ICVCU

See? Kita gak bau, Bi.”

Jeva melipat lengan di depan dada sambil tersenyum puas.

“Pasien terakhir di ICVCU udah keluar tadi,” timpalnya, “Malam ini kita cuma jagain bed kosong.”

Biru yang semula sedang sibuk memeriksa tugas dari dosen saat kuliah pagi tadi lantas melirik ke Jeva. Sorot mata Biru pun kesal.

Sementara itu, Rayhan yang ada di samping Jeva hanya terkekeh sambil memerhatikan interaksi dua sekawan itu. Terlebih, Jeva sedari tadi asik mengusili Biru. Sangat menyenangkan melihat keduanya sesekali beradu mulut.

Ditambah lagi, yang Rayhan lihat dari Biru selama ini hanya lah sisi tenang dan tidak banyak bicara. Tapi saat bersama Jeva, Biru akan selalu mengoceh dan mengomel.

“Lo kalau ngomong gitu sama aja lagi mengundang tau gak?” decak Biru, “Lo gak inget waktu jaga di RSJ apa? Pasien tiba-tiba rame pas lo abis bilang tumben sepi.”

Tawa Jeva terbebas. Namun saat sadar kalau dia sedang berdiri di depan meja perawat ICVCU, Jeva mengulum bibirnya rapat-rapat. Jeva takut diomeli lagi nantinya.

“Lo percaya mitos itu, Bi?”

Biru mengangguk, “Mm.”

“Tapi gue gak percaya,” sela Jeva, “Gue yakin, waktu itu tuh cuma kebetulan. Mau gue buktiin gak?”

“Lo gak usah banyak tingkah deh malam ini,” Biru menutup lembar tugas juga logbook-nya, “Lo jaga di sini dulu ya, gue mau ke toilet.”

“Kalau gue bilang, tumben sep—”

Ucapan Jeva terhenti ketika Biru menonjok bahunya cukup keras sebelum melenggang ke toilet. Jeva pun mengulum bibir rapat-rapat sambil menahan erangan. Tapi di persekian detik kemudian Jeva justru senyam-senyum sambil memandangi figur Biru.

“Biru lucu ya kalau lagi kesel.”

“Mm.”

Jeva refleks bergumam, masih sambil tersenyum. Namun saat sadar jika dia baru saja merespon ucapan Rayhan, Jeva lantas kaget lalu berdeham. Dia pun berusaha menghindari tatapan si ketua.

“Maksud gue, Biru lucu karena dia kalau kesel tuh kayak orang lagi ngelawak. Nothing more.”

Jeva menjelaskan tanpa diminta. Membuat senyum meledek di bibir Rayhan semakin lebar.

“Kenapa lo senyam-senyum sih?” decak Jeva, “Udah, balik ke Julian sana. Kasian dia jaga sendirian.”

Rayhan menarik napas dalam-dalam lalu mengangguk pelan. Senyumnya masih belum hilang, membuat Jeva kian salah tingkah.

“Pergi lo, Ray.” usir Jeva.

“Lo boleh bohongin orang lain kalau lo nggak suka Biru,” tutur Rayhan, “Tapi jangan bohongin diri lo sendiri, Jev. Mata lo tuh gak bisa bohong. You adore him more than a friend. Just saying.”

Jeva menatap lurus ke dalam mata Rayhan sesaat sebelum membuang muka. Bersamaan dengan helaan napas panjang.

“Menurut lo Biru tau gak?” tanya Jeva dengan tatapan kosongnya.

“Untuk sekarang sih gue gak tau,” sahut Rayhan. “Gue belum kenal Biru se-dalam lo. So i’m sure you know it more than anyone, Jev.

“Tapi menurut gue, cepat atau lambat, Biru will figure it out.”

Satu tangan Rayhan kemudian menepuk pelan pundak Jeva.

“Gue ngerti kalau Biru sensitif sama hubungan sesama jenis,” timpal Rayhan, “Tapi lo jangan takut buat jujur, Jev. Karena pada akhirnya, Biru pasti bakalan tau.”

Jeva tersenyum miring, matanya sendu. Kepalanya menunduk.

“Gue tau,” gumam Jeva, “Tapi gak semudah itu. I might hurt him.”

Rayhan menghela napas panjang, “Oke, semuanya balik ke lo kok.”

Jeva menoleh ke temannya itu. “Gue bisa percaya sama lo kan?”

Rayhan yang paham akan arah pembicaraan Jeva mengangguk.

“Gue juga masih pacaran sama Julian, tapi kita pura-pura udah putus biar nggak ketahuan.” kata Rayhan “Jadi kita satu sama kan? Lo tau rahasia gue, dan gue tau rahasia lo. Gue percaya sama lo.”

“Bener-bener ya lo berdua.” Jeva tak habis pikir, “Tapi bagus deh.”

“Kalau gitu gue balik ke Jul dulu.”

“Oke,” Jeva melambaikan tangan.

Sesaat setelah Rayhan pergi, Jeva lantas dibuat kaget saat telepon ruang ICVCU berdering. Alhasil, tanpa harus menunggu perintah dari perawat terlebih dahulu—seperti biasa—dia dengan sigap menjawab panggilan telepon itu.

“Halo, dengan Ruang ICVCU.” sapa Jeva pada sang penelpon.

“Saya Jeva, Koas Kardiologi. Ada yang bisa dibantu?” tanyanya.

“Halo, Dek. Tolong sampaikan kepada perawatnya, ada pasien baru dari ruangan akan masuk ke ICVCU dengan diagnosa chest pain ecg STEMI.” kata sosok di seberang sana yang Jeva duga adalah salah satu Dokter residen.

“Mohon dipersiapkan ya. Terima kasih,” jelasnya, Jeva agak kaget.

“Baik, Kak.”

Biru yang telah datang dari toilet menghampiri Jeva dan bertanya.

“Kenapa, Jev?”

“Ada pasien,” Jeva mendesis, “Lo tunggu di sini. Gue mau bilang ke perawat dulu buat nyiapin bed.”

Biru mengangguk, sedang Jeva lantas bergegas ke arah perawat. Setelahnya, mereka kemudian masuk ke ruang ICVCU bersama.

Perawat menyiapkan bed serta alat-alat penunjang. Biru juga Jeva pun berusaha membantu, meski lebih banyak memantau. Sebab, baru kali ini mereka jaga malam di ruang ICVCU yang jelas sangat berbeda saat di RSJ dulu.

Sampai tak lama berselang, suara brangkas menggema hingga kian mendekati ruangan ICVCU. Jeva dan Biru hanya saling menatap sejenak dengan raut gugupnya. Terlebih saat mereka sayup-sayup mendengar suara pasien yang amat jelas tengah kesakitan.

Ketika pasien itu telah masuk ke ruangan ICVCU, dapat Jeva dan Biru lihat jelas bahwa sosok itu adalah pria paruh baya berbadan tambun. Pasien itu lalu menjerit sambil mencengkeram dadanya.

“Dok… Sakit…”

Tanpa membuang waktu, pasien itu dipindahkan dari brangkar ke bed oleh perawat yang dibantu Jeva dan Biru. Sementara di sisi bed pasien ada seorang Residen Kardiologi yang membantu satu perawat lain memasang masker oksigen juga oximetry ke pasien.

“Papaaa!”

“Dokter, Papa saya!”

Atensi Biru lantas beralih ke arah anak kecil lelaki yang dia tebak berusia delapan tahunan. Anak itu menangis tersedu-sedu saat melihat si Papa terbaring di bed.

“Dek...” Jeva yang juga melihat anak itu menangis pun berkata, “Adek tunggu di luar dulu yaa?”

“Dokter, Papa saya enggak akan kenapa-kenapa kan?” tanyanya.

Jeva melirik Biru juga perawat dan residen yang ada di sana sebelum kembali memandangi wajah sembab anak lelaki tadi.

“Dokternya bakal berusaha kok buat bikin Papa adek sembuh,” Jeva menenangkan anak itu, “Ayo, Kakak anterin ke luar ya.”

Biru hanya memerhatikan Jeva yang mengantar anak laki-laki itu keluar dari kubical bed yang dibatasi dengan tirai berwarna hijau muda. Di antara celah tirai, Biru masih bisa melihat anak itu tersengguk-sengguk melihat si pria paruh baya yang kini telah mendapatkan terapi dari residen. Nampak anak itu tidak ingin jauh dari Papanya, namun Jeva harus tetap membawanya untuk keluar.

“Dek, kamu Koas yang jaga kan?”

Biru terlonjak saat sang Dokter residen menepuk pundaknya.

Terlalu larut memikirkan anak tadi, Biru sampai nyaris tidak sadar jika residen telah selesai melakukan tindakan. Beruntung, residen yang Biru kenal bernama Dokter Sean itu cukup baik dan tidak menggertak karena dirinya malah terjebak dalam lamunan.

“Iya, Kak.”

“Pasien ini tolong di-follow ketat ya,” titah sang Dokter Residen.

“Baik, Kak.”

Dokter Residen kemudian keluar dari kubical itu. Biru pun beralih memerhatikan sang pasien yang terbaring di atas bed. Nampak pria paruh baya itu sudah mulai agak tenang, meskipun sesekali wajahnya menunjukkan ekspresi tidak nyaman dan sesak napas.

“Gimana, Bi?”

Biru yang masih setia berdiri di samping bed pasien menoleh ke Jeva yang datang. Suara teman Koas-nya itu sangat lah pelan.

“Dokter Sean nyuruh kita buat monitor ketat pasien,” kata Biru.

Jeva mengangguk paham.

“Terus gimana sama anaknya?”

“Lagi diajak ngobrol sama Dokter Sean di luar,” jawab Jeva, “Kasian banget gue denger cerita dia, Bi.”

“Emang dia kenapa?” bisik Biru.

“Katanya, Papa sama Mamanya tuh baru cerai satu tahun lalu. Terus dia tinggal sama Papanya.”

Jeva menatap sendu ke arah pasien, “Sejak Bapak ini cerai sama istrinya, dia sakit-sakitan.”

“Sebelumnya, pasien ini juga udah pernah kena serangan jantung kayak gini.” jelas Jeva.

“Terus keluarganya yang lain mana?” tanya Biru lagi, “Kenapa cuma anaknya yang nemenin?”

“Pada di luar kota katanya,” jawab Jeva, “Tapi adek yang di luar tadi udah nelfon Mamanya sebelum bawa Papanya ke rumah sakit tadi. Masih di jalan deh paling.”

“Dokter…”

Jeva dan Biru kompak menoleh ke pasien saat mendengar suara pelannya. Si pria paruh baya pun masih meringis kesakitan di bed.

“Iya, Pak?” sigap Biru.

“Anak saya… Tolong…”

“Mau dipanggil, Pak?” tanya Jeva.

Si pasien mengangguk lemah.

“Sebentar ya, Pak.”

Jeva pun bergegas keluar, sedang Biru kembali memonitor pasien.

“Bapak kalau ada keluhan lain, boleh kasih tau saya ya, Pak.”

Anggukan lemah kembali jadi respon dari si pria paruh baya.

“Papaaaa!”

Anak lelaki itu berlari ke arah si paruh baya, berdiri di samping bed. Air matanya kembali jatuh.

“Papa udah sembuh kan?” anak itu tersengguk-sengguk, “Papa udah boleh pulang abis ini kan?”

“Maafin Papa,” lirih sang pasien. “Nala baik-baik sama Mama ya?”

Anak bernama Nala itu seketika menggeleng kuat, “Nala maunya sama Papa aja. Jangan pergi, Pa.”

Tidak ada kata lain yang terucap dari bibir si pasien, sebab jeritan kesakitan kembali terbebas dari celah bibir pucatnya. Bersamaan dengan alarm monitor yang menyala dengan kencang dan menunjukkan bahwa serangan terjadi lagi. Jeva dan Biru panik lalu menekan bel di samping bed. Sementara anak pasien itu kian histeris melihat kondisi Papanya.

Dalam sekejap mata, si Dokter Residen yang berjaga pun datang dan menghampiri pasien. Dokter Sean menatap monitor sekilas dan menadapati jantung si pria paruh baya berhenti berdetak.

“Papaaa, jangan tinggalin Nala!”

Tangan Biru membeku seperti es melihat anak lelaki di sisinya itu menangis sejadi-jadinya. Tanpa sadar mata Biru mulai memanas hingga berkaca-kaca. Dadanya pun terasa amat sesak ketika mendengar Nala mengucapkan kalimat yang membuat tungkai Biru melemas itu berkali-kali.

“Bi, minggir dikit.” bisik Jeva di samping Biru yang membeku, “Dokter Sean mau ngasih RJP.”

Heran melihat Biru tak berkutik, pada akhirnya Jeva lalu menarik pelan pinggang Biru. Alhasil, si Dokter Residen bisa dengan leluasa memberikan Resusitasi Jantung Paru atau CPR ke pasien.

“Bi, lo kenapa?”

Jeva khawatir. Sebab dia melihat napas Biru mulai tidak beraturan.

“Jev, gue mau bantu ngasih JPO.”

“Eh bentar,” Jeva melarang, “Kita belum dikasih instruksi apa-apa.”

“Tapi Papanya enggak boleh ninggalin dia,” balas Biru lirih.

Jeva mendesis pelan lalu kembali menatap si Dokter Residen yang berusaha keras untuk membuat detak jantung pasiennya kembali. Namun sampai beberapa puluh menit berlalu, belum juga timbul tanda detak jantungnya kembali.

“Dok, boleh saya bantu?” tawar Biru saat melihat kening Dokter Sean telah dibanjiri keringat.

Si Dokter Residen mengangguk. Membiarkan Biru melakukan tindakan yang telah diajarkan. Namun nihil, sampai tangan dan pinggul Biru mulai lelah pun tak ada tanda detak jantung pasien kembali. Biru hampir menangis.

“Bi, gantian. Lo udah keringetan.”

Jeva membiarkan Biru untuk beristirahat dan beralih memberi tindakan pijat jantung ke pasien. Tapi hasilnya tetap saja sama.

Sementara itu, Dokter Sean yang telah selesai memberi obat-obat emergency kepada pasiennya itu pun meminta Jeva berhenti pula. Sebab kini keringat Jeva bahkan telah menetes ke tubuh pasien.

Sang Dokter Residen kembali mencoba memberi RJP. Namun, setelah nyaris satu jam, usaha mereka tidak membuahkan hasil.

Saat itu pula, dengan berat hati, si Dokter harus menyampaikan berita kematian di depan Nala; anak pasien. Bersamaan dengan sosok wanita paruh baya yang baru saja datang, tepat setelah jiwa si paruh baya meninggalkan dunia untuk selama-lamanya.

“Papaaaa!”

“Mas! Bangun, Mas! Kamu jangan bercanda, Mas!” teriak si wanita paruh baya, “Jangan pergi, Mas!”

Mendengar dan melihat anak juga Ibu itu bersahut-sahutan di depannya sambil menangis keras membuat Biru semakin lemas. Ia menatap kosong ke arah pasien dengan pipi yang telah basah.

“Bi,” Jeva yang berdiri di samping Biru lantas menggenggam erat tangan temannya itu. “I’m here.”


Usai menyaksikan kepergian si pasien beberapa jam yang lalu, Biru dan Jeva kembali berjaga di ICVCU seperti semula. Tidak ada tanda-tanda jika pasien lain akan datang, malam pun sudah kian larut. Tapi, Jeva dan Biru justru belum tertidur. Keduanya duduk bersisian di kursi konsultasi.

Jeva bisa melihat gelagat murung Biru sedari tadi. Sejak mereka duduk di kursi itu, Biru bahkan belum pernah mengucapkan sepatah kata padanya. Namun, Jeva paham bahwa pengalaman pertama Biru melihat pasien yang tidak bisa tertolong lagi pasti membuatnya amat sedih.

We did our best, Bi.” kata Jeva sambil merangkul bahu Biru.

“Tapi kita nggak bisa ngelawan kehendak sang pencipta,” lanjut pemilik si lesung pipi. “Apa yang bisa gue lakuin supaya lo bisa ngerasa lebih baik? I will do it

Biru menoleh ke Jeva sebelum menggeleng pelan. Setelahnya, Biru hanya menghela napasnya panjang sebelum menyandarkan kepala di bahu Jeva. Dia perlahan memejamkan mata saat tidak ada penolakan dari teman Koasnya.

It’s okay to feel sad, Bi. It’s okay.”

Jeva mengusap pelan rambut Biru dengan satu tangannya. Sementara itu tangannya yang lain menggenggam jemari Biru.

“Makasih ya, Jev.” gumam Biru.

Jeva tersenyum, “Mm.”