Ganadara

Abel menarik napasnya dalam-dalam sebelum memasuki cafe Kenanga, dimana dia dan Reza telah mengatur janji bersama untuk berjumpa. Sejenak, Abel mengedarkan pandangannya ke setiap sudut meja dalam cafe itu. Ia berusaha mencari figur Reza.

Sampai ketika seseorang lantas mengangkat tangannya tinggi-tinggi dari meja paling ujung, saat itu pula Abel mendapati si mantan kekasih duduk di sana. Reza tersenyum sumringah ke arahnya, membuat lesung pipi guru lesnya itu terpampang.

Namun, yang membuat Abel mematung sejenak adalah kala dia menyadari bahwa saat ini dirinya dan Reza mengenakan pakaian serupa. Tubuh mereka hanya dibalut dengan setelan kaos polos berwarna hitam bersama celana senada. Jika sudah seperti ini, orang-orang mungkin akan mengira bahwa mereka memakai baju couple.

“Nyungsep aja lu, Bel.” gumam Abel sebelum menghampiri Reza.

Abel berusaha tersenyum ramah sembari terus mengingat pesan Gio padanya. Abel bertekad agar tidak memikirkan apa saja yang sudah terjadi di masa lalu antara dirinya dengan si mantan; Reza.

Bel, inget. Lu udah jadi orang yang baru sekarang, batin Abel.

“Udah nunggu daritadi?” tanya Abel sebelum duduk pada kursi yang ada tepat di hadapan Reza.

“Gak kok, Bel. Baru tiga belas menit,” sahut Reza. “Btw, gue belum mesen minum buat lo. Takut selera lo udah gak sama.”

“Masih kok,” Abel tersenyum tipis lalu meraih buku menu yang ada di depannya. “Emang lo nggak?”

“Maksudnya selera minum gue?” tanya Reza sambil menatap lurus ke Abel, “Apa selera cowok gue?”

Abel melirik Reza sedetik lalu menghela napas, “Minum, Ja.”

“Oooh,” Reza terkekeh, tarikan di ujung bibirnya terkesan meledek. Dan Abel sadar akan itu. “Masih.”

“Lo gak mau mesen makan?”

“Lo duluan aja,” kata Reza masih sambil menatap lamat ke arah Abel. Reza menahan senyum.

Abel hanya mencuri pandang sejenak ke Reza lalu kembali melirik buku menu di tangannya. Abel pun mencoba menenangkan detak jantungnya yang kembali menggila setelah menatap Reza.

“Pengen mesen pasta ya?” Reza bersuara, “Lo udah bisa ngabisin satu piring pasta di sini belum?”

“Tadi gue liat punya orang-orang porsi pastanya masih sama kayak pas kita SMA dulu ya,” timpalnya.

Abel menipiskan bibirnya hingga membentuk garis lurus. Dia lalu memaksakan senyum pada Reza yang bisa menebak pesanannya.

Tapi Abel tak ingin membiarkan dirinya diledek oleh Reza, sebab benar bahwa hingga hari ini, dia belum bisa menghabiskan satu porsi pasta di cafe ini. Cafe yang juga menjadi saksi bagaimana ia dan Reza pernah mengadu kasih.

Meski Abel sangat ingin makan pasta, tapi dia harus menahan keinginannya di hadapan Reza. Belum lagi jika nanti Reza akan menyinggung tentang kenangan mereka saat masih berpacaran.

“Gue udah bisa kok,” jawab Abel lalu menyodorkan buku menu itu kepada Reza. “Tapi gue lagi gak pengen makan pasta sekarang.”

Reza pun hanya mengangguk lalu memilih menu yang dia inginkan. Abel kemudian memanggil salah seorang pelayan hingga wanita itu menghampiri meja mereka.

“Mba, saya pesen croffle satu, pake topping ice cream sama minumnya milk tea ya.” tutur Abel lalu menatap ke arah Reza.

“Lo apa, Ja?”

“Pasta carbonara satu, Mba.”

Napas Abel tertahan beberapa detik saat mendengar pesanan Reza. Pasalnya, pasta jenis itu adalah menu yang ia inginkan saat ini. Sialan si Eja, batinnya.

Selepas si pelayan wanita tadi pergi guna memberi tahu sang koki tentang pesanannya juga Reza, kini Abel mau tidak mau kembali memusatkan atensinya ke Reza. Meski canggung, tapi dia berusaha untuk bersuara.

“Lo sejak kapan balik ke Indo?”

“Baru tiga bulan yang lalu,” sahut Reza. “Soalnya lamaran gue buat masuk tim tutor les di kantor lo di-proses, terus gue keterima.”

Abel mengangguk, “Bukannya kerjaan lo di sana bagus ya, Ja? Kok balik ke sini jadi guru les?”

“Siapa yang ngasih tau lo kalau kerjaan gue di Korea bagus, Bel?”

Berdeham pelan, Abel kemudian menghindari tatapan Reza sesaat sebelum berkata. “Kemaren pas reuni, temen-temen gibahin lo.”

“Katanya lo jarang balik sejak kerja di sana,” sambung Abel. “Gaji lo juga udah gede banget.”

“Nah itu. Kalau gue jarang balik ke Indo, berarti gak bagus dong.”

“Gue jadi jarang ketemu orang tua, temen-temen, mantan…”

“Kok dibilang bagus?” kekehnya. “Urusan gaji, sama aja perasaan.”

Abel memutar bola mata, sedang Reza lantas tertawa melihatnya. Setelahnya, ia kembali bersuara.

“Papa Mama gue udah pengen gue nikah,” jelas Reza. “Karena calon gue ada di Indo, jadi gue mutusin pulang. Kalau diambil sama orang ’kan bisa berabe.”

Entah kenapa jawaban Reza membuat Abel merasa kesal.

Padahal dia udah pengen nikah ternyata, tapi masih aja ngalusin gue tadi. Sialan si Eja, batin Abel.

“Oh,” gumam Abel. “Kenapa lo gak ngajakin calon lo ke sini?”

“Nih, udah diajak.” balas Reza. “Udah gue ajak ke rumah juga, tapi malah pengen di cafe aja.”

“Gue gak becanda, Eja.”

“Gue juga gak becanda, Abel.”

Abel mendengus, “Pede banget lo. Emang lo gak mikir apa, kalo aja gue udah punya pacar lagi?”

“Kalau jodoh gak bakal ke mana, Bel. Liat aja sekarang, kita bisa ketemu lagi karena apa? Takdir.”

“Dan jodoh itu takdir,” katanya.

“Dih,” gumam Abel, sementara Reza kembali tertawa dibuatnya.

“Gue udah telat ya, Bel?”

Pertanyaan tiba-tiba Reza lantas memicu kerutan di kening Abel.

“Telat gimana maksud lo?”

“Telat buat ngerebut hati lo lagi.”

Jemari Abel yang ada di bawah meja mendadak dingin. Dia pun meremas tangannya kuat-kuat lalu mengumpulkan keberanian untuk merespon tanya dari Reza.

“Kita ketemu di sini buat bahas jadwal les gue, in case lo lupa.”

“Gue gak lupa,” kata Reza. “Tapi gue pengen berterus terang dulu kalau sekarang gue lagi berusaha buat nge-rebut hati lo lagi, Bel.”

“Jadi gue mau mastiin dari awal, kalo emang gue udah terlambat atau lo gak pengen gue nerusin usaha gue, gue bakalan berhenti.”

“Gue bakalan jadi guru les yang professional buat lo tanpa nge-bahas urusan pribadi,” katanya.

Abel berdeham. Seharusnya dia gak kaget dengan tingkah Reza yang straight to the point; tanpa basa-basi saat ia menginginkan sesuatu. Tapi kenapa sekarang Abel gugup? Dia kehabisan kata.

“Bel?”

Menarik napasnya, Abel lantas memberanikan dirinya menatap lurus ke dalam bola mata Reza.

“Ja, ngulang hubungan dengan orang yang sama tuh ibarat elo baca buku. Lo udah tau isi sama akhirnya bakalan kayak gimana.”

“Jadi buat apa?” timpal Abel.

Reza menipiskan bibir sejenak.

“Lo gak bisa nyamain manusia sama buku, Bel.” katanya, “Buku itu bentuknya statis, sedangkan manusia dinamis. Buku gak bisa berpikir, gak punya perasaan…”

“Tapi manusia?” timpalnya, “Kita manusia punya otak buat mikir dan punya hati yang nyimpan perasaan. Dengan otak dan hati, manusia bisa bertumbuh untuk jadi pribadi yang lebih baik lagi.”

Abel lantas terdiam. Dia seketika mengingat ucapan Gio padanya.

“Gitu juga yang udah gue lakuin beberapa tahun terakhir ini, Bel.” sambung Reza, “Gue upgrade diri gue, gue belajar buat mengoreksi setiap kesalahan-kesalahan gue.”

“Karena gue mau memantaskan diri buat lo,” katanya. “Gue gak mau bikin lo kecewa atau marah lagi sama gue kayak yang dulu.”

“Sekarang gue pulang buat lo…”

Reza menatap lamat wajah Abel.

“Gue mau nunjukin diri gue yang sekarang buat nge-rebut hati lo.” tuturnya, “Jadi apa jawaban lo?”

Abel merasa tengah di kurung untuk memberikan jawabannya. Beruntung si pelayan wanita tadi segera datang, membawa menu pesanannya dan Jeva. Alhasil, ia memiliki alasan untuk bungkam.

“Gue boleh makan dulu gak?”

Reza tersenyum lembut sambil geleng-geleng kepala. Terlebih saat Abel dengan begitu sigap menenggak minumannya lalu memotong croffle di atas meja.

Namun, sebelum Abel melahap croffle-nya, Reza menyodorkan pasta yang ia pesan di hadapan sang mantan. Abel yang melihat hal itu pun mengernyit heran.

“Makan aja dulu,” titah Reza.

“Kalau lo udah gak bisa ngabisin, baru gue yang makan.” katanya.

Abel mendorong pelan piring pasta itu kembali ke hadapan Reza. “Gue gak mau pasta, Ja.”

“Gue bisa ngeliat iler lo udah mau netes dari sini, Bel.” ledek Reza yang membuat bibir Abel mencebik kesal. Tapi setelahnya, dia buru-buru mengusap sudut bibirnya. Takut jika air liurnya memang sudah menetes di sana.

Terkekeh pelan, Reza kemudian mengubah posisi duduknya yang semula menghadap ke Abel kini menjadi menyamping. Abel yang menyadari itu pun kian heran.

“Makan pastanya buruan,” titah Reza lagi. “Gue gak bakal liat.”

Menggigit pelan bibir bawahnya sejenak, Abel pun menemukan sebuah ide. Dia memindahkan sebagian pasta ke piringnya—di samping croffle-nya—sebelum menyodorkan piring pasta Reza kembali ke hadapan lelaki itu.

“Gue ambil dikit,” kata Abel. “Lo juga makan nih buruan. Alesan doang lo pengen makan sisa gue. Bilang aja lo pengen lama-lama sama gue di sini. Ngaku deh lo.”

Reza menoleh lalu mengangguk.

“Gue mesen ini buat lo,” katanya lalu tersenyum sejenak, “Tapi Lo gak salah kok, kalau gue emang pengen lama-lama sama lo, Bel.”

“Diem!”

Abel mengacungkan garpu pada Reza, seperti seorang petarung yang siap menyerang lawan. Tapi hal itu justru membuat si mantan pacar tertawa gemas karenanya.


Selepas makan bersama sambil mencocokkan jadwal les mereka, kini Reza dan Abel sama-sama berjalan menuju halaman parkir cafe. Kedua anak manusia itu melangkah beriringan tanpa ada sepatah kata yang keluar dari celah ranum mereka. Hanya ada sedikit gesekan antara tangan Reza dan Abel di bawah sana, yang membuat mereka sesekali saling melirik sebelum kembali membuang pandangan ke jalan.

Abel pun diam-diam berharap kalau Reza sudah lupa dengan pertanyaannya saat di cafe tadi. Tapi Dewi Fortuna tak berpihak kepadanya, sebab baru saja dia memikirkan hal itu, Reza sudah lebih dahulu berdiri di hadapan Abel lalu menagih jawabannya.

“Jadi jawaban lo apa, Bel?”

Abel menelan ludah. Ia gugup.

“Lo pengen gue nerusin usaha gue buat nge-rebut hati lo lagi, atau lo pengen gue berhenti?”

“Gue gak tau,” jujur Abel. “Sejak lo pergi, gue bener-bener nikmatin kesendirian gue di sini, Ja. Walau emang kadang, gue kangen sama lo. Gue kangen ngobrol sama lo. Kangen apa-apa bareng lo mulu.”

“Tapi kalau gue inget-inget lagi waktu kita saling nyakitin dulu, entah itu dengan berantem atau saling salah-salahan, gue sering takut buat ngerasain hal yang sama lagi. Gue takut buka hati.”

“Gue tau… Udah banyak yang berubah dari lo, gitu juga gue.” sambung Abel, “Kita udah bisa berpikir lebih dewasa sekarang.”

“Cuman tetep aja, rasanya masih agak asing buat gue yang udah lama nutup hati buat orang lain.”

Abel menghela napas, “Pelan-pelan aja dulu ya? Biarin gue terbiasa dulu ada di sekitar lo.”

“Lo gak terlambat kok, Ja. Gak sama sekali,” katanya. “Tapi kita yang terlambat buat mulai lagi, jadi kita butuh waktu buat bisa nge-lanjutin ini lebih jauh lagi.”

Reza mengangguk paham. “It means I can stay by your side, sambil bikin elo terbiasa buat nerima kehadiran gue lagi ’kan?”

“Mm,” gumam Abel. “Ajarin gue bahasa Korea yang bener aja dah dulu, abis itu baru mikirin calon.”

“Okee,” kekeh Reza. “Mama sama Papa gue bakalan ngerti kok, Bel.”

Abel menggeleng pelan sambil menahan senyum di bibirnya.

“Kalau gitu gue balik dulu ya,” pamit Abel, “See you, besok.”

“Bel.”

Abel baru hendak berbalik guna menghampiri mobilnya, namun suara Reza tiba-tiba menggema. Membuatnya kembali menoleh.

“Apa?”

“Gue boleh meluk lo bentar gak?” pinta Reza, “Lima menit aja, Bel.”

Abel tak dapat menyembunyikan keterkejutan di wajahnya. Alhasil, Reza yang berpikir jika si mantan kekasih merasa tak nyaman akan pertanyaannya itu pun mendesis.

“Maaf,” Reza menepuk pundak Abel. “Gue bercanda doang tadi.”

“Lo hati-hati di jalan ya,” katanya.

Abel mengangguk, “Oke.”

Saat Abel akhirnya benar-benar telah berbalik dan berjalan pelan menjauhinya, Reza lalu menghela napas panjang. Dia sangat rindu dengan Abel. Dia ingin memeluk Abel erat-erat. Namun, Reza pun harus menghargai Abel yang tadi mengaku belum terbiasa berada di sekitarnya lagi. Calm down, Ja.

Reza berusaha menenangkan dirinya lalu ikut melangkah ke arah mobilnya. Ia memarkirkan kendaraan itu berlawanan arah dengan mobil Abel di sisi timur.

“Eja!”

Baru beberapa langkah, Reza pun berbalik kala mendengar Abel berteriak dari belakang sana. Saat itu pula Reza tersenyum tipis, sebab kini Abel tengah merentangkan kedua tangan.

Paham akan hal itu, Reza lalu berlari ke arah Abel sebelum berakhir memeluknya erat-erat. Begitu pun Abel yang tanpa ragu membalas pelukan hangat Reza.

Detak jantung mereka pun masih sama. Masih berdetak kencang seirama. Baik itu Abel maupun Reza juga masih bisa mengingat sensasi yang sama, membuat keduanya refleks memejamkan mata dengan senyum di bibir.

“Gue kangen banget sama lo, Bel.” bisik Reza kepada Abel.

Abel mengangguk, “Gue juga, Ja.”