Perfume
Senja memandangi semua pesan WhatsApp yang telah ia kirimkan untuk Bara, tapi nihil. Tidak ada satu pun tanda-tanda kalau Bara akan membacanya. Setelahnya, Senja beralih membuka galerinya lalu melihat satu demi satu foto Bara. Matanya pun berkaca-kaca hingga pandangannya mengabur.
Sudah satu Minggu berlalu sejak Bara hilang kontak. Senja sendiri bahkan tak bisa lagi memastikan apa pacarnya itu masih hidup di sana atau sebaliknya. Setiap hari, Senja hanya bisa terus membuka portal berita dan memantau TV untuk menunggu kabar dari sang pujaan hati. Namun yang Senja dapati hanyalah informasi bahwa di tempat tugas Bara sana terjadi kericuhan demi kericuhan—lagi.
“Abang, hari ini aku nggak pakai parfum apa-apa...” gumam Senja lirih. “Parfum untitled dari kamu udah abis soalnya, dan kamu gak pengen aku ganti parfum kan?”
“Kalau aja aku tau kamu enggak bakalan balik kayak gini sebelum parfum itu abis, aku enggak akan pakai parfum itu...” lanjut Senja.
“Karena parfum itu satu-satunya yang bisa bikin aku ngerasa lebih deket sama kamu meski kita lagi jauhan.” katanya lirih, “Sekarang aku harus gimana, Bang Bara?”
Setetes air mata pun jatuh di pipi Senja. Diletakkannya gawai itu di depan dadanya sebelum Senja membebaskan isakan pelannya.
Sampai tidak lama berselang, Ibu tiba-tiba membuka pintu kamar Senja dari luar. Si wanita paruh baya pun melebarkan matanya kala melihat anaknya menangis.
“Nja?”
Mendengar suara sang Ibu, Senja pun buru-buru menghapus jejak air matanya. Ia berdeham pelan, berusaha menahan tangisannya yang tersisa. Senja tidak ingin si Ibu sampai melihat sisi rapuhnya karena memikirkan Bara. Sebab, dengan begitu juga Ibunya akan semakin gencar meminta Senja untuk segera melupakan Bara.
“Tadi kan Ibu nyuruh kamu siap-siap, kenapa kamu malah nangis di sini?” tanya sang Ibu yang kini telah berdiri di samping ranjang Senja. “Kamu mikirin Bara lagi?”
Senja tidak mengatakan apa-apa dan hanya meletakkan gawainya di atas nakas di samping tempat tidurnya. Namun, tanpa ia duga, Ibu justru dengan sigap meraih alat komunikasinya itu. Sang Ibu lalu membuka layar kunci gawai Senja hingga mendapati tampilan WhatsApp berisi pesan Senja ke Bara. Senja pun tak tinggal diam, dia seketika berdiri lalu merebut ponselnya itu dari si paruh baya.
“Ibu kenapa sih?”
“Kamu yang kenapa Senja?” balas Ibu sambil menatap tak percaya ke arah anaknya, “Kamu udah liat sendiri kan? Sampai hari ini Bara masih gak ada kabar. Dia bahkan gak pulang seperti janjinya dulu.”
“Apa lagi yang kamu tunggu? Apa lagi yang kamu harapkan dari dia sih, Nja?” suara Ibu juga ikut lirih.
Senja menggeleng dengan raut wajahnya yang tidak habis pikir akan ucapan sang Ibu barusan.
“Kok bisa-bisanya ya Ibu bilang kayak gitu, sementara kita gak tau Bang Bara masih hidup di sana atau nggak?” tutur Senja.
“Di saat pacar aku sedang dalam keadaan antara hidup dan mati, Ibu terus-terusan pengen aku ngelupain dia.” timpal Senja. “Di mana sih hati Ibu? Aku sakit, Bu.”
“Justru karena Ibu nggak pengen liat kamu sampai sakit kayak gini makanya Ibu selalu pengen kamu belajar buat ngelupain Bara, Nja.”
Mata Ibu ikut berkaca-kaca, “Ibu pernah ada di posisi kamu. Meski Ayah kamu dulu bukan anggota khusus intelijen kayak Bara, tapi Ibu pernah ngerasain ditinggalin karena tugas untuk negara, Nja.”
“Ibu sama kayak kamu. Ibu selalu nunggu Ayah kamu buat pulang.”
“Tapi apa? Ayah kamu pulang ke Ibu dengan wujud yang udah gak bernyawa lagi. Ayah kamu pulang dengan harapan yang masih Ibu gantungkan tinggi-tinggi supaya kita bertiga bisa berkumpul lagi.”
“Dan dari harapan itu juga, Ibu masih sendiri sampai hari ini…”
“Ibu enggak mau kamu berakhir kayak Ibu, Nja.” si wanita paruh baya meraih tangan anaknya itu, menggenggamnya dengan erat.
“Ibu tau kamu cinta banget sama Bara, tapi kamu gak boleh nutup pintu buat orang lain untuk bisa masuk ke dalam hati kamu, Nja.”
“Sebelum terlambat… Kayak Ibu dulu,” timpal si paruh baya lirih.
Senja sudah tidak punya energi untuk menyela perkataan Ibu. Ia hanya bisa memijat keningnya sendiri masih sambil memikirkan Bara. Namun, saat wanita paruh itu memeluknya, pertahanan Senja runtuh. Ia seketika terisak.
“Udah ya?” Ibu mengusap pelan punggung Senja, “Kalau emang kamu ditakdirkan buat berakhir dengan Bara, sekarang dia pasti udah pulang. Ibu bahkan udah ngasih dia kesempatan, karena Ibu tau kamu sesayang itu sama dia. Tapi Ibu gak akan ngebiarin kamu mengharapkan hal yang gak pasti kek gini terlalu lama.”
“Jadi tolong dengerin Ibu sekali ini aja. Ya?” timpalnya, “Ibu gak akan maksa kamu buat nerima anak temen Ibu. Tapi Ibu harap kamu mau berkenalan sama dia.”
Si Ibu beralih menangkup wajah Senja lalu menyeka pipi sembab anaknya. “Sekarang kamu keluar ya? Mereka udah hampir sampai.”
Tepat setelah Ibu mengatakan hal itu, suara bel dari arah pintu utama menggema. Sontak si Ibu kaget lalu buru-buru merapikan rambut Senja yang sedikit acak-acakan agar terlihat lebih baik.
“Ayo, kamu yang bukain pintu. Ibu mau bikinin mereka teh di dapur dulu,” kata Ibu sembari menarik pelan tangan Senja hingga keluar dari kamarnya.
Senja pasrah. Untuk menolak dan meronta pun ia sudah tidak bisa. Kepalanya sudah penuh dengan pikiran tentang Bara. Bahkan di dalam dadanya sudah tidak ada lagi ruang selain rasa sakit yang mendera karena ketakutan jika ia akan kehilangan kekasih hatinya.
Semuanya sudah terlambat.
Apa yang Ibu takutkan terjadi.
Senja merasa ia tidak mampu untuk membuka hatinya lagi.
Dengan pandangan yang kosong, Senja pun berjalan gontai ke arah pintu. Ia lalu menarik napasnya dalam-dalam sebelum membuka benda tepat di hadapannya itu.
Namun, deru napas Senja seakan berhenti selama beberapa detik saat matanya bertemu pandang dengan netra madu yang sangat ia rindukan. Entah saat ini Senja sedang bermimpi atau mungkin berhalusinasi, sebab sekarang ia mendapati Bara tengah berdiri di depannya; tersenyum padanya.
“Nja…” suara Bara bergetar.
Kedua tungkai Senja lemas, tapi dengan sigap ia memeluk erat tengkuk pacarnya. Bersamaan dengan tangisan histerisnya.
“Abang kenapa baru pulang sih?” Senja tersengguk-sengguk. “Aku khawatir kamu kenapa-kenapa di sana tau gak? Aku takut, Abang.”
“Maafin aku ya,” gumam Bara lalu mengecup pundak Senja sejenak. “Maaf aku sedikit terlambat, Nja.”
Bara kemudian menarik dirinya dari pelukan Senja. Ia lalu beralih membingkai wajah pacarnya itu sambil menyeka pipi basah Senja.
“Tapi kamu lihat aku sekarang kan? Aku udah ada di sini, Nja.”
“Aku gak apa-apa, Sayang. Aku udah kembali ke kamu, Senjaku.”
Senja kembali terisak kala Bara mengecup lembut keningnya sebelum kembali mendekap erat tubuhnya. Saat itu pula Senja melampiaskan semua rindu yang telah lama ia pendam sendirian.
Rindu akan dekap Bara.
Rindu akan wangi tubuh Bara.
Dan Rindu akan bisikan cintanya.
“Aku sayang kamu, Nja.” bisik si pemilik lesung pipi. “Bahkan di saat aku berada dalam kondisi genting sekali pun, nama kamu selalu ada di hati dan kepalaku.”
“Aku juga takut bakal ninggalin kamu tanpa kata pamit,” jelas Bara. “Aku juga takut kita gak akan bisa ketemu kayak gini.”
“Aku takut gak bisa pulang…”
“…Dan yang lebih bikin aku takut lagi,” air mata Bara ikut menetes. “Aku takut bikin kamu menunggu selamanya untuk hal gak pasti.”
Kini giliran Senja yang menarik dirinya dari pelukan Bara. Senja memandangi wajah sang pujaan hati sambil membelai pipi Bara.
“Kamu tau gak? Kalau aku boleh jujur, aku lebih siap denger kamu bilang kalau kamu itu udah capek nunggu daripada aku harus bikin kamu nunggu lalu berakhir pilu.”
“Maaf ya karena udah bikin kamu nangis lagi? Maafin aku, Sayang.”
“Abang gak usah minta maaf. Aku udah legaaa banget ngeliat kamu pulang dengan selamat kek gini.”
Bara tersenyum tipis lalu melirik sekilas ke arah ruang tamu, “Ibu mana, Nja? Lagi gak di rumah?”
Senja menghela napasnya berat. Ia seketika baru tersadar bahwa sebentar lagi teman Ibu bersama anaknya juga pasti akan datang.
Lantas bagaimana dengan Bara?
Lalu bagaimana respon Ibunya?
“Ibu ada di dapur, Bang.”
“Aku pengen ketemu Ibu.”
Senja terlihat bimbang. Bara pun menyadari hal itu. Namun, belum sempat Bara bertanya, sosok Ibu yang ingin ia temui pun datang.
Ibu yang kini membawa nampan berisi beberapa gelas teh hangat seketika mematung. Kedua bola matanya melotot kala mendapati Senja dan Bara berdiri di ambang pintu utama; merasa tak percaya.
“Bu...”
Bara bergegas menghampiri Ibu, menyalaminya sejenak sebelum memilih untuk bersimpuh tepat di depan kaki si paruh baya. Bara berlutut sambil mendongak dan menatap dengan raut memohon.
“Bu, saya minta maaf gak pulang lebih awal sesuai waktu yang Ibu berikan ke saya.” ucap Jeva. “Tapi sekarang… Saya sudah berhasil menyelesaikan tugas saya, Bu.”
“Sebentar lagi saya juga akan segera dipindah divisi,” lanjut Bara. “Saya harap, saya belum terlambat buat meminta restu.”
“Bu, tolong beri saya kesempatan untuk meminang anak laki-laki Ibu. Saya pulang untuk Senja, Bu. Saya serius mau hidup dan mati serta susah senang sama Senja.”
Ibu menghembuskan napasnya pelan. Namun, belum sempat ia menjawab penuturan Jeva, tamu yang sejak siang tadi Ibu tunggu pun datang. Sosok wanita paruh baya bersama anak laki-lakinya yang seumuran dengan Senja kini telah berdiri di depan pintu.
Berdeham, Ibu lalu tersenyum tipis kepada sang teman lama yang bernama Tari itu. Sangat jelas kalau Tari kebingungan dan penasaran melihat Bara tengah duduk bersimpuh di depannya.
“Eh, Ri. Silakan masuk,” sapa Ibu dengan ramah. “Maaf ya, kamu dateng-dateng malah liat ginian.”
Senja yang berdiri di belakang Bara menatap Ibu dengan raut memelas. Sementara Bara yang telah menoleh ke arah Tari dan anak laki-lakinya pun seketika paham bahwa Ibu mungkin telah mengatur janji dengan mereka. Ia pun kembali mengingat bahwa Ibu pernah berkata akan segera menjodohkan Senja dengan lelaki pilihannya jika saja ia tak pulang.
“Ada apa ini, Lan?” tanya Tari.
Ibu melirik Bara sejenak sebelum kembali mempertemukan netra kelamnya dengan Tari. “Gak ada apa-apa kok, Ri. Ini calon mantu aku baru aja dateng dari tugas di luar kota, terus tiba-tiba minta restu aku buat ngelamar Senja.”
Ibu lalu meraih lengan Bara guna membantunya untuk berdiri.
“Ayo,” bisik Ibu ke Bara.
Senja sendiri tidak mampu lagi menahan senyumnya. Namun, ia kemudian dibuat khawatir saat mengingat bahwa Tari mungkin akan berprasangka buruk ke Ibu. Pasalnya, si Ibu telah mengatur janji dengan Tari dan anaknya tentang agenda perkenalan ini.
“Bar, Nja, ini Tante Tari.” Ibu buka suara, “Yang ada di sampingnya itu anaknya, namanya Langit.”
“Ibu ngundang Tante Tari sama Langit ke sini supaya kalian bisa saling kenal terus belajar banyak dari Langit,” Ibu berdeham. “Dia itu pengusaha sukses, kalian kan bisa tuh, minta kiat dari Langit sebelum nanti kalian buka usaha Parfum Refill buat sampingan.”
Ibu cengar-cengir ke Tari, “Bara sama Senja ini tertarik banget sama usaha Parfum Refill, Ri. Jadi aku pengen mereka belajar dulu.”
Tari mengangguk diikuti senyum tipis, “Boleh. Entar tanya-tanya aja sama Langit. Dia tau banyak pelaku usaha Parfum Refill tau.”
Tari kemudian melipat lengan.
“Tapi jujur aja nih ya, Lan. Aku pas mau ke sini tuh mikirnya kamu pengen anak-anak kita saling kenal karena mau jodohin mereka. Eh, ternyata Senja udah punya calon jodoh. Cakep lagi.”
Ibu terkekeh pelan. Ditepuknya pundak Tari sejenak lalu berkata.
“Aku kan cuma bilang pengen ngenalin Langit ke Senja, nggak ada omongan mau nge-jodohin. Jadi yang berharap lebih siapa?”
“Aku sih,” balas Tari lalu tertawa diikuti Ibu. Mereka seolah ada di dunia mereka sendiri sekarang.
“Maaf ya, Ri. Aku jadi bikin kamu patah hati karena gak bisa jadiin Senja mantu kamu,” canda si Ibu.
“Kamu telat sih, keduluan sama Bara. Kalau aja datangnya cepet, pasti kamu yang dapet deh, Ri.”
Tari kembali tertawa, “Iya nih. Tapi aku ikut seneng soal Bara sama Senja. Semoga lancar ya?”
Bara tersenyum, “Makasih, Tan. Saya juga minta maaf ya, karena bikin harapan Tante jadi pupus.”
“Ah, gak apa-apa. Santai aja, Bar. Lagian kalau Tante sama Ibunya Senja mau jodohin mereka, balik lagi sih, mereka mau apa nggak?”
“Tante aja yang kecentilan mikir buat jodohin mereka,” lanjut Tari.
“Lanjutin ngobrolnya di sofa aja, Tar.” Ibu menengahi. “Aku sampai lupa nyuruh kamu duduk loh ini.”
Senja mengulum bibir, sedang matanya tidak henti-hentinya menatap sang Ibu. Entah ini cara Ibu untuk ‘nge-les’ atau memang sudah menjadi plan B si wanita paruh baya. Namun, Senja amat bersyukur karena Ibu kini bisa menerima Bara tanpa harus pula menyakiti satu hati yang lainnya.