Jeva’s Story
Selepas makan siang bersama di kantin, para anggota kelompok yang diketuai oleh Rayhan pun melangkah bergerombol menuju tempat dimana masing-masing mereka ditugaskan. Namun, Biru yang merasa masih punya cukup waktu untuk berbincang dengan Jeva lantas menahan lengan kiri temannya itu. Jeva pun menoleh, menatap Biru yang kini bersuara.
“Gue mau ngomong bentar sama lo,” katanya, “Ikut gue ke taman.”
Jeva mengangguk. Dia kemudian menoleh ke Julian serta Rayhan yang menyadari bahwa dia dan Biru tiba-tiba berhenti berjalan.
“Lo pada duluan aja,” Jeva paham maksud tatapan teman Koas-nya itu, “Gue sama Biru ada urusan.”
“Oke,” jawab Rayhan.
Biru lantas mengambil langkah lebih dulu dari Jeva. Dia berjalan di depan Jeva yang mengekori dirinya sembari berpikir tentang hal yang sedaritadi mengusiknya.
Tentang Papa Jeva serta alasan mengapa Jeva tidak bercerita.
Sesampainya di taman, Biru lalu membawa Jeva ke pendopo besar yang ada di sana. Mereka duduk bersisian di bagian depan tempat itu yang mana terdapat tiga anak tangga. Sebab hanya spot itu lah yang cukup sepi dari pasien RSJ.
“Lo mau ngomong apa, Bi?”
Jeva membuka suara. Sedang Biru lantas menoleh padanya.
“Yang keluar dari rumah lo tadi pagi itu Prof Harry kan?” tanya Biru tanpa basa-basi, “Papa lo?”
Tersenyum tipis, Jeva memberi respon anggukan. “Iya, Papa gue.”
“Kenapa lo nggak pernah ngasih tau gue soal Papa lo?” kata Biru.
“Gue nunggu lo nanya ke gue, Bi.”
Entah kenapa jawaban Jeva tiba-tiba saja membuat Biru merasa marah. Biru bahkan menghela napas gusar sebelum bersuara.
“Lo aja selalu bilang supaya gue mau cerita sama lo, entah itu hal penting atau enggak...” ocehnya.
“Tapi sekarang malah elo yang nyembunyiin sesuatu dari gue,” timpal Biru diikuti dengus pelan.
“Jadi kalau aja gue gak papasan sama Papa lo pagi tadi dan gak nanyain lo kayak gini, elo bakal terus-terusan nyembunyiin hal ini dari gue?” Ya, Biru kelepasan.
Jeva menahan senyumnya sesaat sambil memandangi wajah Biru. Nampak jika temannya itu kesal.
“Ngeliat lo ngomel kayak gini tuh bikin gue berasa abis dipergokin bohong sama pacar gue deh, Bi.”
Biru mengeraskan rahang. Satu pukulan pun dia daratkan tepat di bahu kanan Jeva hingga sang empu mengaduh lalu tertawa.
“Jangan ngalihin topik!”
Jeva terkekeh pelan. Ia kemudian merangkul bahu Biru, tersenyum manis lalu geleng-geleng kepala.
“Gue nggak ada maksud atau niat buat nyembunyiin semua ini dari lo juga kok, Bi.” Jeva menjelaskan.
“Kalo aja gue gak mau ketahuan, pas lo datang nge-jemput gue tadi, gue bakal ngelarang Papa gue keluar dari rumah dulu.”
“Tapi gue gak berani ngasih tau lo kalau bukan lo yang pengen tau atau nanya soal hubungan gue sama orang tua gue,” timpal Jeva sambil menatap Biru lamat.
“Karena selama hampir empat tahun kita temenan… Lo juga nyaris gak pernah ngomong soal hubungan lo sama orang tua lo.”
“Dari situ juga gue berasumsi kalau lo emang nggak nyaman bahas soal gituan. Meskipun ke gue, temen lo sendiri,” timpalnya.
Biru membisu sesaat. Dalam hati dia membenarkan ucapan Jeva. Pertemanan mereka tidak lah se-intim itu hingga saling bercerita serius tentang orang tua mereka.
Sama seperti Jeva, bukan karena Biru tak mau bercerita. Tapi ada alasan yang membuat ia memilih untuk tidak memberitahu orang lain, meskipun ke teman sendiri.
Terlebih, orang itu adalah Jeva.
Tapi kenapa Biru justru merasa marah beberapa saat yang lalu?
Kenapa Biru merasa jika Jeva tak menganggapnya orang terdekat?
Kenapa Biru ingin tau hal yang Jeva lalui dan simpan sendiri?
Kenapa Biru kecewa karena Jeva justru tak bercerita kepadanya?
Biru berpikir sambil merenung.
“Bi?”
Jeva menggoyang-goyangkan tubuh Biru. Bahu temannya itu masih dia rangkul dengan erat.
“Lo marah sama gue?”
“Nggak,” Biru menjawab dengan cepat, “Gue cuma kaget aja tadi.”
Mengangguk paham, Jeva lalu melepaskan tautannya dengan Biru. Dia beralih meremas kedua lututnya sambil menatap kosong ke arah depan. Biru yang melihat itu lantas menepuk pundak Jeva.
“Gue kan udah pernah bilang ke lo, telinga gue terbuka kok buat lo. Jadi kalau ada yang pengen lo ceritain, i’m all ears,” tutur Biru.
Jeva kembali menoleh pada Biru. Meski senyum mengembang di bibirnya, namun Biru menyadari bahwa kini sorot mata Jeva sedu.
Menarik napasnya dalam-dalam, Jeva kemudian mulai bercerita.
“Papa gue nyembunyiin status gue sebagai anaknya kayak gini karena permintaan gue sendiri kok, Bi.” ungkap Jeva yang sukses membuat Biru terbelalak heran.
Di saat orang-orang di luar sana akan berbangga hati lalu unjuk diri karena memiliki Ayah yang notabenenya seorang Professor sekaligus Direktur rumah sakit besar, Jeva justru sebaliknya. Biru penasaran apa yang membuat temannya itu berpikir demikian.
“Emang ada apa sampai lo gak mau orang lain tau kalau lo itu anaknya Prof Harry?” tanya Biru.
Sejenak Jeva menarik napas.
“Waktu kecil dulu, gue anaknya nakal banget.” kekeh Jeva, “Gue nggak bisa dibilangin sama Papa Mama gue. Udah gitu, gue bego lagi. Gak kayak kakak-kakak gue.”
Jeva melipat kedua lengannya di atas lutut, “Terus karena gue ini nakal plus bego, sejak kecil gue juga selalu dibanding-bandingin sama dua kakak gue yang pinter.”
“Bukan cuma sanak saudara gue yang ngebandingin, tapi sampai ke orang-orang yang kenal Papa Mama gue pun seriiiing banget ngebandingin gue sama kakak-kakak gue. Dan itu di depan gue.”
Biru menatap Jeva kasihan. Dia memang tidak pernah berada di posisi Jeva, namun Biru sangat paham betapa tidak enaknya jika dibandingkan dengan orang lain.
“Sampai pas gue SMP, gue udah ngerasa risih karena dibandingin mulu. Jadi sejak saat itu gue tuh belajar keras banget supaya gue juga bisa dapet rangking di kelas kayak kakak-kakak gue,” jelasnya.
“Tapi setelah berhasil dapet apa yang gue targetin, lo tau nggak respon keluarga sama orang-orang di sekitar gue?” kekehnya. “Mereka bilang kalau gue masih kalah sama kakak-kakak gue.”
“Gue ampe dibilang bisa dapet rangking juga paling karena guru di sekolah tau kalau Kakek gue yang punya yayasan,” jelas Jeva, “Terus gak mau bikin keluarga gue malu karena kakak-kakak gue dulunya emang pinter.”
“Nah, terus abis itu gue bikin onar di sekolah. Gue mukul temen yang ngeledekin gue.”
“Gue diledekin, katanya gue anak emas yang enggak bisa ngelakuin apa-apa kalau aja bukan karena status keluarga gue,” timpal Jeva.
“Akhirnya Papa gue marah, gue disuruh minta maaf tapi gue gak mau.” Jeva tertawa hambar. “Gue malah ngamuk pengen pindah sekolah aja. Gue gak suka orang-orang nganggap gue anak emas.”
“Beruntung, gue punya satu Om, dia sepupu Mama gue, yang udah baik banget mau bawa gue pergi karena kasian ngeliat gue nangis mulu pas dia ke rumah,” katanya.
“Jadi waktu itu gue ikut sama Om gue ini dan langsung pindah ke Bandung, sekaligus nyoret diri dari kartu keluarga.” kekeh Jeva, sementara Biru lantas terbelalak.
“Soalnya Papa gue awalnya gak ngizinin. Papa takut gue malah makin nakal tanpa pengawasan dia di sana. Papa gue masih gak percaya sama gue, Bi.” katanya. “Tapi Om gue nge-jamin kalau gue bakal jadi baik di Bandung.”
Mata Biru pun menyipit, “Jangan bilang nama lo beneran dipindah dari kartu keluarga Papa lo, Jev?”
“Bener kok. Dibilang gue dicoret dari KK Papa,” Jeva tergelak, tapi matanya justru berkaca-kaca.
“Nama gue dipindahin ke kartu keluarga Om gue di Bandung,” Jeva senyum, “Nama gue juga masih di sana sampai sekarang.”
Jeva lalu menyeka matanya yang sedikit berair. Biru membiarkan Jeva agar lebih tenang sejenak.
“Terus abis itu gimana? Lo SMA di Bandung juga kan?” tanyanya.
“Iya,” sahut Jeva, “Di sana, gue berusaha lagi buat nunjukin ke Papa sama Mama kalau gue bisa.”
“Gak usah deh mereka muji-muji gue,” Jeva lalu tersenyum miring, “Mereka bilang you did well aja gue udah feel appreciated kok.”
“Tapi ternyata enggak, bahkan ketika gue bisa masuk ke SMA favorite di Bandung, yang isinya anak-anak pinter semua, ampe bikin gue kek belajar berdarah-darah karena gue musti bersaing sama mereka, Papa Mama gue tetep aja gak pernah ngapresiasi usaha gue.” suara Jeva pun lirih.
“Kadang gue nggak mau ngobrol sama mereka karena takut bakal denger kalimat yang ngejatohin semangat sama kepercayaan diri gue tau, Bi.” Jeva lalu menunduk.
“Long story short, sebelum lulus SMA, Om gue ngasih tau Mama sama Papa gue kalau gue salah satu anak berprestasi di sekolah dan dapet kuota bebas tes buat masuk Universitas,” suara Jeva menjadi lirih, “Dan lo tau nggak? Papa gue tiba-tiba dateng terus nyuruh gue masuk Kedokteran.”
“Awalnya… Gue gak mau nurutin kata Papa,” tutur Jeva, “Tapi Om gue bilang, gue harus manfaatin kesempatan itu buat nunjukin ke Papa sama Mama kalau gue bisa kek mereka pake usaha sendiri.”
“Jadi sebelum gue daftar masuk Universitas dulu, gue bilang ke mereka, kalau mereka mau gue masuk FK, gue gak pengen ada yang tau kalo gue anak mereka sampai gue bisa kelar Koas.”
Suara Jeva bergetar, “Karena gue mau mereka ngeliat usaha gue dan gak terus-terusan berpikir kalau gue gak bisa apa-apa tanpa privilege dari status keluarga.”
“And I did it,” air mata tidak bisa lagi Jeva bendung, “Sampai hari ini… Jalan gue emang gak begitu mulus. Apalagi awalnya gue sama sekali gak pernah kepikiran mau jadi Dokter kayak orang tua dan kakak-kakak gue. Tapi setelah masuk FK, gue justru nemuin alasan gue pengen jadi Dokter.”
“Dan sekarang gue seneng...”
“Karena gue bisa nunjukin sama orang tua gue kalau gue juga bisa kok mengejar impian gue dengan usaha sendiri tanpa dispesialin.”
“Gue juga bisa nunjukin kalau anak mereka yang nakal sama bego ini gak cuma ‘taunya malu-maluin’ keluarga,” Jeva terisak.
Mendengar cerita Jeva membuat Biru sadar bahwa ucapan teman Koas-nya di grup WhatsApp tadi itu adalah isi hati sesungguhnya dari Jeva. Kini Biru pun semakin paham mengapa Jeva terkesan memilih untuk menghabiskan waktu dengan teman-temannya ketimbang berdiam di rumahnya.
Jeva juga punya luka yang justru dia sembunyikan di balik setiap tawa dan candanya selama ini.
Perlahan, satu tangan Biru lantas bergerak. Dia mengusap lembut punggung Jeva yang bergetar.
“You did well, Jeva.”
Jeva pun menyeka wajahnya yang dibanjiri air mata tepat saat Biru mengucapkan kalimat magic itu. Dia menoleh, tersenyum lembut kepada Biru yang ada di sisinya.
“Thanks ya, Bi.”
“I mean it,” Biru merangkul bahu Jeva, “Lo hebat banget tau, Jev.”
“Lo bisa ngejadiin perbandingan orang-orang sebagai motivasi buat jadi lebih baik,” timpalnya.
Jeva tersenyum haru. Mendengar ucapan Biru amat menenangkan.
“Tapi, Jev…” Biru mendesis pelan, “Orang-orang jadi bikin asumsi jelek tentang lo. Dibilang anak hasil hubungan gelap lah segala macem. Lo yakin bisa nerusin?”
Jeva mengangguk mantap, “Bisa. Ini gak ada apa-apanya buat gue.”
“Terus lo yakin kalau lo gak bakal ketahuan sampai kelar Koas?”
Biru skeptis. “Lo liat orang-orang udah pada nyari tau soal lo kan?”
“Gue sebenarnya gak yakin dari dulu,” Jeva menatap Biru lamat. “Karena gue tau… Sesuatu yang disembunyiin bakalan ketahuan juga, entah hari ini atau besok.”
“Tapi Papa gue selalu bilang kok sama orang RS, supaya enggak usah khawatirin gue atau nyari tau soal gue. Biarin gue belajar mandiri dan gak perlu dimanja.”
Kepala Biru mengangguk paham. Namun, kini dia justru tiba-tiba saja memikirkan satu hal lain.
“Jev?”
“Mm?”
“Dara udah tau soal ini?”
Jeva menggeleng, “Dara gak tau, Bi. Cuma lo yang tau kisah hidup gue yang udah gue ceritain tadi.”
“Kok lo nggak cerita sama Dara? Dia kan pacar lo dulu,” kata Biru.
Sejenak Jeva menarik napasnya. Kepalanya mendongak ke langit yang telah dihiasi awan hitam, nampak jika hujan akan datang.
“Lo tau nggak sih, Bi. Gue berani cerita kayak gini cuma sama lo,” kata Jeva, “Karena lo doang yang udah sering ngeliat gue nangis.”
“Jujur aja gue gak pengen orang lain tau semenyedihkan apa gue dulu,” lanjutnya. “Gue cuma mau orang-orang ngenalin Jeva yang sekarang; banyak ngomong, gak keliatan suka nangis dan taunya ketawa-ketawa bahagia doang.”
“Termasuk Dara,” Jeva menoleh, “Bisa rusak branding keren gue.”
Biru memutar bola mata. Dia tidak setuju dengan ucap Jeva.
“Justru lo tuh harusnya berbagi suka dan duka sama orang yang lo cintai. Bukan malah pretending that you’re okay when you aren’t.”
Mata Jeva tetap terpaku kepada netra legam Biru, “Gitu ya, Bi?”
“Gitu aja lo gak tau?” decak Biru. “Bagus deh Dara putus sama lo.”
Jeva tersenyum sambil menoyor pelan kepala Biru. Sedang sang empu mendelik kesal padanya. Tapi raut kesal Biru tak bertahan lama, sebab ia kembali bertanya.
“Terus gimana hubungan lo sama orang tua lo sekarang, Jev?”
“Ada kemajuan sih,” kekeh Jeva. “Mama sama Papa gue udah gak pernah banding-bandingin gue.”
“Mereka juga udah sering nanya apa aja kesulitan gue,” jelas Jeva. “Cuman ya gitu, gue masih agak kaku ngobrol sama Mama Papa gue gara-gara kelamaan pisah.”
“Mungkin mereka udah belajar buat ngertiin perasaan anaknya dan ngeliat usaha gue,” kata Jeva. “Gitu juga sama gue, Bi. Gue juga belajar buat ngertiin mereka.”
“Meskipun mereka pernah bikin gue ngerasa sakit, tapi gue sadar kalau mereka berdua juga cuma manusia. Mereka bisa salah, tapi juga bisa ngejadiin kesalahannya sebagai pelajaran yang berharga.”
Penuturan Jeva sedikit menyentil benak Biru. Apa yang Jeva alami memang sangat berbeda dengan dirinya. Namun dia cukup kagum akan betapa lapangnya hati Jeva.
“Jeva! Biru!”
Teriakan Salsa membuat Jeva dan Biru seketika menoleh ke arah dimana satu-satunya teman Koas wanita mereka itu berada.
“Kita dapet tugas!”
Jeva mengangkat tangan sambil mengacungkan satu jempolnya. Dia kemudian berdiri sebelum mengulurkan tangannya ke Biru.
“Ayo, Bi.”
Melihat tangan Jeva yang terulur guna membantunya ikut berdiri membuat Biru nyaris meraihnya. Namun sebagian dari diri Biru tiba-tiba mengingatkannya agar tidak meneruskan niatnya itu.
“Gue bisa berdiri sendiri, Jev.”