The Lies
Biru mengisi Minggu paginya dengan sarapan bersama sang Mama, Papa dan Dara di rumah. Setelah semalam hanya berbagi peluk sejenak sebelum melipir ke kamarnya untuk beristirahat, kini Biru akhirnya dapat berbincang dengan leluasa bersama mereka.
Setidaknya sebelum Biru harus kembali ke kos-an malam nanti.
“Abis ini Kakak mau ke mana?”
Biru yang sedang mengunyah roti pun lantas menoleh pada pria paruh baya di sampingnya.
“Gak ke mana-mana, Pa. Biru mau goleran doang di kamar.”
Mama yang duduk bersebelahan dengan Dara tepat di seberang Biru juga suaminya pun geleng-geleng kepala. Dia tersenyum.
“Kak, kamu gak kepikiran mau nyari pacar apa?” Mama angkat bicara, “Biar kalau kamu libur gini kerjaannya gak di kamar aja.”
Biru mendengus pelan diikuti senyum tipis. Sementara Dara diam-diam memerhatikannya.
“Justru karena aku tiap hari ketemu orang banyak di RS, makanya pas libur gini tuh aku pengen di kamar doang, Maa.”
Biru menjatuhkan pundaknya, “Capek ketemu manusia mulu.”
Papa terkekeh, sedang si Mama mendesis atas jawaban anaknya.
“Ya tapi masa kamu mau sendiri mulu?” kata Mama, “Mau Mama kenalin sama anak temen Mama gak? Dia juga lagi Koas sekarang, tapi anak FKG. Cantik kok, Kak.”
“Temen Mama yang mana?” Papa ikut penasaran tentang hal itu.
“Itu loh, Pa. Anaknya Dokter Lia.”
“Loh, anaknya ngambil FKG?”
Mama mengangguk atas tanya lain yang diajukan suaminya.
“Sama kayak Dara kan? Mama sama Papanya Dokter bedah saraf, eh dianya ngambil FKG.”
Candaan Mama membuat si bungsu yang semula menatap kosong ke piringnya merenggut. Namun si wanita paruh baya buru-buru mencubit pipinya.
“Mama bercanda, Dek.” katanya.
“Kakak kamu aja nggak pernah Mama paksa buat ngikutin jejak Mama sama Papa. Iya kan, Kak?”
Biru lantas mengangguk setuju. Namun melihat gelagat Dara yang terlihat sangat lesu dan pendiam dari biasanya membuat Biru khawatir pada adiknya itu.
“Jadi gimana, Kak? Mau Mama kenalin gak?” Mama kembali ke topik awal, Biru pun berdecak.
“Gak ah,” kata si sulung, “Aku mana ada waktu buat pacaran. Buat bisa tidur di RS aja jarang, nambahin beban pikiran doang.”
Mama kembali menggeleng lalu tersenyum maklum melihat Biru.
“Lagian ngapain Mama jauh-jauh mau ngenalin si Kakak sama anak temennya Mama?” Papa melirik Biru dengan tatapan menggoda.
“Sekarang kan Biru Koas, mana tau nyantolnya ke temen Koas dia. Kayak Papa pas naksir sama Mama jaman-jaman Koas dulu.”
Biru juga Dara melotot. Baru kali ini sang Papa bercerita tentang kisahnya dengan Mama mereka.
“Hah? Papa naksir Mama waktu Koas?” tanya Dara tidak percaya.
“Iyaa,” jawab si pria paruh baya.
“Pokoknya pas Papa kenal sama Mama, Papa langsung kayak, dia nih orangnya. Papa cuma pengen seriusin cewek ini lah pokoknya.”
Papa tertawa sejenak, sementara Mama menatap lamat suaminya.
“Tapi pas Papa baru mau tancep gas, eh Papa baru tau, ternyata Mama kalian udah punya pacar.”
“Jadi ya, Papa cuma bisa ngusep dada terus berharap kalau Mama kalian ini jodoh Papa.” timpalnya.
“Ternyata beneran jodoh kan?” Papa mengedipkan satu matanya ke Mama. “Sekarang Mama sama Papa udah jadi pasangan mesra.”
Biru menahan senyumnya ketika melihat sang Mama tersipu malu.
“Waktu itu Papa pernah bilang ke Mama gak sih kalau Papa naksir sama Mama?” Biru ikut bertanya.
Papa mengangguk, “Pernah, Papa tau Mama udah punya pacar kan gara-gara Papa confess pas itu.”
“Jadi Papa ditolak Mama?” Dara bersemangat mendengarnya.
“Iya,” kekeh Papa. “Mama pengen kita jadi temen aja, nggak lebih.”
“Jadi selama itu juga Papa cuma bisa mendem perasaan sambil nunggu Mama kalian,” pria paruh baya itu menatap lamat istrinya.
“Papa pasrahin diri. Papa selalu bilang, kalau di dunia Papa gak jodoh sama Mama, gak apa-apa deh kalau jodohnya di akhirat.”
“Karena Papa cuma mau Mama yang nemenin hari tuanya Papa,” katanya. “Papa gak bisa ketemu perempuan lain kayak Mama.”
“Kisah Papa sama Mama kenapa romantis banget sih?” gumam Dara, “Kisah aku malah kek tai.”
Biru melirik Dara yang pipinya kembali dicubit oleh si Mama.
“Mama kan juga pernah punya kisah yang nggak baik sebelum jatuh cinta sama Papa,” tutur si wanita paruh baya. “Tapi Mama gak nyesalin itu kok, karena dari pengalaman kan ada pelajaran.”
Dara tersenyum tipis sebelum mengangguk paham, “Iya, Ma.”
“Terus apa yang akhirnya bisa bikin Mama cinta sama Papa?”
Biru kembali bertanya dengan raut serius dan penasarannya. Sementara Mama melirik Papa.
“Karena Mama tau kalau Papa masih nyimpan perasaan yang sama ke Mama, bahkan setelah sekian tahun pisah,” katanya.
“Jadi Mama nyoba buka hati…”
“Karena bagi Mama, buat ketemu sama orang yang bisa ngerti dan ngasih perhatian lebih ke Mama tuh gampang. Mama bisa milih, ada banyak kok yang perhatian.”
“Tapi untuk ketemu sama orang yang bisa mempertahankan rasa cintanya itu gak bakalan mudah.”
“Terlebih lagi Papa, yang nggak pernah memaksa Mama untuk membalas perasaannya. Papa cuma nunggu sampai Mama sendiri yang pengen buka hati.”
“Cinta Papa tuh tulus ke Mama. Jadi gimana coba Mama nggak jatuh cinta juga sama Papa?”
Napas Biru tercekat. Mendengar cerita Mama tentang Papa lantas membuatnya teringat akan Jeva.
“Kalau ada yang nunggu aku kek Papa, aku juga bakalan milih dia sih.” celetuk Dara, “Setia banget.”
“Mm, kalau ada yang nungguin Adek kayak Papa, jangan disia-siain.” Mama mengusap puncak kepala Dara, “Susah nemunya.”
Biru mencengkeram erat sendok yang tengah dia genggam. Dada Biru mendadak sesak, namun dia tetap berusaha untuk bersuara.
“Tapi kalau dengan menerima orang yang nungguin kita itu bisa nyakitin orang terdekat kita gimana, Ma?” Biru lalu menelan ludah. “Mama bakalan nerima?”
Mama mengernyit, “Nyakitin orang terdekat gimana, Kak?”
Biru menarik napas dalam-dalam lalu menggeleng pelan. Dia tidak ingin meneruskannya. Biru takut jika saja Mama juga Dara curiga.
“Gak kok, Ma. Aku ngawur doang tadi,” Biru kemudian meletakkan sendoknya di atas piring, “Aku ke kamar duluan ya, Maa, Paa, Dar.”
“Kak, tungguin!”
Dara lantas memekik, membuat langkah Biru terhenti; tidak jauh dari meja makan. Dia menoleh ke adiknya yang kembali bersuara.
“Kan kita mau ngobrol.”
“Ya udah, ayo. Di kamar gue aja.”
Dara mengangguk lalu menoleh ke Papa dan Mama, “Dara sama Kak Biru ke atas dulu ya, Ma, Pa.”
“Oke, Sayang.” sahut Papa.
Sementara si wanita paruh baya hanya diam dan tak henti-henti menatap Biru juga Dara hingga menghilang dari ruang makan.
“Mau ngobrolin apa?”
Dara mengulum bibirnya sesaat. Ada rasa gugup yang menganggu dadanya. Jemarinya pun sudah seperti bekuan es; sangat dingin.
Kini Dara duduk di atas tempat tidur Biru, sementara sang empu kamar justru melantai tepat di hadapannya. Nampak Biru sibuk memeriksa jurnal yang semalam sengaja dia bawa dari kos-annya.
“Kak…”
“Mm?”
Mata Biru akhirnya melirik ke arah Dara. Saat itu pula Biru menyadari jika wajah Dara pucat.
Alhasil, buru-buru Biru menaruh jurnalnya di atas lantai. Biru lalu bangkit dan menghampiri si bungsu, duduk di sampingnya.
“Lo kenapa?” Biru menangkup wajah adiknya hingga netra Dara menatap lurus ke arahnya. “Kok wajah lo pucat kek gini sih, Dar?”
“Kak… Gue…”
“Apa?”
Perasaan Biru tiba-tiba menjadi tidak enak. Terlebih saat melihat kedua mata Dara berkaca-kaca.
“Dar, jawab gue. Ada apa?”
Dara meraih tangan Biru lalu menggenggamnya amat erat. Saat itu pula dia mengumpulkan keberaniannya untuk bersuara.
“Gue bukan mantan Kak Jeva.”
“Hah?”
Biru membeo. Dahinya berkerut.
Dara menunduk sambil menutup kedua matanya. Dia tak sanggup melihat wajah kecewa kakaknya.
“Gue sama Kak Jeva gak pernah pacaran, Kak.” timpal Dara lirih.
Biru bisa merasakan genggaman tangan Dara semakin kuat. Pun jemari Dara yang sangat dingin.
“Kak Jeva juga gak manfaatin gue buat deket sama lo... Justru gue yang udah manfaatin kebaikan dia buat nutupin seksualitas gue dari lo sama Mama.” Dara lantas mendongak, menatap Biru sedu.
“Waktu itu… Yang pacaran terus putus sama gue bukan Kak Jeva, tapi Gina, sepupunya.” Air mata Dara tidak bisa terbendung lagi.
Biru kehabisan kata. Seperti ada beban yang menimpa dadanya.
“Gue suka sama cewek…”
Dara bergumam lirih sebelum terisak dengan kepalanya yang kembali menunduk. Sementara tangannya masih menggenggam jemari Biru yang kini membisu.
“Awalnya, gue juga nyembunyiin hubungan gue sama Gina dari Kak Jeva. Tapi dia nggak sengaja ngeliat Gina nyium gue di mobil.”
“Akhirnya Kak Jeva nanya ke gue, kenapa gue pacaran diem-diem sama sepupunya. Dari situ juga gue ngasih tau semuanya ke Kak Jeva, soal alasan hubungan same sex sensitif banget buat kita...”
“Kak Jeva selalu minta gue jujur sama lo, tapi gue gak bisa, Kak. Gue gak mau liat lo nangis lagi, apalagi kalo sampai lo ke-trigger terus berniat nyakitin diri lo lagi.”
Dara tersengguk-sengguk.
“Sampai hari itu… Lo yang baca chat dari Gina di notifikasi gue.”
“Gue ketakutan banget pas lo nanya siapa yang manggil gue Sayang, nyebut gue pacarnya, terus bilang kalau dia udah ada di depan rumah kita waktu itu.”
Biru mengingatnya. Masih dia ingat jelas ketika ia tak sengaja melihat notifikasi dari kontak yang hanya Dara namai dengan simbol hati berwarna merah. Itu pula yang menjadi awal dimana Biru mempertanyakan apa Jeva yang mengirim pesan itu pada Dara. Sebab setelahnya, teman Koasnya itulah yang masuk ke rumahnya bersama sepupunya.
Saat itu, tidak pernah terpikirkan oleh Biru bahwa ternyata Gina lah yang mengirim pesan dengan kata “Sayang” itu pada adiknya. Yang mana artinya, Gina pula yang berkata bahwa dia merasa sangat beruntung karena telah memiliki Dara sebagai pacarnya.
“Terus pas Kak Jeva sama Gina masuk, lo langsung nanya sama Kak Jeva. Lo nuduh Kak Jeva kalo dia yang ngirim tiga chat itu dan pacaran sama gue,” lanjut Dara.
“Kak Jeva ngeliat gue sama Gina takut banget waktu itu, jadi dia nge-iyain kalau dia yang ngirim chat itu dan pacaran sama gue.”
“Kak Jeva juga takut lo kenapa-kenapa kalau waktu itu dia jujur ke lo soal gue sama Gina, Kak…”
“Apalagi gue udah ngasih tau dia kalau lo sampai pernah depresi semenjak tau kalau Mama tuh—”
“Cukup,” Biru berusaha untuk meredam amarah yang telah bersiap untuk meledak dari dadanya, “Jadi yang pengen lo bilang, selama ini lo sama Jeva udah bohongin gue? Iya kan?”
Dara yang menahan isakan agar tak kembali terbebas pun lantas tersengguk-sengguk. Melihat raut kecewa di wajah Biru amat menyakitinya, lebih dari yang selama ini selalu dia takutkan.
“Gue udah berusaha, Kak…”
“Gue udah nyoba buat berhenti suka sama cewek supaya gue sama Kak Jeva gak ngebohongin lo lagi dengan pura-pura kalau kita berdua pacaran. Tapi gue—”
“Emang gue pernah bilang kalau lo gak boleh suka cewek?” Biru menyela dengan suaranya yang masih sangat tenang, tapi kedua bola matanya telah memerah.
Dara tidak menjawab. Matanya tak mampu lagi menatap Biru.
“Atau lo nganggep gue ngelarang lo punya seksualitas kayak gini gara-gara gue selalu nyuruh lo buat hati-hati sama mereka yang suka sesama jenis? Gitu, Dar?”
Dara menggeleng. Pita suaranya tiba-tiba seperti telah diputus.
“Selama ini, yang gue tau, lo juga punya ketakutan yang sama kek gue. Lo gak bisa nerima same sex karena bakal keinget sama hal-hal berat yang udah kita lewatin.”
“Jadi gue selalu berusaha jagain lo supaya gak berurusan sama mereka. Gue selalu ngingetin lo biar gak deketin orang yang gue tau punya seksualitas kayak gitu supaya lo nggak sakit,” jelas Biru, “Tapi apa? Lo gak cerita ke gue.”
“Padahal gue juga selalu bilang supaya lo ga nyimpen kesedihan lo sendirian. Karena gue nggak mau kalau sampai lo ngalamin depresi kayak gue dulu,” tangis Biru akhirnya pecah. “Lo sama Mama tuh selalu jadi orang yang pengen gue jaga, lebih dari diri gue sendiri. Gue bakal selalu rela ngelakuin apa aja supaya kalian berdua gak sakit lagi kayak dulu.”
“Tapi kenapa lo boongin gue? Apa selama ini gue yang udah nyakitin lo sampai-sampai lo nutupin semuanya dari gue?”
Dara menggeleng, “Gak, Kak. Gue juga gak mau lo sakit lagi.”
“Tapi lo udah nyakitin gue, Dar. Diboongin sama adek dan orang yang gue suka itu nyakitin gue.”
Biru terisak pelan, “Lo tau gak sih apa yang ada di pikiran gue pas gue sadar kalau gue mulai suka sama cowok? Gue mikirin gimana sakitnya lo sama Mama kalau tau gue suka sama Jeva.”
“Apalagi, yang gue tau, lo sama Jeva pernah pacaran.” jelas Biru, “Sakit lo bakalan lebih parah…”
“Jadi gue berusaha buat maksa diri gue supaya ngelupain Jeva dan suka sama cewek lagi,” kata Biru, “Karena gue mikirin lo, Dar.”
“Suatu saat… Gue mungkin bisa bilang ke Mama kalau gue suka sama cowok. Tapi gue gak akan bisa bilang kalau cowok itu Jeva, yang Mama tau mantan pacar lo.”
Dara mengubah posisinya. Dia turun dari ranjang, beralih duduk bersimpuh di depan kaki Biru.
“Kak… Maafin gue…” ucap Dara sebelum menyandarkan kepala di paha Biru bersama tangisnya.
“Gue salah, Kak Biru…”
“Maaf gue takut ngasih tau lo.”
Biru menyeka air matanya kasar. Dia lalu menuntun Dara agar tak bersandar lagi di pahanya. Biru kemudian berdiri setelahnya.
“Gak usah mikirin gue,” kata Biru tanpa menoleh ke adiknya yang masih bersimpu di sampingnya.
“Gue juga minta maaf karena belum bisa jadi kakak yang baik buat lo,” Biru menghela napas. “Do whatever you want, Dar.”
“Lo bebas mau pacarin siapa aja,” tegas Biru. “Tapi inget Mama...”
“Jangan boongin Mama lagi soal seksualitas lo kayak yang pernah laki-laki itu lakuin ke Mama dulu, karena itu bakal nyakitin Mama.”
Biru mengambil jurnal juga tas selempangnya sebelum berjalan keluar dari kamar. Meninggalkan Dara yang kembali terisak pelan.