Attention

Biru menunggu Jeva keluar dari rumah di samping mobilnya. Dia bersandar di sana sambil sesekali melirik minuman kesukaan Jeva yang tadi dibelinya. Sejujurnya, Biru tidak pernah melakukan hal semacam ini sebelumnya. Ketika dia dan Jeva berselisih kecil pun mereka hanya akan berbincang dan menyelesaikan semuanya di pesan WhatsApp. Namun, Biru yang beberapa saat lalu sudah kepalang gelisah tidak bisa lagi menahan diri untuk tak datang ke rumah Jeva; seperti saat ini.

Persekian menit berselang, Jeva pun datang. Pintu pagar dia buka hingga mendapati Biru berada di hadapannya, menunggunya. Jeva lalu refleks tersenyum lembut.

Biru menghela napasnya lalu mengikis jarak antara dirinya dengan Jeva. Mereka berdiri saling berhadapan dan hanya terlampau satu jengkal saja.

“Nih, buat lo.” Biru menyodorkan kantongan berisi minuman yang disukai Jeva, “Maaf tadi gue lupa kalau kita berangkat bareng, Jev.”

Kekehan merdu Jeva menggema, sedang satu tangannya meraih kantongan pemberian Biru itu.

“Santai aja kali,” kata Jeva, “Gue gak marah, malah tadi gue sama si Ray ngakak gara-gara lo lupa.”

“Jadi lo pulang bareng Ray?” Biru bertanya, Jeva pun menggeleng.

“Gue naik ojol,” jawab Jeva, “Gue takut Ray bakal ketemu Papa kek lo tadi pagi kalau nganterin gue.”

“Tapi pas gue nyampe di rumah, ternyata Papa sama Mama bilang kalau mereka gak bakal pulang.”

Alis Biru mengernyit, “Papa sama Mama lo kok nggak pulang, Jev?”

“Malam ini mereka mau nginep di rumah Kakak pertama gue,” sahut Jeva, “Anaknya sakit, terus suaminya juga lagi ke luar kota. Kakak gue bertiga doang sama ART-nya. Mana Kakak gue juga lagi hamil anak kedua, jadi Papa Mama gue mau nemenin dia.”

Biru mengangguk paham. “Ya udah, kalo gitu gue balik dulu.”

“Masuk dulu kek, Bi.” cebik Jeva. “Sejak gue pindah ke sini kan lo juga belum pernah mampir, Bi.”

“Lo sekalian makan malam di sini aja, Bibi gue lagi masak di dalem.” timpal Jeva, “Temenin gue. Yaa?”

“Entar deh, kapan-kapan. Gue mau nugas,” Biru menepuk bahu Jeva pelan. “Gue cabut dulu ya.”

Jeva mencebik sambil menahan senyum di bibirnya, “Tau gini, gue pura-pura ngambek aja tadi.”

“Lo nggak usah kayak anak kecil deh,” Biru geleng-geleng kepala. “Kan ada Bibi lo yang nemenin.”

“Ya udaaah,” Jeva melipat lengan di depan dada lalu membuang muka ke arah lain, “Pulang sana.”

“Padahal gue mau ngasih sesuatu tadi,” timpal Jeva, “Tapi ya udah.”

Senyum Biru mengembang saat melihat ekspresi dramatis Jeva.

“Ngasih apa?” tanya Biru.

“Kalo mau tau, masuk dulu.”

Biru menggeleng, “Gak ah.”

“Ya udah,” Jeva berdecih.

Biru terkekeh. “Gue pulang ya.”

Jeva melirik Biru dengan ekor matanya sekilas lalu kembali menatap ke objek lain. “Ya.”

“Makan yang banyak.”

“Mm.”

“Mixue dari gue diabisin.”

Jeva tidak mampu lagi berpura-pura menahan senyum bahagia di wajahnya mendengar ucapan Biru. Alhasil, Jeva menoleh lalu mengangguk pada Biru yang kini berjalan mundur ke mobilnya.

“Lo jangan ngebut ya, Bi?”

Biru mengangguk. Dia membuka pintu mobilnya sebelum masuk dan duduk di balik kemudinya. Tapi tanpa Biru duga, Jeva tiba-tiba menghampiri jendela di sampingnya sambil mengoceh.

“Pokoknya kalau lo udah nyampe di rumah langsung kabarin gue,” kata Jeva, “Jangan sampai lupa.”

Biru menatap lurus ke dalam mata Jeva, “Kenapa gue harus ngabarin lo? Lo bukan pacar gue yang harus selalu gue kabarin.”

“Ayo,” ajak Jeva.

Biru heran, “Ayo apaan?”

“Pacaran.”

Sejenak Biru terdiam. Dia kaget mendengar penuturan tiba-tiba temannya itu. Apalagi, kini Jeva justru tersenyum manis padanya.

Sensasi panas seketika menguar, menyambangi wajah Biru. Irama degup jantungnya pun tidak lagi normal. Biru gelisah sekarang.

“Lo mau gue tonjok?” kata Biru lalu menghindari tatapan Jeva dan menyalakan mesin mobil.

Jeva terbahak. Satu tangannya kemudian terjulur dan melewati jendela mobil Biru yang terbuka. Jeva menoyor pelan kepala Biru.

“Ya lagian, lo gak mau ngabarin kalau ke temen sendiri.” katanya,

“Gue khawatir, Bi. Gue cuma gak mau kejadian pas semester tiga dulu keulang lagi sama lo.” timpal Jeva, “Traumatic buat gue tau.”

Garis tipis melengkung di bibir ranum Biru. Dia seketika teringat dengan kejadian tiga tahun lalu. Dimana Biru terlibat kecelakaan mobil, dan Jeva yang membawa dirinya ke rumah sakit terdekat.

“Yang pas lo nangisin gue karena ngira gue bakal mati?” tanya Biru lalu menatap lamat wajah Jeva.

“Gak usah bahas nangisnya, tapi kecelakaan lo, Bi.” Jeva berkacak pinggang, “Lo tau gak sih, tiap lo bilang pengen nyetir sendiri, gue selalu panas dingin. Gue sampai harus ngikutin lo dari belakang biar gue gak mati karena takut.”

“Tadi aja pas gue gak liat mobil lo di parkiran, kaki gue ampe lemes banget, Bi. Gue takut lo kenapa-kenapa di jalan kayak waktu itu.”

Biru mendengus pelan, “Bawel.”

Jeva menatap Biru tak percaya. Mulutnya pun lantas menganga.

“Gue lagi ngingetin loh, Bi.”

“Iyaaa,” Biru tersenyum, “Entar gue kabarin pas nyampe. Oke?”

“Oke,” Jeva menghela napas.

“Dah!”

Jeva mengangguk, sedang Biru mulai menginjak pedal gas mobil hingga kendaraan roda empat itu melaju. Sesekali Biru melirik ke spion tengah, di sana Biru bisa melihat Jeva masih berdiri sambil menatap mobilnya yang semakin menjauh. Senyum Biru kembali merekah tanpa dia sadari. Tapi sesaat setelahnya, Biru mendesis pelan. Lo kenapa, Bi? Batinnya.