jaesweats

Usai makan siang bersama Jeva, giliran Biru yang menyetir lalu mengantarkan teman Koasnya itu pulang ke rumah. Sampai saat laju mobilnya telah berhenti di depan rumah Jeva, Biru lantas menghela napas berat sebelum menoleh ke Jeva. Raut wajahnya pun menunjukkan kekhawatiran.

“Lo yakin udah mau coming out ke Mama Papa lo?” tanya Biru.

“Yakin,” Jeva tersenyum lembut. “Kan gue udah bilang ke lo kalau gue bakal ngasih tau mereka soal ini sebelum kita jadian nantinya.”

“Gue gak ada alasan buat nunda-nunda, Bi. Mana tau besok atau lusa lo udah siap jadi pacar gue kan?” timpalnya diikuti kekehan.

“Kalau Mama Papa lo nggak bisa nerima, gimana?” tanya Biru lagi.

I will fight for you,” sahut Jeva.

Kedua netra legam Biru masih menyelami mata Jeva, sedang bibirnya tak mampu lagi untuk berucap. Dia benar-benar takut dan khawatir pada Jeva saat ini.

Jeva yang paham akan ekspresi Biru pun menyodorkan tangan dengan posisi menengadah. Dia lalu menggerak-gerakkan jarinya, menginstruksikan agar Biru meletakkan telapak tangannya sebelum saling menggenggam.

Namun, bukannya melakukan apa yang Jeva isyaratkan, Biru justru beralih memeluk Jeva. Kedua lengan Biru melingkar erat di tenguk temannya itu.

Sejenak Biru memejamkan mata, berusaha menenangkan pikiran di kepalanya yang mulai kacau. Biru diam-diam takut sesuatu yang buruk menimpa Jeva. Biru pun diam-diam takut kalau dia harus melepaskan Jeva bahkan sebelum Jeva bisa menggapainya.

“Bi,” Jeva berbisik. “We’ll be okay.”

Biru mengangguk kecil sebelum menarik dirinya dari Jeva yang tadi juga membalas dekapannya. Biru pun kembali menatap lamat wajah Jeva dengan raut sedunya.

“Jangan natap gue kayak gitu, Bi.” tutur Jeva. “Gue takut kelepasan nyium lo lagi, kayak yang di RS.”

Mendengus, Biru lantas menoyor pelan kepala Jeva diikuti senyum.

“Masuk gih,” titah Biru.

“Mm,” Jeva mengacak-acak pelan rambut Biru. “Entar malem gue kabarin ya kalau udah mau balik ke kos-an, terus nge-jemput lo.”

“Oke.”

“Lo pulangnya hati-hati.” kata Jeva, “Jangan ngebut-ngebut. Jangan sampe ngelamun juga.”

“Iya, bawel.”

Jeva mengacungkan jempolnya.

“Gue masuk sekarang ya, Bi.”

Biru mengangguk. Setelahnya, Jeva pun keluar dari mobil lalu berdiri di samping kendaraan roda empat milik Biru itu. Jeva melambai-lambaikan tangannya, mengisyaratkan agar Biru pulang lebih dahulu sebelum dia masuk.

Biru—dengan hati yang masih berat—kemudian menurutinya. Dia melajukan mobilnya hingga meninggalkan area rumah Jeva.


Waktu yang sejak sore tadi Jeva nantikan akhirnya tiba. Kini dia, Papa dan Mamanya telah duduk bersama di meja makan. Mereka pun mulai menikmati hidangan yang Jeva lantas sadari adalah beberapa makanan kesukaannya.

“Makan yang banyak, Dek. Mama perhatiin… Kamu agak kurusan.”

Jeva mengangguk kaku. “Iya, Ma.”

“Koas di Kardiologi bikin kamu stress banget ya, Dek?” timpal si wanita paruh baya, sedang Papa yang sedari tadi menyimak pun seketika menatap serius ke Jeva.

“Gak kok,” jawab Jeva. “Kelompok aku orang-orangnya bisa diajak kerja sama, jadi gak begitu kerasa stress-nya kalau lagi ada tugas.”

“Residen sama konsulen aku di Harkit juga pada baik,” timpalnya.

Mama mengangguk lega. Namun matanya masih tertuju pada Jeva.

“Minggu depannya lagi udah pindah stase ke Neuro kan?”

Kini si Papa yang bersuara. Jeva membalasnya dengan anggukan.

“Papa sama Mama sebenarnya mau bicarain ini sama kamu.”

Jeva mengernyit, “Soal apa, Pa?”

“Bentar lagi kamu Koas di RSCM,” sahut pria paruh baya itu. “Jadi... Papa sama Mama mikir, apa gak sebaiknya kita ngasih tau orang-orang RS kalau kamu anak Papa.”

Jeva menghela napas gusar.

“Papa kan tau alasan kenapa aku gak mau orang-orang sampai tau kalau aku ini anak Papa sebelum Koas aku selesai,” katanya. “Aku gak mau dibanding-bandingin. Aku juga gak mau dibilang bisa survive karena privilege Papa.”

“Aku pengen Mama sama Papa ngeliat usaha aku, ngeliat kalau aku juga bisa.” Jeva menimpali.

“Terus sekarang, Papa pengen bilang ke publik kalau aku ini anak Papa pas aku Koas di RS Papa?” lanjut Jeva. “Yang ada, orang-orang malah mikir kalo aku pengen di-spesialin di RS.”

“Kamu gak akan di-spesialin kok, Dek...” Mama ikut angkat bicara. “Papa bakal bilang ke Dokter lain supaya nggak menganggap kamu sebagai anak Papa sama Mama.”

Jeva menggeleng tidak terima.

“Sekarang biar aku nanya sama Mama Papa,” dia menatap orang tuanya itu bergantian. “Kenapa Mama sama Papa pengen orang RS tau aku ini anak Mama Papa?”

“Apa Papa sama Mama rencanain ini supaya Dokter lain segan buat ngasih aku nilai jelek?” tanyanya.

“Mama sama Papa takut nilai aku bakalan anjlok terus malu-maluin kalau aja nanti orang lain tau aku ternyata anak Papa sama Mama?”

“Kalau itu yang Papa sama Mama takutin, gampang kok solusinya.” tenggorokan Jeva tiba-tiba sakit.

“Papa sama Mama enggak perlu ngakuin aku sebagai anak untuk selamanya. Toh aku emang gak pernah diinginkan kan?” lanjut Jeva. “Aku taunya malu-maluin doang, gak kayak kakak-kak—”

“Jeva,” Mama memotong ucapan anak bungsunya dengan suara yang dia tekankan. “Mau sampai kapan kamu berpikir kalau Mama sama Papa se-tega itu ke kamu?”

“Kamu pikir, selama kamu gak ada di rumah bertahun-tahun, Mama sama Papa seneng?” lirih si wanita paruh baya. “Enggak.”

“Mama sama Papa sadar kalau cara didik kita berdua ke kamu dulu bawa impact yang gak baik buat diri kamu, Dek.” lanjutnya.

“Mama sama Papa pun sadar kalo tekanan-tekanan yang dulu datang dari orang luar soal gimana kamu yang gak bisa kayak kakak-kakak kamu itu seharusnya enggak bikin Mama sama Papa malah nge-push kamu dengan cara banding-bandingin kamu sama kedua kakak kamu.”

“Mama sama Papa salah karena gak mikirin mental kamu waktu itu,” jelasnya. “Tapi Mama sama Papa kayak gitu karena enggak mau kalau kamu terus-terusan direndahkan sama orang lain.”

“Hati Mama tuh juga sakit banget kalau denger saudara-saudara kita ngatain kamu beda sendiri lah, malu-maluin lah.” katanya.

“Makanya Mama Papa pengen kamu terus belajar sampai kamu bisa nge-buktiin kalau kamu gak kayak gitu. Mama sama Papa pun terkesan nggak pernah puas juga supaya kamu terus bersungguh-sungguh. Gak cepet puas juga.”

Melihat air mata si Mama yang tiba-tiba menetes membuat Jeva refleks menunduk. Sedang Papa dengan sigap mengusap bahu istrinya sesaat sebelum kembali memusatkan atensi kepada Jeva.

“Papa sama Mama pengen orang lain tau kalau kamu itu anak Papa sebelum pindah stase ke Neuro, karena Papa gak pengen kamu dengerin omongan-omongan gak baik di RS.” jelas si pria paruh baya. “Kamu tau sendiri gimana orang-orang mulai nyari tau soal kamu dan bikin spekulasi aneh.”

“Kalo sampai omongan itu masuk ke telinga kamu secara langsung, Papa Mama khawatir hal itu bisa bikin kamu risih dan terganggu selama lagi Koas di Rumah Sakit.”

“Omongan soal aku yang dikira anak hasil hubungan gelap ya?” mata Jeva bergulir ke Papanya.

I can take it, Pa.” sambungnya. “Aku udah biasa kok dengerin omongan gak baik sejenis itu. Bahkan sejak aku kecil dulu.”

“Bagi aku, itu enggak ada apa-apanya daripada dibanding-bandingin dan usaha aku gak dihargain hanya karena aku punya privilege.” lirih Jeva.

“Aku justru bakal lebih risih dan terganggu kalau harus hidup dari ekspektasi orang lain yang selalu pengen ngeliat aku kayak kakak-kakak aku—yang pinter dan bisa nge-banggain Mama sama Papa.”

“Makasih udah khawatir. Tapi aku bakalan baik-baik aja, Pa.”

“Dek…” Mama kembali bersuara dengan suaranya yang sumbang.

“Mama sama Papa udah liat kok usaha kamu,” katanya. “Kamu udah ngelakuin yang terbaik...”

“Dan Mama sama Papa bangga banget sama kamu,” lanjut Mama.

“Kamu gak perlu kayak kakak-kakak kamu supaya bisa bikin Mama sama Papa bangga,” Mama meraih tangan Jeva. “Kamu udah bikin Mama sama Papa bangga dengan cara kamu sendiri, Dek.”

“Apapun ekspektasi orang lain di luar sana tentang kamu, gak usah kamu dengerin lagi. Ya?” katanya. “Mereka gak ada hak untuk itu.”

“Mama Papa udah jadi orang tua yang buruk buat kamu sejak kecil dulu.” mata Mama berkaca-kaca. “Sekarang, tolong izinin Mama dan Papa buat memperbaiki itu.”

“Mama sama Papa juga mau jadi orang tua yang baik buat kamu, yang gak ngeliat anaknya harus jadi bahan pergunjingan karena kesalahan cara mendidik Mama Papa sendiri di masa lalu, Dek.”

“Mama sama Papa pengen orang lain tau kalau kamu udah sampai sejauh ini karena usaha sendiri, bukan karena status kamu ini.”

Mata Jeva pun berkaca-kaca saat mendengar penuturan si Mama.

“Aku cuma pengen denger itu kok, Ma.” Jeva menelan ludah sekuat tenaga. “Aku cuma mau Mama sama Papa bilang kalo aku udah ngelakuin yang terbaik.”

“Mama sama Papa tau nggak, hal apa yang selalu bikin aku sedih?” katanya. “Bukan karena omongan orang lain. Aku bisa bodoh amat mereka mau bilang apa soal aku.”

“Tapi aku sedih karena Mama sama Papa gak pernah ngasih apresiasi atas usaha aku buat bikin Mama sama Papa bangga.”

“Aku sedih kalau orang-orang di luar sana mulai nge-bandingin aku, terus Papa sama Mama juga malah ngomongin hal yang sama, bukannya ngasih support ke aku.”

Tepat saat Jeva meneteskan air mata, sang Mama lantas berdiri dari kursinya. Wanita paruh baya itu kemudian memeluk si anak bungsu sebelum ikut menangis bersama Jeva. Papa menunduk.

“Maafin Mama ya.”

Jeva membalas pelukan si Mama.

“Mama sama Papa sedih banget karena ngerasa jauh sama kamu, Dek.” katanya. “Jangan tinggalin Mama lagi ya? Kalau kamu ada kesulitan juga cerita ke Mama, jangan malah pergi dari rumah.”

“Atau apapun itu, cerita aja. Ya?”

Jeva mengangguk lalu mengusap kasar air matanya. Dia kemudian mendongak kepada Mama lalu bergantian menoleh pada si Papa yang juga diam-diam menangis.

“Aku boleh cerita sesuatu sama Papa Mama sekarang gak?” tanya Jeva yang membuat sang Mama seketika duduk di sampingnya. Pun Papa yang juga langsung mengangguk kepada anaknya.

“Ini… Soal orang yang aku suka.”

Jeva menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan.

“Aku mau Mama sama Papa tau kalau aku…” Jeva menundukkan kepalanya. “Aku suka laki-laki.”

Mama dan Papa terdiam. Jeva pun belum berani mendongak untuk melihat ekspresi mereka.

“Laki-laki yang nge-jemput kamu pagi tadi?” Papa lantas bersuara.

“Iya, Pa.” cicit Jeva.

Jeva menautkan jemarinya yang telah membeku di bawah meja.

Mama kemudian menggenggam jemari Jeva yang tidak luput dari pandangannya. Membuat Jeva seketika menoleh pada si Mama.

“Ingat, kenalin sama Mama kalau kalian udah jadian.” tutur Mama.

“Hah?”

Jeva refleks membeo atas respon Mamanya. Setelahnya, dia lantas berdeham pelan lalu bersuara.

“Mama… Gak marah?”

Mama menggeleng. “Mama harus marah sama siapa, Dek? Kamu?”

“Kan bukan kamu yang minta buat punya seksualitas kayak gini,” timpalnya. “Mau nyalahin lingkungan pun, apa gunanya?”

“Mama sendiri bahkan gagal bikin kamu ada di lingkungan keluarga yang baik-baik aja.”

“Kalau ada yang harus disalahin, itu Mama.” timpal si paruh baya. “Mama salah karena gak ngasih kamu kasih sayang yang kamu harapkan sejak kecil dulu, sampai kamu nemuin itu di orang lain.”

“Dan kebetulan kasih sayang dari orang lain itu adanya di laki-laki.”

“Jadi… Mama gak apa-apa kalau aku kayak gini?” tanya Jeva hati-hati. Mama lantas mengangguk.

Jeva tersenyum tipis dengan raut harunya sebelum menoleh pada sang Papa. Jeva seolah meminta respon dari pria paruh baya itu.

Si pria paruh baya pun menghela napas panjang, menatap kopinya lalu menyeruput minuman itu sejenak. Membuat Jeva diam-diam gugup karena menunggu jawaban dari pria paruh baya itu.

“Pantes tadi pagi kalian berdua keliatan gugup pas Papa ajakin ngobrol,” Papa bersuara, masih sambil menatap cangkir kopinya.

Sampai ketika si pria paruh baya akhirnya kembali memandangi wajah anak bungsunya, Jeva pun menahan napas. Terlebih sorot mata Papanya itu nampak datar.

“Dek, kamu tau kan kalau orang-orang dengan orientasi seksual kayak gitu masih jadi minoritas?”

Jeva mengangguk lemah.

“Itu artinya kamu juga udah tau kalau akan ada banyak halang rintang yang harus kamu lewati.”

“Mulai dari penolakan dari orang yang anti, status kalian nanti gak diakui, dan sebagainya. Apalagi… Kamu calon praktisi kesehatan, omongan nggak baik dari orang luar pasti bakalan terus datang.”

Jeva kembali menunduk. Sebab, perasaannya mulai tidak enak.

“Papa gak bisa terima kalau kamu dijelek-jelekin sama orang,” tutur Papa. “Tapi Papa lebih nggak bisa terima kalau kamu harus bohong soal seksualitas kamu dan hidup sebagai orang lain hanya karena takut buat menerima penolakan.”

Jeva refleks menatap sang Papa dengan matanya yang berbinar.

Life your life,” lanjut pria paruh baya itu. “Ini hidup kamu, pilihan kamu. Tapi… Ingat untuk selalu hati-hati, Dek. Papa yakin, kamu udah bisa jaga diri kamu sendiri.”

“Udah cukup Papa nge-hancurin mental kamu sejak masih kecil dulu, yang terkesan gak pernah ngasih kamu dukungan.” timpal Papa. “Sekarang, Papa mau jadi orang terdepan yang akan selalu mendukung keputusan kamu.”

Jeva kembali tersenyum sebelum bergumam lirih, “Makasih, Pa.”

Papa ikut tersenyum. “Papa juga minta maaf ya untuk semuanya.”

Pria paruh baya itu kemudian merentangan kedua lengannya.

“Papa boleh minta peluk juga?”

Jeva mengangguk cepat. Dia lalu berdiri dan menghampiri si Papa dan berakhir memeluknya erat.

Jeva menghembuskan napasnya pelan melalui mulut saat sadar bahwa sebentar lagi mobil yang dia kemudikan akan berhenti di depan rumah Biru. Sangat jelas bahwa dia gugup, dan Biru yang duduk di sampingnya lantas bisa menyadari hal itu; amat mudah.

Sampai saat laju mobilnya telah berhenti di depan rumah Biru, Jeva lalu mematikan mesinnya. Dia kemudian beralih menoleh ke arah Biru diikuti senyum tipis.

“Gugup ya?”

“Mm,” gumam Jeva.

Biru terkekeh, “Sama.”

Setelahnya, Biru menengadahkan tangannya di depan Jeva. Sedang Jeva yang sudah paham tentang hal itu dengan sigap meletakkan telapak tangannya di atas milik Biru, lalu saling menggenggam.

We can do this, Jev.”

Jeva tersenyum lembut sebelum mengangguk kecil. “Ayo, Bi. Gue udah laper banget sebenernya.”

“Dasar,” decih Biru.

Tautan tangan mereka kemudian terlepas saat Jeva memilih untuk turun dari mobil lebih dahulu. Ia lalu membuka pintu mobil untuk Biru, membuat yang diperlukan demikian menahan senyumnya.

Kedua anak manusia itu lantas berjalan beriringan memasuki rumah setelahnya. Sampai saat mereka sudah sampai di ruang tengah, si Mama yang nyatanya telah menunggu di sana bersama Dara seketika menghampiri Biru.

“Kak…”

Senyum haru terukir di bibir Biru ketika Mama menghampirinya sambil merentangkan lengan. Ia pun dengan sigap memeluk erat-erat tubuh si wanita paruh baya.

“Kamu sehat-sehat kan?”

“Iya, Maaa.” jawab Biru sebelum menjauhkan tubuhnya dari sang Mama. Dia lalu melirik sekilas ke sofa, hanya ada Dara di sana.

“Mama gimana? Sehat?”

“Iya. Mama juga sehat.”

“Terus Papa mana?” tanya Biru.

“Papa lagi di dapur,” sahut Mama, “Dia yang ngotot banget pengen masak buat kita malam ini, Kak.”

“Apalagi pas Mama bilang kalau kamu mau pulang,” timpal Mama. “Mama sama Dara sampai nggak diizinin bantu-bantu di dapur.”

Biru tersenyum haru mendengar hal itu. Meski dulu Biru sempat merasa amat kurang beruntung karena kehilangan figur sosok Ayah, tapi kehadiran sang Papa sambung lantas memberikan kehidupan yang baru untuknya.

Sementara Biru dan Mama asik melepas rindu, Jeva yang diam-diam memerhatikan mereka pun ikut tersenyum lembut. Namun, tarikan bibir Jeva seketika makin lebar kala si wanita paruh baya tiba-tiba menoleh ke arahnya.

“Jeva, makasih ya udah datang sekaligus nganterin Biru pulang.”

“Gak masalah, Tante.”

“Masakan Papa udah jadi gak ya kira-kira, Ma?” celetuk Biru. “Si Jeva udah laper banget katanya.”

“Bi…”

Jeva mendesis sambil menyikut pelan lengan kiri Biru. Dia malu.

Biru begitu juga Mama tertawa ringan. Pun Dara yang sedari tadi menyimak obrolan itu dari sofa.

“Kayaknya udah sih,” pikir Mama. “Pas tadi Mama ngecek, sebelum kalian dateng, Papa sisa nyiapin lalapan kesukaan kamu soalnya.”

“Kita ke ruang makan sekarang yuk,” ajak si Mama yang dibalas anggukan mantap oleh anaknya.

Mereka kemudian melenggang ke ruang makan, dimana macam-macam makanan telah tersaji di atas meja. Papa yang semula asik menyiapkan buah di kitchen bar pun seketika berseru senang saat sadar jika Biru menghampirinya.

“Anak Papa udah pulang,” kata si Papa sambil memeluk Biru erat. “Gimana Koas di Kardio, Kak?”

“Capek, Pa. Kakak jarang tidur,” curhat Biru lalu melepas tautan dengan sang Papa. “Papa sehat?”

“Sehat. Tuh, liat. Papa abis masak banyak buat kamu, Kak. Sendiri.”

Melihat sang Papa begitu bangga akan ucapannya, Biru terkekeh.

“Kalau gitu, aku pengen nyoba semua masakan Papa sekarang.”

Papa sumringah, “Ayo, Kak.”

Biru dan Papa lantas menyusul ke meja makan, dimana Mama, Dara dan Jeva telah duduk dan menunggu di sana. Si pria paruh baya kemudian mempersilakan mereka untuk mencicipi segala jenis makanan yang dimasaknya.

Alhasil, Biru yang melihat bahwa ada Capcay—yang notabennya salah satu menu kesukaan Jeva—pun menggeser pelan piring itu tepat ke depan Jeva yang duduk di sampingnya. Meski dalam hati Biru sempat timbul keinginan untuk menyendok masakan itu ke piring si teman Koas, tapi dia lantas teringat dengan tingkah si Papa kandung saat dia kecil dulu.

Papanya mengajak pria yang dulu diakuinya hanya seorang teman makan siang bersama Biru. Papa kandungnya pun menyendokkan lauk untuk pria itu di depan Biru, dan saat itu Biru hanya menaruh rasa herannya sendirian tanpa menceritakan hal itu ke Mama. Biru selalu mencoba berpikir bahwa hal semacam itu mungkin lumrah di antara dua orang pria.

Sampai setelah Biru tahu semua tentang Papanya, ingatan itu pun menyimpan memori yang kelam. Dimana Biru kerap menyalahkan dirinya sendiri karena tak pernah bercerita tentang hal-hal yang ia lihat kepada si Mama waktu itu.

Jika saja dia bercerita, Mamanya mungkin tidak akan dibohongi bertahun-tahun lamanya oleh Papa kandungnya, lalu berakhir bertengkar hebat di depan mata kepalanya kala itu, pikir Biru.

Alhasil, kini Biru tidak sanggup untuk melakukan hal yang sama. Apalagi di depan Mamanya yang juga memiliki memori serupa.

Sementara itu, Jeva yang sadar bahwa Biru mencoba memberi Capcay untuknya tersenyum. Ia lalu menyendok sedikit sebelum bergumam pelan, “Makasih, Bi.”

Tanpa keduanya sadari, Mama juga Dara yang duduk di depan mereka menyaksikan tingkah Jeva dan Biru. Si wanita paruh baya pun melihat dengan jelas bagaimana Jeva dan Biru sangat hati-hati ketika ingin memberi atensi satu sama lain. Seperti sekarang, dimana giliran Jeva yang mengambil tisu untuk Biru dan justru menyodorkannya di bawah meja. Mama tersenyum.

“Kalian berdua udah pacaran?”

“Uhuk!”

“Uhuk!”

Jeva dan Biru kompak terbatuk. Kedunya lantas menatap Mama yang jelas memandangi mereka.

“Belum, Ma.”

“Belum, Tante.”

Lagi, keduanya amat kompak. Membuat Dara menahan tawa. Sebab si Kakak dan Jeva seperti maling yang tertangkap basah.

“Beneran,” Biru meyakinkan.

Mama lalu mengangguk diikuti senyum meledek, “Mama cuma nanya kok. Gak usah panik gitu.”

“Aku gak panik,” elak Biru. “Siapa yang panik? Lo juga ga kan, Jev?”

Jeva nyaris menyemburkan tawa.

“Tapi ekspresi lo emang keliatan lagi panik sih, Bi.” ledek Jeva yang membuat Biru menginjak kakinya di bawah meja. “Aduh! Iyaa, gak.”

“Kalian nunggu apa lagi?” tanya Mama santai, “Bukannya kalian udah tau, kalian itu saling suka?”

Jeva cengar-cengir, “Saya nunggu Biru siap, Tante.”

“Jev…” desis Biru. “Udah, makan.”

Mama geleng-geleng kepala.

“Jangan kelamaan ya, Kak.” tutur Mama. “Inget pesen Mama, gak mudah ketemu orang yang bisa mempertahankan rasa cintanya.”

“Kayak Papa kan?” celetuk Papa.

“Iya,” Mama pasrah lalu terkekeh.

Biru tersenyum simpul sebelum dia melirik sekilas ke arah Jeva yang juga memandanginya. Biru dan Jeva lantas berbagi senyum lembut lalu kembali melanjutkan makan malam; seperti yang lain.

“Oh iya, Kak. Abis Kardio, kalian pindah stase ke Neurologi kan?” tanya si Papa. “Di RSCM dong?”

“Iya, Pa.” Biru menghela napas. “Papa bakal puas ngeliatin Biru bolak-balik di RSCM setiap hari.”

Si pria paruh baya lantas tertawa renyah, “Neurologi bakalan bikin capek, kayak bukan stase minor.”

“Tapi kan kamu punya Papa sama Mama di sana, Kak.” timpal Papa. “Kalau ada yang bisa Papa sama Mama bantu, bilang aja. Oke?”

“Jeva juga ya,” Papa tersenyum ke Jeva yang refleks mengangguk.

Biru mengulum bibirnya sesaat.

“Aku selama di RSCM kayaknya gak bakalan kesulitan deh, Pa.” katanya, “Soalnya backing-an aku selain Mama sama Papa tuh anak Direktur. Jadi bakal aman.”

“Gimana, Kak?” si Mama kaget. “Kamu kenal anak Prof. Harry?”

Biru mengangguk, “Mhm.”

Jeva geleng-geleng kepala sambil menahan senyumnya. Terlebih saat Mama dan Papa Biru tiba-tiba bersemangat untuk tau.

“Kok kamu bisa kenal, Kak?” Papa menatap serius wajah anaknya. “Papa pernah liat orangnya gak?”

Biru tidak mampu lagi menahan tawanya. Ia lalu menoleh ke Jeva.

“Bentar…” Dara ikut buka suara, “Nggak mungkin Kak Jeva kan?”

“Kok gak mungkin?” Balas Biru, “Emang dia keliatan gak cocok buat jadi anak Direktur RS ya?”

Dara, begitu juga Papa dan Mama kompak melotot dengan mulut setengah terbuka. Tatapan ketiga orang itu pun tertuju pada Jeva. Alhasil, Jeva lantas angkat bicara.

“Kata orang-orang, wajah saya emang gak ada mirip-miripnya sama Papa atau Mama saya, Om.” kata Jeva, “Jadi wajar banget kalo Om sama Tante enggak ngenalin kalau saya anaknya Prof. Harry.”

“Wajar juga kalau beberapa orang ngira saya anak hasil hubungan gelap, sampai Papa saya nggak pernah ngenalin saya ke publik.”

Dara, Mama juga Papa masih terdiam dalam keterkejutannya.

“Terus wajah lo mirip siapa sih?” tanya Biru yang juga penasaran.

“Mirip mendiang Kakek gue, Bi. Katanya wajah gue sama Kakek pas masih muda mirip banget.”

Biru mengangguk, “Kakek lo ganteng banget dong berarti.”

Jeva berdeham sambil menahan senyumnya. Dia lalu menenggak segelas air di hadapannya karena salah tingkah atas pujian Biru itu.

“Terus apa yang bikin status Kak Jeva as anaknya Direktur RSCM disembunyiin?” Dara menimpali. “Orang-orang udah pada mikir yang enggak-enggak tau, Kak.”

Jeva tersenyum, “Panjang kalau mau diceritain, Dar. Entar deh kamu tanya ke Biru. Kakak kamu udah tau semuanya kok soal aku.”

“Aduh, Papa jadi deg-degan nih.” celetuk si Papa, “Ternyata yang Papa masakin anak atasan Papa.”

“Jangan gitu, Om.” Jeva terkekeh. “Om nggak usah nganggap saya anaknya atasan Om. Lihat saya sebagai calon pacarnya Biru aja.”

Ya. Kini giliran Biru yang salah tingkah karena ucapan Jeva ke Papanya. Dia buru-buru melahap nasi sambil menahan senyum.

“Abisin nasi lo, Jev. Udah malem.”

Biru bergumam masih sambil mengunyah nasi di mulutnya.

“Pipi lo merah, Bi.” bisik Jeva.

“Diem!”


Usai makan malam bersama, kini Jeva telah bersiap untuk pulang ke rumahnya. Biru mengantarnya menuju halaman depan, dimana mobilnya berada. Keduanya pun berbicara sambil berjalan pelan.

“Gue salut banget sama Mama lo deh, Bi.” kata Jeva. “Dia supportif banget sama lo dan seksualitas lo meskipun dia punya pengalaman pahit sama orang yang kek kita.”

“Mhm,” Biru menarik napasnya dalam-dalam. “Tapi gue harus berterima kasih juga sama Papa sambung gue. Sebelum Mama ketemu sama dia lagi, gue tuh sering banget ngeliat Mama gue nangis sendiri pas dia mikir kalo anak-anaknya udah pada tidur.”

“Bertahun-tahun gue pura-pura gak tau,” timpal Biru lirih. “Dan selama itu juga gue selalu ikutan ngerasa sakit sekaligus bersalah liat Mama hancur karena Papa.”

“Tapi setelah Papa Adit datang, Mama jadi punya sandaran yang bikin dia lebih kuat.” jelas Biru. “Mama gue beruntung ada yang mencintai dia kayak Papa Adit.”

Jeva mengangguk kecil sebelum menghentikan langkah tepat di samping mobil. Begitu pun Biru.

“Sekarang gue sadar kalau cita-cita gue bukan cuma pengen jadi Dokter,” kata Jeva, Biru kemudian mengernyitkan alis penasaran.

“Terus apa?”

“Gue pengen jadi orang yang mencintai dan menemani lo kayak Papa Adit ke Mama lo.”

Biru mendengus, “Gak perlu.”

“Kok gak perlu sih, Bi?” Jeva cemberut, “Kan gue pengen bikin lo ngerasa beruntung juga.”

“Lo udah bikin gue ngerasa beruntung, Jev.” balas Biru.

“Bagi gue, lo tuh udah jadi orang yang sayang dan jagain gue kayak Papa Adit ke Mama sebelum lo bilang kayak gini.” sambungnya.

Jeva membuang muka sambil menyembunyikan senyumnya.

“Lo pulang sekarang gih,” titah Biru sambil mendorong pelan tubuh Jeva. “Hati-hati di jalan.”

Jeva mendesis. Dia tidak ingin menggerakkan kakinya hingga dirinya masih berdiri tepat di hadapan Biru sambil senyam-senyum. Biru memicing heran.

“Apa lagi?”

Jeva merentangkan kedua lengan di samping tubuhnya. Senyum di bibirnya pun kembali merekah sejenak sebelum dia bersuara.

Can you give me a little hug?”

Terkekeh pelan, Biru kemudian memberikan pelukan hangatnya kepada Jeva. Mereka lalu saling berbagi dekap selama beberapa saat sambil merasakan detak jantung tak biasa satu sama lain. Senyum pun tidak pernah lepas dari bibir dua anak manusia itu.

“Semoga malam ini tidur lo lebih nyenyak lagi dari biasanya ya, Bi.”

Biru mengangguk. “Mm. Lo juga.”

Jeva menunggu Biru di ruang Koas dengan merebahkan kepala pada kedua lengannya yang dia lipat di atas meja. Sesekali Jeva menghela napas berat sembari memeriksa gawainya. Tidak ada pesan balasan dari temannya itu.

Sampai tak lama berselang, pintu ruangan Koas terbuka. Jeva yang mendengar suara dentuman itu pun mengangkat kepalanya lalu menoleh ke arah pintu. Saat itu pula dia mendapati Biru berjalan menghampiri sambil memicing.

“Lo belum makan?” tanya Biru saat melihat dua kotak berisi nasi campur masih tertutup rapat di atas meja. Jeva pun mengangguk.

“Gue kan bilang mau nungguin lo, Bi. Biar kita makan bareng.”

Biru menghela napas pasrahnya sebelum duduk di seberang Jeva. Kotak kue yang dibawanya dari luar tadi pun dia taruh di meja.

“Lo kenapa sih nggak bisa banget dibilangin?” Biru mengambil satu kotak nasi itu lalu membukanya.

Namun, bukannya memakan nasi campur dalam kotak itu, ia justru menyodorkannya kepada Jeva.

“Entar malem kita jaga,” omelnya. “Udah lo telat makan, terus entar malem kurang tidur, lo mau mati sebelum jadi Dokter? Gak kan?”

Entah kini Jeva harus berbahagia karena Biru menunjukkan atensi padanya, atau justru harus tetap cemburu. Sebab, Biru membawa satu kotak kue kesukaannya saat datang tadi. Jeva pun yakin kalau kue itu pemberian mantan Biru.

Mereka flashback ke masa-masa bucin nggak ya tadi? Batin Jeva.

Dia sampai bela-belain bawa kue kesukaan Biru lagi, batinnya lagi.

Sementara itu, Biru yang melihat Jeva hanya terdiam mendengus.

“Kenapa cuma diliatin nasinya? Makan. Ini udah jam berapa, Jev.”

Jeva mengangguk lalu melahap satu sendok nasi di hadapannya. Setelahnya, Biru pun ikut makan.

Namun, Biru yang sadar jika Jeva sedari tadi terus-terusan melihat ke arahnya sambil mengunyah lantas mendongak. Biru hendak mempertemukan netra mereka, tapi temannya itu justru dengan sigap membuang pandangannya.

Menggeleng heran, Biru lantas kembali melanjutkan makannya. Tapi hal yang sama terulang lagi. Dia memergoki Jeva menatapnya lekat-lekat dari ekor matanya. Namun, saat dia mencoba untuk membalas pandangan temannya itu, Jeva justru pura-pura tidak melihat. Biru menghela napas.

“Apa?”

Jeva melirik Biru, “Kenapa?”

“Lo yang kenapa,” kata Biru. “Lo dari tadi enggak banyak ngoceh, terus ngeliatin gue mulu. Lo lagi mikirin sesuatu kan? Bilang aja.”

“Itu…” Jeva berdeham, “Mantan lo gimana, Bi?” tanyanya refleks.

Biru menautkan alis keheranan lalu mendengus. “Kan yang abis dioperasi itu Papi dia, kenapa lo malah nanyain mantan gue sih?”

“Maksud gue gitu,” elak Jeva lalu kembali menghindari sorot mata Biru yang memandanginya lamat.

Menahan senyum di sudut bibir, Biru kemudian menarik napas.

“Lo mikir kalau gue cuma modus jengukin Papinya mantan gue buat ketemuan sama dia?” tebak Biru. “Atau lo ngira kalau gue ini masih ada rasa sama dia? Gitu?”

Bibir Jeva mengerucut, sedang matanya masih enggan menatap ke arah Biru. Dia lebih memilih memandangi nasi campur sambil mengaduknya tidak berselera.

“Bukan gitu,” gumam Jeva. “Tapi lo kan tau kalo gue suka sama lo.”

“Terus elo tiba-tiba ketemu lagi sama seseorang yang pernah lo sayang,” jelasnya. “Mana lo nggak mau ditemenin buat ketemu dia.”

“Lo juga keliatan masih perhatian sama dia terus deket sama orang tuanya,” Jeva melirik Biru. sekilas “Bohong kalau gue baik-baik aja.”

“Gue… Cemburu,” katanya. “Tapi gue sadar kok kalau gue enggak berhak buat ngerasa kayak gini.”

“Kita gak ada hubungan apa-apa, apalagi komitmen. Jadi lo berhak buat ketemu sama mantan lo itu, bahkan lo bisa balikan sama dia kalau emang elo mau.” cicit Jeva.

“Tapi gue malah gelisah bayangin lo sama dia ketemu terus nginget masa-masa bucin kalian. Gak ada yang tau kan, mana tau lo CLBK.”

Jeva menggulirkan bola matanya ke Biru yang masih menatapnya lamat. Jeva menipiskan bibirnya.

“Tapi gue juga gak bisa ngontrol perasaan gue, Bi. I tried to not feel this way, tapi tetep aja—”

“Siapa bilang kalo lo gak berhak cemburu?” potong Biru. “Lo juga tau kalau gue suka sama lo, dan gue udah setuju jadi gebetan lo.”

“Kita sepakat bakalan jadian kalo gue udah siap,” jelasnya. “Emang itu gak termasuk komitmen ya?”

Jeva refleks menahan senyum dengan memanyunkan bibirnya.

“Terus kenapa tadi lo gak mau ditemenin sama gue ke CVCU?” tanya Jeva yang lebih terdengar seperti dirinya sedang merajuk.

“Kan gue udah bilang, gue gak mau lo telat makan gara-gara nemenin gue lagi.” jawab Biru.

“Lagian percuma juga kalau lo nemenin gue, penjenguk yang boleh masuk ke CVCU selain mantan gue, Dokter sama Koas yang jaga kan cuma satu orang.”

“Masa gue tega sih ninggalin lo nunggu sendirian di luar CVCU?” jelas Biru. “Mungkin elo bakalan lebih cemberut lagi daripada ini.”

“Dan yang lebih penting…” kata Biru, “Gue gak mau ngenalin lo ke mantan gue sebagai temen.”

“Ya kali dia udah ngenalin pacar barunya ke gue, terus gue malah ngenalin temen gue yang baru jadi gebetan gue?” timpal Biru.

“Entar gue malah kelihatan gak bisa move on lagi,” timpalnya.

Penjelasan Biru membuat Jeva mengulum bibirnya. Meskipun dia berusaha sangat keras untuk menyembunyikan senyumannya, tapi cekungan di kedua pipinya itu lantas tidak bisa berbohong.

“Terus soal kenapa gue keliatan masih perhatian sama dia dan deket sama orang tuanya, lo gak usah overthinking lagi soal itu.”

Biru tidak melewatkan satu pun kekhawatiran yang tadi telah Jeva jelaskan dengan amat jujur.

“Gue gak jengukin Papinya demi dia, tapi karena gue tuh ngerasa punya utang budi sama Papi dia.”

“Papinya orang baik,” lanjut Biru. “Waktu gue ikut lomba dulu, dan Papa Adit sama Mama nggak bisa ninggalin jadwal operasinya, Papi dia yang dateng ngedukung gue.”

And it means a lot to me, Jev.

Jeva mengangguk paham. Masih sambil mengulum senyumnya. Namun, saat matanya melirik ke kue jenis cheese cake yang ada di meja, Jeva kembali berceloteh.

“Tapi… Mantan lo perhatian juga ya, bawain kue kesukaan lo,” Jeva melipat lengan, membuang muka ke arah lain. “Lo berdebar gak?”

“Siapa bilang kue itu dari mantan gue?” decak Biru. “Itu gue yang nge-gofood tadi. Buat kita makan terus bagiin ke yang lain entar.”

“Ooh,” Jeva berdeham. Dia diam-diam malu karena salah mengira.

Dia kemudian menatap Biru. “Ya udah. Lanjutin makan lo lagi, Bi.”

Biru tersenyum tipis, sementara Jeva buru-buru melahap nasinya guna meredam senyum di bibir.

“Jev.”

Jeva melirik Biru. “Hm?”

Just wait a little more ya?” tutur Biru. “Kalau gue udah siap, gue bakal ngenalin lo sebagai pacar, enggak ke mantan gue doang…”

“Tapi ke semua orang,” katanya.

Jeva seharusnya terharu setelah mendengar tekad Biru untuk bisa sembuh dan siap menerimanya. Namun, kini Jeva justru berakhir tersipu. Dia salah tingkah hanya dengan mendengar temannya itu menyebut dirinya sebagai pacar.

“Oke,” jawab Jeva lalu menunjuk nasi milik Biru. “Udah, makan.”

Biru terkekeh lalu geleng-geleng kepala. Setelahnya, kedua Koas itu pun melanjutkan makan siang mereka hingga habis tak tersisa.

Melihat bahwa masih ada waktu untuk istirahat, serta belum ada panggilan untuk kembali jaga di ruang rawat, Biru lantas bangkit dari kursi. Dia membawa cheese cake yang telah dibelinya tadi ke hadapan Jeva. Ia lalu menggeser kursi ke samping temannya itu.

Setelahnya, Biru membuka kotak cheese cake itu. Biru kemudian menyodorkan satu sendok pada Jeva. Dengan senang hati, Jeva pun menerima diikuti senyum.

“Tokonya gak ngasih pisau kue,” kata Biru. “Potong pake ini aja.”

It’s okay.” Jeva terkekeh pelan. “Btw, lo lagi BM banget ya, Bi?”

“Mm,” gumam Biru sambil mulai menyendok kue kesukaannya itu.

“Gue juga BM banget,” kata Jeva.

Biru menoleh, “BM cheese cake?”

“BM ngeliat senyum manis lo,” sahut Jeva yang membuat Biru lantas menoyor pelan kepalanya.

Jeva sendiri hanya tertawa kecil, sedang Biru lantas geleng-geleng kepala. Biru kemudian kembali melahap satu suapan kue lalu menyandarkan punggungnya ke badan kursi. Kedua tangan Biru diluruskan ke meja, membuatnya sedikit bisa meregangkan otot.

Jeva yang sedari tadi diam-diam memerhatikan Biru tersenyum. Melihat wajah Biru dalam jarak yang sangat dekat membuatnya berdebar. Jeva bahkan merasa gugup untuk sekedar bertemu pandang dengan netra Biru.

Namun, entah datang dari mana keberanian Jeva untuk mencoba menggenggam jemari lentik Biru. Sebab kini, pandangan Jeva telah turun ke jemari Biru di atas meja.

Meski begitu, Jeva tetap berhati-hati. Dia tidak ingin membuat si pujaan hati merasa tidak nyaman atau bahkan mengingat hal yang cukup sensitif baginya. Alhasil, Jeva tak langsung menggenggam tangan Biru—melainkan hanya meletakkan kelingkingnya di atas jari kelingking temannya itu. Dia bermaksud meminta persetujuan dan respon dari Biru lebih dulu.

Sayangnya, Biru yang menyadari perlakuan Jeva justru tiba-tiba menggeser tangannya. Membuat tautan kelingking mereka lepas.

Jeva pun menipiskan bibirnya. Ia sangat menghargai respon Biru. Jeva juga mengerti bahwa Biru masih butuh waktu untuk bisa melakukan sentuhan semacam tadi dengan laki-laki, pikir Jeva.

Namun, pikiran Jeva seketika buyar ketika melihat Biru justru menengadahkan tangan tepat di depannya. Jeva yang heran pun hanya menoleh dengan tampang bingungnya. Sementara itu, Biru lalu menunjuk tangannya dengan dagu. Dia menginstruksikan Jeva agar meletakkan tangan di sana.

Jeva yang telah mengerti maksud Biru lantas meletakkan telapak tangannya di atas milik Biru. Dia mati-matian menahan senyum saat Biru menggenggamnya erat. Jeva pun semakin tidak sanggup untuk terus menatap wajah Biru.

Pada akhirnya Jeva membuang muka ke arah lain, sebab kini dia telah salah tingkah. Tapi ketika Jeva merasa bahwa kepala Biru tiba-tiba bersandar di bahunya, dia refleks melirik temannya itu.

Tangan Jeva yang terbebas pun refleks mengusap puncak kepala Biru. Bibirnya mengukir senyum.

“Gue bisa dengerin detak jantung lo dari sini, Jev.” gumam Biru.

Jeva terkekeh, “Normal gak?”

Biru tersenyum tipis sebelum mendongak, membuat tatapan matanya dengan Jeva bertemu.

“Lebih cepet dikit dari batas normal,” jawab Biru seolah memeriksa seorang pasien.

Jeva tersenyum. “Gue juga bisa dengerin detak jantung lo. Kok bisa ya seirama kek punya gue?”

“Paduan suara kali,” canda Biru.

Kekehan terbebas dari celah bibir Jeva. Setelahnya, dia lalu beralih menatap tangannya dan Biru yang saling menggenggam.

“Tangan lo keringetan, Bi.” Jeva mendadak khawatir. “You okay?”

“Lo bisa nge-lepasin tangan gue kalau lo gak nyaman atau nginget hal yang bikin lo takut.” katanya.

“Tangan lo juga keringetan, Jev.” balas Biru. “Lagian, ini tau, yang dibilang Dokter Kat Van Kirk soal efek dari stimulasi adrenalin dan norepinephrin kalau kita bareng orang yang bikin kita jatuh cinta.”

“Jadi lo udah jatuh cinta sama gue ya, Bi?” tanya Jeva serius.

Biru tidak menjawab. Dia hanya menahan senyumnya sebelum memperbaiki posisi kepalanya di bahu Jeva lalu menutup matanya. Sementara Jeva tersenyum tipis sebelum dia ikut menyandarkan kepalanya di puncak kepala Biru.

Hari dimana panitia Comvil akan berlibur—sekaligus pembubaran—ke puncak pun tiba. Sekarang mereka udah pada ngumpul di halaman parkir kampus sebelum nantinya berangkat bersamaan. Gak terkecuali panitia inti yang saat ini juga udah siap-siap buat masuk ke mobil Dikta; setelah tadi ngecek kesiapan mobil dari anggota panitia lain satu persatu.

“Barang kamu udah dimasukin semua, Dip?” tanya Dikta pada Dipta yang berdiri di sisi mobil.

“Udah kok, Ta.”

“Gak ada yang kelupaan kan?”

“Gak adaaa,” Dipta ngeyakinin.

Dikta senyum. Matanya gak bisa bohong kalau sekarang dia nahan gemes ngeliat Dipta pake hoodie oversize warna abu. Pacarnya itu seketika kelihatan imut banget meski pun tinggi badan mereka bedanya cuma terpaut lima senti.

“Awas bibir lo pegel,” sindir Bila yang langsung nyamperin Dikta.

Dikta begitu juga Dipta lantas musatin atensi mereka ke Bila. Wakil ketua panitia itu keliatan puas ngeledekin mereka berdua.

“Kita start duluan gak nih?” tanya Bila. “Anak-anak udah pada siap.”

“Abis ini kita berangkat, Bil.” kata Dikta. “Sisa nungguin Ravi sama si Nada. Mereka ke kantin. Tama juga belum balik nih dari toilet.”

Bila decakin lidahnya.

“Mereka berdua ngapain pake ke kantin sih? Udah jam segini juga.”

“Ravi cuma nemenin Nada buat ngambil rice bowl, Bil. Gak lama.” Kini giliran Dikta yang ngeledek sahabatnya, “Gak usah cemburu.”

“Gue gak cemburu ya, setan.”

“Tuh mereka udah dateng,” Dipta menginterupsi sambil ngeliat ke arah Ravi juga Nada yang datang.

Bila pun cuma muter matanya malas. Dia lalu masuk duluan ke mobil Dikta, duduk di jok baris kedua sebelah kanan. Dikta yang ngeliat tingkah sahabat cewenya itu cuma senyum tipis sebelum ngelirik ke arah Ravi sama Nada.

“Lo berdua masuk gih buruan,” titah Dikta ke dua temannya itu.

Ravi ngangguk. Dia pun cengar-cengir pas ngeliat pintu mobil Dikta udah terbuka dan ada Bila yang udah duduk cantik di sana.

Buru-buru dia masuk ke mobil, niatnya mau duduk di samping Bila. Tapi belum sempat pantat Ravi ketemu sama permukaan jok, Bila udah lebih dulu bilang.

“Lo duduk di belakang,” ekspresi wajah Bila datar kayak jalan. “Gue gak mau ya sebelahan sama elo.”

“Kok gitu sih, Bil?” Ravi memelas. “Emang lo nggak mau nyender di bahu gue kalau aja lo ketiduran?”

“Ogah,” balas Bila ketus.

“Udah, Rav. Lo duduk di belakang dulu,” Dikta menengahi mereka. “Tuh, si Tama juga udah dateng.”

Ravi cuma bisa ngehela napasnya pasrah sebelum masuk ke mobil dan duduk di jok paling belakang. Sementara itu, Nada yang sedari tadi lebih banyak diam daripada biasanya lantas noleh ke Tama.

Sorry lama,” kata Tama.

“Masuk ke mobil buruan, Tam. Anak-anak udah pada nunggu.”

“Nad, lo juga.” timpal Dikta.

Tama ngangguk dengerin titah Dikta. Setelahnya, dia ngelirik Nada yang cuma mematung dengan raut wajah bete-nya.

“Nad? Lo mau duduk di samping Bila apa sama Ravi?” tanya Tama.

“Di samping Bila aja,” jawab Nada.

“Ya udah.”

Tama terima-terima aja. Dia lalu masuk dan duduk di sebelah Ravi yang udah sibuk gangguin Bila. Setelahnya, Nada ikutan masuk.

Melihat teman-temannya udah bersiap, Dipta pun berniat buat buka pintu mobil Dikta di kursi depan. Tapi baru aja dia pengen ngeraih gagang pintu, tangan si pacar udah lebih dulu mendarat di sana. Dikta bukain pintu buat dia yang sukses bikin pipi Dipta tiba-tiba bersemu merah muda.

“Makasih,” kata Dipta malu-malu.

Dikta cuma ikut senyum sebelum kembali nutup pintu mobil pas si pacar udah duduk di sana. Dikta kemudian jalan ke sisi berlawan, masuk dan duduk di depan stir.

Perjalan mereka ke puncak pun dimulai. Tidak ada ketenangan di dalam mobil Dikta, karena Ravi yang notabene-nya emang nggak bisa diem langsung bersuara.

“Ta, nyalain musik dong.” pinta Ravi, “Cariin gue lagu romantis.”

“Lagu romantis buat siapa, Rav?”

Dikta sengaja memancing.

“Buat my one and only,” Ravi lalu ngusap kepala Bila di depannya.

“Apaan sih lo, Rav?”

Seperti biasa. Bila ngamuk. Tapi setelahnya, Bila nahan senyum. Itu bikin Dikta, Dipta juga Tama berseru ngeledek ngeliatnya.

“Gak usah ditahan, Bil.”

“Diem lo, Ta.”

Dikta ketawa puas ngeliat Bila mulai salah tingkah. Sembari nyari lagu buat diputar, Dikta sesekali ngelirik ke arah Dipta. Senyumnya gak bisa ilang kalau udah ngeliat pacarnya seneng.

Apalagi kalau Dipta udah ketawa.

Akhirnya, lagu pilihan Dikta pun jatuh ke karya dari Andra & The Backbone berjudul Sempurna. Pas tembang itu menggema di dalam mobil, Ravi pun nyeletuk.

“Ah, ini mah lagu kebangsaan lo, Dikta anjing.” Ravi keliatan udah capek banget sama pilihan Dikta.

“Sejak jadi maba ampe sekarang kita udah kelar semester lima, lo masih aja gak bosen denger ini.”

“Beneran?” Dipta nanya ke Dikta, “Gue juga suka lagi ini tau, Taa.”

“Oh yaa?” Dikta ngelirik ke arah Dipta sejenak, “Bagus deh, Dip.”

“Kok bagus?”

Kini giliran Bila yang mancing sahabatnya itu. Meskipun dia sebenarnya tau jawaban Dikta.

Dipta yang diam-diam setuju sama pertanyaan Bila pun ikut nunggu jawaban dari pacarnya. Sorot matanya yang menatap Dikta menuntut penjelasan.

“Soalnya aku kalau dengerin lagu ini selalu inget sama kamu,” kata Dikta yang seketika sukses bikin seisi mobil berseru ngeledekin.

Pengecualian buat Nada yang sejak awal gak mood buat ikut.

Dipta sendiri cuma bisa ngulum senyum sambil buang pandangan ke luar jendela. Tapi pas dia gak sengaja ngeliat Nada cuma diem aja—bahkan terkesan asing—dari spion, dia lantas ngerasa kasian.

Meskipun Dipta masih suka kesel kalau keinget tingkah nada yang kemarin-kemarin selalu sensian sama dia, tapi Dipta gak sampai hati buat ngeliat orang lain jadi merasa terasingkan. Apalagi, dia tau kalau Nada suka sama Dikta.

Dan Dipta paham, harus berada di tengah-tengah orang yang lo suka sama pacarnya is the worst feeling ever. Belum lagi temen-temen mereka yang selalu aja ceng-cengin Dikta sama Dipta.

“Ta, kecilin volume musiknya bentar dong. Kak Jani nelpon.”

Suara Tama dari jok belakang pun memecah lamunan sesaat Dipta. Dia langsung noleh ke sahabatnya itu sambil memicing.

“Belum juga pisah sehari, tapi Kak Jani udah kangen sama lo.”

“Sotoy lo,” jawab Tama sebelum nge-jawab telepon dari Janitra.

Sejenak Dipta merhatiin Nada yang lagi asik sendiri makan rice bowl-nya. Dipta pun basa-basi supaya Nada ikut berinteraksi.

Rice bowl-nya enak, Nad?”

“Enak sebenernya,” raut wajah Nada datar, “Tapi suasana di sini agak gak enak, jadi rice bowl gue ikutan gak enak banget rasanya.”

Dipta langsung diem. Gak tau mau ngomong apa lagi saking kagetnya. Padahal baru berapa menit yang lalu dia kasian sama Nada. Tapi Nada justru mancing sisi ‘setan’ Dipta buat gak peduli.

“Kalau lo mau suasana yang enak, nyantri aja coba, Nad.”

Ravi nyeletuk dari belakang.

“Kan ada tuh lagunya, suasana di kota santri. Asyik senangkan h—”

Nyanyian Ravi lantas kepotong pas Tama nyumpel bibirnya pake neck pillow. Gimana gak? Suara Ravi ganggu Tama yang lagi asik telponan sama pacarnya; Janitra.

Sementara itu, Dipta yang saat ini ngerasa kalau dia gak perlu lagi ngelanjutin interaksinya tadi sama Nada kembali menghadap ke depan. Dipta jadi ikutan bete.

“Mau ngemil gak?”

Pertanyaan Dikta bikin Dipta seketika noleh ke pacarnya itu.

Dikta paham suasana hati Dipta.

“Itu paper bag yang ada di depan kaki kamu isinya cemilan,” lanjut Dikta. “Aku beliin roti juga tadi.”

“Dipta doang yang dibeliin?”

Bila yang nguping pun ngeledek.

“Gue juga beli makanan buat elo kok, Bil. Mau gue suapin nggak?”

Gak, yang jawab itu bukan Dikta tapi Ravi yang duduk di belakang.

Dikta sendiri cuma bisa geleng-geleng kepala sambil sesekali ngelirik ke Dipta kini bersuara.

“Aku mau ngambil satu ya,” kata Dipta dengan suara yang agak dipelanin. Dikta yang dengerin itu terkekeh. Dipta jelas keliatan masih malu-malu buat ngomong pake ‘aku-kamu’ kalau di depan teman-teman mereka. It’s cute.

Dipta pun ngambil satu roti abon dari dalam paper bag. Dibukanya bungkus roti itu sebelum melirik ke Dikta yang senyam-senyum; tapi masih sambil fokus nyetir.

“Kamu mau gak?” tanya Dipta.

Dikta ngelirik sekilas, “Mau. Tapi aku lagi nyetir, Dip. Gimana ya?”

Bila yang jelas-jelas udah biasa ngeliat Dikta bisa makan sambil nyetir cuma ngehela napasnya. Semua cowok emang sama aja, suka ngambil kesempatan, pikir Bila sembari nahan ketawanya.

Gak cuma Bila, tapi Dipta yang juga paham sama tingkah Dikta seketika nahan senyum. Dia lalu menyodorkan roti di tangannya ke depan bibir Dikta lalu berkata.

“Nih, kamu dulu.”

Senyum puas di bibir Dikta pun mereka. Dan dengan sigap Dikta ngelahap roti yang disodorin si pacar. Setelahnya, giliran Dipta lah yang mencoba roti abon itu.

“Enak,” gumam Dikta.

Dipta yang bisa dengerin suara pelan Dikta cuma nahan senyum sebelum kembali ngelahap roti.


Malam telah tiba. Setelah pagi tadi menempuh perjalanan yang cukup melelahkan karena macet di beberapa titik, lalu berlanjut istirahat sejenak di villa, kini para panitia Comvil sudah bersiap-siap untuk pesta BBQ bersama.

Dikta sebagai ketua panitia pun gak lupa buat selalu memastikan kebutuhan teman-temannya. Dia bahkan harus mengunjungi satu villa ke villa lain karena mereka gak bisa tinggal di satu atap yang sama karena banyaknya anggota.

Seperti sekarang, pemberhentian terakhir Dikta gak lain dan nggak bukan adalah villa dimana ia dan panitia inti tinggal. Nampak Ravi, Tama dan Nada udah pada sibuk nyiapin peralatan BBQ mereka.

Sementara itu, Dipta juga Bila yang sedari tadi dampingin dia buat keliling dan bantu-bantuin panitia lain langsung nyamperin ketiga temannya. Pun Dikta yang nyiapin bahan BBQ-an di meja; agak jauh dari posisi pacarnya.

“Dikta.”

Dikta refleks noleh pas dengerin suara Nada yang entah sejak kapan udah ada di sampingnya.

“Gue boleh ngomong bentar gak sama lo, Ta?” Nada lalu curi-curi pandang ke arah Dipta yang jelas mantau mereka dari kejauhan.

Saat ini Dipta lagi bantuin Tama. Alhasil, Dipta gak bareng Dikta.

“Ngomong aja, Nad.”

“Tapi gak di sini,” kata Nada. “Gue pengen ngobrol berdua.”

Dikta nautin alisnya, “Ini kan kita lagi berdua. Mau ngobrolin apa?”

“Ya tapi gak di sini, Dikta.” Nada memelas dan sedikit merengek. “Di samping kolam renang bisa? Gue beneran pengen berdua aja.”

“Gue mau ngobrolin hal yang penting buat gue,” timpal Nada.

“Nad,” Dikta natap wajah Nada lekat-lekat. “Gue punya pacar, dan pacar gue lagi ada di sini.”

“Bukan ide yang bagus kalau gue ngobrol berdua sama seseorang di tempat sepi, apalagi di depan pacar gue.” timpal Dikta. “Gue menghargai lo kalau mau cerita sama gue soal hal yang penting.”

“Tapi gue juga musti nge-jaga perasaan pacar gue, Nad. Jadi gak apa-apa ya kalo di sini aja?”

Nada tersenyum miring, “Dipta cemburuan ya orangnya, Ta?”

“Dia nggak cemburuan, tapi gue yang takut kalau aja sikap gue nyakitin perasaan dia.” katanya.

“Lo se-sayang itu ya sama dia,” Nada ngindarin tatapan Dikta.

“Dipta hebat banget bisa bikin lo suka sama dia dalam waktu yang singkat banget di semester lima.”

“Padahal ada tau seseorang yang udah berusaha selalu ada buat lo sejak semester tiga,” timpal Nada.

“Tapi kayaknya lo emang nggak pernah mau ngasih kesempatan buat orang itu ngerebut hati lo.”

Nada tersenyum miring, “Dipta lebih cakep sama asik kayaknya.”

Meski Nada tidak menyebutkan seseorang yang dia maksudkan, tapi Dikta peka dan paham itu. Nada berusaha buat ngungkapin perasaan yang udah dia pendam.

“Gue udah suka sama Dipta sejak masih maba, Nad.” tutur Dikta.

Nada refleks noleh ke Dikta.

“Sejak ketemu sama dia, hati gue udah tertutup buat siapa pun…”

“Gue gak ngasih kesempatan ke orang lain buat nge-rebut hati gue juga bukan karena Dipta itu cakep atau asik doang,” katanya.

He’s more than that,” Dikta lalu noleh ke arah pacarnya sejenak sebelum dia kembali natap Nada.

“Gue selalu menghargai usaha orang-orang yang pengen deket dan nunjukin perasannya ke gue kok,” Dikta senyum tipis. “Tapi gue gak bisa ngasih harapan ke mereka, karena di hati gue udah ada Dipta. Gue cuma mau dia.”

“Dan gue gak mau nyakitin orang lain dengan ngasih harapan,” kata Dikta. “Apalagi sama temen gue sendiri. It would be complicated.”

Nada ngulum bibirnya, ngangguk paham sebelum nunduk sesaat. Dikta pun berusaha ngehibur dia dengan nepuk pelan pundaknya, bikin Nada kembali mendongak.

“Gue... Cuma mau ngobrolin itu kok, Ta.” Nada maksain senyum.

“Kalau gitu gue ke sana duluan,” pamit Dikta. “Entar lo bawa ini.”

“Oke.”

Dikta ninggalin Nada yang masih berdiri di sebelah meja makan di halaman villa itu. Dia nyamperin Dipta di samping pemanggang sambil bawain bahan BBQ-nya.

“Ta, bantuin si Tama sama Bila nge-grill ya.” kata Dipta, “Gue mau masuk ke villa dulu bentar.”

“Mau ngapain?” tanya Dikta.

“Mandi,” Dipta cemberut. “Gue gerah gak mandi sejak sore tadi.”

Dikta dan Bila yang dengerin ucapan Dipta refleks menganga. Sedangkan Tama udah terbiasa.

“Sekarang dingin banget loh, Dip. Masa kamu gerah?” Dikta heran.

“Iya, kamu gak liat nih aku udah keringetan. Badan aku gerah, Ta.”

“Si Dipta emang suka gitu kalau nggak mandi,” Tama buka suara. “Nggak usah heran kalau dia mau mandi padahal cuacanya dingin.”

“Gue gak bakal lama,” kata Dipta sebelum dia lari-lari kecil ke villa.

Tapi gak lama setelahnya, Dipta justru dibikin kaget pas dia sadar kalo Dikta ngikutin dia. Pacarnya itu juga udah lari di sampingnya.

“Kok kamu ngikutin aku sih, Ta?”

Dipta langsung berhenti lari. Pun Dikta yang nyamain langkahnya.

“Biar aku temenin,” jawab Dikta.

Saat itu juga Dipta mematung. Matanya pun langsung melotot.

“Hah? Kamu mau nemenin aku mandi?!” Dipta hampir teriak saking kagetnya dengerin Dikta.

“Bukan gitu,” kekeh Dikta. “Aku mau nemenin kamu masuk, Dip.”

“Ke kamar mandi?!”

“Ke villaaaa,” Dikta ketawa sambil ngacak-ngacakin rambut Dipta.

“Udah, ayo.” ajak Dikta. “Ntar aku nungguin kamu di depan kamar.”

Dipta cuma nahan senyumnya sebelum ngikutin langkah kaki Dikta. Pacarnya itu nuntun dia masuk ke villa sambil ngerangkul pundaknya. Tapi baru aja mereka mau masuk ke villa, Dipta sama Dikta justru papasan sama Ravi yang abis ngambil minuman di kulkas. Saat itu juga Ravi yang gak bisa diem langsung terriak ke panitia inti di halaman villa.

“WOII! DIKTA SAMA DIPTA MAU NGAPAIN BERDUAAN DI VILLA?”

Abel menarik napasnya dalam-dalam sebelum memasuki cafe Kenanga, dimana dia dan Reza telah mengatur janji bersama untuk berjumpa. Sejenak, Abel mengedarkan pandangannya ke setiap sudut meja dalam cafe itu. Ia berusaha mencari figur Reza.

Sampai ketika seseorang lantas mengangkat tangannya tinggi-tinggi dari meja paling ujung, saat itu pula Abel mendapati si mantan kekasih duduk di sana. Reza tersenyum sumringah ke arahnya, membuat lesung pipi guru lesnya itu terpampang.

Namun, yang membuat Abel mematung sejenak adalah kala dia menyadari bahwa saat ini dirinya dan Reza mengenakan pakaian serupa. Tubuh mereka hanya dibalut dengan setelan kaos polos berwarna hitam bersama celana senada. Jika sudah seperti ini, orang-orang mungkin akan mengira bahwa mereka memakai baju couple.

“Nyungsep aja lu, Bel.” gumam Abel sebelum menghampiri Reza.

Abel berusaha tersenyum ramah sembari terus mengingat pesan Gio padanya. Abel bertekad agar tidak memikirkan apa saja yang sudah terjadi di masa lalu antara dirinya dengan si mantan; Reza.

Bel, inget. Lu udah jadi orang yang baru sekarang, batin Abel.

“Udah nunggu daritadi?” tanya Abel sebelum duduk pada kursi yang ada tepat di hadapan Reza.

“Gak kok, Bel. Baru tiga belas menit,” sahut Reza. “Btw, gue belum mesen minum buat lo. Takut selera lo udah gak sama.”

“Masih kok,” Abel tersenyum tipis lalu meraih buku menu yang ada di depannya. “Emang lo nggak?”

“Maksudnya selera minum gue?” tanya Reza sambil menatap lurus ke Abel, “Apa selera cowok gue?”

Abel melirik Reza sedetik lalu menghela napas, “Minum, Ja.”

“Oooh,” Reza terkekeh, tarikan di ujung bibirnya terkesan meledek. Dan Abel sadar akan itu. “Masih.”

“Lo gak mau mesen makan?”

“Lo duluan aja,” kata Reza masih sambil menatap lamat ke arah Abel. Reza menahan senyum.

Abel hanya mencuri pandang sejenak ke Reza lalu kembali melirik buku menu di tangannya. Abel pun mencoba menenangkan detak jantungnya yang kembali menggila setelah menatap Reza.

“Pengen mesen pasta ya?” Reza bersuara, “Lo udah bisa ngabisin satu piring pasta di sini belum?”

“Tadi gue liat punya orang-orang porsi pastanya masih sama kayak pas kita SMA dulu ya,” timpalnya.

Abel menipiskan bibirnya hingga membentuk garis lurus. Dia lalu memaksakan senyum pada Reza yang bisa menebak pesanannya.

Tapi Abel tak ingin membiarkan dirinya diledek oleh Reza, sebab benar bahwa hingga hari ini, dia belum bisa menghabiskan satu porsi pasta di cafe ini. Cafe yang juga menjadi saksi bagaimana ia dan Reza pernah mengadu kasih.

Meski Abel sangat ingin makan pasta, tapi dia harus menahan keinginannya di hadapan Reza. Belum lagi jika nanti Reza akan menyinggung tentang kenangan mereka saat masih berpacaran.

“Gue udah bisa kok,” jawab Abel lalu menyodorkan buku menu itu kepada Reza. “Tapi gue lagi gak pengen makan pasta sekarang.”

Reza pun hanya mengangguk lalu memilih menu yang dia inginkan. Abel kemudian memanggil salah seorang pelayan hingga wanita itu menghampiri meja mereka.

“Mba, saya pesen croffle satu, pake topping ice cream sama minumnya milk tea ya.” tutur Abel lalu menatap ke arah Reza.

“Lo apa, Ja?”

“Pasta carbonara satu, Mba.”

Napas Abel tertahan beberapa detik saat mendengar pesanan Reza. Pasalnya, pasta jenis itu adalah menu yang ia inginkan saat ini. Sialan si Eja, batinnya.

Selepas si pelayan wanita tadi pergi guna memberi tahu sang koki tentang pesanannya juga Reza, kini Abel mau tidak mau kembali memusatkan atensinya ke Reza. Meski canggung, tapi dia berusaha untuk bersuara.

“Lo sejak kapan balik ke Indo?”

“Baru tiga bulan yang lalu,” sahut Reza. “Soalnya lamaran gue buat masuk tim tutor les di kantor lo di-proses, terus gue keterima.”

Abel mengangguk, “Bukannya kerjaan lo di sana bagus ya, Ja? Kok balik ke sini jadi guru les?”

“Siapa yang ngasih tau lo kalau kerjaan gue di Korea bagus, Bel?”

Berdeham pelan, Abel kemudian menghindari tatapan Reza sesaat sebelum berkata. “Kemaren pas reuni, temen-temen gibahin lo.”

“Katanya lo jarang balik sejak kerja di sana,” sambung Abel. “Gaji lo juga udah gede banget.”

“Nah itu. Kalau gue jarang balik ke Indo, berarti gak bagus dong.”

“Gue jadi jarang ketemu orang tua, temen-temen, mantan…”

“Kok dibilang bagus?” kekehnya. “Urusan gaji, sama aja perasaan.”

Abel memutar bola mata, sedang Reza lantas tertawa melihatnya. Setelahnya, ia kembali bersuara.

“Papa Mama gue udah pengen gue nikah,” jelas Reza. “Karena calon gue ada di Indo, jadi gue mutusin pulang. Kalau diambil sama orang ’kan bisa berabe.”

Entah kenapa jawaban Reza membuat Abel merasa kesal.

Padahal dia udah pengen nikah ternyata, tapi masih aja ngalusin gue tadi. Sialan si Eja, batin Abel.

“Oh,” gumam Abel. “Kenapa lo gak ngajakin calon lo ke sini?”

“Nih, udah diajak.” balas Reza. “Udah gue ajak ke rumah juga, tapi malah pengen di cafe aja.”

“Gue gak becanda, Eja.”

“Gue juga gak becanda, Abel.”

Abel mendengus, “Pede banget lo. Emang lo gak mikir apa, kalo aja gue udah punya pacar lagi?”

“Kalau jodoh gak bakal ke mana, Bel. Liat aja sekarang, kita bisa ketemu lagi karena apa? Takdir.”

“Dan jodoh itu takdir,” katanya.

“Dih,” gumam Abel, sementara Reza kembali tertawa dibuatnya.

“Gue udah telat ya, Bel?”

Pertanyaan tiba-tiba Reza lantas memicu kerutan di kening Abel.

“Telat gimana maksud lo?”

“Telat buat ngerebut hati lo lagi.”

Jemari Abel yang ada di bawah meja mendadak dingin. Dia pun meremas tangannya kuat-kuat lalu mengumpulkan keberanian untuk merespon tanya dari Reza.

“Kita ketemu di sini buat bahas jadwal les gue, in case lo lupa.”

“Gue gak lupa,” kata Reza. “Tapi gue pengen berterus terang dulu kalau sekarang gue lagi berusaha buat nge-rebut hati lo lagi, Bel.”

“Jadi gue mau mastiin dari awal, kalo emang gue udah terlambat atau lo gak pengen gue nerusin usaha gue, gue bakalan berhenti.”

“Gue bakalan jadi guru les yang professional buat lo tanpa nge-bahas urusan pribadi,” katanya.

Abel berdeham. Seharusnya dia gak kaget dengan tingkah Reza yang straight to the point; tanpa basa-basi saat ia menginginkan sesuatu. Tapi kenapa sekarang Abel gugup? Dia kehabisan kata.

“Bel?”

Menarik napasnya, Abel lantas memberanikan dirinya menatap lurus ke dalam bola mata Reza.

“Ja, ngulang hubungan dengan orang yang sama tuh ibarat elo baca buku. Lo udah tau isi sama akhirnya bakalan kayak gimana.”

“Jadi buat apa?” timpal Abel.

Reza menipiskan bibir sejenak.

“Lo gak bisa nyamain manusia sama buku, Bel.” katanya, “Buku itu bentuknya statis, sedangkan manusia dinamis. Buku gak bisa berpikir, gak punya perasaan…”

“Tapi manusia?” timpalnya, “Kita manusia punya otak buat mikir dan punya hati yang nyimpan perasaan. Dengan otak dan hati, manusia bisa bertumbuh untuk jadi pribadi yang lebih baik lagi.”

Abel lantas terdiam. Dia seketika mengingat ucapan Gio padanya.

“Gitu juga yang udah gue lakuin beberapa tahun terakhir ini, Bel.” sambung Reza, “Gue upgrade diri gue, gue belajar buat mengoreksi setiap kesalahan-kesalahan gue.”

“Karena gue mau memantaskan diri buat lo,” katanya. “Gue gak mau bikin lo kecewa atau marah lagi sama gue kayak yang dulu.”

“Sekarang gue pulang buat lo…”

Reza menatap lamat wajah Abel.

“Gue mau nunjukin diri gue yang sekarang buat nge-rebut hati lo.” tuturnya, “Jadi apa jawaban lo?”

Abel merasa tengah di kurung untuk memberikan jawabannya. Beruntung si pelayan wanita tadi segera datang, membawa menu pesanannya dan Jeva. Alhasil, ia memiliki alasan untuk bungkam.

“Gue boleh makan dulu gak?”

Reza tersenyum lembut sambil geleng-geleng kepala. Terlebih saat Abel dengan begitu sigap menenggak minumannya lalu memotong croffle di atas meja.

Namun, sebelum Abel melahap croffle-nya, Reza menyodorkan pasta yang ia pesan di hadapan sang mantan. Abel yang melihat hal itu pun mengernyit heran.

“Makan aja dulu,” titah Reza.

“Kalau lo udah gak bisa ngabisin, baru gue yang makan.” katanya.

Abel mendorong pelan piring pasta itu kembali ke hadapan Reza. “Gue gak mau pasta, Ja.”

“Gue bisa ngeliat iler lo udah mau netes dari sini, Bel.” ledek Reza yang membuat bibir Abel mencebik kesal. Tapi setelahnya, dia buru-buru mengusap sudut bibirnya. Takut jika air liurnya memang sudah menetes di sana.

Terkekeh pelan, Reza kemudian mengubah posisi duduknya yang semula menghadap ke Abel kini menjadi menyamping. Abel yang menyadari itu pun kian heran.

“Makan pastanya buruan,” titah Reza lagi. “Gue gak bakal liat.”

Menggigit pelan bibir bawahnya sejenak, Abel pun menemukan sebuah ide. Dia memindahkan sebagian pasta ke piringnya—di samping croffle-nya—sebelum menyodorkan piring pasta Reza kembali ke hadapan lelaki itu.

“Gue ambil dikit,” kata Abel. “Lo juga makan nih buruan. Alesan doang lo pengen makan sisa gue. Bilang aja lo pengen lama-lama sama gue di sini. Ngaku deh lo.”

Reza menoleh lalu mengangguk.

“Gue mesen ini buat lo,” katanya lalu tersenyum sejenak, “Tapi Lo gak salah kok, kalau gue emang pengen lama-lama sama lo, Bel.”

“Diem!”

Abel mengacungkan garpu pada Reza, seperti seorang petarung yang siap menyerang lawan. Tapi hal itu justru membuat si mantan pacar tertawa gemas karenanya.


Selepas makan bersama sambil mencocokkan jadwal les mereka, kini Reza dan Abel sama-sama berjalan menuju halaman parkir cafe. Kedua anak manusia itu melangkah beriringan tanpa ada sepatah kata yang keluar dari celah ranum mereka. Hanya ada sedikit gesekan antara tangan Reza dan Abel di bawah sana, yang membuat mereka sesekali saling melirik sebelum kembali membuang pandangan ke jalan.

Abel pun diam-diam berharap kalau Reza sudah lupa dengan pertanyaannya saat di cafe tadi. Tapi Dewi Fortuna tak berpihak kepadanya, sebab baru saja dia memikirkan hal itu, Reza sudah lebih dahulu berdiri di hadapan Abel lalu menagih jawabannya.

“Jadi jawaban lo apa, Bel?”

Abel menelan ludah. Ia gugup.

“Lo pengen gue nerusin usaha gue buat nge-rebut hati lo lagi, atau lo pengen gue berhenti?”

“Gue gak tau,” jujur Abel. “Sejak lo pergi, gue bener-bener nikmatin kesendirian gue di sini, Ja. Walau emang kadang, gue kangen sama lo. Gue kangen ngobrol sama lo. Kangen apa-apa bareng lo mulu.”

“Tapi kalau gue inget-inget lagi waktu kita saling nyakitin dulu, entah itu dengan berantem atau saling salah-salahan, gue sering takut buat ngerasain hal yang sama lagi. Gue takut buka hati.”

“Gue tau… Udah banyak yang berubah dari lo, gitu juga gue.” sambung Abel, “Kita udah bisa berpikir lebih dewasa sekarang.”

“Cuman tetep aja, rasanya masih agak asing buat gue yang udah lama nutup hati buat orang lain.”

Abel menghela napas, “Pelan-pelan aja dulu ya? Biarin gue terbiasa dulu ada di sekitar lo.”

“Lo gak terlambat kok, Ja. Gak sama sekali,” katanya. “Tapi kita yang terlambat buat mulai lagi, jadi kita butuh waktu buat bisa nge-lanjutin ini lebih jauh lagi.”

Reza mengangguk paham. “It means I can stay by your side, sambil bikin elo terbiasa buat nerima kehadiran gue lagi ’kan?”

“Mm,” gumam Abel. “Ajarin gue bahasa Korea yang bener aja dah dulu, abis itu baru mikirin calon.”

“Okee,” kekeh Reza. “Mama sama Papa gue bakalan ngerti kok, Bel.”

Abel menggeleng pelan sambil menahan senyum di bibirnya.

“Kalau gitu gue balik dulu ya,” pamit Abel, “See you, besok.”

“Bel.”

Abel baru hendak berbalik guna menghampiri mobilnya, namun suara Reza tiba-tiba menggema. Membuatnya kembali menoleh.

“Apa?”

“Gue boleh meluk lo bentar gak?” pinta Reza, “Lima menit aja, Bel.”

Abel tak dapat menyembunyikan keterkejutan di wajahnya. Alhasil, Reza yang berpikir jika si mantan kekasih merasa tak nyaman akan pertanyaannya itu pun mendesis.

“Maaf,” Reza menepuk pundak Abel. “Gue bercanda doang tadi.”

“Lo hati-hati di jalan ya,” katanya.

Abel mengangguk, “Oke.”

Saat Abel akhirnya benar-benar telah berbalik dan berjalan pelan menjauhinya, Reza lalu menghela napas panjang. Dia sangat rindu dengan Abel. Dia ingin memeluk Abel erat-erat. Namun, Reza pun harus menghargai Abel yang tadi mengaku belum terbiasa berada di sekitarnya lagi. Calm down, Ja.

Reza berusaha menenangkan dirinya lalu ikut melangkah ke arah mobilnya. Ia memarkirkan kendaraan itu berlawanan arah dengan mobil Abel di sisi timur.

“Eja!”

Baru beberapa langkah, Reza pun berbalik kala mendengar Abel berteriak dari belakang sana. Saat itu pula Reza tersenyum tipis, sebab kini Abel tengah merentangkan kedua tangan.

Paham akan hal itu, Reza lalu berlari ke arah Abel sebelum berakhir memeluknya erat-erat. Begitu pun Abel yang tanpa ragu membalas pelukan hangat Reza.

Detak jantung mereka pun masih sama. Masih berdetak kencang seirama. Baik itu Abel maupun Reza juga masih bisa mengingat sensasi yang sama, membuat keduanya refleks memejamkan mata dengan senyum di bibir.

“Gue kangen banget sama lo, Bel.” bisik Reza kepada Abel.

Abel mengangguk, “Gue juga, Ja.”

“Jul, gue duluan ya.”

Julian yang baru saja keluar dari kamar mandi seketika melongo. Pasalnya, Biru sudah sangat rapi dan kini bersiap meninggalkan kamar kos menuju rumah sakit.

“Sepagi ini?”

Julian jelas heran. Sebab, mereka biasanya akan berangkat ke RS jam enam pagi. Tentunya untuk melakukan follow up pasien lebih dulu sebelum kembali melakukan visite bersama konsulen mereka.

Aktivitas di stase Kardiologi pun baru dimulai pada jam tujuh pagi, namun Biru justru sudah ingin berangkat ke RS tiga puluh menit sebelum jam enam pagi. Padahal, jarak dari kos-an ke rumah sakit sendiri hanya memakan waktu perjalanan sepuluh sampai lima belas menit dengan jalan kaki.

“Gue pengen follow up lebih awal,” sahut Biru yang telah selesai memasang sepatunya.

“Biar ntar gue bisa belajar dikit buat presentasi kasus sebelum konsulen datang,” jelas Biru lalu tersenyum tipis kepada Julian.

“Ya udah, hati-hati lo.”

Biru mengangguk kecil sebelum melenggang pergi dari kamar. Tapi sesaat setelah membuka lalu menutup pintu kamar dari luar, Biru dibuat kaget ketika mendapati Jeva berdiri di depan kamarnya. Nampak kalau Jeva juga salah tingkah kala melihat Biru menatap lurus ke arahnya.

“Gue gak nungguin lo kok,” Jeva berdeham lalu menunjuk ke arah jalan menuju tangga, “Gue baru mau jalan tadi, terus lo tiba-tiba keluar dari kamar. Papasan deh.”

Jeva kemudian menelan ludah saat melihat Biru masih tetap diam sambil memandanginya. Dia bisa menebak kalau Biru mungkin tidak percaya dengan ucapannya barusan. Jeva pun harus mengakui kalau dirinya sendiri juga tidak akan percaya apabila ia berada di posisi Biru.

Pertama, jelas-jelas bahwa Biru mendapatinya asik mematung di depan pintunya tadi. Kedua, Biru sangat tau kalau dia bukan tipikal orang yang akan bangun se-pagi ini tanpa alasan yang penting.

Dan Jeva tidak punya alasan itu.

Ketiga, apa-apaan pula dengan respon awalnya tadi? Pikir Jeva. Secara tidak langsung, dia malah memberitahu Biru kalau dirinya memang menunggu lelaki itu. Ia terlalu panik dan tak menyiapkan jawaban terbaiknya sebelum Biru tiba-tiba keluar dari kamarnya.

“Lo kalau masih pengen sendiri, duluan aja.” Jeva bersuara, namun Biru masih tetap saja bungkam.

Perasaan Jeva jadi tidak enak. Tapi dia berusaha cengar-cengir.

“Atau gak, gue aja yang duluan.”

Jeva kemudian berbalik sebelum berjalan pelan meninggalkan Biru yang masih berdiri di posisinya. Sesekali Jeva mendesis sembari merutuki kebodohannya tadi.

Sampai saat Jeva sudah berada di depan tangga menuju lantai satu kos-an, dia seketika dibuat kaget. Pasalnya, satu lengan Jeva tiba-tiba dijegal dari belakang. Jeva pun berbalik, dia lantas semakin terkejut saat mendapati bahwa orang yang kini sedang menahan lengannya tidak lain adalah Biru.

Jeva bahkan tidak sadar kalau Biru mengikutinya dari tadi.

Dan belum sempat ia bersuara, Jeva sudah lebih dulu kehabisan kata. Pasalnya, kini Biru justru memeluk tubuhnya, amat erat.

Sejenak, Jeva tidak membalas pelukan itu. Dia masih terkejut. Namun saat Biru menyandarkan kepala di pundaknya, dia dengan sigap melingkarkan satu lengan di pinggang Biru. Sementara itu, tangannya yang lain mengusap lembut belakang kepala Biru.

“Kenapa lo selalu batu sih kalau gue bilangin?” gumam Biru lirih.

Jeva tidak menjawab. Dia lantas memberi Biru kesempatan untuk mengutarakan isi dari kepalanya.

“Gak mudah buat jalan bareng orang yang masih punya sakit karena trauma, Jev...” katanya.

“Apalagi lo sama gue udah sama-sama tau soal perasaan kita,” kata Biru. “Gue gak pengen lo sampai berharap kalau kita bakalan bisa ngejalanin hubungan setelah ini.”

“Enggak mudah buat ngejalanin hubungan sama orang kek gue.” timpalnya, “Udah cukup kemaren gue nyusahin lo, dan bikin lo tuh harus ngadepin efek trauma gue.”

Biru menarik napasnya dalam-dalam sejenak sebelum kembali bersuara. Masih memeluk Jeva.

“Nyembuhin sakit karena trauma itu butuh waktu, Jev.” tutur Biru, “Sakit karena trauma nggak bakal bisa sembuh cuma dengan cara memaafkan sesuatu yang udah bikin seseorang sampai depresi.”

“Karena luka dari trauma itu gak cuma ninggalin perasaan sakit, tapi juga bikin tubuh bereaksi terhadap kejadian di masa lalu.”

“Lo udah tau itu kan?” tanyanya, “Kita pernah dikasih tau soal ini sama Ayahnya Kak Maudy di RSJ.”

Jeva tidak bersuara, namun dia mengangguk sebagai responnya.

In my case, meskipun gue udah maafin kesalahan Papa kandung gue, tapi ketika gue dihadapkan sama kejadian yang sama, respon tubuh gue bakalan tetap sama…”

“Kayak kemarin, pas gue tau kalo lo sama Dara nge-bohongin gue,” lanjutnya. “Gue pengen lari dari semua orang, gue takut dan sulit nerima kalau gue dibohongin lagi kayak yang pernah Papa lakuin…”

“Gue bahkan bikin lo sama Dara minta maaf, padahal gue yang ngerasa bersalah, Jev.” katanya.

“Gue ngerasa bersalah karena tubuh sama pikiran gue masih ngasih respon yang sama kayak waktu Papa bohongin gue dulu.”

“Gue belum sembuh. Gue belum lepas dari trauma itu,” lirih Biru.

That’s why I told you to stop and let me heal myself first. Lo nggak perlu jagain gue lagi,” timpal Biru.

“Karena gue gak pengen lo jadi korban dari respon trauma gue untuk kesekian kalinya kalau lo tetep selalu ada di samping gue.”

“Di sisi lain, gue nggak tau kapan sakit gue bisa sembuh... Jadi gue enggak mau lo nunggu, apalagi berharap sama orang kek gue.”

Biru lalu memejamkan kedua matanya sambil menahan rasa sakit di kerongkongan karena usahanya untuk menahan tangis.

“Gue pengen ngejalin hubungan sama lo pas gue udah sembuh, dan pas gue udah ngerasa kalau diri gue udah utuh.” kata Biru.

“Tapi gue sendiri gak yakin, gue bisa sembuh apa gak.” lanjutnya.

Mengulum bibirnya sejenak, Biru pun kembali berucap. “Maaf ya.”

“Maaf untuk semua yang udah lo lewatin selama nge-jagain gue.” katanya, “Gue janji bakalan terus berusaha buat sembuh, but don’t wait for me. Waktu lo tuh terlalu berharga untuk lo buang-buang cuma buat orang kayak gue, Jev.”

Merasa jika Biru telah selesai mengungkapkan apa yang dia pikirkan, Jeva lantas mendorong pelan tubuh teman Koasnya itu. Jeva beralih membingkai wajah rupawan Biru, dimana dia bisa melihat netra kelam favorite-nya memerah bahkan berkaca-kaca.

“Bi…”

Jeva memberi usapan lembut di pipi Biru dengan ibu jarinya.

“Kalau lo berpikir, jalan atau nge-jalin hubungan sama orang kek lo itu gak mudah, seharusnya lo gak nyuruh gue berhenti sekarang.”

“Tolong lihat gimana usaha gue sejak awal buat bisa jadi temen lo dan selalu ada buat lo sampe hari ini,” kata Jeva. “Mungkin menurut lo gak mudah, tapi buktinya gue masih ada di sini kan? Gue gak pergi. Gak ninggalin lo. It means I can take it, Bi. Gue bisa jagain lo dan nerima apa pun kondisi lo.”

“Gue juga gak pernah ngerasa dibuat susah sama lo, termasuk yang kemarin. Karena gue tuh paham sama trauma lo ini, Bi.”

Jeva menipiskan bibirnya saat Biru tiba-tiba membuang muka guna menyembunyikan air mata yang telah menetes. Namun, Jeva kembali menuntun wajah teman Koasnya itu agar mata mereka kembali berjumpa. Saat itu pula Jeva menyeka pipi sembab Biru.

“Gue bisa ngerti kalau lo gak mau ngejalin hubungan sama siapa-siapa sebelum lo sembuh,” kata Jeva. “Gue tau kok gimana cara lo berpikir. Lo gak pengen nyusahin siapa-siapa, lo gak pengen orang lain sakit atau tersiksa karena lo. Lo mikirin semua ini dari A ke Z.”

But let me remind you one thing, Bi...” Jeva menghela napas pelan. “Setiap manusia punya lukanya masing-masing, termasuk gue.”

“Lo tau gimana hubungan gue sama orang tua gue dulu,” kata Jeva. “Dan gue ngerasa kalau gue juga belum sepenuhnya sembuh.”

“Tapi ada seseorang yang selalu bikin gue feel safe, feel worthy, feel loved dan selalu bikin gue belajar buat bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Itu lo, Bi.”

“Lo bikin rasa sakit gue itu kalah dari apa yang gue rasain kalau lagi ada di samping lo,” jelas Jeva. “So I want you to feel the same.”

“Lo udah jadi safe place buat gue, jadi gue pengen lo nganggap gue sebagai safe place buat lo juga...”

And that’s all that I need,” tutur Jeva. “Gue pengen selalu ada di samping lo bukan buat menuntut kesempurnaan, karena gue pun gak sempurna dan belum utuh.”

“Gue pengen kita saling mengisi kekurangan satu sama lain, Bi. I want to grow together with you, sampai nanti, kita bisa jadi utuh.”

Jeva mengusap puncak kepala Biru dengan satu tangannya.

“Gue pas tau kalau lo suka sama gue aja udah bersyukur banget, Bi. Karena sebelumnya, gue gak berani berharap apa-apa ke lo.”

“Jadi lo gak usah khawatir soal gimana gue bisa nunggu sampai lo mau ngejalin hubungan yang lebih dari teman sama gue ya?”

Jeva tersenyum meyakinkan.

I can wait till forever,” katanya. “Karena cuma lo yang gue mau buat nemenin gue sampai mati.”

“Waktu gue terlalu berharga buat nyari yang sempurna, sementara udah ada lo yang selalu bisa bikin gue bahagia; apapun kondisinya.”

Jeva kemudian berdeham pelan.

“Lagian… Orang-orang sebelum pacaran juga musti PDKT kan?” tanya Jeva sebelum menghindari tatapan Biru dengan senyum yang tertahan di sudut bibirnya.

“Anggap aja sekarang kita lagi PDKT,” katanya lalu kembali memandangi Biru. “Gimana?”

Biru tidak mengatakan apa-apa dan hanya memeluk Jeva sambil menahan senyum setelahnya. Keduanya pun saling berbagi kehangatan hingga tak sadar jika ada orang-orang yang tengah asik menyaksikan aksi mereka.

“Ehm! Udah mau jam enam nih.”

Baik itu Biru maupun Jeva lantas tersentak saat mendengar suara Rayhan. Alhasil, mereka buru-buru melepaskan dekapannya lalu menoleh ke sumber suara.

Nyatanya tidak hanya Rayhan. Namun, Julian juga Salsa yang datang dari lantai tiga juga telah bergabung dan memandangi Jeva juga Biru dengan raut meledek.

“Udah baikan nih ceritanya?”

Julian bertanya sebelum melipat lengan sambil tersenyum tipis.

“Emang yang marahan siapa?” balas Jeva lalu merangkul pundak Biru, “Ayo, Bi. Kita duluan aja.”

Biru bisa mendengar bagaimana ketiga teman kelompoknya itu berseru meledek di belakang sana. Namun dia hanya menuruti Jeva yang kini telah menyeretnya untuk menuruni tangga kos-an.

Elian memeriksa pesannya pada Arvin beberapa kali, tapi belum juga ada balasan. Pun saat dia menelpon, pacarnya itu sama sekali tidak menjawabnya. Elian gelisah, perasannya tidak enak.

Sampai tidak lama berselang, suara ketukan di pintu kamar Elian lantas menggema. Buru-buru Elian bangkit dari tempat tidurnya lalu membuka pintu.

Saat itu pula detak jantung Elian seakan berhenti beberapa detik.

Pasalnya, ia mendapati Arvin kini berdiri tepat di hadapannya. Satu tangan pacarnya itu menenteng kresek yang menguarkan aroma mie ayam, sementara tangannya yang lain justru dibalut perban; tepatnya pada bagian siku Arvin.

“Ar, itu tangan kamu kenapa?”

Arvin mendesis pelan, “Tadi aku keserempet mobil di jalan, Lian.”

Mata doe Elian kian membesar, sementara mulutnya setengah terbuka. Firasatnya tidak salah. Alasan mengapa Elian merasa gelisah bahkan resah sedari tadi nyatanya karena sesuatu yang buruk telah terjadi kepada Arvin.

“Terus kenapa kamu gak ngechat aku, Ar?” Nada khawatir di suara Elian bercampur dengan kesal.

“Kan aku bisa nyusulin kamu ke sana,” katanya, “Jadi siapa yang nganterin kamu pulang ke kos?”

“Aku nggak mau kamu khawatir kalau tau aku abis kecelakaan.” jawab Arvin, “Lagian lukanya gak parah kok. Tadi aku dibantuin ke RS sama orang-orang di sana.”

“Aku juga dianterin pulang sama mereka,” jelas si pemilik lesung pipi, namun Elian mendengus.

“Terus kamu pikir aku bakalan baik-baik aja kalau ngeliat kamu pulang dalam keadaan kek gini?”

“Emang kenapa sih kalau aku khawatir? Aku pacar kamu, Ar.”

“Aku pasti khawatir kalau kamu kenapa-kenapa,” timpal Elian.

“Aku teh pengen selalu ada buat kamu, mau itu kamu lagi dalam keadaan susah atau senang.” kata Elian, “Atau aku nyusahin kamu ya kalau lagi khawatir? Apa aku ngeselin? Bilang weh sama aku.”

“Biar besok-besok aku enggak ngulangin lagi kalau emang cara aku nge-khawatirin kamu salah.”

Suara Elian memang masih amat lembut di telinga Arvin, dia sama sekali tak meninggikan intonasi suaranya. Elian nampak tenang. Namun, Arvin bisa membaca raut kecewa dari sorot mata Elian.

“Bukan gitu, Lian. Tapi aku teh paham, kamu kalau khawatir pasti bakalan datengin aku…”

“Padahal aku kan pengen kamu istirahat aja,” jelas Arvin, “Apalagi kamu juga kesusahan buat jalan gara-gara yang semalam, aku tau kamu bakalan maksain diri kamu buat nyusulin aku kalo kamu tau.”

“Belum lagi kamu teh masih suka buta arah,” Arvin tersenyum tipis.

“Aku gak mau kalau sampai kamu nyasar lagi. Kalo di jalan ada yang jahatin kamu gimana? Aku takut.”

Elian lantas membuang muka.

“Ya kan kamu bisa jelasin gini ke aku tadi, tapi kamu malah nggak balesin chat aku.” sela Elian lirih.

“Aku minta maaf, Lian. Pas kamu nge-chat, luka aku baru dijahit.”

“Kamu udah dua kali kayak gini,” cebik Elian. “Kamu pas digebukin sama orang dulu juga gak bilang.”

Arvin menipiskan bibirnya sesaat sebelum mencondongkan badan hingga ia mencium pipi kiri Elian.

“Aku minta maaf ya,” ulang Arvin.

“Aku gak bakalan ngulangin lagi kalau kamu nggak suka,” katanya.

“Aku cuma khawatir kalau kamu juga kenapa-kenapa di jalan. Aku juga nggak mau kamu kepikiran mulu sambil nunggu aku pulang.”

“Tapi aku juga gak mau bohongin kamu, jadi aku nggak bales chat kamu pas ini udah selesai dijahit.”

Elian tidak mengatakan apa-apa sebelum berbalik dan masuk ke kamarnya. Sementara Arvin yang masih berdiri di ambang pintu seketika bergegas mengikutinya.

“Ini aku udah beliin mie ayam,” bujuk Arvin yang paham bahwa saat ini Elian sedang merajuk.

Melihat Elian justru berbaring di atas tempat tidur dengan posisi membelakanginya, Arvin lantas menghela napas pelan. Dia lalu meletakkan mie ayam di atas meja kecil yang tidak jauh dari ranjang Elian sebelum duduk melantai di sisi tempat tidur itu.

“Lian, kamu marah?” tanya Arvin.

“Enggak,” jawab Elian.

“Tapi aku mau diemin kamu dulu lima belas menit,” sambungnya.

Arvin tersenyum tipis, sedang satu tangannya yang tidak sakit perlahan mengelus rambut Elian.

“Aku jadi inget Ami kalau lagi bikin adonan kue,” kata Arvin.

“Musti didiemin lima belas menit juga, biar ngembang,” candanya.

“Emang aku kayak kue ya, Lian?”

Elian menoleh ke Arvin dengan tampang datarnya, “Gak lucu.”

“Aku gak ngelucu,” balas Arvin.

“Aku beneran nanya, soalnya kan yang didiemin lima belas menit itu biasanya cuma adonan kue.”

“Aku kayak adonan kue ya, Lian?”

Senyum Elian tertahan di ujung bibirnya, “Kamu roti, bukan kue.”

“Aku diemin kamu, biar kita satu sama.” timpalnya, “Tadi kan kamu diemin chat aku pas di RS. Lebih dari lima belas menit malahan.”

“Sekarang giliran kamu,” jelas Elian lalu kembali berbaring menyamping, membelakangi Arvin yang duduk melantai.

Arvin pun hanya tersenyum tipis lalu meraih gawai di sakunya. Ia lalu menyalakan timer yang kini telah menghitung mundur waktu lima belas menit. Setelahnya, ia meletakkan gawai di sisi Elian.

Sementara itu, Elian diam-diam tersenyum tipis saat merasakan telunjuk Arvin bermain-main di punggungnya. Mulanya, Arvin hanya membentuk pola abstrak.

Namun, setelahnya, Elian dapat merasakan bagaimana si pacar menulis huruf ‘I’ diikuti gambar simbol hati, dan diakhiri dengan huruf ‘U’ yang jika digabungkan akan membentuk kata “I love u.”

Tak hanya berhenti di situ, Arvin lantas kembali menulis kalimat lain. Elian bisa membaca bahwa pacarnya itu baru saja menulis, “Aku minta maaf,” dengan jarinya.

Tidak tahan dengan tingkah lucu Arvin, Elian lantas berbalik. Kini ia berbaring menyamping dalam posisi wajah yang berhadapan dengan Arvin. Elian tersenyum.

“Kamu—”

Baru saja Elian hendak bicara, tapi Arvin sudah lebih dahulu memotongnya. Pacarnya itu meletakkan jari telunjuk tepat di atas bibir Elian, yang membuat dia tak melanjutkan ucapannya.

“Belum cukup lima belas menit,” tutur Arvin, “Biarin aku ngomong sendiri. Ini hukuman aku karena nge-diemin chat kamu dari tadi.”

Elian mengulum senyumnya, sementara jemari Arvin beralih membelai lembut pipi pacarnya.

“Pas di jalan pulang tadi, aku teh kepikiran mau beli mawar buat kamu. Apalagi, akhir-akhir ini aku ngeliat kamu suka senyum bahagia gitu kalau lagi bantuin si Ami nyiram bunganya di rumah.”

“Sekalian buat ngasih surprise romantis di anniversary kita.”

Arvin tersenyum, “Jadi aku pergi ke toko bunga dulu, beliin mawar buat kamu. Pas di jalan pulang ke Cipaganti, eh aku kecelakaan…”

Wajah Arvin mendadak murung.

“Bunga yang udah aku beli buat kamu hancur di jalan,” lirihnya.

“Aku udah ngasih kamu surprise, bukan bunga, tapi jahitan di siku.” cebik Arvin, “Gak jadi romantis.”

Elian terkekeh pelan sebelum menarik tengkuk Arvin dengan satu tangannya. Alhasil, jarak wajah Arvin dan Elian kini hanya terpaut beberapa centimeter.

Sampai saat Elian sudah bisa merasakan deru napas hangat Arvin, dia lantas memejamkan mata. Arvin yang telah paham dengan alur ciptaan Elian pun seketika membuka mulutnya.

Arvin menangkap lalu melumat celah ranum Elian amat lembut. Pun Elian yang membalas setiap pergerakannya dengan telaten.

Keduanya sama-sama larut ke dalam pagutan mesra itu. Baik Elian maupun Arvin bahkan tak ragu lagi untuk bermain lidah.

Meski tak ada kata yang terucap, namun mereka telah memahami satu sama lain. Pun di perjalanan kisah asmara mereka yang masih terkadang menimbulkan sebuah perbedaan argumen, tapi Elian dan Arvin mampu mengatasinya.

Terlalu larut dalam ciuman itu, Arvin dan Elian akhirnya dibuat sadar oleh suara notifikasi timer. Keduanya kemudian mengakhiri pagutan itu dengan satu kecupan lembut sebelum berbagi senyum.

“Udah lima belas menit, Lian.”

Elian mengangguk, “Tapi lain kali langsung kabarin aku kalau kamu ada apa-apa di jalan ya? Tolong.”

“Iya, Lian.” sahut Arvin. “Tapi kamu juga harus bisa mikirin diri kamu sendiri ya? Karena aku gak mau kamu ikut kenapa-kenapa.”

Elian tersenyum, “Iya, Sayang.”

“Mie ayam kita udah dingin,” kata Arvin, “Kita makan sekarang ya?”

“Mm,” gumam Elian lalu bangkit dari posisinya. “Biar aku pindahin ke mangkuk dulu ya di dapur, Ar.”

Arvin menyetujui dan hanya membiarkan Elian membawa kresek berisi mie ayam tadi ke dapur. Tak lama setelahnya, Elian lantas kembali ke kamar dengan membawa nampan berisi dua mangkok mie ayam favorite-nya.

Elian kemudian meletakkannya di atas meja kecil yang ada dalam kamarnya. Elian dan Arvin pun duduk lesehan di depan meja itu dengan posisi saling bersisian.

Melihat Arvin hendak meraih sendok dengan tangan kirinya—sebab tangan kanannya terluka—pun membuat Elian dengan sigap menahan pergerakan pacarnya.

“Biar aku yang nyuapin kamu.”

“Aku bisa makan pakai tangan kiri kok, Lian.” Arvin tersenyum. “Kamu makan aja, kamu udah nunggu mie ayam dari tadi kan?”

Elian menghela napas, “Selama tangan kanan kamu masih sakit, biar tangan aku yang ngegantiin.”

“Apa gak mau disuapin aku?”

“Mau,” jawab Arvin malu-malu.

Arvin lalu mengulum senyumnya sambil memerhatikan Elian yang kini telah menyendok mie ayam dengan bantuan garpu. Elian lalu menyodorkan makanan itu tepat di depan mulut Arvin. Alhasil, si pemilik lesung pipi pun melahap mie ayam itu. Elian tersenyum.

“Kamu juga makan, Lian.”

Elian mengangguk paham lalu melahap mie ayamnya sendiri. Arvin yang melihat sang pacar begitu menikmati makanannya pun terkekeh sebelum bersuara.

“Enak?”

Elian melirik Arvin.

“Mie ayamnya?” ia bertanya balik sebelum membuang pandangan pada meja, “Apa yang semalem?”

“Mie ayamnya, Lian.” kata Arvin.

“Oh…” Elian menahan senyum dengan pipinya yang memanas.

“Enak kok,” katanya, “Mie ayam ini mana pernah enggak enak.”

“Kalau yang semalem?”

Pertanyaan Arvin membuat Elian kembali menoleh pada pacarnya.

“Enak juga,” sahut Elian sebelum menghindari tatapan pacarnya.

“Gak pernah gak enak,” cicitnya lalu mendesis, “Udah, aku malu.”

“Tadi kamu yang mulai ih,” kekeh Arvin lalu mencubit pipi Elian.

“Soalnya semalem aku kayaknya lupa muji kamu gara-gara udah ketiduran duluan,” kata Elian.

That was great,” timpalnya. “Kamu makin jago sekarang.”

“Ai kamu,” Arvin menunduk lalu terkekeh, “Aku juga malu, Lian.”

“Ya udah, lanjut weh makan mie ayamnya. Buka mulut kamu, Ar.”

Arvin tersenyum lembut lalu mengindahkan titah Elian yang kemudian kembali menyuapinya.

Jeva menghela napas berat saat pesannya tidak kunjung dibaca oleh Biru. Pun panggilan telepon yang juga sedari tadi tak pernah mendapat jawaban. Jeva semakin resah, membuatnya buru-buru meraih kunci mobilnya untuk segera mencari Biru. Meski Jeva sendiri pun tidak tau harus mulai mencari temannya itu dari mana.

Sejak mendapat kabar dari Dara jika Biru pergi dari rumah setelah mengetahui kebohongan mereka selama ini, Jeva lantas tidak bisa tenang. Jeva pun berharap kalau Biru benar-benar ingin pulang ke kos-an; seperti yang telah Dara beritahu padanya melalui chat.

Namun, Jeva tak bisa menunggu lagi. Dia khawatir jika sesuatu yang buruk terjadi pada Biru.

Alhasil, Jeva lalu bergegas untuk keluar dari kamar kos-nya. Tapi sebelum Jeva sampai di depan pintu, suara ketukan sudah lebih dahulu menggema. Dengan sigap Jeva membukanya hingga kedua netranya menangkap keberadaan Biru yang berdiri di hadapannya.

Di satu sisi, Jeva bersyukur sebab Biru telah berada tepat di depan matanya. Tapi di sisi lain, dia pun gugup kala melihat keadaan Biru.

“Bi…”

Sejenak, Jeva memerhatikan Biru yang kini hanya memandanginya dengan sorot mata hampa. Bola mata Biru memerah dan sembab.

“Lo udah tau semuanya kan?”

Suara lirih Biru membuat nafas Jeva mendadak berat. Dia sudah bisa menebak akan ke mana arus pembicaraan Biru setelah ini.

“Lo udah tau soal Papa kandung gue yang tega nge-bohongin istri bahkan anak-anaknya tentang seksualitas dia kan?” timpal Biru.

“Dan elo udah tau kan, kalau itu juga yang bikin gue sakit sampai gak bisa nerima hubungan same sex selama ini, Jev?” tanyanya.

Jeva tidak menjawab. Dia ingin Biru melepaskan semua yang ada di dalam benaknya lebih dahulu.

“Lo juga pasti tau… Alasan gue takut buat deket sama orang-orang kayak Papa gue tuh karena gue bakalan terus kebayang hal-hal apa aja yang dulu Papa lakuin di belakang Mama gue sama laki-laki yang selalu dia sebut temen,” kata Biru diikuti senyum miring.

“Gue juga bakalan terus keinget gimana hancurnya gue pas tau kalau alasan Papa ninggalin gue, Mama, sama Dara karena dia gak suka perempuan dan cuma jadiin Mama gue alat buat nutupin jati dirinya. It hurts me so bad, Jeva.”

Saat sadar jika Biru mati-matian menahan tangis, kedua tungkai Jeva pun lemas. Dia sangat ingin mendekap erat Biru saat itu juga, namun Biru kembali bersuara.

“Tapi gue pengen sembuh,” Biru melanjutkan. “Gue enggak mau ingatan buruk itu terus-terusan nakutin gue. Apalagi waktu gue sadar kalau gue suka laki-laki.”

“Jadi akhirnya gue mutusin buat ke Psikiater lagi,” jelasnya. “Gue berusaha ngobatin trauma yang udah bikin gue depresi sekaligus nyoba nerima diri gue sendiri…”

“Terlebih lagi, laki-laki yang gue suka selalu bilang kalau dia mau ngeliat gue sembuh. Itu lo, Jev.”

Jeva lalu mengangguk lemah. Dia sudah amat siap untuk menerima segala luapan kekecewaan Biru.

“Tapi kenapa lo bohongin gue?” tanya Biru, “Kenapa lo malah ngelakuin hal yang sama kayak Papa kandung gue dulu? Hah?”

“Lo enggak cuma bohong soal seksualitas lo ke gue, tapi lo juga ngebohongin gue soal hubungan lo sama Dara.” Biru menimpali.

“Lo bahkan ikut nyembunyiin orientasi seksual Dara dari gue, padahal lo udah tau sejak awal.”

Melihat Jeva hanya diam dengan mata yang berkaca-kaca lantas membuat Biru mengeraskan rahang. Dia lalu menarik kerah baju Jeva dengan dua tangannya sebelum meninggikan suaranya.

“Jawab gue!”

“Kenapa lo boongin gue, Jev?”

“Lo bilang pengen gue sembuh, tapi kenapa lo nyakitin gue kek Papa gue?” suara Biru bergetar.

Jeva menarik napasnya dalam-dalam, masih dengan tangan Biru yang menarik kerah bajunya. Dia kemudian mulai angkat bicara.

“Iya, Bi. Gue udah tau semuanya.”

“Gue juga tau kalau lo beberapa kali nyoba suicide setelah lo tau alasan sebenarnya kenapa Mama sama Papa kandung lo berantem di depan mata lo, terus cerai…”

“Gue juga tau kalau lo sengaja pengen kecelakaan pas semester tiga dulu gara-gara Papa lo abis datengin lo,” Jeva melanjutkan.

“Meskipun lo gak pernah ngasih tau gue kenapa hubungan same sex sensitif buat lo sampai bikin lo sakit, tapi gue tau semuanya.”

“Dan karena gue tau semua itu, gue selalu berusaha buat nggak bikin lo sakit lagi atau inget sama kenangan gak baik lo,” kata Jeva.

“Gitu juga Dara, Bi.” timpal Jeva,

“Dia takut buat coming out ke lo karena dia gak mau luka lo yang belum sembuh itu bikin lo drop lagi. Worst case-nya, lo mungkin bakalan ke-trigger terus nyakitin diri lo kayak yang udah-udah...”

“Itu juga yang bikin gue sama Dara nutupin seksualitas kita berdua dari lo,” lanjut Jeva lirih.

“Gue sama Dara nunggu sampai elo, setidaknya, udah bisa deket sama orang yang seksualitasnya kayak kita berdua.” Jeva menatap Biru dengan tatapan sendunya.

“Karena yang paling penting bagi gue sama Dara itu bukan soal elo bisa nerima kita berdua,” katanya lirih, “Tapi soal gimana lo nggak bakalan kenapa-kenapa karena harus ada di sekitar orang kayak Papa lo; yang suka sesama jenis.”

“Makanya, kemaren… Pas Dara udah tau kalau lo juga suka sama gue dan lo udah nyoba menerima diri lo, dia langsung ngomong ke gue kalau dia siap coming out...”

“Gue juga berani nyium lo di RS kemaren karena gue ngerasa lo udah bisa nerima sakit lo,” jelas Jeva. “Lo gak takut lagi ngeliat bahkan ngelakuin hal-hal yang dilakuin sama orang kek Papa lo.”

Cengkeraman Biru di kerah baju Jeva melemah sebelum akhirnya terlepas. Biru menatap lurus ke dalam netra madu Jeva yang juga telah memerah. Jelas bahwa kini Jeva tengah menahan tangisnya.

“Gue juga gak mau kayak gini…” kata Biru, “Gue gak mau orang-orang di sekitar gue harus selalu mikir gimana supaya gue enggak sakit atau nyoba buat mati lagi.”

“Gue nggak mau lo, Dara, bahkan Mama gue ngorbanin diri atau perasaan kalian cuma buat orang yang nggak guna kayak gue, Jev.”

“Gue yang harusnya mikir buat ngejaga perasaan kalian, bukan kalian.” Biru menetralkan napas. “Karena masalahnya ada di gue.”

“Dengan kalian kayak gini, gue makin ngerasa gak ada gunanya buat hidup lagi.” katanya, “Gue yang seharusnya nge-jagain adek sama Mama gue malah jadi orang yang dijagain. Bahkan sama elo.”

“Dan gue yang seharusnya jadi tempat ternyaman Dara buat nyeritain soal seksualitas dia malah jadi orang yang bikin dia takut buat coming out,” katanya.

“Gue pengen ngelewatin trauma gue sendiri tanpa harus nyusahin orang lain, tapi ternyata luka gue ini malah bikin kalian semua—”

Biru tidak mampu meneruskan ucapannya ketika Jeva tiba-tiba memeluknya amat erat. Dia lalu mulai melepaskan isakan keras hingga Jeva lantas ikut menangis.

Biru yang tadinya bertekad agar tidak meneteskan air mata lagi lantas kalah dari rasa sesak di dadanya. Mereka pun menangis bersama, tanpa mengeluarkan sepatah frasa beberapa menit.

“Maaf, Bi.” bisik Jeva saat merasa tangis Biru mulai perlahan reda.

“Maaf udah bohong dan bikin lo ngerasa kayak gini,” timpalnya.

“Gue tau ini salah, gue juga gak pernah berniat nutupin apa-apa dari lo.” Jeva berbisik, “Tapi gue sama Dara udah gak ada pilihan lain waktu itu. Gue cuma pengen lo tetep aman sampai elo udah mulai bisa menerima keadaan.”

Satu tangan Jeva lantas beralih mengusap pelan punggung Biru yang bergetar karena tangisnya.

“Bi, dengerin gue…”

“Lo gak pernah nyusahin siapa-siapa, lo juga udah ngejagain adik dan Mama lo selama ini.” katanya.

That’s why they do the same, mereka juga jagain lo. Karena kalau lo gak ada, siapa yang bisa jagain mereka the way you did?”

“Itu juga yang orang-orang sebut cinta, dimana kalian bisa saling menjaga dan saling memahami.”

“Dan gue juga udah bilang kan, kalau gue bakal selalu jagain lo.”

Jeva menyandarkan dagunya di atas pundak teman Koasnya itu.

“Lo tuh udah ngelakuin banyak hal buat gue, mungkin lo nggak menyadari itu atau bahkan mikir kalau—that’s just a small thing…”

“Tapi buat gue, itu berarti dan berharga banget. You makes me feel alive. Jadi gue pengen lo juga ngerasa hal yang sama,” katanya.

“Jangan pernah nyebut diri lo gak guna lagi ya, Bi?” timpal Jeva.

“Semua orang sayang sama lo, jadi tolong sayang sama diri lo juga.” katanya, “I’m here, Biru.”

“Lo gak sendiri,” Jeva mencium pundak Biru sejenak. “Apapun yang pengen elo lewatin, gue bakal selalu ada di sini buat lo.”

“Karena sakit elo sakit gue juga, dan bahagia lo bahagia gue juga.”

You’re a part of me,” tutur Jeva.

Biru tak merespon ucapan Jeva, namun dia perlahan mendorong tubuh temannya itu saat gawai di saku celananya lantas berdering. Saat pelukan mereka terlepas, Biru pun buru-buru meraih dan melihat bahwa si Papa sambung lah yang sekarang menelponnya.

“Angkat, Bi. Orang rumah lo pasti lagi khawatir,” titah Jeva lembut.

Biru menarik napasnya dalam-dalam sebelum menjawabnya.

“Halo, Pa.”

Kata Mama kamu udah balik ke kos-an ya, Kak?” tanya si Papa.

“Iya, ini aku udah di kos-an kok.”

Padahal Papa nih pengen masak makanan kesukaan kamu pas jam makan siang nanti, Kak.” celoteh si pria paruh baya, “Eh tau-tau kamu udah balik ke kos-an aja.”

Entar Papa, Mama sama Dara bawain ke kos-an ya? Sekalian mau ngeliat kos-an kamu,” bujuk Papa kepada anak sulungnya itu.

“Pa, aku pengen sendirian dulu abis ini. Boleh yaa?” pinta Biru.

Boleh, tapi Minggu depan kamu harus nyobain masakan Papa ya, Kak? Janji pulang ke rumah lagi,” pinta Papa, “Papa bakalan sedih kalau kamu nggak mau nyobain.”

“Iya, Pa.”

Biru melirik Jeva sekilas, “Kalau gitu aku matiin teleponnya ya, Pa? Lagi sama temen soalnya.”

“Bilang sama Mama juga, entar aku kabarin kalo udah di kamar.”

Oke, Kak. Entar Papa bilangin.”

“Bye, Pa.”

Setelah sambungan teleponnya dengan sang Papa terputus, Biru kembali memandangi wajah Jeva.

“Makasih udah mikirin gue dan berusaha nge-jagain gue biar gak sakit,” tutur Biru pelan, “Tapi elo gak perlu ngelakuin itu lagi, Jev.”

“Maksud lo, Bi?” Jeva tercekat.

Biru memutus pandangannya dengan Jeva. Dia menunduk.

“Gue bisa jaga diri gue sendiri.” jawab Biru, “Gue ke kamar gue sekarang ya. See you tomorrow.”

Biru pun hendak berbalik guna meninggalkan kamar Jeva, tapi temannya itu tiba-tiba menjegal lengannya. Alhasil, Biru menoleh.

“Lo bilang gini ke gue supaya lo gak ngerasa kalau lo itu nyusahin orang lain, atau lo sebenarnya pengen bilang supaya gue gak usah deket-deket sama lo lagi?”

“Dua-duanya,” jawab Biru tenang.

Jeva menatap Biru sedu, “Bi, lo udah tau kalau perasaan gue—”

Let me heal first,” potong Biru.

“Gue masih ngerasa sulit buat nerima kenyataan kalau selama ini lo sama Dara udah boongin gue,” jelas Biru. “Dan gue yakin, selama ini lo juga pasti kesulitan deketin seseorang yang belum sembuh. Sampai-sampai lo tuh harus bohong meski lo ga mau.”

So i’m trying to give you a rest here, Jev.” katanya, “Gue ngerasa kalau kita butuh waktu buat diri kita masing-masing aja dulu...”

“Tapi gue gak bilang kalau lo harus nungguin gue ya,” Biru mengingatkan. “Kalau nanti di dalam proses dimana kita lagi fokus sama diri masing-masing, terus tiba-tiba ada orang yang bisa menjaga dan memahami lo daripada gue, lo bisa berhenti.”

“Sama kayak lo… Bahagia lo itu bahagia gue juga kok, Jev. Go for anything that makes you happy.”

Biru membuang pandangannya saat melihat Jeva menunduk sambil menangis dalam diam. Dia kemudian berbalik lalu berjalan meninggalkan teman Koasnya itu tanpa mengucap apa-apa lagi.

Biru mengisi Minggu paginya dengan sarapan bersama sang Mama, Papa dan Dara di rumah. Setelah semalam hanya berbagi peluk sejenak sebelum melipir ke kamarnya untuk beristirahat, kini Biru akhirnya dapat berbincang dengan leluasa bersama mereka.

Setidaknya sebelum Biru harus kembali ke kos-an malam nanti.

“Abis ini Kakak mau ke mana?”

Biru yang sedang mengunyah roti pun lantas menoleh pada pria paruh baya di sampingnya.

“Gak ke mana-mana, Pa. Biru mau goleran doang di kamar.”

Mama yang duduk bersebelahan dengan Dara tepat di seberang Biru juga suaminya pun geleng-geleng kepala. Dia tersenyum.

“Kak, kamu gak kepikiran mau nyari pacar apa?” Mama angkat bicara, “Biar kalau kamu libur gini kerjaannya gak di kamar aja.”

Biru mendengus pelan diikuti senyum tipis. Sementara Dara diam-diam memerhatikannya.

“Justru karena aku tiap hari ketemu orang banyak di RS, makanya pas libur gini tuh aku pengen di kamar doang, Maa.”

Biru menjatuhkan pundaknya, “Capek ketemu manusia mulu.”

Papa terkekeh, sedang si Mama mendesis atas jawaban anaknya.

“Ya tapi masa kamu mau sendiri mulu?” kata Mama, “Mau Mama kenalin sama anak temen Mama gak? Dia juga lagi Koas sekarang, tapi anak FKG. Cantik kok, Kak.”

“Temen Mama yang mana?” Papa ikut penasaran tentang hal itu.

“Itu loh, Pa. Anaknya Dokter Lia.”

“Loh, anaknya ngambil FKG?”

Mama mengangguk atas tanya lain yang diajukan suaminya.

“Sama kayak Dara kan? Mama sama Papanya Dokter bedah saraf, eh dianya ngambil FKG.”

Candaan Mama membuat si bungsu yang semula menatap kosong ke piringnya merenggut. Namun si wanita paruh baya buru-buru mencubit pipinya.

“Mama bercanda, Dek.” katanya.

“Kakak kamu aja nggak pernah Mama paksa buat ngikutin jejak Mama sama Papa. Iya kan, Kak?”

Biru lantas mengangguk setuju. Namun melihat gelagat Dara yang terlihat sangat lesu dan pendiam dari biasanya membuat Biru khawatir pada adiknya itu.

“Jadi gimana, Kak? Mau Mama kenalin gak?” Mama kembali ke topik awal, Biru pun berdecak.

“Gak ah,” kata si sulung, “Aku mana ada waktu buat pacaran. Buat bisa tidur di RS aja jarang, nambahin beban pikiran doang.”

Mama kembali menggeleng lalu tersenyum maklum melihat Biru.

“Lagian ngapain Mama jauh-jauh mau ngenalin si Kakak sama anak temennya Mama?” Papa melirik Biru dengan tatapan menggoda.

“Sekarang kan Biru Koas, mana tau nyantolnya ke temen Koas dia. Kayak Papa pas naksir sama Mama jaman-jaman Koas dulu.”

Biru juga Dara melotot. Baru kali ini sang Papa bercerita tentang kisahnya dengan Mama mereka.

“Hah? Papa naksir Mama waktu Koas?” tanya Dara tidak percaya.

“Iyaa,” jawab si pria paruh baya.

“Pokoknya pas Papa kenal sama Mama, Papa langsung kayak, dia nih orangnya. Papa cuma pengen seriusin cewek ini lah pokoknya.”

Papa tertawa sejenak, sementara Mama menatap lamat suaminya.

“Tapi pas Papa baru mau tancep gas, eh Papa baru tau, ternyata Mama kalian udah punya pacar.”

“Jadi ya, Papa cuma bisa ngusep dada terus berharap kalau Mama kalian ini jodoh Papa.” timpalnya.

“Ternyata beneran jodoh kan?” Papa mengedipkan satu matanya ke Mama. “Sekarang Mama sama Papa udah jadi pasangan mesra.”

Biru menahan senyumnya ketika melihat sang Mama tersipu malu.

“Waktu itu Papa pernah bilang ke Mama gak sih kalau Papa naksir sama Mama?” Biru ikut bertanya.

Papa mengangguk, “Pernah, Papa tau Mama udah punya pacar kan gara-gara Papa confess pas itu.”

“Jadi Papa ditolak Mama?” Dara bersemangat mendengarnya.

“Iya,” kekeh Papa. “Mama pengen kita jadi temen aja, nggak lebih.”

“Jadi selama itu juga Papa cuma bisa mendem perasaan sambil nunggu Mama kalian,” pria paruh baya itu menatap lamat istrinya.

“Papa pasrahin diri. Papa selalu bilang, kalau di dunia Papa gak jodoh sama Mama, gak apa-apa deh kalau jodohnya di akhirat.”

“Karena Papa cuma mau Mama yang nemenin hari tuanya Papa,” katanya. “Papa gak bisa ketemu perempuan lain kayak Mama.”

“Kisah Papa sama Mama kenapa romantis banget sih?” gumam Dara, “Kisah aku malah kek tai.”

Biru melirik Dara yang pipinya kembali dicubit oleh si Mama.

“Mama kan juga pernah punya kisah yang nggak baik sebelum jatuh cinta sama Papa,” tutur si wanita paruh baya. “Tapi Mama gak nyesalin itu kok, karena dari pengalaman kan ada pelajaran.”

Dara tersenyum tipis sebelum mengangguk paham, “Iya, Ma.”

“Terus apa yang akhirnya bisa bikin Mama cinta sama Papa?”

Biru kembali bertanya dengan raut serius dan penasarannya. Sementara Mama melirik Papa.

“Karena Mama tau kalau Papa masih nyimpan perasaan yang sama ke Mama, bahkan setelah sekian tahun pisah,” katanya.

“Jadi Mama nyoba buka hati…”

“Karena bagi Mama, buat ketemu sama orang yang bisa ngerti dan ngasih perhatian lebih ke Mama tuh gampang. Mama bisa milih, ada banyak kok yang perhatian.”

“Tapi untuk ketemu sama orang yang bisa mempertahankan rasa cintanya itu gak bakalan mudah.”

“Terlebih lagi Papa, yang nggak pernah memaksa Mama untuk membalas perasaannya. Papa cuma nunggu sampai Mama sendiri yang pengen buka hati.”

“Cinta Papa tuh tulus ke Mama. Jadi gimana coba Mama nggak jatuh cinta juga sama Papa?”

Napas Biru tercekat. Mendengar cerita Mama tentang Papa lantas membuatnya teringat akan Jeva.

“Kalau ada yang nunggu aku kek Papa, aku juga bakalan milih dia sih.” celetuk Dara, “Setia banget.”

“Mm, kalau ada yang nungguin Adek kayak Papa, jangan disia-siain.” Mama mengusap puncak kepala Dara, “Susah nemunya.”

Biru mencengkeram erat sendok yang tengah dia genggam. Dada Biru mendadak sesak, namun dia tetap berusaha untuk bersuara.

“Tapi kalau dengan menerima orang yang nungguin kita itu bisa nyakitin orang terdekat kita gimana, Ma?” Biru lalu menelan ludah. “Mama bakalan nerima?”

Mama mengernyit, “Nyakitin orang terdekat gimana, Kak?”

Biru menarik napas dalam-dalam lalu menggeleng pelan. Dia tidak ingin meneruskannya. Biru takut jika saja Mama juga Dara curiga.

“Gak kok, Ma. Aku ngawur doang tadi,” Biru kemudian meletakkan sendoknya di atas piring, “Aku ke kamar duluan ya, Maa, Paa, Dar.”

“Kak, tungguin!”

Dara lantas memekik, membuat langkah Biru terhenti; tidak jauh dari meja makan. Dia menoleh ke adiknya yang kembali bersuara.

“Kan kita mau ngobrol.”

“Ya udah, ayo. Di kamar gue aja.”

Dara mengangguk lalu menoleh ke Papa dan Mama, “Dara sama Kak Biru ke atas dulu ya, Ma, Pa.”

“Oke, Sayang.” sahut Papa.

Sementara si wanita paruh baya hanya diam dan tak henti-henti menatap Biru juga Dara hingga menghilang dari ruang makan.


“Mau ngobrolin apa?”

Dara mengulum bibirnya sesaat. Ada rasa gugup yang menganggu dadanya. Jemarinya pun sudah seperti bekuan es; sangat dingin.

Kini Dara duduk di atas tempat tidur Biru, sementara sang empu kamar justru melantai tepat di hadapannya. Nampak Biru sibuk memeriksa jurnal yang semalam sengaja dia bawa dari kos-annya.

“Kak…”

“Mm?”

Mata Biru akhirnya melirik ke arah Dara. Saat itu pula Biru menyadari jika wajah Dara pucat.

Alhasil, buru-buru Biru menaruh jurnalnya di atas lantai. Biru lalu bangkit dan menghampiri si bungsu, duduk di sampingnya.

“Lo kenapa?” Biru menangkup wajah adiknya hingga netra Dara menatap lurus ke arahnya. “Kok wajah lo pucat kek gini sih, Dar?”

“Kak… Gue…”

“Apa?”

Perasaan Biru tiba-tiba menjadi tidak enak. Terlebih saat melihat kedua mata Dara berkaca-kaca.

“Dar, jawab gue. Ada apa?”

Dara meraih tangan Biru lalu menggenggamnya amat erat. Saat itu pula dia mengumpulkan keberaniannya untuk bersuara.

“Gue bukan mantan Kak Jeva.”

“Hah?”

Biru membeo. Dahinya berkerut.

Dara menunduk sambil menutup kedua matanya. Dia tak sanggup melihat wajah kecewa kakaknya.

“Gue sama Kak Jeva gak pernah pacaran, Kak.” timpal Dara lirih.

Biru bisa merasakan genggaman tangan Dara semakin kuat. Pun jemari Dara yang sangat dingin.

“Kak Jeva juga gak manfaatin gue buat deket sama lo... Justru gue yang udah manfaatin kebaikan dia buat nutupin seksualitas gue dari lo sama Mama.” Dara lantas mendongak, menatap Biru sedu.

“Waktu itu… Yang pacaran terus putus sama gue bukan Kak Jeva, tapi Gina, sepupunya.” Air mata Dara tidak bisa terbendung lagi.

Biru kehabisan kata. Seperti ada beban yang menimpa dadanya.

“Gue suka sama cewek…”

Dara bergumam lirih sebelum terisak dengan kepalanya yang kembali menunduk. Sementara tangannya masih menggenggam jemari Biru yang kini membisu.

“Awalnya, gue juga nyembunyiin hubungan gue sama Gina dari Kak Jeva. Tapi dia nggak sengaja ngeliat Gina nyium gue di mobil.”

“Akhirnya Kak Jeva nanya ke gue, kenapa gue pacaran diem-diem sama sepupunya. Dari situ juga gue ngasih tau semuanya ke Kak Jeva, soal alasan hubungan same sex sensitif banget buat kita...”

“Kak Jeva selalu minta gue jujur sama lo, tapi gue gak bisa, Kak. Gue gak mau liat lo nangis lagi, apalagi kalo sampai lo ke-trigger terus berniat nyakitin diri lo lagi.”

Dara tersengguk-sengguk.

“Sampai hari itu… Lo yang baca chat dari Gina di notifikasi gue.”

“Gue ketakutan banget pas lo nanya siapa yang manggil gue Sayang, nyebut gue pacarnya, terus bilang kalau dia udah ada di depan rumah kita waktu itu.”

Biru mengingatnya. Masih dia ingat jelas ketika ia tak sengaja melihat notifikasi dari kontak yang hanya Dara namai dengan simbol hati berwarna merah. Itu pula yang menjadi awal dimana Biru mempertanyakan apa Jeva yang mengirim pesan itu pada Dara. Sebab setelahnya, teman Koasnya itulah yang masuk ke rumahnya bersama sepupunya.

Saat itu, tidak pernah terpikirkan oleh Biru bahwa ternyata Gina lah yang mengirim pesan dengan kata “Sayang” itu pada adiknya. Yang mana artinya, Gina pula yang berkata bahwa dia merasa sangat beruntung karena telah memiliki Dara sebagai pacarnya.

“Terus pas Kak Jeva sama Gina masuk, lo langsung nanya sama Kak Jeva. Lo nuduh Kak Jeva kalo dia yang ngirim tiga chat itu dan pacaran sama gue,” lanjut Dara.

“Kak Jeva ngeliat gue sama Gina takut banget waktu itu, jadi dia nge-iyain kalau dia yang ngirim chat itu dan pacaran sama gue.”

“Kak Jeva juga takut lo kenapa-kenapa kalau waktu itu dia jujur ke lo soal gue sama Gina, Kak…”

“Apalagi gue udah ngasih tau dia kalau lo sampai pernah depresi semenjak tau kalau Mama tuh—”

“Cukup,” Biru berusaha untuk meredam amarah yang telah bersiap untuk meledak dari dadanya, “Jadi yang pengen lo bilang, selama ini lo sama Jeva udah bohongin gue? Iya kan?”

Dara yang menahan isakan agar tak kembali terbebas pun lantas tersengguk-sengguk. Melihat raut kecewa di wajah Biru amat menyakitinya, lebih dari yang selama ini selalu dia takutkan.

“Gue udah berusaha, Kak…”

“Gue udah nyoba buat berhenti suka sama cewek supaya gue sama Kak Jeva gak ngebohongin lo lagi dengan pura-pura kalau kita berdua pacaran. Tapi gue—”

“Emang gue pernah bilang kalau lo gak boleh suka cewek?” Biru menyela dengan suaranya yang masih sangat tenang, tapi kedua bola matanya telah memerah.

Dara tidak menjawab. Matanya tak mampu lagi menatap Biru.

“Atau lo nganggep gue ngelarang lo punya seksualitas kayak gini gara-gara gue selalu nyuruh lo buat hati-hati sama mereka yang suka sesama jenis? Gitu, Dar?”

Dara menggeleng. Pita suaranya tiba-tiba seperti telah diputus.

“Selama ini, yang gue tau, lo juga punya ketakutan yang sama kek gue. Lo gak bisa nerima same sex karena bakal keinget sama hal-hal berat yang udah kita lewatin.”

“Jadi gue selalu berusaha jagain lo supaya gak berurusan sama mereka. Gue selalu ngingetin lo biar gak deketin orang yang gue tau punya seksualitas kayak gitu supaya lo nggak sakit,” jelas Biru, “Tapi apa? Lo gak cerita ke gue.”

“Padahal gue juga selalu bilang supaya lo ga nyimpen kesedihan lo sendirian. Karena gue nggak mau kalau sampai lo ngalamin depresi kayak gue dulu,” tangis Biru akhirnya pecah. “Lo sama Mama tuh selalu jadi orang yang pengen gue jaga, lebih dari diri gue sendiri. Gue bakal selalu rela ngelakuin apa aja supaya kalian berdua gak sakit lagi kayak dulu.”

“Tapi kenapa lo boongin gue? Apa selama ini gue yang udah nyakitin lo sampai-sampai lo nutupin semuanya dari gue?”

Dara menggeleng, “Gak, Kak. Gue juga gak mau lo sakit lagi.”

“Tapi lo udah nyakitin gue, Dar. Diboongin sama adek dan orang yang gue suka itu nyakitin gue.”

Biru terisak pelan, “Lo tau gak sih apa yang ada di pikiran gue pas gue sadar kalau gue mulai suka sama cowok? Gue mikirin gimana sakitnya lo sama Mama kalau tau gue suka sama Jeva.”

“Apalagi, yang gue tau, lo sama Jeva pernah pacaran.” jelas Biru, “Sakit lo bakalan lebih parah…”

“Jadi gue berusaha buat maksa diri gue supaya ngelupain Jeva dan suka sama cewek lagi,” kata Biru, “Karena gue mikirin lo, Dar.”

“Suatu saat… Gue mungkin bisa bilang ke Mama kalau gue suka sama cowok. Tapi gue gak akan bisa bilang kalau cowok itu Jeva, yang Mama tau mantan pacar lo.”

Dara mengubah posisinya. Dia turun dari ranjang, beralih duduk bersimpuh di depan kaki Biru.

“Kak… Maafin gue…” ucap Dara sebelum menyandarkan kepala di paha Biru bersama tangisnya.

“Gue salah, Kak Biru…”

“Maaf gue takut ngasih tau lo.”

Biru menyeka air matanya kasar. Dia lalu menuntun Dara agar tak bersandar lagi di pahanya. Biru kemudian berdiri setelahnya.

“Gak usah mikirin gue,” kata Biru tanpa menoleh ke adiknya yang masih bersimpu di sampingnya.

“Gue juga minta maaf karena belum bisa jadi kakak yang baik buat lo,” Biru menghela napas. “Do whatever you want, Dar.”

“Lo bebas mau pacarin siapa aja,” tegas Biru. “Tapi inget Mama...”

“Jangan boongin Mama lagi soal seksualitas lo kayak yang pernah laki-laki itu lakuin ke Mama dulu, karena itu bakal nyakitin Mama.”

Biru mengambil jurnal juga tas selempangnya sebelum berjalan keluar dari kamar. Meninggalkan Dara yang kembali terisak pelan.

Entah sudah berapa puluh menit sejak Biru memejamkan mata di atas bed ruang istirahat bagi Koas. Namun, dia sama sekali tidak bisa tertidur. Biru bahkan bisa mendengar beberapa Koas lain yang tadi beristirahat lebih dulu telah keluar dari ruangan.

Sebab, sudah waktunya untuk mereka kembali mengecek para pasien yang diberikan konsulen. Kini yang tersisa dalam ruangan itu hanya lah dirinya dan Jeva.

Perlahan, Biru membuka mata. Dia kemudian menoleh ke arah Jeva yang nampak pulas di sisi kanannya. Sejenak, Biru lantas memandangi lekuk wajah Jeva.

Biru tidak cukup bodoh untuk menyadari bahwa kenyamanan yang dia rasakan ketika berada di sisi Jeva tidak lagi dalam ranah pertemanan. Terlebih, perhatian yang selalu Jeva berikan padanya mulai mengusik relung hatinya.

Selama beberapa hari terakhir, Biru telah mencobanya. Dia telah berusaha untuk memastikan rasa yang timbul di hatinya terhadap Jeva. Termasuk semua afeksi dan atensi yang juga telah mulai dia berikan kepada Jeva. Namun, semakin Biru yakin, rasa takut tentang pengalaman buruknya di masa lalu kembali menghantui.

Tapi Biru tidak ada pilihan lain. Dia harus melawan ketakutan itu untuk memperjelas semuanya—setidaknya sebelum dia berusaha untuk mengikis perasaannya itu.

Menelan ludahnya, tatapan Biru kemudian turun ke bibir penuh Jeva. Dia lalu mengubah posisi menjadi berbaring menyamping sebelum mendekatkan wajahnya dengan milik teman Koasnya itu.

Saat jarak wajahnya dengan Jeva hanya terlampau beberapa centi, Biru seketika menahan napas. Ia memejamkan matanya sebelum mendaratkan sebuah kecupan ringan nan singkat di bibir Jeva.

Setelahnya, Biru pun buru-buru kembali ke posisinya semula. Dia berbaring terlentang, menatap langit-langit ruangan sembari mengatur napas yang memburu.

Bayangan tentang hal-hal yang dilakukan oleh dua orang lelaki dalam hubungan sesama jenis kembali terbayang di kepalanya. Termasuk apa yang baru saja dia lakukan kepada Jeva. Biru bahkan masih bisa mengingat amat jelas betapa hancur dirinya kala itu; saat dia tau bahwa tidak semua pria berpasangan dengan wanita.

Namun anehnya, rasa sakit yang saat ini Biru rasakan tak separah dengan waktu itu. Bahkan, Biru hanya merasakan bahwa detak jantungnya yang tidak normal lah yang lebih mendominasi dirinya.

Apa ini adalah efek dari usahanya yang mencoba untuk menerima diri dan perasaannya? Batin Biru.

Menarik napasnya dalam-dalam, Biru lantas kembali menoleh ke arah Jeva. Saat itu pula kedua kaki Biru terasa lemas. Pasalnya, Jeva telah membuka mata dan menatap lurus tepat ke arahnya.

Biru lupa jika Jeva mudah untuk terbangun ketika sedang tidur.

Kedua anak manusia itu hanya terdiam. Biru tidak mampu lagi untuk sekedar mengeluarkan satu frasa dari celah ranumnya. Sampai saat Jeva tiba-tiba saja mengubah posisinya menjadi menyamping, Biru pun terkejut.

Terlebih, setelahnya, Jeva lantas menopang tubuhnya sendiri dengan siku di samping Biru. Membuatnya mengungkung setengah dari badan Biru, wajah mereka pun sudah saling sejajar. Sedang satu tangan Jeva yang lain menangkup pipi kiri Biru.

Tanpa apa-aba, Jeva kemudian mempertemukan kembali bibir mereka. Jeva mengecup lembut celah ranum Biru sebelum mulai melumatnya dengan hati-hati.

Sekujur tubuh Biru lemas. Dia tak bisa melakukan apa-apa, bahkan untuk sekedar mengeluarkan suara. Alhasil, Biru pun hanya mengikuti nalurinya. Dia lantas memejamkan mata sambil sedikit membuka mulut hingga Jeva kian memperdalam ciuman mereka.

Pagutan itu semakin intens kala Biru mulai membalas gerak bibir Jeva. Decak saliva menggema di dalam ruangan, bersahut-sahut dengan hela napas Jeva dan Biru.

Meski sempat larut dalam kecup dan cium mesra yang diberikan Jeva, seluruh akal sehat Biru pun kembali kala dia mencoba untuk membuka matanya. Saat itu pula Biru mendorong kuat tubuh Jeva agar menjauhinya sebelum dia bergegas bangun dari posisinya.

Kini Biru telah duduk di tepi bed, diikuti Jeva yang tak henti-henti memandangi Biru dari samping. Tidak ada kata yang terucap dari keduanya selama beberapa saat, sampai Biru akhirnya bersuara.

“Kenapa lo nyium gue?”

Jeva menelan ludah. Dia gugup.

“Gue gak bakal berani ngelakuin hal yang sensitif buat lo kek tadi kalau bukan elo yang mulai, Bi.”

Biru memberanikan diri untuk menoleh. Dia memandangi Jeva.

“Lo sadar nggak sih kalau lo baru aja nyium cowok, Jev?” lirih Biru.

“Kenapa?” timpalnya, “Lo cuma becandain gue kan? Iya kan, Jev?”

Kedua mata Jeva pun memanas. Senyum miring lalu terlukis di bibir bersama diam sesaatnya.

“Gue yakin lo udah tau perasaan gue ke lo, Bi.” sahut Jeva amat tenang. “Dan gue yakin kalau lo juga ngerasain hal yang sama.”

Mulut Biru setengah terbuka, sedang matanya menatap tak percaya ke arah temannya itu. Tapi Biru berusaha untuk tetap tenang dan kembali bersuara.

“Sejak kapan?”

“Sejak gue kenal sama lo.”

Biru tersenyum kecut. Tidak ada ekspresi kaget di wajahnya, tapi dari sorot matanya nampak rasa kecewa. Jeva seketika membeku.

“Sejak awal… Gue udah ngerasa kalau perlakuan lo ke gue agak aneh.” Biru akhirnya buka suara.

“Gue punya ketakutan kalau aja lo suka sama gue,” lanjutnya lirih.

“Makanya, sejak awal, gue juga langsung ngasih lo batasan. Gue cerita sama lo kalau gue enggak bisa nerima hubungan sejenis.”

Mata Biru berkaca-kaca, “Tapi lo nggak pernah pergi dari sisi gue setelah gue ngasih tau soal itu.”

“Lo masih baikin gue, merhatiin gue, dan selalu berusaha buat jadi temen gue meskipun sifat dan kebiasaan kita beda banget.”

“Jadi gue kembali berpikir, kalau gue mungkin cuma parno karena pengalaman buruk gue,” kata Biru, “Apalagi gue nggak punya temen deket cowok yang se-baik dan se-perhatian elo selama ini.”

“Sampai pas gue ngeliat kalau lo sering ngobrol sama Dara. Di situ gue udah ngerasa lega,” katanya.

“Karena gue udah bisa ngilangin ketakutan gue tentang perlakuan lo ke gue sejak awal,” timpal Biru.

“Dan gue pun nge-yakinin diri gue kalau lo emang pure pengen jadi temen gue supaya gue bisa mercayain Dara ke lo,” air mata Biru lantas menetes di pipinya.

“Tapi tetep aja, bahkan setelah lo pacaran sama Dara, perlakuan lo ke gue tetep sama.” Relung dada Biru tiba-tiba berdenyut pedih.

“Akhirnya ketakutan gue itu pun muncul lagi. Gue takut kalau aja lo tanpa sadar suka sama gue…”

“Tapi gue nggak pernah berani bilang sama lo. Gue takut kalau semua ini cuma efek dari isi kepala gue yang selalu khawatir banget sama hal-hal kayak gitu, terus bikin lo tersinggung,” jelas Biru. “Karena gimana pun juga, bagi gue, lo itu temen baik gue.”

“Gue gak mau lo ngerasa kalau gue nggak mengganggap semua perlakuan lo ke gue itu tulus…”

“Tapi elo bisa tulus ke seseorang juga didasari sama perasaan kan? Dan gue rasa perlakuan lo ke gue itu bukan gambaran rasa tulus dari teman ke teman,” katanya.

“Jadi yang selama ini gue lakuin cuma menghindari dan selalu mempertanyakan kebaikan lo, sekaligus nge-yakinin diri gue kalau itu cuma ketakutan gue.”

Biru mengusap kasar air mata di pipinya, sedang Jeva menunduk.

“Gue berusaha buat mengubur ketakutan-ketakutan itu, Jev...”

“Gue tuh selalu nyalahin diri gue sendiri karena sering mikir yang enggak-enggak soal kebaikan lo gara-gara trauma masa lalu gue.”

“Tapi tetep aja, gue enggak bisa ngilangin hal itu dengan mudah. Apalagi pas lo sama Dara putus.”

“Lo tau gak sih gimana takutnya gue waktu lo sama Dara putus?” Biru menarik napasnya dalam-dalam. “Gue takut kalau alasan lo sama Dara putus itu karena gue.”

“Dan sekarang… Apa yang gue takutin jadi kenyataan. Iya kan?”

“Kenapa, Jev?” Biru menatap ke arah Jeva di sampingnya, “Kok lo se-tega ini sih sama adek gue? Lo manfaatin Dara selama ini?”

Jeva mengangkat kepalanya lalu membalas tatapan sedu Biru.

“Gue gak manfaatin Dara, Bi.”

“Terus apa?” sela Biru, “Kenapa lo macarin dia padahal lo suka sama gue sejak awal? Jelasin.”

Mulut Jeva bungkam. Dia tidak akan mampu memberitahu Biru alasan yang sesungguhnya tanpa persetujuan Dara lebih dahulu. Pasalnya, Jeva yakin hal itu akan membuat Biru semakin sakit.

“Kenapa lo diem aja?”

“Gue bakal jelasin, Bi. Tapi gak sekarang,” suara Jeva bergetar.

Biru tersenyum hambar, kedua bola matanya semakin memerah.

“Kenapa harus gue sih, Jev?” lirih Biru, “Kenapa lo harus suka sama orang yang gak bisa nerima lo?”

Jeva mendongak sejenak untuk menahan laju air matanya yang nyaris menetes di atas pipinya. Setelahnya, ia kembali menatap wajah Biru dengan raut sedu.

“Perasaan gue, dan semua yang gue lakuin ke lo selama ini bukan buat bikin lo bisa nerima gue, Bi.”

“Terkesan munafik emang, kalau gue bilang gak pernah ngarep lo bisa bales perasaan gue. Tapi gue paham posisi lo kok, Bi. Gak akan mudah buat lo untuk nerima hal yang dulu pernah bikin lo sakit.”

“Dan gue gak bisa maksa lo buat sembuh,” jelas Jeva. “Karena gue juga paham… Di luar dorongan orang lain, faktor penentu biar lo bisa sembuh itu datang dari diri lo dan kemauan lo sendiri, Biru.”

“Jadi yang bisa gue lakuin cuma ada di samping lo, jadi support system lo dan jagain lo supaya lo gak kenapa-kenapa.” timpalnya.

“Setidaknya itu yang bisa gue lakuin buat lo, orang yang gue sayang. Karena gue gak pernah tau, kapan waktu dan keadaan bikin gue harus jauh dari lo, Bi.”

“Gue nggak pernah tau kapan lo bakal bilang ke gue kalau lo udah punya pasangan, yang itu artinya gue gak boleh gangguin elo lagi.”

Biru dan Jeva terdiam sejenak sambil menunduk. Bersamaan dengan air mata keduanya yang mengalir deras di pipi mereka.

“Lo… Nggak perlu jelasin apa-apa lagi ke gue, Jev.” Biru pun kembali angkat bicara, “Gue juga salah di sini, karena gak berani bilang ke lo soal ketakutan gue selama ini.”

“Andai dari awal gue bisa bikin lo berhenti, lo nggak bakal macarin Dara.” Biru melirik Jeva yang kini juga telah menoleh ke arahnya.

“Dan andai aja dari awal gue bisa bikin lo bersikap layaknya teman biasa, tanpa perhatian lebih, gue juga gak bakalan punya perasaan yang sama kayak lo.” timpal Biru.

Jeva pun bungkam. Secara tidak langsung Biru telah menyatakan bahwa dia juga menyukai Jeva.

“Sekarang… Gue emang marah sama lo,” tutur Biru, “Tapi gue jauh lebih marah sama diri gue sendiri, karena gue yang bikin adek sama temen gue kek gini.”

“Bi, gue yang salah.” sela Jeva.

Biru menggeleng, “Udah gak ada waktu buat kita salah-salahan, Jev. Semuanya udah terjadi kan?”

Netra Jeva menatap lamat wajah Biru, “Jadi lo mau kita gimana?”

“Gue mau lo berhenti ngasih gue perhatian,” sahut Biru yang kini juga tengah memandangi wajah Jeva lekat-lekat. “Gue juga mau lo bersikap kayak teman biasa, yang sebatas kenal nama doang.”

“Kita gak perlu sedeket dulu lagi, kita gak perlu chat-an setiap hari lagi, kita juga enggak perlu saling peduli lagi.” suara Biru bergetar.

“Gue rasa, dengan gitu juga, kita bisa ngilangin perasaan kita, Jev.”

Biru tersenyum hambar, “Gue mungkin bisa nerima diri gue sendiri yang suka sama laki-laki.”

“Tapi gue gak akan pernah bisa nerima kalau laki-laki yang gue suka itu mantan adek gue,” kata Biru, “It sounds so wrong to me.”

Biru kemudian bangkit dari bed, sementara Jeva masih terdiam di posisinya. Sebab, kedua kakinya amat lemas karena ucapan Biru.

“Gue ke bangsal duluan ya, Jev.”

Biru berpamitan, tapi sebelum kakinya melangkah menjauhi Jeva, temannya itu bersuara.

“Kalau aja gue bisa ngilangin perasaan gue ke lo, gue udah ngelakuin itu dari dulu, sejak lo bilang kalau hubungan sesama jenis nyakitin lo, Bi.” lirih Jeva.

Biru tidak mengatakan apa-apa. Dia pun hanya menghela napas sebelum melanjutkan langkahnya yang tertunda. Dia meninggalkan Jeva yang masih di posisi semula.