Sunshine
Biru berbaring terlentang di atas ranjang dalam kamarnya. Tidak ada cahaya dari matahari di luar sana yang menyelinap, sebab dia menutup jendela sekaligus pintu balkon dengan tirai. Pun lampu kamar lantas tidak Biru nyalakan.
Dengan seperti itu pula Biru bisa merasa sedikit lebih tenang dan mengikis penatnya setelah satu Minggu berwira-wiri di Rumah Sakit Jiwa. Pasalnya, meski stase Psikiatri bukan stase yang besar, tapi rasanya cukup melelahkan.
Sesekali Biru memeriksa timer di handphone-nya, melihat bahwa masih ada waktu sekitar sepuluh menit untuk bermalas-malasan. Sebab setelahnya, dia akan tepat janji ke Jeva untuk segera mandi.
Saat Biru sedang asik menutup mata sambil merentangkan dua tangannya di atas ranjang, suara ketukan di pintu kamar tiba-tiba menggema, disusul suara Jeva.
“Bi?”
“Gue masuk ya?”
Biru menghela napas, “Iya!”
Persekian detik berselang, pintu kamar Biru pun dibuka oleh Jeva. Melihat kamar Biru amat gelap membuat Jeva lantas bergumam.
“Kok gelap banget sih, Bi?”
Jeva berjalan hati-hati ke arah tempat tidur Biru. Dia takut jika nanti tersandung atau menabrak barang yang ada di dalam kamar.
“Lo abis tidur ya?” tanyanya lagi.
“Mm,” gumam Biru yang masih setia pada posisi terlentangnya.
“Jev, lo percaya gak sih kalau gue bilang seharian ini gue tuh belum pernah ngeliat cahaya matahari?”
Mendengar pertanyaan nyeleneh Biru membuat Jeva yang saat ini telah berdiri di samping ranjang Biru seketika menautkan alisnya. Terlebih saat Jeva samar-samar melihat bahwa posisi kepala Biru tidak searah dengan head board.
“Becanda lo, Bi?”
“Gue kan nanya, kenapa lo malah ikutan nanya?” Biru tersenyum, meski dia yakin Jeva tak melihat.
“Gue mau bilang enggak percaya, tapi bukan gak mungkin juga elo emang gak pernah liat matahari sejak pagi tadi kalo udah mager.” kata Jeva, “Lo gak serius kan, Bi?”
“Enggak lah,” kata Biru, “Tadi gue sebenernya ngode doang supaya elo bukain tirai balkon buat gue.”
Jeva menghela napas, “Bikin gue panik aja lo. Ngapain ngode sih?”
Biru terdiam. Dia hanya melirik Jeva yang samar-samar berjalan ke arah pintu balkon sebelum akhirnya membuka tirai. Terik cahaya matahari sore pun lantas menusuk retina Biru yang justru terjebak dalam hening sesaatnya.
Biru berpikir—kenapa Jeva harus panik kalau aja dia emang nggak pernah ngeliat cahaya matahari?
Tapi Biru memilih untuk diam. Tak menuntut penjelasan Jeva.
“Lo udah makan?”
Jeva bertanya sambil berjalan kembali ke arah tempat tidur Biru. Dia kemudian memilih duduk melantai di sisi kanan ranjang Biru lalu bersandar di sana. Setelahnya, Jeva menoleh ke Biru yang juga menatapnya.
“Udah,” jawab Biru singkat.
Jeva mengangguk. Setelahnya dia menatap wajah Biru lekat-lekat, membuat yang ditatap demikian lantas merasa sedikit terganggu.
“Apa?” tanya Biru.
“Lo kalau lagi nggak bisa nonton bareng gue hari ini gak apa-apa kok.” kata Jeva, “Lain kali aja, Bi.”
Biru memutar bola matanya lalu meraih gawai di samping bantal. Dia lalu menunjukkan timer yang tertera di layarnya kepada Jeva.
“Nih, gue tuh udah masang timer buat mandi.” decak Biru, “Lo gak usah bikin narasi kalau gue mau ingkar janji deh. Gue kan nggak bilang kalau gue gak mau pergi.”
“Lagian lo juga mau ke bioskop cepet amat, jam segini. Padahal deket,” oceh Biru yang membuat Jeva tersenyum tipis melihatnya.
“Jalan sama gue wasting energy lo banget ya, Bi?” tanya Jeva. “Lo sampe kayak nggak mau sekedar jalan ama gue di luar jam nonton yang udah kita janjiin kemaren.”
Jeva menatap serius wajah Biru.
“Apa ada alasan lain yang bikin lo gak mau lama-lama sama gue?”
Biru menelan ludahnya sebelum berkata, “Lo ngomong apa sih?”
“Gue cuma bener-bener mager tadi,” jelasnya. “Badan gue kayak masih capek banget. That’s why.”
Jeva terkekeh, “Tapi gue serius, Bi. Kalau lo emang lagi gak mood ke luar rumah atau capek… Kita nggak usah nonton. Gue ngerti.”
“Kemarin aja pas gue pengen di rumah doang, elo malah dateng terus ngejemput paksa gue,” cibir Biru. “Sekarang kok sebaliknya?”
“Gue ngejemput paksa elo juga buat mastiin keadaan lo aja, Bi.”
Mata Biru menyipit, “Maksud lo?”
“Bi, lo tau nggak sih? Lo kalo lagi diem aja kadang bikin khawatir.”
Jeva menghela napas, “Lo selalu sibuk sama isi kepala lo sendiri ampe bikin gue takut sama apa yang lo pikirin. Lo juga kadang gak mau cerita atau ngasih tau apa yang lagi ganggu pikiran lo.”
“Jadi gue bisa apa selain ngeliat keadaan lo secara langsung, Bi?”
Biru menatap lurus ke dalam iris cokelat Jeva, “Lo takut kenapa?”
“Gue takut kalo lo mikirin hal-hal yang bisa nyakitin diri lo sendiri.”
Jawaban Jeva pun membuat Biru mengalihkan pandangan ke arah langit-langit kamar. Entah. Biru merasa perhatian Jeva padanya akhir-akhir ini menganggunya.
Bukan karena risih, namun Biru sadar ada yang aneh dari dalam dirinya. Hal yang sebenarnya tak pernah dia harapkan untuk ada.
Di tengah hening yang tiba-tiba melanda keduanya, suara kentut yang cukup besar justru menjadi pemecah suasana. Biru melotot lalu menoyor keras kepala Jeva.
“Jorok banget sih lo!”
Jeva cengengesan, “Gak bau kok.”
“Gak bau apaan?” omel Biru, “Lo ke balkon deh, bisa pingsan gue.”
Jeva memicingkan mata sebelum kembali membuang gas. Biru pun refleks memukul kuat badan Jeva dengan bantal, namun temannya itu justru semakin tertawa puas.
Biru cuma bisa pasrah sambil menutup wajah dengan bantal.
“Bi, kita nonton Netflix aja deh di sini,” usul Jeva yang membuat atensi Biru kembali kepadanya.
“Terus tiket yang udah lo beli?”
Jeva tersenyum, “Gue kasih ke Julian sama Rayhan kali ya? Biar mereka cepet-cepet baikannya.”
Biru mendengus pelan. Kenapa juga dia merasa gelisah saat ini?
“Jev, gue bisa keluar rumah kok.” tegas Biru sebelum bangkit dari posisinya. “Lo ngambek ya gara-gara tadi gue bilang lagi mager?”
“Siapa yang ngambek sih?” Jeva terkekeh melihat Biru yang kini telah duduk di atas ranjangnya.
“Gue ngasih lo pilihan, Bi. Kalau emang lo lagi capek, ya udah kita nonton Netflix ajaa.” timpal Jeva, “Tapi kalau lo ngerasa bisa dan mau nonton di luar, gih mandi.”
Tepat setelah Jeva berceloteh, timer yang tadi Biru nyalakan lantas berbunyi. Alhasil, Biru lalu bergegas turun dari ranjangnya.
Jeva pun hanya memerhatikan Biru yang kini berjalan ke arah lemari dan mengambil handuk berwarna putih. Namun, sesaat sebelum Biru berjalan ke kamar mandi, ia lantas menoleh ke Jeva. Sebab, dia teringat akan sesuatu.
“Oh iya, Jev. Sepupu lo kok udah gak pernah maen ke sini?” tanya Biru pada Jeva yang masih setia duduk di samping tempat tidur.
“Kenapa, Bi?” Jeva menatap lamat wajah Biru, “Lo naksir sama dia?”
Biru berkacak pinggang, “Lo tuh kenapa deh, tiap kali gue nanyain cewek, pikiran lo musti berputar sama asumsi kalau gue naksir?”
“Kak Biru!”
Jeva menghela napas saat suara Dara terdengar dari depan pintu kamar Biru. Sementara itu, sang empu kamar lantas berjalan ke sumber suara; membuka pintu.
“Kenapa?”
“Gue mau ke toko buku bentar ya,” izin Dara, “Gue juga udah nge-chat Mama kok, baru aja.”
“Sama siapa?” selidik Biru.
“Gue ke sana sendiri,” kata Dara, “Tapi entar ketemu sama Viola.”
“Kok bukan sepupunya Jeva?”
Dara menggeleng, “Gue sama dia lagi marahan, Kak. Biasa, cewek.”
“Kayak anak kecil aja lo berdua,” Biru geleng-geleng kepala. “Ya udah, lo ikut gue aja sama Jeva ke sana. Kita mau jalan kok abis ini.”
Dara mendesis, “Gak usah deh. Si Vio udah nunggu soalnya. Lo juga belum siap-siap gue perhatiin.”
“Tapi kabarin gue kalo ada apa-apa di jalan ya?” ucap Biru yang dibalas anggukan oleh adiknya.
“Gue cabut dulu yaaa,” Dara lalu melirik ke arah Jeva yang ada di dalam kamar Biru, “Dah, Kak Jev.”
“Hati-hati, Dar!”
Dara tersenyum dengan jempol yang mengacung sebelum pergi dari hadapan Biru. Saat itu pula Biru hendak kembali melanjutkan niatnya menuju ke kamar mandi.
“Dara sama Gina aja dibilang kek anak kecil kalau lagi marahan…”
Jeva tiba-tiba menyahut lalu menahan senyum. Apalagi saat Biru menoleh sambil memicing.
“Terus kemaren kita apa, Bi?”
“Ya gue marah sama lo karena lo bikin gue kecewa,” sahut Biru.
“Lo bilang bakal jagain adek gue, gak mau biarin Dara nangis, tapi apa? Lo boong,” timpal Biru lalu melenggang ke kamar mandinya.
Sementara itu, Jeva yang tidak pernah berhenti memusatkan atensi ke Biru lantas menghela napas lalu menoleh ke nakas di samping ranjang Biru. Sebuah bingkai foto terpajang di sana, dimana Biru dan Dara berpose berdua sambil tersenyum cerah.
Kalimat terakhir yang tadi Biru katakan menusuk relung hatinya.
Pikiran Jeva saat ini pun seketika berlabuh pada kebohongan yang telah dia dan Dara tutup rapat-rapat dari Biru setahun lamanya. Kebohongan bahwa dia dan Dara berpacaran. Sementara faktanya, sang sepupulah yang berpacaran lalu putus dengan adik Biru itu.
“Maafin gue, Bi.”