggak, Jev?”

“Boleh,” jawab Jeva, “Mampir di taman aja mau gak? Rame sih, tapi entar kita bisa nyari spot yang agak sepi biar lo tenang.”

Biru mengangguk, “Oke.”


Seperti yang telah Biru dan Jeva sepakati, usai meninggalkan area bioskop yang berada di mall tadi, kini mereka telah sampai di salah satu taman Ibukota. Pengunjung yang berdatangan pun terbilang ramai, mengingat saat ini adalah akhir pekan. Namun, Jeva lantas membawa Biru ke sudut taman yang cukup sepi. Meski masih ada beberapa orang yang sibuk berolahraga di sana, tapi Jeva yakin hal itu tidak mengganggu.

“Ada apa?” Jeva membuka suara, “Gue perhatiin, lo kayaknya lagi banyak pikiran banget sekarang.”

“Gue kepikiran soal Dara,” sahut Biru sambil berjalan beriringan dengan Jeva, “Ternyata si Salsa suka sama dia, terus gue tegur.”

Jeva menoleh ke Biru, “Terus?”

“Salsa tetep ngotot mau deketin Dara,” jelas Biru, “Padahal gue udah bilang, hubungan sejenis itu gak bakal bisa Dara terima.”

“Dia malah bawa-bawa lo tadi. Katanya lo aja bisa ngasih gue perhatian, masa dia nggak bisa gitu juga ke Dara?” timpalnya.

Jeva tertawa hambar sebelum memasukkan kedua tangannya yang tiba-tiba dingin ke saku jaketnya, “Kenapa jadi gue sih?”

“Tau tuh,” Biru lalu melirik Jeva sekilas, “Dia ngira lo naksir gue.”

“Padahal selama ini elo emang cuma perhatian ke gue sebagai sohib lo kan, Jev?” tanya Biru.

Jeva tersenyum miring, “Mhm.”

“Gara-gara mikirin si Salsa, gue jadi gak fokus nonton film tadi.” Biru mendengus, “Gue jadi gak enak banget sama lo sekarang.”

Ucapan Biru itu sekaligus jadi ajang minta maafnya ke Jeva.

“Lo gak enak sama gue?” kekeh Jeva lalu merangkul bahu Biru. “Gue temen lo, Biii. Gue ngerti banget kok lo orangnya gimana.”

“Jujur, gue juga sempet ngerasa gak enak sama lo sih tadi.” lanjut Jeva, “Gue malah bawa lo jalan, padahal lo mungkin butuh waktu di rumah buat nenangin diri lo.”

“Lo gak enak sama gue?” balas Biru, meniru ucapan Jeva tadi. “Gue temen lo, Jev. Gue ngerti.”

Kedua anak manusia itu tertawa ringan sebelum kembali menatap kosong ke arah jalan di hadapan mereka. Mereka jelas sama-sama berkutik dengan isi di kepalanya.

Persekian detik berselang, Jeva lantas menarik tubuh Biru saat beberapa pesepeda berdatangan dan menguasai jalan. Jeva takut jika saja Biru terserempet nanti.

Namun tarikannya yang cukup kuat membuat Biru kini justru berakhir di dalam dekapannya. Jeva dan Biru nampak seperti pasangan yang berpelukan di tepi jalan dalam taman kota itu.

Sejenak, keduanya hanya terdiam dalam keterkejutan. Baik itu Jeva maupun Biru seketika menahan napasnya. Terlebih saat mereka merasakan hangat dari tubuh satu sama lain. Pun degupan jantung yang menggila di dada.

“Bi?” Jeva berdeham, “You okay?”

Sadar dari apa yang baru saja terjadi, Biru lantas buru-buru menarik dirinya dari pelukan Jeva. Dia kemudian mengangguk.

Sorry, tadi gue ngelamun pas jalan.” katanya, “Makasih, Jev.”

“Oke,” Jeva menepuk bahu Biru.

Biru dan Jeva kembali berjalan mengitari taman. Namun, kali ini Biru bahkan merasa terganggu hanya dengan melihat wajah Jeva saat dia menoleh. Biru gelisah.

“Lo haus lagi gak, Bi?” tanya Jeva.

“Kita pulang aja.”

Biru yang sudah kepalang pusing hanya ingin cepat-cepat pulang. Sementara Jeva hanya melongo mendengar ajakan tiba-tiba Biru. Terlebih saat Biru lantas berjalan maju ke depan dengan tergesa.

“Bi! Biru!” teriak Jeva.

“Cepetan! Gue mau pulang!” kata Biru tanpa menoleh ke Jeva yang masih tertinggal di belakangnya.

“Tapi arah pulang bukan ke sana, Bi! Ke sini, woy!” balas Jeva yang membuat Biru mengacak-acak rambutnya frustasi sebelum berbalik ke Jeva yang menunggu.

“Ayo!” seru Biru sebelum kembali melewati Jeva yang keheranan.

“Lo kenapa sih, Bi?”

“Jangan ngajak gue ngobrol!”

Jeva melotot lalu mengejar Biru. Ia menyamakan langkah mereka.

“Lo gak kesambet kan, Bi?”

“Gak.”

Jeva mendesis, menunduk sekilas ke kaki Biru yang langkahnya kini seperti orang yang dikejar-kejar oleh hantu. Biru mendadak aneh.

“Bi, lo berhenti dulu deh. Tali sepatu lo lepas, entar lo jatuh.”

Biru tidak peduli. Dia tetap tidak menghiraukan Jeva yang terus saja membayang-bayanginya.

Sejak tidak sengaja berpelukan tadi, Biru merasa dirinya aneh.

Sementara itu, Jeva yang tidak kunjung mendapat perhatian Biru seketika menghadang jalan si pemilik mata belo. Jeva berdiri tepat di hadapan Biru sembari menahan pundak temannya itu.

“Gue gak tau lo kenapa tiba-tiba kayak gini,” Jeva menatap lamat wajah Biru yang kini membuang muka ke arah lain, “Kalau gue salah, gue beneran minta maaf.”

But please, Bi…” Jeva menghela napas pelan, “Diem dulu. Oke?”

Biru menelan ludah saat ekor matanya menangkap pergerakan Jeva. Temannya itu berjongkok di hadapannya lalu mengikat tali sepatu ya yang memang terlepas.

Rasanya semakin aneh sekarang.

Kala Jeva telah kembali berdiri tegak di hadapannya, Biru pun melewati teman Koas-nya itu. Biru memimpin jalan ke parkiran.

“Bi, seriously… Lo kenapa?!”

Biru bisa mendengar suara Jeva yang amat frustasi di belakang sana. Namun dia pun sama. Biru juga sama frustasinya sekarang.

Deva yang semula sibuk menatap MacBook di hadapannya seketika menoleh saat mendengar derap langkah kaki mendekat ke meja kerjanya. Deva lantas tersenyum manis kala mendapati sosok itu adalah Arga, sang suami tercinta.

Melihat si Alpha sudah kembali ke kantor sekaligus ruang kerja pribadi mereka, maka sudah jelas kalau private meeting Arga di meeting room tadi telah selesai.

“Kamu nggak pake kacamata lagi, ck!” kata Arga lalu menghampiri Deva, “Kemaren aja kamu bilang mata kamu kering liat MacBook.”

“Aku suruh cuti, kamu juga nggak mau.” timpalnya, “Kamu seneng ya liat aku khawatir kayak gini?”

Deva tersenyum lembut sebelum bersandar di perut sang suami yang kini berdiri di sampingnya.

“Mata aku udah gak apa-apa kok, Mas. Kamu gak perlu khawatir,” Deva kemudian kembali duduk tegak sambil mendongak ke arah Arga, “Gimana tadi meetingnya?”

“Gak usah ngomongin kerjaan dulu,” kedua tangan Arga yang sedari tadi ia letakkan tepat di belakang punggungnya lantas ia julurkan di hadapan suaminya.

Deva yang melihat tangan sang Alpha masing-masing memegang satu kotak susu kesukaannya dan satu bucket bunga mawar merah pun tidak bisa menahan senyum.

“Tiba-tiba banget ngasih bunga?” kata Deva sambil meraih mawar juga susu pemberian suaminya.

“Makasih-nya mana? Ck!”

Deva terkekeh, “Makasih, Mas.”

Menahan senyumnya, Arga lalu membungkuk sambil merangkul bahu Deva. Ia memberi kecupan sayang di pipi suami cantiknya itu beberapa saat lalu berbisik.

I love you.”

Mata Deva menyipit. Meski Arga memang kerap memperlakukan dia dengan manis, namun sikap sang Alpha kali ini membuatnya amat penasaran. Pasalnya, seusai meeting, Arga justru menyiapkan hal-hal seperti saat ini. Apalagi mengingat suaminya itu bukan tipikal laki-laki yang romantis.

“Ada apa sih, Mas?” tanya Deva.

“Apanya?”

“Kamu kenapa tiba-tiba romantis kayak gini?” kekeh sang Omega.

“Ya buat nyenengin kamu lah,” sahut Arga, “Apa gak seneng?”

“Seneng,” kata Deva, “Aku cuma kaget aja kamu tiba-tiba nyiapin ginian, padahal kan abis meeting.”

Kembali menciumi pipi kiri Deva sejenak, Arga lantas tersenyum.

“Di WhatsApp tadi kamu ngasih tau aku kalau kamu sedih, masa aku diem aja sih?” Arga menghela napas, “Kamu boleh sedih… Tapi udah jadi tugas aku juga kan buat bikin kamu seneng lagi, Sayang?”

Senyum haru mengembang di bibir tipis Deva. Diletakkannya susu dan bunga yang ia pegang di atas meja sebelum ia memutar kursi hingga menghadap ke arah Arga. Tangan Deva kemudian beralih menarik tengkuk Arga.

Deva menciumi bibir suaminya sangat lembut. Sementara Arga yang masih membungkuk di depan sang Omega menopang tubuhnya dengan memegangi pegangan kursi kerja Deva.

Cukup lama saling berbagi kecup hingga lumatan mesra, Deva lalu mengakhiri pagutannya dengan menggigit bibir bawah suaminya.

“Mas mau nyoba lagi sekarang?”

Paham arah pembicaraan Deva, sang Alpha menggeleng pelan.

“Kamu minum susu aja dulu,” bisik Arga di samping telinga Deva, “Kalau itu udah diabisin, entar giliran aku yang nyusu.”

Setelahnya, Arga kembali berdiri tegak. Sedang Deva tersipu malu.

“Aku tunggu di meja aku ya.”

Deva hanya mengangguk pelan sebelum meraih susu di atas mejanya. Ia menahan senyum sambil bersiap-siap meminum susunya seperti titah si Alpha.

Namun, baru saja Deva mencoba menenggak susu yang telah ada di dalam mulutnya, ia tiba-tiba merasa mual. Entah kenapa rasa susu yang ia minum sangat aneh di lidahnya. Dan Deva yakin, jika ia masih tetap berusaha untuk menelannya, ia akan muntah.

Alhasil, buru-buru Deva berdiri. Ia kemudian berlari kecil ke arah toilet, membuat Arga ikut panik melihatnya sebelum menyusul.

“Sayang? Kamu kenapa?” tanya Arga saat ia telah tiba di depan wastafel—dimana Deva tengah berdiri sambil menahan mual.

“Mas, susu yang tadi kayaknya udah expire deh.” gumam Deva lalu kembali mencuci mulutnya dengan air, “Rasanya aneh, Mas.”

“Gak mungkin expire, Sayang. Itu susunya aku beli di HG Mart tau,” kata Arga, “Minuman di sana kan rutin diganti sebelum expired.”

“Mas, aku pengen muntah.”

“Iya, nggak apa-apa. Aku di sini,” kata Arga lalu memijat tengkuk Deva, “Kepala kamu pusing gak?”

Deva mengangguk. Dia kemudian berusaha memuntahkan isi perut yang terasa sudah ada di ujung kerongkongannya. Namun, Deva kini justru hanya berakhir mual.

“Udah, Mas.” kata Deva setelah membasuh mulutnya dengan air keran lalu kembali berdiri tegak.

“Abis ini kita ke rumah sakit ya?”

Deva menggeleng pelan, “Nggak usah. Aku baik-baik aja kok, Mas.”

“Baik-baik aja gimana? Ini wajah kamu udah pucat,” decak Arga.

Menghela napas pelan, Arga lalu terbelalak setelahnya. “Dev? Apa jangan-jangan kamu hamil ya?”


“Danu udah nggak sabar pengen ketemu sama adeknya Om Dimas sama Om Davis!” celoteh Danu yang duduk di jok belakang mobil bersama Bu Ririn. Sedang Deva duduk di bangku depan bersama sang suami yang mengemudi.

Kini mereka ber-empat sedang dalam perjalanan menuju rumah Ibu dan Bapak, dimana Davis juga Dimas serta anak mereka ada di sana. Danu yang telah tau kabar bahagia itu dari Arga dan Deva sejak kemarin pun tidak mampu lagi membendung semangatnya.

Danu ingin cepat-cepat bertemu dengan adik sepupu barunya itu.

Sesampainya di tempat tujuan, Danu lantas bergegas keluar dari mobil tepat setelah Arga baru saja memarkirkan kendaraan roda empat miliknya di halaman rumah sang mertua. Deva yang melihat tingkah Danu pun hanya geleng-geleng kepala setelahnya.

“Sayang, pelan-pelan.”

“Ayo, Papa! Cepet!” kata Danu, “Adek udah nunggu di dalam.”

Bu Ririn terkekeh, “Tunggu Oma, Papa sama Papi dong, Sayaaang.”

Tidak lama berselang, Davis pun keluar dari dalam rumah. Kakak Deva itu merentangkan kedua lengannya lebar-lebar saat Danu berlari ke arahnya hingga sang keponakan berakhir di peluknya.

“Anak gantengnya Om Davis kok baru dateng sih?” kata Davis lalu berdiri dengan Danu yang sudah berada di dalam gendongannya.

“Kakek sama nenek udah nunggu daritadi,” timpalnya lalu memberi kecupan ringan di pipi kiri Danu.

“Tadi Danu, Papa sama Papi abis belanja buat adek, Om Davis.”

Mata Danu kemudian terbelalak,

“Danu lupa ambil hadiah buat adek di mobil. Turunin Danu dulu ya, Om Davis?” pinta Danu.

Davis tertawa lalu melirik Arga yang membawa beberapa paper bag dari dalam mobil ke arahnya.

“Nggak usah, biar Papi Danu aja yang bawa. Daripada dia taunya ngomel doang kan?” kata Davis.

“Bang, jangan mulai deh.” tutur Deva yang baru sampai di depan kakaknya itu. Ia menghela napas sebelum mendapat satu kecupan di puncak kepalanya dari Davis.

“Gue becanda, Dev.”

“Heh! Ngapain kamu cium-cium suami saya?” protes Arga, “Anak saya juga ngapain kamu gendong sih? Kamu kan udah punya anak sendiri. Cepet turunin Danu. Ck!”

“Deva kan adek gue,” kata Davis, “Danu juga anaknya adek gue.”

Bu Ririn dan Deva yang sudah terbiasa melihat tingkah mereka hanya bisa tersenyum maklum. Beruntung, Ibu dan Bapak tiba-tiba keluar dari dalam rumah sekaligus melerai pertikaian anak sulung juga menantunya itu.

“Cucu kakek datang juga,” kata Bapak, “Kakek kangen banget.”

“Danu juga kangen Kakek.”

Si pria paruh baya terkekeh lalu melirik Davis yang justru berdiri di depan pintu utama rumahnya.

“Dav, kok Bu Ririn nggak disuruh masuk sih?” tegur si paruh baya.

“Tuh, Pak. Davis ngalangin jalan,” Arga memanas-manasi, namun justru dia yang mendapat satu cubitan di lengan dari Bu Ririn.

“Bu Ririn, silakan masuk.” Kini Ibu yang buka suara sebelum menciumi cucunya, “Ayo, Nak. Biar nenek yang gendong Danu.”

“Giliran Ibu entar aja,” kata Davis, “Davis juga masih kangen sama ponakan gantengnya Davis nih.”

Davis melirik adiknya, “Ayo, ajak Mama masuk. Ibu udah masak banyak buat kalian. Dimas sama si adek juga udah nunggu tuh.”

“Terus saya gimana? Nggak mau diajak masuk juga? Gitu?” protes Arga, tapi Davis cuma tersenyum meledek lalu mempersilakan Bu Ririn dan Deva masuk lebih dulu.

“Adab kamu emang kayak tai ya.”

Cerocos Arga lalu ikut masuk ke dalam rumah. Deva pun terkekeh dan hendak membantu suaminya itu membawa paper bag, namun Arga menolaknya dengan tegas.

“Gak usah, Sayang. Biar aku aja. Kamu gak boleh capek-capek.”

Deva pasrah. Alhasil, dia lantas melanjutkan langkahnya menuju ruang keluarga. Sesampainya di sana, senyum Deva merekah. Ia terharu melihat Dimas sedang memegang dot untuk bayi yang tengah dipangkunya di atas sofa.

“Dim, si ganteng udah dateng ni.” Davis menghampiri Dimas masih sambil menggendong si ponakan. “Katanya mau ketemu ama adek.”

Dimas mendongak, tersenyum cerah melihat Danu berada di hadapannya. “Sini, Sayang. Danu duduk di samping Om Dimas ya.”

Davis kemudian mendudukkan Danu tepat di samping Dimas. Membuat ponakannya itu leluasa menatap wajah anak mereka.

Tidak lama setelahnya, Deva pun ikut mendaratkan bokongnya di sisi kanan Dimas. Deva terkekeh gemas melihat sang keponakan yang berada di pangkuan Dimas.

“Adek lucu banget ya, Sayang?” tanya Deva kepada Danu yang entah kenapa tiba-tiba terdiam sambil mengamati wajah si kecil.

“Iya, Papa.” jawab Danu dengan suara yang pelan, “Papa jangan ribut dulu ya? Adek lagi bobo.”

Dimas dan Deva hanya saling berbagi tatap sambil menahan tawanya karena ucapan Danu.

Sementara itu, Arga yang baru saja menghampiri sofa kemudian menyodorkan paper bag yang ia bawa ke Davis. “Nih, buat adek.”

“Ngapain repot-repot sih, Mas?” kata Dimas, “Kalian bisa dateng ke sini aja kita udah seneng kok.”

“Ya udah, saya ambil lagi.” canda Arga lalu hendak mengambil lagi paper bag yang sudah diterima oleh Davis. Alhasil, iparnya itu refleks menatapnya dengan raut wajah datar. Arga pun terkekeh.

“Itu hadiah dari Danu, diterima ya?” jelas Arga kepada Dimas, “Dia semangat banget pengen ketemu sama adik sepupunya.”

Dimas mengangguk, menoleh pada Danu lalu memberikan usapan sayang di kepalanya.

“Makasih ya, Sayang. Adek pasti seneng dapet hadiah dari Danu.”

“Sama-sama, Om Dimas.”

“Mana nih si adek?” kata Arga lalu berjongkok di depan sofa.

“Yah, bobo dia.” Arga mencubit pelan pipi si kecil yang masih anteng saja di pangkuan Dimas.

“Papi!” Danu berkacak pinggang, alisnya pun saling bertaut kesal.

Suara Danu tetap pelan, “Adek lagi bobo, Papi. Jangan diganggu.”

“Biarin, Papi suka ganggu anak kecil.” balas Arga lalu kembali mencubit pelan pipi anak Davis dan Dimas itu, “Dek, ayo bangun. Om Arga pengen liat mata kamu.”

“Papi,” Danu memberi penekanan pada suaranya. “Adek kecil kalau diganggu bisa nangis. Paham?”

Davis, Dimas, Deva dan tidak terkecuali Bu Ririn yang baru saja menghampiri Dimas setelah tadi mengobrol sebentar dengan Ibu lantas dibuat tertawa pelan. Ya, selain Deva, memang cuma Danu yang berani protes pada Papinya.

“Adek udah punya nama belum, Nak Dim?” tanya Bu Ririn yang memilih duduk di atas sofa yang berseberangan dengan Dimas.

“Udah, Ma. Namanya Rahagi Baskara,” jawab Dimas, “Nama panggilannya Hagi,” jelasnya.

“Cantik ya namanya,” puji Arga, “Enggak kayak akhlak Ayahnya.”

“Danu juga ganteng, gak kayak Papinya.” Davis ikut menyindir.

“Udah, jangan berantem. Entar Hagi bangun tuh,” kata Bu Ririn.

“Biarin, Ma. Arga emang pengen liat Hagi bangun,” Arga terkekeh.

“Bang, Hagi mirip banget sama lo ya?” Deva takjub sekaligus heran, “Gue inget foto kecil lo yang pas main pasir itu. Mirip Hagi tau.”

“Ibu juga udah bilang ke Davis kemaren,” kata Ibu yang baru saja datang dari arah dapur sambil membawa nampan berisi teh hangat. Sementara Bapak yang mengekor di belakang istrinya membawa camilan kesukaan cucu, anak juga menantunya.

“Tapi alisnya mirip sama Dimas,” si wanita paruh baya menimpali.

“Iya kan, Bu?” kekeh Deva, “Hagi emang udah ditakdirin buat jadi anaknya Bang Davis ama Dimas.”

Dimas juga Davis tersenyum, tapi sesaat setelahnya mereka lantas menoleh ke Arga yang bersuara.

“Davis nih emang durhaka amat jadi anak, ck!” Arga lalu berdiri, “Masa Bapak sama Ibu dibiarin bawa makanan sama minuman?”

“Mas kayak gak tau aja Ibu sama Bapak tuh gimana kalau cucunya udah dateng ke sini,” kekeh Deva.

“Sini, Pak. Biar Arga bantu.”

“Udah, nggak usah. Kamu duduk aja, Nak. Gak setiap hari loh cucu Bapak sama Ibu dateng ke sini.”

“Tuh, liat aja.” kata Davis, “Kita mana kebagian kalau Bapak sama Ibu udah semangat kayak gitu.”

Arga tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Ia lalu duduk di sofa yang sama dengan Bu Ririn sambil memandangi Danu yang diberitahu oleh sang Kakek agar menyantap camilan favoritnya.

“Oh iya, Dev. Kemaren lo bilang mau ke Dokter kandungan kan?” Dimas membuka suara, “Gimana katanya? Ada kabar baik nggak?”

Deva melirik Arga sejenak lalu mengangguk diikuti senyum tipis, “Hasilnya positif, Dim.”

“Jadi lo lagi ngisi nih sekarang?”

“Mm,” gumam Deva.

Mendengar penuturan Deva membuat Ibu lantas berdiri di hadapan anaknya itu. Dengan raut wajah haru, Ibu kemudian membungkuk lalu menciumi kedua pipi Deva bergantian.

“Ibu seneng banget dengernya.”

Si wanita paruh baya kembali berdiri tegak lalu menoleh ke arah Dimas. Ia membelai pipi kanan menantunya itu sejenak.

“Menantu Ibu punya anak bayi, terus sekarang di perut anak Ibu juga ada bayi lagi.” kekeh wanita paruh baya itu, “Ibu bener-bener bahagiaaa banget ngeliat anak-anak Ibu udah jadi orang tua.”

“Danu bentar lagi jadi Kakak dong,” Davis ikut buka suara, “Danu bakalan jagain dua adek ya berarti? Hagi sama adek bayi di perutnya Papa. Danu bisa gak?”

“Bisa, Om Davis.” sahut Danu. “Danu kan udah besar. Udah bisa rapiin mainan sendiri, bisa mandi sendiri, sama pakai baju sendiri. Jadi, Danu bisa jagain adek juga.”

Seisi ruang keluarga tertawa mendengar celotehan Danu.

“Danu pengen adek cewek apa cowok nih?” Dimas bertanya.

“Cowok,” Danu cengar-cengir, “Soalnya, adek Hagi juga cowok. Jadi nanti Danu, adek Hagi sama adek di perutnya Papa bisa main bola sama-sama di rumah Oma.”

“Tapi kalau nanti yang keluar dari perut Papa ternyata adek cewek gimana?” timpal Dimas.

“Gak apa-apa,” kata Danu, “Nanti kan Papa sama Papi bisa bikinin adek cowok lagi buat Danu.”

Arga yang sedang menyeruput teh hangat hampir terbatuk karena ucapan Danu. Sementara Davis juga Divas tidak mampu menahan gelak tawa mereka.

“Siapa yang ngajarin Danu kalo yang bikin adek itu Papa sama Papinya sih, nak?” tanya Dimas.

Danu menunjuk Arga, “Papi!”

Deva mengulum bibir, sedang Arga yang melihat Davis sibuk menatapnya dengan tampang lempeng pun seketika berkata.

“Apa? Gak salah kan?”

“Udah, udah. Ayo, diminum dulu tehnya,” tutur Ibu lalu menatap anaknya, “Dev, mau Ibu ambilin susu gak? Semalem Davis beli.”

Deva menggeleng, “Gak usah, Bu. Deva mual kalau abis liat susu.”

“Hah?”

“Hah?”

Davis juga Dimas yang sangat tau betapa sukanya Deva pada susu kompak membeo. Mereka kaget.

“Di kantor kemarin Deva sampai mual pas mau minum susu,” Arga menjelaskan. “Gak tau deh, baby di perut Deva kenapa agak laen.”

Hush! Lo jangan ngomong gitu,” tegur Davis, “Entar baby ngam—”

“Jadi Mas gak suka sama baby?” Deva memotong ucapan Davis.

Arga refleks menelan ludahnya, “Aku enggak bilang gitu, Sayang.

“Tapi Mas bilang kalau baby agak lain,” cebiknya, “Mas mau bilang kalau aku sama baby aneh kan?”

“Mampus lo,” kata Davis ke Arga tanpa bersuara—hanya dengan gerakan bibir. Ia menahan tawa.

Arga menarik napasnya dalam-dalam sebelum bangkit dari sofa lalu menghampiri sang Omega. Ia kaget melihat Deva yang tiba-tiba saja menjadi sangat sensitif.

Alhasil, kini Arga duduk melantai di samping kaki Deva. Ia meraih jemari lentik Deva lalu bersuara.

“Ayo, Sayang. Kita jajan es krim di luar. Yaa?” Arga membujuk Deva lalu menoleh ke anaknya, “Danu mau ikut Papi sama Papa nggak?”

Danu menggeleng, “Papi aja deh yang pergi beli es krim. Kan Papi yang udah bikin Papa ngambek.”

Lagi. Seisi ruang keluarga riuh karena tawa. Deva yang sedari tadi sebenarnya hanya ingin mengusili Arga pun tidak bisa menahan senyumnya sebelum mengecup tangan suaminya.

“Aku bercanda, Mas.”

“Kamu ya,” gumam Arga “Ck!”

“Tapi aku jadi pengen ice cream beneran,” kata Deva lalu berdiri dari sofa, “Ayo, Mas. Temenin.”

“Ya udah,” Arga pun ikut berdiri lalu merangkul pinggang Deva, “Bu, Pak, Ma, Arga sama Deva ke luar bentar ya. Nyari ice cream.”

“Jangan lama pacarannya,” sindir Davis, “Ngambil kesempatan lo.”

“Gak usah bawel deh kamu,” kata Arga lalu menunjuk celana Davis dengan dagunya, “Tuh, resleting celana kamu lepas. Gak sopan.”

Davis panik lalu menunduk, tapi dia seketika sadar bahwa saat ini ia mengenakan celana olahraga. Sedang Arga yang melihat Davis pun tertawa usai mengusilinya.

“Ni Adek gue ketularan usil juga gara-gara lo,” Davis mendengus.

Arga menyeringai lalu berkata.

You are what you eat.”

Biru berbaring terlentang di atas ranjang dalam kamarnya. Tidak ada cahaya dari matahari di luar sana yang menyelinap, sebab dia menutup jendela sekaligus pintu balkon dengan tirai. Pun lampu kamar lantas tidak Biru nyalakan.

Dengan seperti itu pula Biru bisa merasa sedikit lebih tenang dan mengikis penatnya setelah satu Minggu berwira-wiri di Rumah Sakit Jiwa. Pasalnya, meski stase Psikiatri bukan stase yang besar, tapi rasanya cukup melelahkan.

Sesekali Biru memeriksa timer di handphone-nya, melihat bahwa masih ada waktu sekitar sepuluh menit untuk bermalas-malasan. Sebab setelahnya, dia akan tepat janji ke Jeva untuk segera mandi.

Saat Biru sedang asik menutup mata sambil merentangkan dua tangannya di atas ranjang, suara ketukan di pintu kamar tiba-tiba menggema, disusul suara Jeva.

“Bi?”

“Gue masuk ya?”

Biru menghela napas, “Iya!”

Persekian detik berselang, pintu kamar Biru pun dibuka oleh Jeva. Melihat kamar Biru amat gelap membuat Jeva lantas bergumam.

“Kok gelap banget sih, Bi?”

Jeva berjalan hati-hati ke arah tempat tidur Biru. Dia takut jika nanti tersandung atau menabrak barang yang ada di dalam kamar.

“Lo abis tidur ya?” tanyanya lagi.

“Mm,” gumam Biru yang masih setia pada posisi terlentangnya.

“Jev, lo percaya gak sih kalau gue bilang seharian ini gue tuh belum pernah ngeliat cahaya matahari?”

Mendengar pertanyaan nyeleneh Biru membuat Jeva yang saat ini telah berdiri di samping ranjang Biru seketika menautkan alisnya. Terlebih saat Jeva samar-samar melihat bahwa posisi kepala Biru tidak searah dengan head board.

“Becanda lo, Bi?”

“Gue kan nanya, kenapa lo malah ikutan nanya?” Biru tersenyum, meski dia yakin Jeva tak melihat.

“Gue mau bilang enggak percaya, tapi bukan gak mungkin juga elo emang gak pernah liat matahari sejak pagi tadi kalo udah mager.” kata Jeva, “Lo gak serius kan, Bi?”

“Enggak lah,” kata Biru, “Tadi gue sebenernya ngode doang supaya elo bukain tirai balkon buat gue.”

Jeva menghela napas, “Bikin gue panik aja lo. Ngapain ngode sih?”

Biru terdiam. Dia hanya melirik Jeva yang samar-samar berjalan ke arah pintu balkon sebelum akhirnya membuka tirai. Terik cahaya matahari sore pun lantas menusuk retina Biru yang justru terjebak dalam hening sesaatnya.

Biru berpikir—kenapa Jeva harus panik kalau aja dia emang nggak pernah ngeliat cahaya matahari?

Tapi Biru memilih untuk diam. Tak menuntut penjelasan Jeva.

“Lo udah makan?”

Jeva bertanya sambil berjalan kembali ke arah tempat tidur Biru. Dia kemudian memilih duduk melantai di sisi kanan ranjang Biru lalu bersandar di sana. Setelahnya, Jeva menoleh ke Biru yang juga menatapnya.

“Udah,” jawab Biru singkat.

Jeva mengangguk. Setelahnya dia menatap wajah Biru lekat-lekat, membuat yang ditatap demikian lantas merasa sedikit terganggu.

“Apa?” tanya Biru.

“Lo kalau lagi nggak bisa nonton bareng gue hari ini gak apa-apa kok.” kata Jeva, “Lain kali aja, Bi.”

Biru memutar bola matanya lalu meraih gawai di samping bantal. Dia lalu menunjukkan timer yang tertera di layarnya kepada Jeva.

“Nih, gue tuh udah masang timer buat mandi.” decak Biru, “Lo gak usah bikin narasi kalau gue mau ingkar janji deh. Gue kan nggak bilang kalau gue gak mau pergi.”

“Lagian lo juga mau ke bioskop cepet amat, jam segini. Padahal deket,” oceh Biru yang membuat Jeva tersenyum tipis melihatnya.

“Jalan sama gue wasting energy lo banget ya, Bi?” tanya Jeva. “Lo sampe kayak nggak mau sekedar jalan ama gue di luar jam nonton yang udah kita janjiin kemaren.”

Jeva menatap serius wajah Biru.

“Apa ada alasan lain yang bikin lo gak mau lama-lama sama gue?”

Biru menelan ludahnya sebelum berkata, “Lo ngomong apa sih?”

“Gue cuma bener-bener mager tadi,” jelasnya. “Badan gue kayak masih capek banget. That’s why.”

Jeva terkekeh, “Tapi gue serius, Bi. Kalau lo emang lagi gak mood ke luar rumah atau capek… Kita nggak usah nonton. Gue ngerti.”

“Kemarin aja pas gue pengen di rumah doang, elo malah dateng terus ngejemput paksa gue,” cibir Biru. “Sekarang kok sebaliknya?”

“Gue ngejemput paksa elo juga buat mastiin keadaan lo aja, Bi.”

Mata Biru menyipit, “Maksud lo?”

“Bi, lo tau nggak sih? Lo kalo lagi diem aja kadang bikin khawatir.”

Jeva menghela napas, “Lo selalu sibuk sama isi kepala lo sendiri ampe bikin gue takut sama apa yang lo pikirin. Lo juga kadang gak mau cerita atau ngasih tau apa yang lagi ganggu pikiran lo.”

“Jadi gue bisa apa selain ngeliat keadaan lo secara langsung, Bi?”

Biru menatap lurus ke dalam iris cokelat Jeva, “Lo takut kenapa?”

“Gue takut kalo lo mikirin hal-hal yang bisa nyakitin diri lo sendiri.”

Jawaban Jeva pun membuat Biru mengalihkan pandangan ke arah langit-langit kamar. Entah. Biru merasa perhatian Jeva padanya akhir-akhir ini menganggunya.

Bukan karena risih, namun Biru sadar ada yang aneh dari dalam dirinya. Hal yang sebenarnya tak pernah dia harapkan untuk ada.

Di tengah hening yang tiba-tiba melanda keduanya, suara kentut yang cukup besar justru menjadi pemecah suasana. Biru melotot lalu menoyor keras kepala Jeva.

“Jorok banget sih lo!”

Jeva cengengesan, “Gak bau kok.”

“Gak bau apaan?” omel Biru, “Lo ke balkon deh, bisa pingsan gue.”

Jeva memicingkan mata sebelum kembali membuang gas. Biru pun refleks memukul kuat badan Jeva dengan bantal, namun temannya itu justru semakin tertawa puas.

Biru cuma bisa pasrah sambil menutup wajah dengan bantal.

“Bi, kita nonton Netflix aja deh di sini,” usul Jeva yang membuat atensi Biru kembali kepadanya.

“Terus tiket yang udah lo beli?”

Jeva tersenyum, “Gue kasih ke Julian sama Rayhan kali ya? Biar mereka cepet-cepet baikannya.”

Biru mendengus pelan. Kenapa juga dia merasa gelisah saat ini?

“Jev, gue bisa keluar rumah kok.” tegas Biru sebelum bangkit dari posisinya. “Lo ngambek ya gara-gara tadi gue bilang lagi mager?”

“Siapa yang ngambek sih?” Jeva terkekeh melihat Biru yang kini telah duduk di atas ranjangnya.

“Gue ngasih lo pilihan, Bi. Kalau emang lo lagi capek, ya udah kita nonton Netflix ajaa.” timpal Jeva, “Tapi kalau lo ngerasa bisa dan mau nonton di luar, gih mandi.”

Tepat setelah Jeva berceloteh, timer yang tadi Biru nyalakan lantas berbunyi. Alhasil, Biru lalu bergegas turun dari ranjangnya.

Jeva pun hanya memerhatikan Biru yang kini berjalan ke arah lemari dan mengambil handuk berwarna putih. Namun, sesaat sebelum Biru berjalan ke kamar mandi, ia lantas menoleh ke Jeva. Sebab, dia teringat akan sesuatu.

“Oh iya, Jev. Sepupu lo kok udah gak pernah maen ke sini?” tanya Biru pada Jeva yang masih setia duduk di samping tempat tidur.

“Kenapa, Bi?” Jeva menatap lamat wajah Biru, “Lo naksir sama dia?”

Biru berkacak pinggang, “Lo tuh kenapa deh, tiap kali gue nanyain cewek, pikiran lo musti berputar sama asumsi kalau gue naksir?”

“Kak Biru!”

Jeva menghela napas saat suara Dara terdengar dari depan pintu kamar Biru. Sementara itu, sang empu kamar lantas berjalan ke sumber suara; membuka pintu.

“Kenapa?”

“Gue mau ke toko buku bentar ya,” izin Dara, “Gue juga udah nge-chat Mama kok, baru aja.”

“Sama siapa?” selidik Biru.

“Gue ke sana sendiri,” kata Dara, “Tapi entar ketemu sama Viola.”

“Kok bukan sepupunya Jeva?”

Dara menggeleng, “Gue sama dia lagi marahan, Kak. Biasa, cewek.”

“Kayak anak kecil aja lo berdua,” Biru geleng-geleng kepala. “Ya udah, lo ikut gue aja sama Jeva ke sana. Kita mau jalan kok abis ini.”

Dara mendesis, “Gak usah deh. Si Vio udah nunggu soalnya. Lo juga belum siap-siap gue perhatiin.”

“Tapi kabarin gue kalo ada apa-apa di jalan ya?” ucap Biru yang dibalas anggukan oleh adiknya.

“Gue cabut dulu yaaa,” Dara lalu melirik ke arah Jeva yang ada di dalam kamar Biru, “Dah, Kak Jev.”

“Hati-hati, Dar!”

Dara tersenyum dengan jempol yang mengacung sebelum pergi dari hadapan Biru. Saat itu pula Biru hendak kembali melanjutkan niatnya menuju ke kamar mandi.

“Dara sama Gina aja dibilang kek anak kecil kalau lagi marahan…”

Jeva tiba-tiba menyahut lalu menahan senyum. Apalagi saat Biru menoleh sambil memicing.

“Terus kemaren kita apa, Bi?”

“Ya gue marah sama lo karena lo bikin gue kecewa,” sahut Biru.

“Lo bilang bakal jagain adek gue, gak mau biarin Dara nangis, tapi apa? Lo boong,” timpal Biru lalu melenggang ke kamar mandinya.

Sementara itu, Jeva yang tidak pernah berhenti memusatkan atensi ke Biru lantas menghela napas lalu menoleh ke nakas di samping ranjang Biru. Sebuah bingkai foto terpajang di sana, dimana Biru dan Dara berpose berdua sambil tersenyum cerah.

Kalimat terakhir yang tadi Biru katakan menusuk relung hatinya.

Pikiran Jeva saat ini pun seketika berlabuh pada kebohongan yang telah dia dan Dara tutup rapat-rapat dari Biru setahun lamanya. Kebohongan bahwa dia dan Dara berpacaran. Sementara faktanya, sang sepupulah yang berpacaran lalu putus dengan adik Biru itu.

“Maafin gue, Bi.”

Biru yang baru saja meletakkan tas di kursi penumpang samping kemudi juga jas koasnya yang dia sampirkan di jok lantas terkejut saat mendegar klason dari arah luar pagar rumahnya. Perasaan Biru seketika gak enak, dia sudah memiliki satu nama di kepalanya.

Menghela napas pelan, Biru lalu turun dari mobilnya sebelum menghampiri sumber suara tadi. Dan benar saja, mobil Jeva telah terpakir tepat di depan pagar.

Sementara itu, Jeva yang melihat Biru menghampiri mobilnya pun keluar dari kendaraan miliknya. Kini Jeva lantas berakhir berdiri di hadapan Biru lalu tersenyum.

“Lo bisa bahasa manusia gak sih, Jev?” Biru menatap Jeva dengan tampang tak percaya, “Tadi kan gue udah bilang kalau mau bawa mobil sendiri. Gue mau nyetir.”

“Guk guk guk guk!” balas Jeva sambil menirukan suara anjing.

Biru seharusnya kesal karena tingkah Jeva. Namun, kini dia justru menahan tawanya sambil menutup mata. Pun menahan hasrat untuk tak menonjok Jeva.

Pasalnya, wajah jenaka Jeva saat menirukan suara anjing mampu menggelitik perutnya. Dia kalah.

“Nah, gitu dong. Kalau pagi tuh senyum sebelum berangkat ke Rumah Sakit,” tutur Jeva yang melihat garis tipis melengkung di bibir Biru, “Senyum buat ke diri sendiri juga perlu tau, gak cuma ke pasien yang lo tangani di RS.”

“Lo gak usah nge-bawelin gue di sini pagi-pagi deh,” decak Biru.

“Mending lo ke RS sekarang gih,” timpalnya, “Entar gue nyusul.”

“Justru gue ke sini tuh karena gue mau berangkat ke Rumah Sakit barengan sama lo,” balas Jeva, “Cepetan keluarin mobil lo, ntar gue ngikutin dari belakang.”

“Lo kenapa sih gak mau ja—”

“Kenapa gue gak mau jauh-jauh dari lo?” potong Jeva yang telah tau apa yang ingin Biru tanyakan.

“Sekarang biar gue balikin deh pertanyaan lo, Bi. Kenapa sih, lo selalu pengen gue jauh dari lo?”

Biru menatap lamat wajah Jeva selama beberapa saat sebelum berkata, “Karena lo ngeselin, Jev.”

“That’s it!” Jeva lalu menjetikkan jarinya, “Gue juga gak mau jauh dari lo karena suka liat lo kesel.”

“Anjing,” ucap Biru hanya dengan gerak bibirnya; tanpa bersuara.

“Guk! Guk!” kekeh Jeva sebelum menunjuk ke arah rumah Biru dengan dagu, “Cepetan ambil mobil lo, Bi. Entar kita telat loh.”

“Kenapa harus barengan sih?”

Jeva menghela napasnya pasrah, “Kita satu kelompok btw, kalau lo telat. Entar gue yang ketar-ketir.”

Excuse me?” Biru lalu menoyor kepala Jeva, “Yang biasanya suka datang telat pas pre-klinik itu lo.”

“Itu kan dulu, Bi. Sekarang gak.”

Whatever,” kata Biru sebelum berbalik, hendak kembali ke garasi dimana mobilnya berada.

Namun, saat Biru sudah berada di belakang mobilnya, langkah kakinya seketika terhenti. Sebab, Biru mendapati bahwa salah satu ban belakang mobilnya kempes.

Bahkan, dari tampilannya saja, Biru sudah bisa menebak bahwa ban mobilnya itu telah pecah. Dan sialnya lagi, Biru sama sekali tidak memeriksanya lebih dulu saat memanaskan mesinnya tadi.

Kalau udah kayak gini, Biru gak ada pilihan lain. Mau tidak mau Biru harus ikut dengan Jeva agar tidak datang terlambat ke RSJ.

Sementara itu, di luar pagar, Jeva yang sudah menunggu Biru di dalam mobilnya lantas terkejut kala mendapati Biru keluar dari pagar sambil berjalan lesu. Tas dan jas Koas telah Biru tenteng sambil berjalan ke mobil Jeva.

“Lo kenapa, Bi?” tanya Jeva ketika Biru masuk dan duduk di bangku penumpang samping kemudinya.

“Gue baru liat kalau ban mobil gue pecah,” gumam Biru pasrah.

“HAHAHAHAHA!”

Ya, Biru sudah tau respon Jeva.


Hari sudah terasa panjang meski nyatanya saat ini baru memasuki jam makan siang. Pasalnya, RSJ kembali ramai dengan pasien.

Gak usah ditanya yang lagi jaga siapa. Of course, they’re Jeva and Biru, dua Koas yang diyakini bau.

Saat ini kelompok 4L pun sudah berkumpul di salah satu meja di kantin RSJ. Jeva, Biru dan Salsa duduk berjejeran. Sementara di seberang mereka ada Rayhan, Julian dan satu orang Koas laki-laki dari Universitas lain yang ikut bergabung dengan mereka.

“Soto gue mana yaa,” keluh Jeva, “Asam lambung gue lama-lama.”

“Sabar, Jev. Tangan si Ibu kantin cuma dua,” canda Salsa, “Mana kita semua mesen soto di sini.”

“Pokoknya soto yang pertama dateng nanti itu punya gue ya.”

“Iya, Jev. Ambil,” Salsa yang jadi responder setia Jeva pun pasrah.

“Pak Ketua, gimana kabar buat kasbes-nya nih? Diem-diem aja,” Jeva bertanya kepada Rayhan.

Rayhan yang sedari tadi sibuk memandangi gawainya melirik Jeva sejenak. Rayhan tersenyum hambar lalu menggeleng lemah.

“Gue belum maju Minggu ini.”

“Kalo lo, Jul?” tanya Jeva lagi.

“Belum,” jawab Julian singkat lalu kembali memusatkan atensi ke Koas dari Universitas lain yang duduk tepat di sisi kanannya itu.

Sebab sedari tadi pun, Julian lebih sering berbicara dengan laki-laki bernama Sakha itu. Tak sekalipun Julian melirik Rayhan.

Interaksi keduanya—Rayhan dan Julian—yang tidak seperti biasa pun bisa dengan mudah diamati oleh teman-temannya. Bahkan, Jeva yang menyadari hal itu pun selalu mencoba mencarikan es di antara kedua teman Koasnya itu.

Namun nihil, tetap saja Rayhan dan Julian tidak saling berbicara.

Tidak lama berselang, pelayan kantin lantas datang. Si wanita paruh baya membawa nampan berisi enam gelas minuman.

“Bu, sotonya belum jadi ya?” Jeva memelas, “Masih lama gak, Bu?”

“Biarin Ibunya naroh minuman dulu,” tegur Biru yang mampu membuat Jeva seketika terdiam.

“Udah hampir jadi kok, Mas. Abis ini dianterin ya,” jawab si Ibu tadi.

Saat si Ibu hendak meletakkan gelas di depan Julian, tangannya yang licin justru membuat benda berkaca bening itu jatuh di meja hingga isinya tumpah. Sebagian minuman yang tumpah itu pun membasahi celana Julian di bawah meja. Seisi meja panik, termasuk Rayhan yang hendak mengambil tisu untuk Julian.

Sayangnya, pergerakan Rayhan justru didahului oleh Sakha. Koas laki-laki bersorot mata tajam itu lebih dahulu memberi beberapa lembar tisu untuk Julian.

“Maaf, Mas. Saya minta maaf.”

“Gak apa-apa kok, Buuuu. Dikit doang kok ini,” ucap Julian amat tenang, “Udah, Ibu lanjutin aja.”

Rayhan lantas memerhatikan Julian yang mengusap celana kainnya dengan tisu. Namun, ketika mendapati Sakha ikut membantu mengusap paha Julian dengan tisu, Rayhan pun dibuat naik pitam. Ditambah lagi Julian justru tidak menolaknya.

Dipukulnya meja dengan keras oleh Rayhan sebelum dia berdiri. Rayhan menatap nyalang Sakha dengan mata yang berapi-api.

“Lepasin tangan lo itu dari paha pacar gue,” ucap Rayhan dingin.

Seisi meja tersentak, tak kecuali Jeva yang sebenarnya sudah tau akan hubungan antara Julian dan Rayhan. Namun, Jeva kini justru menoleh pada Biru. Temannya itu hanya diam, memerhatikan.

“Apa-apaan sih lo, Ray?”

“Lo yang apa-apaan, Jul!”

“Ray, Jul,” Jeva ikut berdiri lalu melerai keduanya, “Kita lagi di kantin, banyak yang ngeliatin.”

Menetralkan napasnya, Rayhan kemudian kembali memandangi Sakha. “Gue nggak suka ngeliat cowok gue dipegang-pegang.”

“Lo ikut gue,” kata Rayhan sambil menarik lengan kanan pacarnya hingga mereka pergi dari kantin.

Sakha yang sudah merasa tidak enak pun berdeham pelan dan ikut bangkit, “Gue juga cabut ya.”

“Lah kok pada pergi?” Salsa baru berani berkutik, “Soto lo, woy?”

Sementara itu, Jeva yang melirik Biru dan melihat temannya itu menatap kosong ke arah meja lantas menepuk pundak Biru.

“Lo tunggu di sini bentar ya, Bi.”

Biru tidak menjawab, dia hanya mendongak sambil memandangi Jeva dengan tatapan herannya. Pandangan Biru mengikuti Jeva yang berjalan ke arah stand soto.

“Ternyata Julian sama Rayhan ada something special ya,” kata Salsa, “Pantes nempel mulu.”

Biru masih diam. Tidak berniat membalas ucapan Salsa. Sampai saat Jeva telah kembali ke meja sambil membawa kantong plastik bening berisi paper bowl, alis Biru saling bertaut. Dia heran.

“Ayo, Bi. Kita makan di messko. Ini sotonya udah gue bungkus.”

“Lah, terus gue gimana?” Salsa menatap Jeva tidak percaya.

“Ya lo makan di sini aja,” balas Jeva, “Gue cabut duluan, Sal.”

“Tega banget lo pada sama gue!”

Jeva hanya memberikan simbol hati kecil yang dibentuk dengan jari kepada Salsa. Dia kemudian menarik lengan Biru, menuntun temannya itu berjalan ke messko.

Tidak ada percakapan di antara Jeva dan Biru sejak meninggalkan kantin. Bahkan Jeva yang kerap tidak bisa tenang pun memilih diam sampai akhirnya mereka tiba di ruang istirahat Koas yang juga suka mereka sebut messko.

“Nih, duduk.” Kata Jeva setelah menarik satu kursi untuk Biru.

Biru pun duduk di kursi yang ada dalam ruangan itu, sedang Jeva mendaratkan bokong di sisinya. Kantongan yang Jeva bawa tadi kemudian Jeva letakkan di meja.

Namun, bukannya langsung menyantap makan siangnya, Jeva justru menatap Biru lekat-lekat.

“Bi? Are you okay?” tanya Jeva.

Menoleh, Biru tersenyum. Dia ikut menatap Jeva lekat-lekat.

“Mm,” gumam Biru.

Jeva menelan ludah, “Anggap aja lo gak pernah denger apa yang lo denger di kantin tadi ya? Kalau lo gak nyaman ke Ray sama Julia—”

“Jev…” potong Biru.

“Gue kan udah pernah bilang ke lo. Gue gak benci atau jijik sama orang-orang kayak mereka kok.”

Biru menarik napasnya dalam-dalam, “Gue cuma enggak mau berhubungan terlalu dekat sama mereka, apalagi sampai tau hal-hal apa aja yang mereka lakuin sebagai pasangan sesama jenis.”

“Justru bagus gue udah tau Julian sama Rayhan ada hubungan, biar besok-besok gue bisa hati-hati di sekitar mereka, tanpa nyinggung perasaan mereka juga.” jelas Biru.

Jeva mengangguk paham.

“Mm, gue ngerti. Ray sama Julian juga pasti ngerti banget kok, Bi.”

Satu tangan Jeva lantas bergerak, meraih lalu menggenggam jemari Biru dengan erat di atas pahanya.

“Gue cuma khawatir sama lo.”

Biru menatap lurus ke dalam iris kecokelatan Jeva cukup lama lalu menurunkan pandangannya ke tangan Jeva yang menggenggam miliknya. Merasa ada yang aneh dengan dirinya dan apa yang kini mereka lakukan, Biru kemudian menarik tangannya. Dia melepas genggaman Jeva lalu berdeham.

“Gak usah lebay deh, gue enggak apa-apa. Udah ah, gue laper nih.” kata Biru lalu meraih paper bowl.

“Bi.”

Biru melirik Jeva, “Apa?”

“Apapun ketakutan lo, gue bakal dengerin kok.” tutur Jeva, sedang Biru hanya menghela napas lalu menarub satu paper bowl tepat di hadapan teman Koas-nya itu.

“Ketakutan gue sekarang itu, asam lambung gue bisa naik gara-gara gak makan karena ngeladenin bawelan lo doang.”

Jeva tersenyum, “Ya udaah, gue diem deh sekarang. Makan gih.”

Biru yang sedang duduk di kursi konsultasi lantas mendesis saat Jeva tiba-tiba menghampirinya. Jeva kemudian mencubit gemas kedua pipi Biru hingga kepalanya sedikit bergoyang karena hal itu.

“Lo udah tidur ya, hm? Ditanyain apa jawabnya apa.” Jeva terkekeh.

“Jev, lepasin! Sakit,” keluh Biru.

Tersenyum manis, kedua Ibu jari Jeva pun beralih mengusap pelan pipi Biru yang memerah karena ulahnya. Namun, Biru buru-buru menepis tangan Jeva bersamaan dengan seorang perawat wanita yang berjalan mendekati mereka.

“Eh, Mba Dian. Abis darimana?” tanya Jeva diikuti senyum ramah.

“Abis ngecek bangsal, Jev.” jawab perawat wanita itu, “Kalian udah follow up pasien-pasien di bed?”

“Udah, Mba.”

“Udah, Mba.”

Jeva dan Biru kompak menjawab. Sang perawat pun mengangguk.

“Kalian boleh istirahat sekarang,” katanya, “Di RSJ gak butuh waktu 24 jam pengawasan sebenarnya, cuman ya, kalian pasti udah bisa ngerasain pas nanganin pasien-pasien siang tadi se-capek apa.”

“Aku udah ngajakin si Biru buat masuk ke rest room Koas, Mba. Tapi anaknya malah ngelantur,” cibir Jeva, sedang Biru mendelik.

“Udah, buruan tidur bentar. Kita nggak ada yang tau loh Konsulen bakal visit jam berapa, tiba-tiba.”

Sang Perawat menepuk pundak Jeva juga Biru sambil tersenyum.

“Kalian udah kerja keras hari ini.”

Jeva mengacungkan jempolnya, “Mba Dian juga ya, met istirahat.”

“Oke.”

Selepas Perawat wanita itu pergi, Jeva kembali memandangi Biru.

“Ayo, Bi.”

Biru pun cuma bisa pasrah ketika Jeva mencengkeram pergelangan tangannya sebelum menariknya hingga kini dia berdiri dari kursi.

“Perawat-perawat di RSJ ini pada baik. Ya gak sih, Bi?” tanya Jeva sembari melangkah beriringan dengan Biru menuju rest room untuk Koas. Satu lengannya pun merangkul pundak lebar Biru.

“Mm,” Biru setuju.

“Padahal, kalo denger cerita dari senior kita, mereka bilang Koas tuh kayak kain pel di RS. Nggak ada harga dirinya di mata orang RS lah, bakalan dijulidin Residen, perawat sampe admin-adminnya lah, segala macem,” oceh Jeva.

“Tapi ternyata gak se-nyeremin itu ya di RSJ ini,” timpalnya, “Gue malah berasa diterima di rumah baru yang bikin gue musti kenal sama orang-orang di dalamnya.”

And it makes me happy to know someone else’s life story,” katanya. “Pasien-pasien di sini gak cuma bikin gue belajar lebih soal Ilmu Kejiwaan… Tapi pelajaran hidup juga ada. Menurut elo gimana?”

“Sama,” sahut Biru, “Baru sehari di sini, tapi udah banyak behind story pasien yang bikin gue tuh terdorong buat lebih menghargai hidup dan mati,” jelas Biru yang membuat Jeva mengacak-acak rambut Biru sambil tersenyum.

I’m glad to know that,” kata Jeva. “Gue juga seneng lo mau cerita.”

Biru mendengus pelan diikuti senyum tipis, “Lo ngomong gitu tuh seolah-olah gue gak pernah cerita banyak hal sebelumnya.”

“Justru gue bilang gitu supaya lo tau how much I appreciate every single story you have shared with me, Bi.” kata Jeva, “Gue tau, lo itu anaknya logical thinking banget.”

“Lo kadang gak mau cerita soal hal yang menurut logika lo gak penting-penting amat,” timpal Jeva, “Padahal it means a lot to me, gue seneng lo cerita ke gue.”

Biru menarik napas, “Kita terlalu berbeda buat nyatu jadi temen.”

“Gue suka diem, elo suka bawel. Gue suka tenang, eh lo bar-bar.” katanya, “Makanya lemah sinyal.”

Jeva seketika tergelak di lorong rumah sakit saat mendengarkan ocehan Biru. Sementara teman Koas-nya itu refleks menyikut perut Jeva yang terlalu berisik.

“Lo kalau ketawa pelan-pelan aja dong,” decak Biru, “Orang-orang udah pada tidur. Serem tau gak?”

“Abisnya elo bilang lemah sinyal,” balas Jeva dengan sisa tawanya. “Jadi, kita tuh udah connect as friends tapi low bandwidth gara-gara banyak banget ya bedanya. Kayak gitu kan maksud lo, Bi?”

“Mm,” gumam Biru.

“Pinter juga lo,” puji Jeva.

Biru melirik Jeva, “Emang elo.”

“Iya, iya, gue kalah kali ini.” Jeva menarik pelan daun telinga Biru. “Jadi lo udah gak kesel lagi kan sama gue, Bi?” tanyanya, sedang Biru hanya mengangguk singkat.

Kedua anak Koas itu kemudian menghentikan langkah di depan pintu rest room untuk membuka pintu. Namun, saat Jeva dan Biru telah masuk, alangkah kagetnya mereka ketika mendapati bahwa beberapa ranjang yang dibuat menempel dan berjejer telah dipenuhi oleh Koas lain yang sudah berlabuh ke alam mimpi.

Sebenarnya, jika Koas lain tidur dengan posisi yang lebih rapi, Biru dan Jeva masih mendapat ruang untuk merebahkan tubuh mereka sejenak. Sayangnya, kaki Koas lain telah melebar ke mana-mana. Ada yang mengangkang, ada yang tidur seperti bayi di dalam kandungan, adapula yang kakinya telah membentuk arah jam sembilan. Amat berantakan.

“Bi, kayaknya di pinggir sana tuh masih bisa buat satu orang deh,” Jeva menunjuk sisi kosong yang berada tidak jauh dari tembok.

“Lo rebahan di sana aja,” katanya.

Biru mengernyit, “Lo gimana?”

“Gue di lantai, gak apa-apa.”

Jeva pun menarik lengan Biru agar segera menghampiri sisi ranjang yang kosong. Sedang Jeva sendiri hendak duduk di samping ranjang tipe single bed yang tidak terlalu tinggi itu; bahkan buat masuk ke kolongnya aja, badan Jeva nggak akan muat.

Namun, baru saja Jeva ingin mendaratkan pantat di lantai, Biru tiba-tiba saja menahan pergerakannya. Temannya itu mencengkeram lengan kirinya.

“Biar gue aja yang di lantai,” kata Biru sebelum duduk melantai.

Jeva lantas tidak mengindahkan. Dia justru berjongkok di depan Biru sambi melipat lengan di atas lututnya. Jeva senyam-senyum.

“Kok lo perhatian banget sih, Bi?”

Biru menghela napas, “Minggir. Gue mau istirahat, stop ngoceh.”

“Lo kalo udah perhatian gini tuh, bikin gue berasa diperhatiin ama pacar deh. Mana tadi kita juga—”

Ucapan Jeva terhenti. Pasalnya, dia refleks mengulum bibirnya sambil menahan tawanya saat Biru tiba-tiba bangkit sebelum naik ke atas ranjang di sisinya.

Good night, Bi.”

Biru yang telah terlentang di atas sisi kosong ranjang tadi sembari memejamkan matanya pun tidak menjawab. Sementara Jeva yang kini duduk melantai di samping Biru pun melipat dua lengannya di atas ranjang; tepat di sebelah pinggang Biru. Jeva tersenyum.

“Jangan nendang kepala gue ya, Bi.” tutur Jeva setengah berbisik sebelum merebahkan kepalanya di atas lengan yang dia lipat tadi. Jeva kemudian ikut memejamkan matanya, bersiap untuk tidur.

Menit demi menit pun berlalu, hanya suara jarum jam di dalam ruangan yang mengisi sunyinya malam di Rumah Sakit Jiwa itu. Namun, Biru yang sedari tadi memejamkan mata nyatanya tak bisa tertidur. Padahal, kondisinya saat ini sedang amat kelelahan.

Sekarang, Biru malah membuka mata lalu menoleh ke arah Jeva. Cukup lama memandangi sang teman, satu tangan Biru lantas bergerak. Dia mengusap lembut puncak kepala Jeva, seperti yang Jeva lakukan padanya siang tadi.

Biru tau, Jeva juga sama lelahnya kayak dia. Entah kebetulan atau tidak, mereka emang bau hari ini.

Usapan-usapan lembut yang dia berikan kepada Jeva kemudian terhenti saat temannya itu tiba-tiba membuka mata. Dan sialnya, Biru yang terkejut justru refleks menarik tangannya dari kepala Jeva dan meletakkannya di atas perut. Alhasil, saat ini dia seperti maling yang baru saja kepergok.

Biru pun dibuat semakin terkejut kala Jeva meraih tangannya tadi. Jeva menuntun tangan Biru agar berada di atas kepalanya—lagi.

“Biarin gini, Bi.” gumam Jeva.

Biru gak menolak, tapi juga gak menjawab. Biru hanya kembali memejamkan mata dengan satu tangan memegangi kepala Jeva.

“Bi?”

“Mm,” jawab Biru, masih sambil memejamkan mata rapat-rapat.

Namun karena Jeva tak kunjung bersuara selama beberapa saat setelah dia merespon, Biru pun membuka matanya. Dia menoleh ke Jeva yang nyatanya sedang sibuk menatapnya lekat-lekat.

“Apa?” tanya Biru.

“Gue gak mau balikan sama adek lo,” sahut Jeva sebelum kembali menutup kedua matanya, sedang Biru beralih menatap ke langit-langit ruangan istirahat mereka.