Kabar Bahagia
Deva yang semula sibuk menatap MacBook di hadapannya seketika menoleh saat mendengar derap langkah kaki mendekat ke meja kerjanya. Deva lantas tersenyum manis kala mendapati sosok itu adalah Arga, sang suami tercinta.
Melihat si Alpha sudah kembali ke kantor sekaligus ruang kerja pribadi mereka, maka sudah jelas kalau private meeting Arga di meeting room tadi telah selesai.
“Kamu nggak pake kacamata lagi, ck!” kata Arga lalu menghampiri Deva, “Kemaren aja kamu bilang mata kamu kering liat MacBook.”
“Aku suruh cuti, kamu juga nggak mau.” timpalnya, “Kamu seneng ya liat aku khawatir kayak gini?”
Deva tersenyum lembut sebelum bersandar di perut sang suami yang kini berdiri di sampingnya.
“Mata aku udah gak apa-apa kok, Mas. Kamu gak perlu khawatir,” Deva kemudian kembali duduk tegak sambil mendongak ke arah Arga, “Gimana tadi meetingnya?”
“Gak usah ngomongin kerjaan dulu,” kedua tangan Arga yang sedari tadi ia letakkan tepat di belakang punggungnya lantas ia julurkan di hadapan suaminya.
Deva yang melihat tangan sang Alpha masing-masing memegang satu kotak susu kesukaannya dan satu bucket bunga mawar merah pun tidak bisa menahan senyum.
“Tiba-tiba banget ngasih bunga?” kata Deva sambil meraih mawar juga susu pemberian suaminya.
“Makasih-nya mana? Ck!”
Deva terkekeh, “Makasih, Mas.”
Menahan senyumnya, Arga lalu membungkuk sambil merangkul bahu Deva. Ia memberi kecupan sayang di pipi suami cantiknya itu beberapa saat lalu berbisik.
“I love you.”
Mata Deva menyipit. Meski Arga memang kerap memperlakukan dia dengan manis, namun sikap sang Alpha kali ini membuatnya amat penasaran. Pasalnya, seusai meeting, Arga justru menyiapkan hal-hal seperti saat ini. Apalagi mengingat suaminya itu bukan tipikal laki-laki yang romantis.
“Ada apa sih, Mas?” tanya Deva.
“Apanya?”
“Kamu kenapa tiba-tiba romantis kayak gini?” kekeh sang Omega.
“Ya buat nyenengin kamu lah,” sahut Arga, “Apa gak seneng?”
“Seneng,” kata Deva, “Aku cuma kaget aja kamu tiba-tiba nyiapin ginian, padahal kan abis meeting.”
Kembali menciumi pipi kiri Deva sejenak, Arga lantas tersenyum.
“Di WhatsApp tadi kamu ngasih tau aku kalau kamu sedih, masa aku diem aja sih?” Arga menghela napas, “Kamu boleh sedih… Tapi udah jadi tugas aku juga kan buat bikin kamu seneng lagi, Sayang?”
Senyum haru mengembang di bibir tipis Deva. Diletakkannya susu dan bunga yang ia pegang di atas meja sebelum ia memutar kursi hingga menghadap ke arah Arga. Tangan Deva kemudian beralih menarik tengkuk Arga.
Deva menciumi bibir suaminya sangat lembut. Sementara Arga yang masih membungkuk di depan sang Omega menopang tubuhnya dengan memegangi pegangan kursi kerja Deva.
Cukup lama saling berbagi kecup hingga lumatan mesra, Deva lalu mengakhiri pagutannya dengan menggigit bibir bawah suaminya.
“Mas mau nyoba lagi sekarang?”
Paham arah pembicaraan Deva, sang Alpha menggeleng pelan.
“Kamu minum susu aja dulu,” bisik Arga di samping telinga Deva, “Kalau itu udah diabisin, entar giliran aku yang nyusu.”
Setelahnya, Arga kembali berdiri tegak. Sedang Deva tersipu malu.
“Aku tunggu di meja aku ya.”
Deva hanya mengangguk pelan sebelum meraih susu di atas mejanya. Ia menahan senyum sambil bersiap-siap meminum susunya seperti titah si Alpha.
Namun, baru saja Deva mencoba menenggak susu yang telah ada di dalam mulutnya, ia tiba-tiba merasa mual. Entah kenapa rasa susu yang ia minum sangat aneh di lidahnya. Dan Deva yakin, jika ia masih tetap berusaha untuk menelannya, ia akan muntah.
Alhasil, buru-buru Deva berdiri. Ia kemudian berlari kecil ke arah toilet, membuat Arga ikut panik melihatnya sebelum menyusul.
“Sayang? Kamu kenapa?” tanya Arga saat ia telah tiba di depan wastafel—dimana Deva tengah berdiri sambil menahan mual.
“Mas, susu yang tadi kayaknya udah expire deh.” gumam Deva lalu kembali mencuci mulutnya dengan air, “Rasanya aneh, Mas.”
“Gak mungkin expire, Sayang. Itu susunya aku beli di HG Mart tau,” kata Arga, “Minuman di sana kan rutin diganti sebelum expired.”
“Mas, aku pengen muntah.”
“Iya, nggak apa-apa. Aku di sini,” kata Arga lalu memijat tengkuk Deva, “Kepala kamu pusing gak?”
Deva mengangguk. Dia kemudian berusaha memuntahkan isi perut yang terasa sudah ada di ujung kerongkongannya. Namun, Deva kini justru hanya berakhir mual.
“Udah, Mas.” kata Deva setelah membasuh mulutnya dengan air keran lalu kembali berdiri tegak.
“Abis ini kita ke rumah sakit ya?”
Deva menggeleng pelan, “Nggak usah. Aku baik-baik aja kok, Mas.”
“Baik-baik aja gimana? Ini wajah kamu udah pucat,” decak Arga.
Menghela napas pelan, Arga lalu terbelalak setelahnya. “Dev? Apa jangan-jangan kamu hamil ya?”
“Danu udah nggak sabar pengen ketemu sama adeknya Om Dimas sama Om Davis!” celoteh Danu yang duduk di jok belakang mobil bersama Bu Ririn. Sedang Deva duduk di bangku depan bersama sang suami yang mengemudi.
Kini mereka ber-empat sedang dalam perjalanan menuju rumah Ibu dan Bapak, dimana Davis juga Dimas serta anak mereka ada di sana. Danu yang telah tau kabar bahagia itu dari Arga dan Deva sejak kemarin pun tidak mampu lagi membendung semangatnya.
Danu ingin cepat-cepat bertemu dengan adik sepupu barunya itu.
Sesampainya di tempat tujuan, Danu lantas bergegas keluar dari mobil tepat setelah Arga baru saja memarkirkan kendaraan roda empat miliknya di halaman rumah sang mertua. Deva yang melihat tingkah Danu pun hanya geleng-geleng kepala setelahnya.
“Sayang, pelan-pelan.”
“Ayo, Papa! Cepet!” kata Danu, “Adek udah nunggu di dalam.”
Bu Ririn terkekeh, “Tunggu Oma, Papa sama Papi dong, Sayaaang.”
Tidak lama berselang, Davis pun keluar dari dalam rumah. Kakak Deva itu merentangkan kedua lengannya lebar-lebar saat Danu berlari ke arahnya hingga sang keponakan berakhir di peluknya.
“Anak gantengnya Om Davis kok baru dateng sih?” kata Davis lalu berdiri dengan Danu yang sudah berada di dalam gendongannya.
“Kakek sama nenek udah nunggu daritadi,” timpalnya lalu memberi kecupan ringan di pipi kiri Danu.
“Tadi Danu, Papa sama Papi abis belanja buat adek, Om Davis.”
Mata Danu kemudian terbelalak,
“Danu lupa ambil hadiah buat adek di mobil. Turunin Danu dulu ya, Om Davis?” pinta Danu.
Davis tertawa lalu melirik Arga yang membawa beberapa paper bag dari dalam mobil ke arahnya.
“Nggak usah, biar Papi Danu aja yang bawa. Daripada dia taunya ngomel doang kan?” kata Davis.
“Bang, jangan mulai deh.” tutur Deva yang baru sampai di depan kakaknya itu. Ia menghela napas sebelum mendapat satu kecupan di puncak kepalanya dari Davis.
“Gue becanda, Dev.”
“Heh! Ngapain kamu cium-cium suami saya?” protes Arga, “Anak saya juga ngapain kamu gendong sih? Kamu kan udah punya anak sendiri. Cepet turunin Danu. Ck!”
“Deva kan adek gue,” kata Davis, “Danu juga anaknya adek gue.”
Bu Ririn dan Deva yang sudah terbiasa melihat tingkah mereka hanya bisa tersenyum maklum. Beruntung, Ibu dan Bapak tiba-tiba keluar dari dalam rumah sekaligus melerai pertikaian anak sulung juga menantunya itu.
“Cucu kakek datang juga,” kata Bapak, “Kakek kangen banget.”
“Danu juga kangen Kakek.”
Si pria paruh baya terkekeh lalu melirik Davis yang justru berdiri di depan pintu utama rumahnya.
“Dav, kok Bu Ririn nggak disuruh masuk sih?” tegur si paruh baya.
“Tuh, Pak. Davis ngalangin jalan,” Arga memanas-manasi, namun justru dia yang mendapat satu cubitan di lengan dari Bu Ririn.
“Bu Ririn, silakan masuk.” Kini Ibu yang buka suara sebelum menciumi cucunya, “Ayo, Nak. Biar nenek yang gendong Danu.”
“Giliran Ibu entar aja,” kata Davis, “Davis juga masih kangen sama ponakan gantengnya Davis nih.”
Davis melirik adiknya, “Ayo, ajak Mama masuk. Ibu udah masak banyak buat kalian. Dimas sama si adek juga udah nunggu tuh.”
“Terus saya gimana? Nggak mau diajak masuk juga? Gitu?” protes Arga, tapi Davis cuma tersenyum meledek lalu mempersilakan Bu Ririn dan Deva masuk lebih dulu.
“Adab kamu emang kayak tai ya.”
Cerocos Arga lalu ikut masuk ke dalam rumah. Deva pun terkekeh dan hendak membantu suaminya itu membawa paper bag, namun Arga menolaknya dengan tegas.
“Gak usah, Sayang. Biar aku aja. Kamu gak boleh capek-capek.”
Deva pasrah. Alhasil, dia lantas melanjutkan langkahnya menuju ruang keluarga. Sesampainya di sana, senyum Deva merekah. Ia terharu melihat Dimas sedang memegang dot untuk bayi yang tengah dipangkunya di atas sofa.
“Dim, si ganteng udah dateng ni.” Davis menghampiri Dimas masih sambil menggendong si ponakan. “Katanya mau ketemu ama adek.”
Dimas mendongak, tersenyum cerah melihat Danu berada di hadapannya. “Sini, Sayang. Danu duduk di samping Om Dimas ya.”
Davis kemudian mendudukkan Danu tepat di samping Dimas. Membuat ponakannya itu leluasa menatap wajah anak mereka.
Tidak lama setelahnya, Deva pun ikut mendaratkan bokongnya di sisi kanan Dimas. Deva terkekeh gemas melihat sang keponakan yang berada di pangkuan Dimas.
“Adek lucu banget ya, Sayang?” tanya Deva kepada Danu yang entah kenapa tiba-tiba terdiam sambil mengamati wajah si kecil.
“Iya, Papa.” jawab Danu dengan suara yang pelan, “Papa jangan ribut dulu ya? Adek lagi bobo.”
Dimas dan Deva hanya saling berbagi tatap sambil menahan tawanya karena ucapan Danu.
Sementara itu, Arga yang baru saja menghampiri sofa kemudian menyodorkan paper bag yang ia bawa ke Davis. “Nih, buat adek.”
“Ngapain repot-repot sih, Mas?” kata Dimas, “Kalian bisa dateng ke sini aja kita udah seneng kok.”
“Ya udah, saya ambil lagi.” canda Arga lalu hendak mengambil lagi paper bag yang sudah diterima oleh Davis. Alhasil, iparnya itu refleks menatapnya dengan raut wajah datar. Arga pun terkekeh.
“Itu hadiah dari Danu, diterima ya?” jelas Arga kepada Dimas, “Dia semangat banget pengen ketemu sama adik sepupunya.”
Dimas mengangguk, menoleh pada Danu lalu memberikan usapan sayang di kepalanya.
“Makasih ya, Sayang. Adek pasti seneng dapet hadiah dari Danu.”
“Sama-sama, Om Dimas.”
“Mana nih si adek?” kata Arga lalu berjongkok di depan sofa.
“Yah, bobo dia.” Arga mencubit pelan pipi si kecil yang masih anteng saja di pangkuan Dimas.
“Papi!” Danu berkacak pinggang, alisnya pun saling bertaut kesal.
Suara Danu tetap pelan, “Adek lagi bobo, Papi. Jangan diganggu.”
“Biarin, Papi suka ganggu anak kecil.” balas Arga lalu kembali mencubit pelan pipi anak Davis dan Dimas itu, “Dek, ayo bangun. Om Arga pengen liat mata kamu.”
“Papi,” Danu memberi penekanan pada suaranya. “Adek kecil kalau diganggu bisa nangis. Paham?”
Davis, Dimas, Deva dan tidak terkecuali Bu Ririn yang baru saja menghampiri Dimas setelah tadi mengobrol sebentar dengan Ibu lantas dibuat tertawa pelan. Ya, selain Deva, memang cuma Danu yang berani protes pada Papinya.
“Adek udah punya nama belum, Nak Dim?” tanya Bu Ririn yang memilih duduk di atas sofa yang berseberangan dengan Dimas.
“Udah, Ma. Namanya Rahagi Baskara,” jawab Dimas, “Nama panggilannya Hagi,” jelasnya.
“Cantik ya namanya,” puji Arga, “Enggak kayak akhlak Ayahnya.”
“Danu juga ganteng, gak kayak Papinya.” Davis ikut menyindir.
“Udah, jangan berantem. Entar Hagi bangun tuh,” kata Bu Ririn.
“Biarin, Ma. Arga emang pengen liat Hagi bangun,” Arga terkekeh.
“Bang, Hagi mirip banget sama lo ya?” Deva takjub sekaligus heran, “Gue inget foto kecil lo yang pas main pasir itu. Mirip Hagi tau.”
“Ibu juga udah bilang ke Davis kemaren,” kata Ibu yang baru saja datang dari arah dapur sambil membawa nampan berisi teh hangat. Sementara Bapak yang mengekor di belakang istrinya membawa camilan kesukaan cucu, anak juga menantunya.
“Tapi alisnya mirip sama Dimas,” si wanita paruh baya menimpali.
“Iya kan, Bu?” kekeh Deva, “Hagi emang udah ditakdirin buat jadi anaknya Bang Davis ama Dimas.”
Dimas juga Davis tersenyum, tapi sesaat setelahnya mereka lantas menoleh ke Arga yang bersuara.
“Davis nih emang durhaka amat jadi anak, ck!” Arga lalu berdiri, “Masa Bapak sama Ibu dibiarin bawa makanan sama minuman?”
“Mas kayak gak tau aja Ibu sama Bapak tuh gimana kalau cucunya udah dateng ke sini,” kekeh Deva.
“Sini, Pak. Biar Arga bantu.”
“Udah, nggak usah. Kamu duduk aja, Nak. Gak setiap hari loh cucu Bapak sama Ibu dateng ke sini.”
“Tuh, liat aja.” kata Davis, “Kita mana kebagian kalau Bapak sama Ibu udah semangat kayak gitu.”
Arga tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Ia lalu duduk di sofa yang sama dengan Bu Ririn sambil memandangi Danu yang diberitahu oleh sang Kakek agar menyantap camilan favoritnya.
“Oh iya, Dev. Kemaren lo bilang mau ke Dokter kandungan kan?” Dimas membuka suara, “Gimana katanya? Ada kabar baik nggak?”
Deva melirik Arga sejenak lalu mengangguk diikuti senyum tipis, “Hasilnya positif, Dim.”
“Jadi lo lagi ngisi nih sekarang?”
“Mm,” gumam Deva.
Mendengar penuturan Deva membuat Ibu lantas berdiri di hadapan anaknya itu. Dengan raut wajah haru, Ibu kemudian membungkuk lalu menciumi kedua pipi Deva bergantian.
“Ibu seneng banget dengernya.”
Si wanita paruh baya kembali berdiri tegak lalu menoleh ke arah Dimas. Ia membelai pipi kanan menantunya itu sejenak.
“Menantu Ibu punya anak bayi, terus sekarang di perut anak Ibu juga ada bayi lagi.” kekeh wanita paruh baya itu, “Ibu bener-bener bahagiaaa banget ngeliat anak-anak Ibu udah jadi orang tua.”
“Danu bentar lagi jadi Kakak dong,” Davis ikut buka suara, “Danu bakalan jagain dua adek ya berarti? Hagi sama adek bayi di perutnya Papa. Danu bisa gak?”
“Bisa, Om Davis.” sahut Danu. “Danu kan udah besar. Udah bisa rapiin mainan sendiri, bisa mandi sendiri, sama pakai baju sendiri. Jadi, Danu bisa jagain adek juga.”
Seisi ruang keluarga tertawa mendengar celotehan Danu.
“Danu pengen adek cewek apa cowok nih?” Dimas bertanya.
“Cowok,” Danu cengar-cengir, “Soalnya, adek Hagi juga cowok. Jadi nanti Danu, adek Hagi sama adek di perutnya Papa bisa main bola sama-sama di rumah Oma.”
“Tapi kalau nanti yang keluar dari perut Papa ternyata adek cewek gimana?” timpal Dimas.
“Gak apa-apa,” kata Danu, “Nanti kan Papa sama Papi bisa bikinin adek cowok lagi buat Danu.”
Arga yang sedang menyeruput teh hangat hampir terbatuk karena ucapan Danu. Sementara Davis juga Divas tidak mampu menahan gelak tawa mereka.
“Siapa yang ngajarin Danu kalo yang bikin adek itu Papa sama Papinya sih, nak?” tanya Dimas.
Danu menunjuk Arga, “Papi!”
Deva mengulum bibir, sedang Arga yang melihat Davis sibuk menatapnya dengan tampang lempeng pun seketika berkata.
“Apa? Gak salah kan?”
“Udah, udah. Ayo, diminum dulu tehnya,” tutur Ibu lalu menatap anaknya, “Dev, mau Ibu ambilin susu gak? Semalem Davis beli.”
Deva menggeleng, “Gak usah, Bu. Deva mual kalau abis liat susu.”
“Hah?”
“Hah?”
Davis juga Dimas yang sangat tau betapa sukanya Deva pada susu kompak membeo. Mereka kaget.
“Di kantor kemarin Deva sampai mual pas mau minum susu,” Arga menjelaskan. “Gak tau deh, baby di perut Deva kenapa agak laen.”
“Hush! Lo jangan ngomong gitu,” tegur Davis, “Entar baby ngam—”
“Jadi Mas gak suka sama baby?” Deva memotong ucapan Davis.
Arga refleks menelan ludahnya, “Aku enggak bilang gitu, Sayang.
“Tapi Mas bilang kalau baby agak lain,” cebiknya, “Mas mau bilang kalau aku sama baby aneh kan?”
“Mampus lo,” kata Davis ke Arga tanpa bersuara—hanya dengan gerakan bibir. Ia menahan tawa.
Arga menarik napasnya dalam-dalam sebelum bangkit dari sofa lalu menghampiri sang Omega. Ia kaget melihat Deva yang tiba-tiba saja menjadi sangat sensitif.
Alhasil, kini Arga duduk melantai di samping kaki Deva. Ia meraih jemari lentik Deva lalu bersuara.
“Ayo, Sayang. Kita jajan es krim di luar. Yaa?” Arga membujuk Deva lalu menoleh ke anaknya, “Danu mau ikut Papi sama Papa nggak?”
Danu menggeleng, “Papi aja deh yang pergi beli es krim. Kan Papi yang udah bikin Papa ngambek.”
Lagi. Seisi ruang keluarga riuh karena tawa. Deva yang sedari tadi sebenarnya hanya ingin mengusili Arga pun tidak bisa menahan senyumnya sebelum mengecup tangan suaminya.
“Aku bercanda, Mas.”
“Kamu ya,” gumam Arga “Ck!”
“Tapi aku jadi pengen ice cream beneran,” kata Deva lalu berdiri dari sofa, “Ayo, Mas. Temenin.”
“Ya udah,” Arga pun ikut berdiri lalu merangkul pinggang Deva, “Bu, Pak, Ma, Arga sama Deva ke luar bentar ya. Nyari ice cream.”
“Jangan lama pacarannya,” sindir Davis, “Ngambil kesempatan lo.”
“Gak usah bawel deh kamu,” kata Arga lalu menunjuk celana Davis dengan dagunya, “Tuh, resleting celana kamu lepas. Gak sopan.”
Davis panik lalu menunduk, tapi dia seketika sadar bahwa saat ini ia mengenakan celana olahraga. Sedang Arga yang melihat Davis pun tertawa usai mengusilinya.
“Ni Adek gue ketularan usil juga gara-gara lo,” Davis mendengus.
Arga menyeringai lalu berkata.
“You are what you eat.”