jaesweats

Senja memandangi semua pesan WhatsApp yang telah ia kirimkan untuk Bara, tapi nihil. Tidak ada satu pun tanda-tanda kalau Bara akan membacanya. Setelahnya, Senja beralih membuka galerinya lalu melihat satu demi satu foto Bara. Matanya pun berkaca-kaca hingga pandangannya mengabur.

Sudah satu Minggu berlalu sejak Bara hilang kontak. Senja sendiri bahkan tak bisa lagi memastikan apa pacarnya itu masih hidup di sana atau sebaliknya. Setiap hari, Senja hanya bisa terus membuka portal berita dan memantau TV untuk menunggu kabar dari sang pujaan hati. Namun yang Senja dapati hanyalah informasi bahwa di tempat tugas Bara sana terjadi kericuhan demi kericuhan—lagi.

“Abang, hari ini aku nggak pakai parfum apa-apa...” gumam Senja lirih. “Parfum untitled dari kamu udah abis soalnya, dan kamu gak pengen aku ganti parfum kan?”

“Kalau aja aku tau kamu enggak bakalan balik kayak gini sebelum parfum itu abis, aku enggak akan pakai parfum itu...” lanjut Senja.

“Karena parfum itu satu-satunya yang bisa bikin aku ngerasa lebih deket sama kamu meski kita lagi jauhan.” katanya lirih, “Sekarang aku harus gimana, Bang Bara?”

Setetes air mata pun jatuh di pipi Senja. Diletakkannya gawai itu di depan dadanya sebelum Senja membebaskan isakan pelannya.

Sampai tidak lama berselang, Ibu tiba-tiba membuka pintu kamar Senja dari luar. Si wanita paruh baya pun melebarkan matanya kala melihat anaknya menangis.

“Nja?”

Mendengar suara sang Ibu, Senja pun buru-buru menghapus jejak air matanya. Ia berdeham pelan, berusaha menahan tangisannya yang tersisa. Senja tidak ingin si Ibu sampai melihat sisi rapuhnya karena memikirkan Bara. Sebab, dengan begitu juga Ibunya akan semakin gencar meminta Senja untuk segera melupakan Bara.

“Tadi kan Ibu nyuruh kamu siap-siap, kenapa kamu malah nangis di sini?” tanya sang Ibu yang kini telah berdiri di samping ranjang Senja. “Kamu mikirin Bara lagi?”

Senja tidak mengatakan apa-apa dan hanya meletakkan gawainya di atas nakas di samping tempat tidurnya. Namun, tanpa ia duga, Ibu justru dengan sigap meraih alat komunikasinya itu. Sang Ibu lalu membuka layar kunci gawai Senja hingga mendapati tampilan WhatsApp berisi pesan Senja ke Bara. Senja pun tak tinggal diam, dia seketika berdiri lalu merebut ponselnya itu dari si paruh baya.

“Ibu kenapa sih?”

“Kamu yang kenapa Senja?” balas Ibu sambil menatap tak percaya ke arah anaknya, “Kamu udah liat sendiri kan? Sampai hari ini Bara masih gak ada kabar. Dia bahkan gak pulang seperti janjinya dulu.”

“Apa lagi yang kamu tunggu? Apa lagi yang kamu harapkan dari dia sih, Nja?” suara Ibu juga ikut lirih.

Senja menggeleng dengan raut wajahnya yang tidak habis pikir akan ucapan sang Ibu barusan.

“Kok bisa-bisanya ya Ibu bilang kayak gitu, sementara kita gak tau Bang Bara masih hidup di sana atau nggak?” tutur Senja.

“Di saat pacar aku sedang dalam keadaan antara hidup dan mati, Ibu terus-terusan pengen aku ngelupain dia.” timpal Senja. “Di mana sih hati Ibu? Aku sakit, Bu.”

“Justru karena Ibu nggak pengen liat kamu sampai sakit kayak gini makanya Ibu selalu pengen kamu belajar buat ngelupain Bara, Nja.”

Mata Ibu ikut berkaca-kaca, “Ibu pernah ada di posisi kamu. Meski Ayah kamu dulu bukan anggota khusus intelijen kayak Bara, tapi Ibu pernah ngerasain ditinggalin karena tugas untuk negara, Nja.”

“Ibu sama kayak kamu. Ibu selalu nunggu Ayah kamu buat pulang.”

“Tapi apa? Ayah kamu pulang ke Ibu dengan wujud yang udah gak bernyawa lagi. Ayah kamu pulang dengan harapan yang masih Ibu gantungkan tinggi-tinggi supaya kita bertiga bisa berkumpul lagi.”

“Dan dari harapan itu juga, Ibu masih sendiri sampai hari ini…”

“Ibu enggak mau kamu berakhir kayak Ibu, Nja.” si wanita paruh baya meraih tangan anaknya itu, menggenggamnya dengan erat.

“Ibu tau kamu cinta banget sama Bara, tapi kamu gak boleh nutup pintu buat orang lain untuk bisa masuk ke dalam hati kamu, Nja.”

“Sebelum terlambat… Kayak Ibu dulu,” timpal si paruh baya lirih.

Senja sudah tidak punya energi untuk menyela perkataan Ibu. Ia hanya bisa memijat keningnya sendiri masih sambil memikirkan Bara. Namun, saat wanita paruh itu memeluknya, pertahanan Senja runtuh. Ia seketika terisak.

“Udah ya?” Ibu mengusap pelan punggung Senja, “Kalau emang kamu ditakdirkan buat berakhir dengan Bara, sekarang dia pasti udah pulang. Ibu bahkan udah ngasih dia kesempatan, karena Ibu tau kamu sesayang itu sama dia. Tapi Ibu gak akan ngebiarin kamu mengharapkan hal yang gak pasti kek gini terlalu lama.”

“Jadi tolong dengerin Ibu sekali ini aja. Ya?” timpalnya, “Ibu gak akan maksa kamu buat nerima anak temen Ibu. Tapi Ibu harap kamu mau berkenalan sama dia.”

Si Ibu beralih menangkup wajah Senja lalu menyeka pipi sembab anaknya. “Sekarang kamu keluar ya? Mereka udah hampir sampai.”

Tepat setelah Ibu mengatakan hal itu, suara bel dari arah pintu utama menggema. Sontak si Ibu kaget lalu buru-buru merapikan rambut Senja yang sedikit acak-acakan agar terlihat lebih baik.

“Ayo, kamu yang bukain pintu. Ibu mau bikinin mereka teh di dapur dulu,” kata Ibu sembari menarik pelan tangan Senja hingga keluar dari kamarnya.

Senja pasrah. Untuk menolak dan meronta pun ia sudah tidak bisa. Kepalanya sudah penuh dengan pikiran tentang Bara. Bahkan di dalam dadanya sudah tidak ada lagi ruang selain rasa sakit yang mendera karena ketakutan jika ia akan kehilangan kekasih hatinya.

Semuanya sudah terlambat.

Apa yang Ibu takutkan terjadi.

Senja merasa ia tidak mampu untuk membuka hatinya lagi.

Dengan pandangan yang kosong, Senja pun berjalan gontai ke arah pintu. Ia lalu menarik napasnya dalam-dalam sebelum membuka benda tepat di hadapannya itu.

Namun, deru napas Senja seakan berhenti selama beberapa detik saat matanya bertemu pandang dengan netra madu yang sangat ia rindukan. Entah saat ini Senja sedang bermimpi atau mungkin berhalusinasi, sebab sekarang ia mendapati Bara tengah berdiri di depannya; tersenyum padanya.

“Nja…” suara Bara bergetar.

Kedua tungkai Senja lemas, tapi dengan sigap ia memeluk erat tengkuk pacarnya. Bersamaan dengan tangisan histerisnya.

“Abang kenapa baru pulang sih?” Senja tersengguk-sengguk. “Aku khawatir kamu kenapa-kenapa di sana tau gak? Aku takut, Abang.”

“Maafin aku ya,” gumam Bara lalu mengecup pundak Senja sejenak. “Maaf aku sedikit terlambat, Nja.”

Bara kemudian menarik dirinya dari pelukan Senja. Ia lalu beralih membingkai wajah pacarnya itu sambil menyeka pipi basah Senja.

“Tapi kamu lihat aku sekarang kan? Aku udah ada di sini, Nja.”

“Aku gak apa-apa, Sayang. Aku udah kembali ke kamu, Senjaku.”

Senja kembali terisak kala Bara mengecup lembut keningnya sebelum kembali mendekap erat tubuhnya. Saat itu pula Senja melampiaskan semua rindu yang telah lama ia pendam sendirian.

Rindu akan dekap Bara.

Rindu akan wangi tubuh Bara.

Dan Rindu akan bisikan cintanya.

“Aku sayang kamu, Nja.” bisik si pemilik lesung pipi. “Bahkan di saat aku berada dalam kondisi genting sekali pun, nama kamu selalu ada di hati dan kepalaku.”

“Aku juga takut bakal ninggalin kamu tanpa kata pamit,” jelas Bara. “Aku juga takut kita gak akan bisa ketemu kayak gini.”

“Aku takut gak bisa pulang…”

“…Dan yang lebih bikin aku takut lagi,” air mata Bara ikut menetes. “Aku takut bikin kamu menunggu selamanya untuk hal gak pasti.”

Kini giliran Senja yang menarik dirinya dari pelukan Bara. Senja memandangi wajah sang pujaan hati sambil membelai pipi Bara.

“Kamu tau gak? Kalau aku boleh jujur, aku lebih siap denger kamu bilang kalau kamu itu udah capek nunggu daripada aku harus bikin kamu nunggu lalu berakhir pilu.”

“Maaf ya karena udah bikin kamu nangis lagi? Maafin aku, Sayang.”

“Abang gak usah minta maaf. Aku udah legaaa banget ngeliat kamu pulang dengan selamat kek gini.”

Bara tersenyum tipis lalu melirik sekilas ke arah ruang tamu, “Ibu mana, Nja? Lagi gak di rumah?”

Senja menghela napasnya berat. Ia seketika baru tersadar bahwa sebentar lagi teman Ibu bersama anaknya juga pasti akan datang.

Lantas bagaimana dengan Bara?

Lalu bagaimana respon Ibunya?

“Ibu ada di dapur, Bang.”

“Aku pengen ketemu Ibu.”

Senja terlihat bimbang. Bara pun menyadari hal itu. Namun, belum sempat Bara bertanya, sosok Ibu yang ingin ia temui pun datang.

Ibu yang kini membawa nampan berisi beberapa gelas teh hangat seketika mematung. Kedua bola matanya melotot kala mendapati Senja dan Bara berdiri di ambang pintu utama; merasa tak percaya.

“Bu...”

Bara bergegas menghampiri Ibu, menyalaminya sejenak sebelum memilih untuk bersimpuh tepat di depan kaki si paruh baya. Bara berlutut sambil mendongak dan menatap dengan raut memohon.

“Bu, saya minta maaf gak pulang lebih awal sesuai waktu yang Ibu berikan ke saya.” ucap Jeva. “Tapi sekarang… Saya sudah berhasil menyelesaikan tugas saya, Bu.”

“Sebentar lagi saya juga akan segera dipindah divisi,” lanjut Bara. “Saya harap, saya belum terlambat buat meminta restu.”

“Bu, tolong beri saya kesempatan untuk meminang anak laki-laki Ibu. Saya pulang untuk Senja, Bu. Saya serius mau hidup dan mati serta susah senang sama Senja.”

Ibu menghembuskan napasnya pelan. Namun, belum sempat ia menjawab penuturan Jeva, tamu yang sejak siang tadi Ibu tunggu pun datang. Sosok wanita paruh baya bersama anak laki-lakinya yang seumuran dengan Senja kini telah berdiri di depan pintu.

Berdeham, Ibu lalu tersenyum tipis kepada sang teman lama yang bernama Tari itu. Sangat jelas kalau Tari kebingungan dan penasaran melihat Bara tengah duduk bersimpuh di depannya.

“Eh, Ri. Silakan masuk,” sapa Ibu dengan ramah. “Maaf ya, kamu dateng-dateng malah liat ginian.”

Senja yang berdiri di belakang Bara menatap Ibu dengan raut memelas. Sementara Bara yang telah menoleh ke arah Tari dan anak laki-lakinya pun seketika paham bahwa Ibu mungkin telah mengatur janji dengan mereka. Ia pun kembali mengingat bahwa Ibu pernah berkata akan segera menjodohkan Senja dengan lelaki pilihannya jika saja ia tak pulang.

“Ada apa ini, Lan?” tanya Tari.

Ibu melirik Bara sejenak sebelum kembali mempertemukan netra kelamnya dengan Tari. “Gak ada apa-apa kok, Ri. Ini calon mantu aku baru aja dateng dari tugas di luar kota, terus tiba-tiba minta restu aku buat ngelamar Senja.”

Ibu lalu meraih lengan Bara guna membantunya untuk berdiri.

“Ayo,” bisik Ibu ke Bara.

Senja sendiri tidak mampu lagi menahan senyumnya. Namun, ia kemudian dibuat khawatir saat mengingat bahwa Tari mungkin akan berprasangka buruk ke Ibu. Pasalnya, si Ibu telah mengatur janji dengan Tari dan anaknya tentang agenda perkenalan ini.

“Bar, Nja, ini Tante Tari.” Ibu buka suara, “Yang ada di sampingnya itu anaknya, namanya Langit.”

“Ibu ngundang Tante Tari sama Langit ke sini supaya kalian bisa saling kenal terus belajar banyak dari Langit,” Ibu berdeham. “Dia itu pengusaha sukses, kalian kan bisa tuh, minta kiat dari Langit sebelum nanti kalian buka usaha Parfum Refill buat sampingan.”

Ibu cengar-cengir ke Tari, “Bara sama Senja ini tertarik banget sama usaha Parfum Refill, Ri. Jadi aku pengen mereka belajar dulu.”

Tari mengangguk diikuti senyum tipis, “Boleh. Entar tanya-tanya aja sama Langit. Dia tau banyak pelaku usaha Parfum Refill tau.”

Tari kemudian melipat lengan.

“Tapi jujur aja nih ya, Lan. Aku pas mau ke sini tuh mikirnya kamu pengen anak-anak kita saling kenal karena mau jodohin mereka. Eh, ternyata Senja udah punya calon jodoh. Cakep lagi.”

Ibu terkekeh pelan. Ditepuknya pundak Tari sejenak lalu berkata.

“Aku kan cuma bilang pengen ngenalin Langit ke Senja, nggak ada omongan mau nge-jodohin. Jadi yang berharap lebih siapa?”

“Aku sih,” balas Tari lalu tertawa diikuti Ibu. Mereka seolah ada di dunia mereka sendiri sekarang.

“Maaf ya, Ri. Aku jadi bikin kamu patah hati karena gak bisa jadiin Senja mantu kamu,” canda si Ibu.

“Kamu telat sih, keduluan sama Bara. Kalau aja datangnya cepet, pasti kamu yang dapet deh, Ri.”

Tari kembali tertawa, “Iya nih. Tapi aku ikut seneng soal Bara sama Senja. Semoga lancar ya?”

Bara tersenyum, “Makasih, Tan. Saya juga minta maaf ya, karena bikin harapan Tante jadi pupus.”

“Ah, gak apa-apa. Santai aja, Bar. Lagian kalau Tante sama Ibunya Senja mau jodohin mereka, balik lagi sih, mereka mau apa nggak?”

“Tante aja yang kecentilan mikir buat jodohin mereka,” lanjut Tari.

“Lanjutin ngobrolnya di sofa aja, Tar.” Ibu menengahi. “Aku sampai lupa nyuruh kamu duduk loh ini.”

Senja mengulum bibir, sedang matanya tidak henti-hentinya menatap sang Ibu. Entah ini cara Ibu untuk ‘nge-les’ atau memang sudah menjadi plan B si wanita paruh baya. Namun, Senja amat bersyukur karena Ibu kini bisa menerima Bara tanpa harus pula menyakiti satu hati yang lainnya.

Hari yang sangat sibuk di stase Neurologi seolah tak pernah ada habisnya. Sama halnya yang kini sedang dirasakan oleh Jeva dan Biru. Setelah semalaman jaga di IGD, paginya pun mereka harus kembali memeriksa pasien di ruangan sebelum presentasi kasus. Sekarang, keduanya juga tengah melakukan visite dengan Konsulen mereka; Dokter Malik.

Jeva dan Biru bahkan nyaris tidak punya waktu untuk berbincang berdua sejak mereka harus mulai memeriksa masing-masing dua puluh lima pasien sebelum visite tadi. Meski begitu, mereka lantas menyempatkan diri untuk saling berbagi tatap sesekali walaupun dari kejauhan diikuti senyuman. Seolah hal itu menjadi salah satu cara untuk saling menyemangati.

Seperti sekarang, dimana Jeva yang sedang berdiri di samping bed pasien lantas tersenyum ke arah Biru. Pacarnya itu tengah menjelaskan kondisi pasien dari seberang tempatnya berdiri saat ini; tepatnya di sisi si Konsulen.

“Pasien berumur 34 tahun, Dok. Sejak empat hari lalu, pasien ini merasakan keluhan wajah merot ke kanan. Pasien juga tidak bisa menutup mata kiri, tidak bisa mengangkat alis.” tutur Biru.

“Tidak ada kejang, muntah dan penurunan kesadaran.” jelasnya.

Dokter Malik mengangguk kecil lalu beralih menanyakan hal yang sama ke pasien. Si Konsulen lalu menyocokkan keterangan Biru dengan pasien. Beruntung, sang pasien langsung membenarkan ucapan Biru. Pasalnya, tak sekali dua kali Biru, juga Koas lainnya, menemui pasien yang enggan menjelaskan kondisi sebenarnya ke Koas. Alhasil, mereka lantas memberi informasi yang beda pada Koas juga Dokter spesialis.

Tentunya hal itu bisa menjadi masalah bagi Koas. Sebab, pada akhirnya mereka yang diomeli karena dianggap tidak becus melakukan anamnesis ke pasien.

“Oke. Jadi bagaimana kriteria diagnosa penyakit ini, Biru?”

Biru menelan ludah. Dia melirik sejenak ke Jeva sebelum mulai menjawab pertanyaan Konsulen.

“Kriteria diagnosa untuk Bell’s palsy di antaranya Parese. N VII LMN, Lagophthalmus, Bell’s sign, Hyperacusis, serta Hypogeusia.”

“Tes untuk Hyperacusis namanya apa?” tanya Dokter Malik lagi.

“Stethoscope loudness balance test, Dok.” Biru bisa menjawab.

“Kalau untuk terapinya gimana, Jeva?” Dokter Malik beralih ke Jeva yang sedari tadi senyam-senyum melihat si pujaan hati.

Jeva yang hampir saja tertangkap basah memandangi Biru terus-terusan pun reflesk berdeham. Dia kemudian mulai menjawab.

“Untuk terapi Bell’s palsy, ada pemberian obat jenis Steroid, Methylprednisolone, 1mg/kgBB per hari selama enam hari, Dok.”

“Selanjutnya, ada pula pemberian Methylcobalamine 1000 sampai 1500 mg per hari dan pemberian Acyclovir 5x800 mg/hari selama 10 sampai 14 hari,” timpal Jeva.

“Cuma itu?” todong si Konsulen.

Jeva melirik Biru sesaat sebelum kembali menatap Dokter Malik.

“Tidak, Dok. Terapi selanjutnya ada Fisioterapi dengan prosedur Diathermi setelah hari ke empat,” sahut Jeva. “Kemudian, pasien diberikan komunikasi, informasi dan edukasi untuk mata. Pasien harus selalu memakai kaca mata, termasuk saat tidur. Mata yang Lagophthalmus ditutup kasa dan diberi salep atau artificial tears.”

Lagi, Dokter Malik mengangguk kecil sebelum kembali memberi atensi penuh kepada pasiennya. Dia membenarkan penjelasan Biru dan Jeva sebelum memberi tahu kepada pasien lebih rinci tentang kondisi yang dialami.

Saat itu pula Jeva dan Biru lantas menghela napasnya lega. Selain karena mereka bisa melewati tes dadakan dari konsulen, pasien ini pun menjadi pasien paling akhir yang mereka kunjungi sebelum jam istirahat makan siang nanti.

Usai Dokter Malik memeriksa dan berkomunikasi dengan si pasien, dia kemudian mengajak Jeva dan Biru untuk keluar dari ruangan. Kedua anak Koas itu berjalan bersisian di belakang si Konsulen yang kini bersuara.

“Biru nanti mau ngambil spesialis kayak Papa sama Mamanya ya?” tanya Dokter Malik. “Kalau saya perhatiin, kamu selama stase di sini udah tau banyak soal saraf.”

“Saya belum kepikiran sampai ke sana, Dok. Sekarang juga masih lagi banyak-banyak belajar.” Biru menjawab jujur. “Masih ada stase yang belum saya lewati juga, jadi belum tau yang cocok buat saya.”

“Kalau Jeva? Saya liat kamu juga semangat banget di Neurologi, udah tau banyak kayak Biru tadi.”

“Saya juga belum tau mau lanjut spesialis apa, Dok.” sahut Jeva.

“Tapi saya mau belajar banyak soal Neurologi, soalnya orang tua pacar saya Neurosurgeon.”

“Mana tau nanti saya diterima jadi mantu kalau paham obrolan soal saraf, Dok.” timpal Jeva yang membuat Biru refleks mencubit lengan Jeva. Dia lantas mendesis.

Dokter Malik yang mendengar hal itu sontak tertawa renyah.

“Belajar soal Neurologi itu buat nolong orang, bukan modus ke orang tua pacar. Kamu ini ada-ada aja,” tutur sang Konsulen.

Jeva pun hanya cengar-cengir ketika Dokter Malik berhenti melangkah. Konsulen itu pun berbalik ke arahnya dan Biru saat mereka telah sampai tepat di depan pintu ruang rawat pasien.

“Kalau gitu, selamat melanjutkan aktivitas kalian ya. Saya ke poli dulu,” pamit Dokter Malik lalu meninggalkan Jeva dan Biru.

“Akhirnyaa aku bisa berdua sama kamu, Bi.” Jeva seketika memelas.

Biru lantas geleng-geleng. Dia lalu menoyor pelan kepala Jeva diikuti kekehan sebelum berkata.

In your dream.”

“Loh, kan bener. Abis ini kita mau makan siang berdua di ruang Koas kan?” balas Jeva.

“Iya, tapi kamu duluan aja.” Biru menghela napas, “Aku harus ke Departemen Radiologi abis ini.”

“Ngapain? Sepuluh menit lagi jam istirahat, Bi.” Jeva heran.

“Pasien di bed ketiga tadi udah butuh CT Scan, Jev. Kalau aku bawa surat ke radiologi abis ini, hasilnya juga bakal cepet keluar.”

“Biar aku aja yang bawain,” tawar Jeva. “Pagi tadi kamu sarapannya udah dikit, masa makan siangnya juga telat? Kasian tubuh kamu.”

Biru tersenyum tipis. Ditepuknya pundak Jeva sejenak lalu berkata.

“Pasien itu di bawah pengawasan aku, entar malah jadi masalah loh buat kita kalau kamu yang bawa.”

“Udah ya? Aku nggak bakal lama.” timpalnya lalu berbisik di depan wajah si pacar, “See you, Sayang.”

Jeva mengangguk pasrah, “Oke.”

Biru lalu mencubit gemas hidung Jeva sesaat sebelum dia berjalan meninggalkan area ruang rawat. Sementara itu, Jeva sendiri tidak mampu lagi menahan gejolak di dalam dadanya. Jeva membekap mulutnya sendiri dan menahan teriakan sebelum berbalik badan ke arah tembok. Di sana pula dia menyembunyikan mukanya yang telah panas karena ulah si pacar.

Di lain tempat, Biru yang sedang dalam perjalanan ke departemen radiologi pun tak henti mengulas senyumnya. Meski nyatanya Biru sudah mulai merasa lemas juga lapar, tapi eksistensi Jeva selalu membuatnya sedikit lebih kuat untuk tetap melanjutkan harinya.

Seperti sekarang, saat beberapa staff rumah sakit mulai bersiap untuk makan siang, Biru justru masih berkeliaran di departemen Radiologi. Beruntung, surat yang dia bawa tadi langsung diterima. Alhasil, kini Biru hanya perlu ‘tuk kembali ke ruang rawat sejenak sebelum menyusul Jeva nantinya.

Namun, saat dalam perjalanan menuju ruang rawat, Biru lantas dibuat kaget kala seseorang tiba-tiba menjegal lengannya. Dia pun nyaris memberi perlawanan pada sosok yang menyeretnya ke arah tembok itu jika saja Biru tidak segera menyadari bahwa Jeva lah pelakunya. Biru pun mendengus.

“Kamu apa-apaan sih?” kata Biru pada Jeva yang berdiri di depan tubuhnya, membuat dia berada di dalam kurungan tubuh Jeva. “Aku lagi buru-buru, mau ke—”

“Hushh…” Jeva meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Biru, “Entar ada yang ngeliat kita, Bi.”

Penuturan Jeva sontak membuat kedua bola mata Biru terbelalak.

“Emang kamu mau ngapain?”

Jeva terkekeh sambil merogoh saku snelinya. Diraihnya onigiri yang dia bawa, dibuka, sebelum disodorkan di depan bibir Biru.

“Kamu gak boleh telat makan, Bi.” kata Jeva. “Ayo, dibuka mulutnya. Biar perut kamu ada isinya dikit.”

Tersenyum haru, Biru kemudian menuruti titah pacarnya itu. Dia melahap onigiri isi ayam kecap yang Jeva sodorkan kepadanya sambil menatap Jeva lekat-lekat.

Tanpa sadar, mata Biru lantas berkaca-kaca. Perlakuan Jeva padanya membuat Biru semakin sadar bahwa dirinya juga butuh seseorang untuk bersandar. Dia yang biasanya lebih memilih ‘tuk memendam segala sesuatu agar tak membuat orang lain khawatir justru tidak perlu melakukan hal itu lagi di hadapan Jeva. Sebab, si pacar sudah lebih dulu memberi perhatiannya dengan amat sigap.

“Nih, diminum airnya.” kata Jeva yang kali ini menyodorkan air mineral yang juga dia kantongi.

Lagi, Biru pun menurut. Setelah menenggak air itu, Biru lantas membelai lembut pipi pacarnya diikuti senyum semanis madu.

“Makasih ya, Jev.” ucap Biru. “Aku musti ke ruang rawat sekarang.”

“Oke,” Jeva mengusap pelan bahu Biru. “Semangat ya, Sayang. Abis ini kita udah bisa makan bare—”

Jeva tersentak saat Biru tiba-tiba mengecup kilat bibirnya. Alhasil, Jeva hanya mampu mematung sambil menatap Biru tak percaya.

“Mumpung gak ada orang,” kata Biru sambil menahan senyum. “Kamu ke ruang Koas gih. Bye.”

Kepala Jeva mengangguk kecil, sedang senyumnya dia kulum. Lagi, Biru membuatnya salah tingkah sebelum pergi. Membuat Jeva kini meninju udara seorang diri sambil menahan pekikannya.

Senja yang semula sedang duduk termenung di tepi ranjang lantas tersentak ketika pintu kamarnya diketuk dari luar. Buru-buru ia bangkit sebelum membuka pintu hingga mendapati Bara berdiri di hadapannya. Sang mantan pacar kemudian tersenyum tipis sambil mengangkat dua paper bag yang Senja sendiri tak tahu isinya apa.

“Buat kamu,” tutur Bara seraya menyodorkan dua paper bag itu.

Namun, bukannya meraih paper bag pemberian Bara, Senja justru mendekap erat tubuh si mantan pacar. Saat itu pula tangis Senja yang sedari tadi ditahannya pun terbebas. Ia terisak dengan wajah yang tenggelam di pundak Bara.

Mendengar tangisan pilu Senja membuat Bara juga nyaris ikut terisak. Tapi ia berusaha untuk menahannya. Ia harus bisa selalu kuat untuk Senjanya, pikir Bara.

“Kamu kenapa nangis, hm?” bisik Bara sambil membalas pelukan Senja. Sesekali Bara mengusap lembut belakang kepala Senja.

“Aku kangen kamu,” lirih Senja.

Bara menipiskan bibirnya. Ia lalu mendorong pelan tubuh Senja guna melihat wajah cantik yang selalu ia puja. Satu tangan Bara kemudian bergerak, membelai pipi Senja yang telah sembab karena deraian air matanya.

“Aku juga kangen kamu, Nja.”

“Aku selalu kangen sama kamu.”

“Gak ada sedetik pun waktu aku yang terlewatkan tanpa mikirin kamu, Senjaku.” Bara menimpali.

“Terus kenapa kamu pengen ninggalin aku ke luar kota sih, Bang?” balas Senja, “Apa selama ini cuma aku ya, yang gagal move on dari kamu sejak kita putus?”

“Apa kamu udah gak punya rasa lagi buat aku, sampai kamu bisa pergi jauh gitu aja dari aku?” timpal Senja, Bara menggeleng.

“Hey,” telunjuk Bara mencolek pelan ujung hidung bangir Senja.

“Kalau aja aku udah move on dan gak punya rasa lagi sama kamu, aku gak mungkin datang ke sini buat pamitan kek sekarang, Nja.”

“Perasaan aku ke kamu enggak pernah berubah. Kamu masih sama pentingnya buat aku,” kata Bara. “Jadi aku ke sini buat pamit sekaligus ngasih tahu alasan aku harus pergi dan ninggalin kamu.”

Bara menghela napasnya pelan, “Aku dapat penugasan yang sulit, aku juga ga akan nutup-nutupin kalau ini beresiko buat aku, Nja.”

“Tapi aku bertekad buat berhasil dalam misi ini,” katanya. “Karena kalau aku berhasil, aku bakalan dipindah ke divisi lain, yang gak mengharuskan aku selalu terjun langsung ke lapangan lagi, Nja.”

“Dengan begitu juga, aku gak bakal bikin kamu takut lagi…” sambungnya, “Aku pun berharap besar kalau kamu mau kembali sama aku setelah aku dipindah divisi nanti. Aku mau kita berdua memulai kembali kisah kita lagi.”

Air mata Senja kembali mengalir deras. Kepalanya ia gelengkan.

“Bang, kamu gak perlu ngelakuin ini.” lirih Senja lalu terisak pelan.

“Aku bakalan berusaha buat lebih kuat untuk kamu. Kita bisa kok kembali lagi tanpa kamu harus pergi. Tolong, jangan pergi. Ya?”

Senja meraih satu tangan Bara lalu menciuminya sejenak, “Aku sayang kamu, Bang. Aku minta maaf karena belum bisa ngertiin kamu waktu itu. Tapi, sekarang aku bakalan berusaha. Aku janji.”

“Jadi gak usah pergi yaa?” pinta Senja lagi, “Gak usah bikin nyawa kamu dalam bahaya di luar kota.”

“Nja,” kini Bara yang menciumi tangan Senja sejenak sebelum berkata. “Kalau aku nggak pergi sekali pun, nyawa aku akan tetap ada dalam bahaya setiap saat…”

“Sedangkan kalau aku pergi, aku ada pegangan buat bisa nikahin kamu setelahnya,” kata Bara. “Aku mau nikahin kamu tanpa harus bikin kamu ngerasa tersiksa lagi.”

Satu tangan Bara lalu beralih mengusap lembut surai Senja.

“Kamu masih inget kan janji aku dulu? Aku selalu janji gak bakal kenapa-kenapa demi kamu, Nja.”

“Jadi kamu gak usah takut ya? Aku pergi untuk kembali. Aku pergi untuk pulang dan nikahin kamu, seperti mimpi kita dulu.”

Senja tidak mengatakan apa-apa, namun kedua lengannya lantas ia kalungkan di tenguk Bara. Senja kemudian menciumi bibir lelaki yang masih sangat ia cintai itu dengan amat bernafsu, seolah tidak akan ada lagi hari esok. Di sana pula ia menahan isakannya, meski air matanya tetap jatuh.

Tidak hanya Senja, kini Bara pun melakukan hal serupa. Perlahan Bara mendorong pelan tubuh si pujaan hati hingga mereka yang semula berdiri di ambang pintu akhirnya masuk ke dalam kamar.

Tanpa memutus ciuman mereka, satu tangan Bara lantas menutup pintu kamar. Setelahnya, ia pun menyempatkan dirinya untuk meletakkan dua paper bag—yang sedari tadi ia bawa—di atas meja.

Sampai saat Bara dan Senja telah berdiri di samping tempat tidur, masih sambil memagut mesra, Senja tiba-tiba menghentikan ciuman mereka. Senja beralih menatap wajah Bara lekat-lekat.

“Abang perginya kapan?”

“Masih tiga hari lagi, Nja.” jawab Bara sambil menyeka pipi Senja.

Senja mengangguk kecil, “Abang bisa nginep enggak, malam ini?”

“Kamu pengen aku nginep?”

“Mm,” gumam Senja dengan raut memohon. “Aku… Pengen meluk kamu semalaman sebelum pergi.”

“Oke, aku nginep.” Bara setuju, “Kalau gitu kamu rebahan gih, Nja. Katanya pengen meluk aku.”

Senja mencebik diikuti gelengan pelan, “Masih pengen ciuman.”

Tersenyum tipis, Bara kemudian memeluk erat pinggang ramping Senja. Sementara itu, dua lengan Senja yang sedari tadi tak pernah lepas dari tengkuk Bara pun kian ia eratkan di sana. Pasalnya, Bara tiba-tiba mengangkat tubuhnya. Membuat kedua kaki Senja lantas ikut melingkari pinggang Bara.

Kedua anak manusia itu pun kembali berbagi lumatan mesra dengan Bara yang menggendong Senja. Decak air ludah memenuhi kamar kos-an itu beberapa saat sebelum Bara meletakkan tubuh Senja di atas ranjangnya dengan posisi terlentang. Bara yang kini mengungkung tubuh Senja pun melepaskan pagutannya sejenak guna memandangi wajah Senja.

“Abang kenapa ngeliatin aku kek gitu sih?” Senja tersipu, sebab tatapan Bara sangat lah dalam.

“Kamu cantik, Nja.” jawab Bara. “Aku pengen puas-puasin liat wajah cantik kamu malam ini.”

Senja tersenyum tipis. Ia kembali memejamkan mata ketika Bara memagut bibirnya lagi. Berbeda dari sebelumnya, dimana ciuman yang mereka bagi sangat tergesa, kali ini Senja dan Bara saling melumat lembut. Pagutan itu amat hati-hati dan penuh afeksi.

Cukup puas saling berbagi kecup mesra, Bara lantas menyudahi aksi mereka. Ia kemudian beralih merebahkan tubuhnya di sisi kiri Senja; posisi Bara menyamping.

Dengan satu tangan yang Bara gunakan untuk menopang kepala nya, Bara lantas leluasa menatap wajah cantik Senja. Sedang yang diperlakukan demikian terdiam sejenak sambil menahan senyum.

“Abang…”

Bara tersenyum, “Mm?”

“Aku minta maaf ya,” ucap Senja.

“Maaf karena aku malah nyerah waktu itu,” timpalnya. “Aku pikir, dengan kita putus, aku gak bakal ngerasa takut dan tersiksa lagi karena selalu mikirin soal kamu.”

“Tapi nyatanya, aku jauh lebih tersiksa karena enggak ada di samping kamu. Aku makin takut karena gak tau apa-apa tentang kamu setelah kita putus.” katanya lalu menghela napas. “Aku nggak bisa ngelupain kamu, Bang. Aku gak bisa ngebiarin kamu berada di antara hidup dan mati sendiri.”

“Aku pengen jadi tempat kamu pulang. Aku pengen kamu mau berbagi kisah soal kerjaan kamu lagi sama aku,” timpalnya lirih.

“Aku pengen kuat buat kamu...” tutur Senja, “Aku pengen nerima kamu dan pekerjaan kamu meski aku tau kalau rasanya menyiksa.”

“Karena aku bakalan lebih sakit lagi kalau nggak ada di samping kamu, Bang. Aku nggak sanggup pura-pura gak peduli, padahal di dalam hati aku, aku ini khawatir.”

Bara mengangguk. Satu tangan Bara kemudian membelai pipi Senjanya dengan begitu lembut.

“Aku juga minta maaf ya, Nja.” katanya, “Aku juga gak ngertiin mau kamu waktu itu. Aku tau, kamu frustasi karena khawatir dan takut aku kenapa-kenapa.”

“Tapi aku malah nggak terbuka sama kamu saat itu juga cuma karena pikiran aku sendiri soal kamu,” jelasnya. “Maafin aku ya?”

Senja mengangguk. “Iya, Bang.”

“Jadi…” ibu jari Bara kemudian beralih mengusap bibir Senja. “Aku udah boleh manggil kamu ‘pacar cantikku’ lagi kan, Nja?”

“Bukannya tadi Abang bilang kalau pengen nikah sama aku?” Senja melirik ke arah lain, “Kok masih pacar? Apa gak jadi ya?”

Bara terkekeh, “Jadi, kalau kamu mau. Kan kamunya belum jawab.”

“Mau,” sahut Senja. “Aku mau.”

Menghela napas lega, Bara lalu mendekap erat tubuh Senja. Pun Senja yang juga telah berbaring menyamping, menghadap tepat ke arahnya. Kedua anak manusia itu berbagi pelukan sesaat sambil merasakan detak jantung mereka yang seirama bagai alunan nada.

“Nja, kamu tau nggak?” gumam Bara. “Di luar kota nanti, aku tuh bakal nyamar jadi tukang parfum refill lagi kayak pas kita ketemu.”

Senja pun mendongak, menatap wajah Bara sejenak sebelum ia tiba-tiba mendorong tubuh sang pacar. Alhasil, pelukan keduanya seketika terlepas. Membuat Bara yang kini kebingungan melotot. Terlebih, saat Senja justru beralih berbaring membelakangi dirinya.

“Terus nanti Abang bakal bikin parfum untitled lagi gitu buat seseorang?” Senja mencebik.

“Jangan-jangan, entar kamu juga bakal ketemu Senja lain di sana.”

Sadar jika Senjanya merajuk, Bara pun terkekeh lalu memeluk erat pinggang ramping pacarnya itu dari belakang. Bara kemudian mengecup lembut pipi kiri Senja.

“Parfum yang aku bikin kemarin itu cuma buat kamu, Nja.” tutur Bara, “Meskipun orang lain pake parfum serupa, tapi wanginya itu gak akan pernah sama kalo kamu yang pake, Cantikku. Wangi itu cuma tercipta buat kamu, Nja.”

“Abang cuma gombal kan?” tanya Senja lalu melirik ke arah Bara.

“Mulut aku emang jago bohong, aku pinter pura-pura kalau lagi kerja,” sahut Bara. “Tapi coba liat mata aku, Nja. Cari kebohongan di sana. Bilang ke aku kalau ada.”

“Aku mana tau bedain mata yang bohong sama gak,” kekeh Senja. “Aku bukan intelijen kek Abang.”

Bara ikut terkekeh pelan.

“Kamu liatnya pake dua mata aja sih, coba kamu pake mata yang ada di sini juga.” katanya sembari menuntun tangan Senja agar mendarat di dadanya sendiri.

Senja tersenyum, “Aku dan hati aku selalu percaya sama Abang.”

Bara lalu kembali menciumi pipi Senja, “Makasih ya, Sayang. Aku bakalan jaga kepercayaan kamu.”

“Aku pegang ucapan Abang ya,” tegas Senja diikuti kekehannya.

“Iya, Cantikku.” kekeh Bara.

“Oh iya, Bang. Tadi kamu bawa apa buat aku?” Senja penasaran.

“Yang di paper bag itu, Nja?”

“Mm,” gumam Senja.

“Aku bawain kamu parfum, mana tau besok-besok parfum kamu yang dari aku abis, terus di luar kota biangnya langka.” kata Bara, “Jadi aku udah bikinin stock yang banyak, biar kamu enggak ganti parfum ke merek yang lain, Nja.”

“Sama kayak yang bikin…” lanjut Bara, “Kamu juga jangan gantiin aku ke lain hati ya, Cantikku?”

Senja terkekeh, “Iya, Abaaang.”

Sepuntung rokok bertengger di celah ranum Senja. Kepulan asap pun kemudian berhembus pelan dari sana. Ditemani dengan satu cangkir kopi di atas meja, Senja benar-benar mencoba membuat pikirannya untuk lebih tenang.

Saat ini Senja tengah duduk di meja Warkop yang tak terlalu jauh dari kantornya. Sebelum pulang ke kos-an, Senja lantas memilih untuk mampir sejenak.

Sebab, ia merasa bahwa dirinya hanya akan semakin kepikiran tentang Bara jika berdiam diri saja di kamarnya. Alhasil, Senja pun menerima ajakan teman-teman kantornya ke Warkop.

“Permisi, Mas. Ini kursinya masih kosong apa ada yang punya ya?”

Lamunan singkat Senja seketika buyar saat seseorang datang dan menghampiri mejanya. Senja pun mendongak guna memandangi si pria yang baru saja bersuara. Dan alangkah kagetnya Senja ketika ia sadar bahwa sosok itu ialah Bara.

Meskipun Bara tengah memakai topi hitam serta menggunakan kumis yang sudah jelas palsu itu, Senja lantas bisa mengenali sang pacar dengan mudah. Seakan ia telah terbiasa melihat wujud lain dari Bara ketika berganti peran.

Tak hanya Senja, Bara pun sama kagetnya. Namun, ia lantas tak menunjukkan hal itu. Bara tetap terlihat tenang lalu tersenyum ramah kepada Senja. Seolah ia tidak mengenali pacarnya itu.

“Kosong kok, Bang. Duduk aja.”

Salah satu teman kantor Senja pun bersuara, mempersilakan Bara agar duduk di meja mereka. Sebab, memang masih ada satu buah kursi kosong yang tersisa. Sementara itu, Senja sendiri tak berkutik. Ia kemudian menelan ludah kala Bara duduk di sisinya.

Gue harus gimana? Batin Senja.

“Warkopnya lagi rame banget ya, sampai penuh-penuh gini kursi sama mejanya.” kata Bara yang jelas mencoba untuk berbaur di tengah-tengah teman pacarnya.

“Iya nih, Bang.” kata teman Senja yang lain, “Abang sering ke sini?”

“Sering, saya kan orang sini. Tuh, rumah saya ada di jalan belakang. Tinggal masuk dikit,” jawab Bara.

Ya, Senja tau pasti bahwa saat ini Bara tengah berbohong. Lebih tepatnya mendalami peran. Senja tau rumah Bara bukan lah di sini. Namun, secara tidak langsung, kini Senja telah tau bahwa Bara bertugas di sekitaran Warkop.

“Mas-Masnya udah dari tadi?”

Bara kembali bertanya sebelum menoleh ke arah Senja yang kini masih berlanjut menghisap pelan rokoknya. Gulungan bakau yang semula Senja gunakan untuk bisa melepas stress kini lantas beralih fungsi ’tuk menahan rasa gugup.

Rasanya sangat aneh saat harus berpura-pura tidak mengenali sang pacar. Namun, sejak awal ia telah siap dan sepakat menerima konsekuensi ini. Bara pun sudah mewanti-wanti dirinya dahulu.

“Udah, Bang.” kata Senja, sedang kedua teman kantornya yang lain lantas mengangguk menyetujui.

Bara tersenyum. Satu tangannya kemudian bergerak, mengelus-elus kumis palsu yang ia pakai. Hal itu membuat Senja seketika menahan diri agar tidak tertawa. Jika tidak, penyamaran si pacar mungkin akan segera tercium.

“Mas-nya perokok aktif ya?”

Senja berdeham. Padahal Bara sudah tau jawabannya. Ia bukan lah seorang perokok aktif. Bara bahkan baru kali ini melihatnya merokok secara langsung. Sebab, sebelumnya ia sempat bercerita ke Bara jika dirinya pernah coba-coba merokok saat masih kuliah.

“Bukan, Bang. Saya ngerokok kalau lagi banyak pikiran aja.”

“Mm,” Bara mengangguk pelan, “Mas-nya udah punya pacar?”

Senja tersenyum kikuk sebelum melirik sejenak ke dua teman kantornya. Kedua laki-laki yang duduk di seberang kursinya itu jelas sedang menahan tawanya. Mereka mungkin berpikir kalau Senja kaget karena ditanyai soal pacar oleh bapak-bapak random.

Belum tau aja kalau yang mereka liat ini tuh pacar gue, batin Senja.

“Udah, Bang.” jawab Senja.

“Pacar dia Polisi, Bang.” timpal salah seorang teman Senja.

Selama ini, yang teman-teman Senja tau, pacarnya memang lah Polisi yang bekerja di kantor saja. Padahal, Bara adalah Polisi tidak berseragam. Namun, Senjak tak boleh memberitahu tentang itu.

“Pantes Masnya banyak pikiran.” kekeh Bara, “Kangen pacar kali.”

“Iya, Bang.” balas Senja.

“Pacar Mas ini ngizinin Masnya ngerokok ya?” tanya Bara lagi.

Senja berdeham. Bara memang tidak pernah melarangnya untuk melakukan sesuatu yang ia suka. Namun, pacarnya itu kerap kali memberitahunya agar menjauhi rokok. Senja merasa tertangkap basah lalu sidang Bara sekarang.

“Pacar saya gak pernah bilang ngelarang, gak bilang ngizinin juga.” sahut Senja, “Tapi pacar saya selalu berpesan supaya saya ngusahain jauh-jauh dari rokok.”

“Ayah pacar saya pernah sakit dan hampir meninggal karena rokok soalnya.” sambung Senja.

Bara mengangguk. “Pacar Mas ini sayang banget sama Mas berarti. Dia takut tuh kehilangan si Mas.”

“Saya juga gitu ke calon suami saya,” timpal Bara. “Saya selalu mendukung apapun yang calon suami saya sukai atau senangi.”

“Tapi kalau itu membahayakan dirinya sendiri terus bisa bikin saya kehilangan dia, saya nggak mungkin ngeliatin aja. Termasuk masalah rokok juga,” kekeh Bara.

“Kalau sekali atau dua kali sih gak apa-apa,” tuturnya, “Tapi yang namanya rokok, dicoba sekali atau dua kali bisa bikin kecanduan juga kan akhirnya?”

Senja mengangguk. “Iya, Bang.”

Puntung rokok yang masih Senja pegang lantas ia letakkan di atas asbak sejenak. Setelahnya, ujung rokok itu ia pertemukan dengan permukaan asbak hingga kepulan asap dari sana perlahan padam.

“Udah malem nih, Bang. Kalau gitu saya sama temen-temen saya duluan ya,” pamit Senja.

Senja kemudian memberi kode kepada dua orang temannya itu. Mereka pun telah selesai dengan kopi serta rokoknya sedari tadi.

“Silakan, Mas.” balas Bara.

Bangkit dari kursinya, Senja dan kedua temannya pun perlahan beranjak dari Warkop. Sesekali Senja menoleh ke arah Bara saat ia sampai di parkiran. Sembari menunggu teman-temannya itu mengambil motor, Senja lantas menahan senyum melihat Bara juga tengah memandanginya dari jauh. Namun hal itu nyatanya tak berlangsung lama, sebab si pacar kembali fokus kepada tugasnya.

“Kayaknya kita emang ditakdirin buat ngedate berdua deh malam ini, Bi.” kekeh Jeva yang berjalan di samping kanan pacarnya; Biru.

Usai menjenguk Ray kemudian berpamitan kepada kedua orang tua teman Koas mereka itu, kini Jeva dan Biru telah bersiap untuk meninggalkan rumah sakit. Hari lantas sudah nyaris berganti jadi malam, langit mulai menjingga. Dimana artinya, rencana mereka untuk berkencan pun akan tiba.

“Mm,” Biru lalu bergumam setuju. “Kamu pasti seneng banget kan?”

Jeva cengar-cengir, “Seneng lah.”

“Tapi kamu pengen makan apa sih abis ini?” Biru mendongak pada si pacar yang sedikit lebih tinggi darinya. “Aku kek lagi gak pengen nasi deh, Jev. Tapi laper.”

“Ke Marugame aja yuk,” ajak Jeva lalu merangkul bahu Biru. “Udah lama juga kita gak makan berdua di sana, biasanya pasti ada Dara.”

“Ya kan kamu ngakunya pacaran sama Dara waktu itu,” kata Biru. “Makanya aku ajakin dia mulu.”

Jeva kembali terkekeh. “Kan yang sama Dara itu boongan, Sayang.”

“Kalau sekarang, aku beneran udah makan sama pacar aku.”

Biru tersenyum meledek lalu kembali menatap jalan di depan mereka. Dia menghela napasnya.

“Tapi gak seru ah,” katanya.

Sontak Jeva kaget. “Nggak seru gimana maksud kamu, Sayang?”

“Gak seru, soalnya kita gak bisa sharing terus makan semangkuk berdua gara-gara selera kita tuh beda.” sahut Biru, “Kamunya suka Niku Udon, aku suka Beef Curry.”

Jeva mengulum senyumnya. Biru selalu saja membuat Jeva salah tingkah dengan kata-kata yang menjurus ke arah flirting seperti saat ini. Namun, Jeva tidak ingin kalah. Alhasil, dia pun bersuara.

“Kamu mau makan semangkuk berdua sama aku?” tanya Jeva, sedang Biru lantas ikut menahan senyum sebelum mengangguk.

“Bisa kok,” kata Jeva. “Kita ambil jalan tengah, makan yang Abura.”

Biru tertawa kecil, “Kenapa jalan tengahnya malah menu yang kita sama-sama gak suka sih? Aneh.”

“Kan yang paling penting, kita-nya udah saling suka,” jawab Jeva.

“Jadi walau pun kita pesen menu yang gak kita suka, tapi kita bisa tetep ngerasa seneng tau, karena makannya sama orang yang kita suka.” ucap Jeva dengan bangga.

“Seneng iya, kenyang kaga.” ledek Biru lalu menoyor kepala Jeva, membuat rangkulan si pacar di pundaknya itu seketika terlepas.

Biru kemudian berjalan terlebih dahulu ke arah mobil Jeva yang ada di parkiran. Dia diam-diam tersenyum karena ucapan Jeva tadi. Sementara itu, Jeva yang tertinggal di belakang sana pun mengacak-acak rambut frustasi. Sebab, Jeva berpikir bahwa Biru mungkin geli dengan ucapannya.

Dia harus belajar flirting lebih keras lagi setelah ini, pikir Jeva.

Jeva hanya belum tahu saja kalau Biru lantas tersipu di depan sana.

Sampai saat Biru telah berdiri di samping mobil Jeva, pacarnya itu buru-buru membuka kunci juga pintu untuknya. Biru pun hanya tersenyum kecil sebagai ucapan terima kasih sebelum masuk ke dalam kendaraan Jeva lebih dulu.

Setelahnya, Jeva kemudian ikut masuk dan duduk di belakang kemudi. Namun, belum sempat Jeva menyalakan mesin, gawai di saku celananya lantas berbunyi.

“Bentar ya, Bi.”

“Mm.”

Biru pun bersandar di jok sambil memandangi Jeva dari samping. Dia memerhatikan Jeva yang kini melihat si penelpon di gawainya.

“Mama aku,” kata Jeva sebelum menunjukkan layarnya ke Biru.

Biru pun memicing, “Kok malah ditunjukin ke aku? Ya diangkat.”

“Gak apa-apa,” Jeva cengengesan. “Aku pengen kamu tau aja. Mana tau kamu udah cemburu kalau ada yang nelpon pacar kamu.”

Biru mendengus pelan.

“Aku gak bakalan cemburu selagi kamu gak telponan buat hal-hal yang gak guna, Jev. Apalagi kalau sama mantan kamu.” tegas Biru.

You are being possessive here, hm?” goda Jeva, tapi Biru hanya geleng-geleng kepala sebelum menunjuk ponsel pacarnya itu dengan dagu. “Cepet diangkat.”

Jeva pun menurut. Dia menjawab panggilan telepon dari Mamanya lalu menyalakan loud speakernya agar Biru juga dapat mendengar.

“Halo, Ma.”

“Dek, kamu hari ini gak pulang?”

Jeva yang sedari tadi tengah asik memandangi Biru lantas senyum, masih sambil menggenggam HP.

“Pulang kok, Maaa. Tapi aku mau nge-date dulu sama Biru. Abis ini kita bakal makan malam di luar.”

Biru yang mendengar hal itu pun refleks membuang pandangan ke luar jendela. Ia menahan senyum.

“Padahal baru aja loh Mama mau ngajakin kalian makan malam.”

“Entar Minggu depan aku bawa Biru ke rumah deh, Ma. Soalnya dia lagi pengen Marugame nih.”

“Kamu ya yang ngajak,” bisik Biru sambil menatap datar wajah Jeva.

“Oh? Kalau gitu jadi dong makan malamnya,” kata si wanita paruh baya dari seberang sana. “Mama tuh mau ngajakin kalian makan di sana, Papa kamu juga pengen.”

Biru menelan ludah, sementara Jeva tersenyum sambil menatap wajah gugup si pacar di sisinya.

“Gimana, Bi? Kamu mau gak?”

Biru berdeham, “Iya, boleh.”

Jeva tersenyum puas sebelum mengacak-acak sejenak surai hitam Biru. Setelahnya, dia pun kembali memusatkan atensinya kepada sang Mama di telepon.

“Biru setuju, Ma. Kalau gitu kita ketemu di sana aja ya,” katanya. “Mama sama Papa mau makan di cabang yang deket rumah kan?”

“Iya, Dek. Mama tunggu ya.”

“Oke, Ma. See you.”

Tepat setelah Jeva memutus sambungan teleponnya dengan si Mama, Biru lantas memukul pelan bahu sang pacar. Alhasil, Jeva yang kaget pun mendesis.

“Bi, kamu kok mukul aku?”

“Kamu sengaja ya ngajak aku ke Marugame biar kita ketemuan sama orang tua kamu?” Biru lalu mendesis, “Mana aku cuma pake pakaian yang kayak gini lagi, Jev.”

“Kamu nyebelin ah,” rengeknya.

Jeva terkekeh lalu menggeleng.

“Aku nggak tau kalau Mama mau ngajakin kita ke Marugame juga. Sumpah,” balas Jeva lalu menatap Biru dari kepala ke ujung kaki.

“Emang apa yang salah deh sama pakaian kamu?” timpal Jeva. “You are gorgeous, as always, Sayang.”

“Tapi aku kaos-an sama pakai kardigan gini doang, Jev.” Biru memelas, “Aku gak kayak anak kedokteran banget sekarang.”

Jeva tergelak. Dengan sisa-sisa tawanya, dia pun mencubit pipi Biru gemas. Membuat si empu seketika mendesis kesakitan.

“Terus kamu pengen make baju apa? Kemeja lengan panjang ya? Apa baju kaos berkerah, celana kain, terus luarannya sneli gitu?”

Jeva lalu membingkai wajah sang pacar, “Kamu tuh mau ketemuan sama calon mertua kamu, bukan mau ke RS. Pakai baju gini nggak apa-apa. Ini udah sopan kok, Bi.”

Mendengar Jeva menyebut sang Mama—juga Papa—dengan calon mertuanya membuat Biru refleks menahan senyum. Tapi, selang beberapa menit kemudian Biru lantas menghela napas sebelum menepis tangan Jeva di pipinya.

“Justru karena aku mau ketemu sama orang tua kamu, makanya aku harus ngasih kesan baik loh.”

Biru berdeham lalu membuang muka ke arah depan mobil, “Kan gak lucu kalau kita nggak dikasih restu gara-gara pakaian aku, Jev.”

“Apalagi Papa sama Mama kamu orang penting di Kedokteran…”

“Gimana aku gak mikirin kesan pertama mereka sampai ke cara berpakaian aku coba?” jelas Biru.

Mengulum bibirnya, Jeva lantas meraih kedua tangan Biru. Jeva menggenggam erat jemari lentik pacarnya itu hingga Biru seketika kembali menoleh ke arahnya.

“Aku emang nggak terlalu dekat sama orang tua aku,” kata Jeva.

“Tapi aku yakin kok, yang Mama sama Papa liat dari pasangan aku tuh bukan sekedar pakaian atau tampilan luar doang.” timpalnya.

Satu tangan Jeva pun bergerak, telunjuknya mendarat tepat di dada Biru, “Tapi di sini, Bi. Hati.”

“Dan tanpa aku ngeyakinin Papa sama Mama kalau hati kamu itu cantik sekali pun, aku yakin kok mereka bisa melihat itu ketika ketemu sama kamu.” jelas Jeva.

Biru tersenyum lembut. Dia lalu ikut membelai pipi pacarnya itu dengan satu tangan, membuat Jeva mendadak salah tingkah.

“Aku tersentuh banget dengerin apa yang kamu bilang,” kata Biru lalu beralih meraih tangan Jeva.

Biru lantas menuntun tangan si pacar agar kembali mendarat di dadanya seperti tadi, “Tapi hati manusia bukan di sini, Dek Koas.”

“Yang bener itu di sini,” lanjutnya usai menuntun tangan pacarnya hingga mendarat tepat di bawah diafragma pada sisi kanan-atas tubuhnya. “Kamu ini bener calon Dokter gak? Ini pelajaran dasar.”

Sontak Jeva tergelak. Alhasil, dia lantas memeluk erat leher Biru sebelum beralih menciumi kedua pipi pacarnya bergantian saking gemasnya. Biru hanya terkekeh.

“Udaaah,” rengek Biru saat Jeva masih mencium pipinya bertubi-tubi. “Entar kita telat ketemuan di Marugame sama Mama Papa.”

Jeva menatap lurus ke dalam mata Biru, “Apa? Mama Papa?”

Biru berdeham. Ia salah tingkah, “Maksud aku Mama Papa kamu.”

“Gak apa-apa, panggil mereka Mama Papa aja, Bi. Itung-itung latihan kan sebelum kamu jadi menantu mereka,” kekeh Jeva.

“Apaan sih,” Biru lalu mendorong pelan tubuh Jeva dan buru-buru mengubah posisi duduknya. Kini dia menghadap ke depan, bibir tipisnya pun Biru kulum sejenak.

“Ayo,” cicit Biru dengan pipinya yang telah memerah, dia tersipu.

Jeva yang melihatnya terkekeh, mengusap lembut rambut Biru, hingga dia lantas beralih untuk menyalakan mesin mobilnya. Tak lama setelahnya, kendaraan roda empat itu melaju, meninggalkan area rumah sakit menuju tempat makan yang akan mereka tuju.


Sejak sampai di restoran, Biru tak bisa menahan rasa gugupnya di hadapan Prof Harry dan si istri. Meskipun keduanya amat ramah dan terkesan sangat menerima kehadirannya bersama Jeva, tapi Biru tidak bisa berbohong kalau dia sangat berhati-hati di depan mereka. Kini Biru benar-benar merasa seperti sedang bertemu dengan kedua calon mertuanya guna meminta restu dari mereka.

“Biru rumahnya di mana?” tanya Mama Jeva, “Kata Papanya Jeva, dia pernah liat Biru jemput Jeva ya di rumah? Ketemu Biru juga.”

Biru lalu menelan ludah sebelum menjawab, “Deket kok dari sini, Tante. Cuma beda komplek sama alamat Tante. Jadi kalau jemputin Jeva paling berapa menit doang.”

“Di komplek mana, Nak?” si Papa menimpali, “Daerah yang deket-deket dari rumah kita rata-rata penghuninya juga orang RSCM.”

“Mana tau Om sama Tante kenal sama orang tua kamu,” katanya.

“Papa kenal banget malah, sama Papa Mamanya Biru,” Jeva lantas membantu untuk ikut bersuara.

Sebab, Jeva melihat Biru sedari tadi diam-diam meremas jarinya di bawah meja. Alhasil, Jeva lalu menggenggam tangan pacarnya itu sambil menjawab pertanyaan Papanya. Hal itu pun membuat Biru menahan senyum sembari melirik Jeva dengan raut lega.

“Oh ya?” Professor Harry kaget.

“Iya, Papa tau Dokter Adit sama istrinya kan?” Jeva tersenyum. “Mereka Papa Mamanya Biru.”

“Ya ampun,” Mama lalu melongo sambil menatap Biru, “Ternyata Biru ini anaknya couple Neuro.”

“Gak ada yang nggak kenal sama orang tua kamu, Bi.” timpal sang Mama, “Mereka itu sama-sama Dokter hebat, gak cuma partner sebagai suami istri, tapi juga di orang operasi. Mereka keren.”

Professor Harry mengangguk setuju diikuti senyum tipisnya.

“Kapan-kapan kita makan siang bareng Mama sama Papa kamu di kantor Om ya,” katanya. “Abis ini kalian Koasnya di RSCM kan?”

Biru mengangguk, “Iya, Prof.”

“Kamu dari tadi manggil Om Prof mulu,” Professor Harry terkekeh. “Panggil Om aja, kita gak di RS.”

Biru tersenyum kikuk, “Iya, Om.”

“Jadi… Gimana rasanya pacaran sama Jeva?” canda si Profesor, sedang Biru refleks menunduk lalu menyembunyikan senyum.

“Pa,” sang istri menyikut lengan Profesor Harry, “Kok nanya gitu sih? Kasian anaknya jadi malu.”

“Gimana, Bi? Aku juga mau tau,” timpal Jeva yang saat ini masih menggenggam erat tangan Biru di bawah meja. Jeva tersenyum.

Biru menghela napas. Dia lantas menoleh ke Jeva lalu menatap wajah pacarnya itu lamat-lamat.

“Sejak kita masih temenan, kamu selalu jadi orang yang paling bisa ngertiin aku meskipun watak kita bertolak belakang.” kata Biru lalu beralih mempertemukan netra bulatnya dengan Profesor Harry.

“Jeva ini bawel banget, Om. Suka ngoceh ke saya dari A sampai Z.” curhat Biru, “Mana dia gak bisa tenang, ada aja yang diomongin terus bikin sekampung ikut ribut. Tapi itu juga yang bikin Jeva jadi punya banyak temen sekarang.”

“Beda sama saya, kadang buat ke luar rumah sehari aja saya males. Apalagi buat ketemu ama banyak orang. Saya itu… Ibarat antonim dari Jeva,” kekehnya, sedang Jeva diam-diam tersenyum tipis lalu melihat reaksi si Mama dan Papa.

Nampak kedua orang tuanya itu begitu serius mendengar Biru. Namun, Jeva bisa melihat mata Mamanya berkaca-kaca. Mama lalu menatap sendu ke arahnya. Alhasil, Jeva buru-buru melirik Biru untuk menghindarinya.

“Tapi perbedaan itu justru bikin saya sama Jeva jadi saling ngerti,” sambung Biru. “Kita berdua jadi sama-sama belajar buat hidup di ‘dunia’ kita yang beda banget…”

“Jeva yang dunianya bebas dan lebih senang ada di luar, sedang dunia saya yang kaku dan lebih nyaman berdiam diri di kamar.”

“Dari Jeva saya belajar banyak hal soal dunia yang gak pernah saya tempati, Om. Dari dia juga saya belajar jadi orang yang lebih kuat dan terus belajar meski sempat gagal,” Biru lantas mengeratkan cengkeraman tangannya dengan Jeva. “Mungkin… Dari situ juga perasaan saya yang lebih dari seorang teman ke Jeva mulai tumbuh tanpa saya sadari.”

“Terlebih lagi, Jeva selalu ngasih saya perhatian yang gak pernah saya dapatin dari teman laki-laki saya yang lainnya. Jeva gak cuma bikin saya ngerasa nyaman, tapi juga aman.” katanya, “Jadi kalau Om nanya gimana rasanya jadi pacar Jeva, saya cuma bisa bilang kalo saya ngerasa utuh sama dia.”

Mata Jeva berkaca-kaca karena ucapan Biru kepada kedua orang tuanya. Pun sang Papa yang kini tersenyum haru kepadanya dan Biru. Sementara itu, sang Mama justru diam-diam menitikkan air mata. Nampak si wanita paruh baya menyeka kasar air matanya.

“Om ngerasa beruntung karena Jeva akhirnya bisa ketemu sama orang yang bikin dia bebas jadi dirinya sendiri,” tutur si Profesor.

“Om ngerasa lebih beruntung lagi karena kamu bisa nerima dia,” katanya, “Makasih ya, Bi.”

Biru tersenyum, “Sama-sama, Om. Saya juga beruntung bisa kenal dan pacaran sama Jeva.”

“Sekarang Tante jadi cemburu sama kamu, Bi.” celetuk Mama.

Biru mengangkat kedua alisnya heran, “Cemburu gimana, Tan?”

“Soalnya kamu bener-bener jadi tempat ternyaman Jeva ya, buat berbagi apapun yang pengen dia bilang.” katanya lalu memandangi sang anak dengan raut sendunya.

“Sejak kecil dulu, Jeva anaknya emang bawel. Suka ngoceh dan seneng banget main di luar,” jelas Mama, “Tapi sejak masuk SMP… Jeva jadi lebih tertutup di rumah. Dia suka ngumpet di kamar, gak mau bilang pengen makan apa, gak pernah cerita lagi hari-hari dia di sekolah gimana. Banyak.”

Si Mama kembali menatap Biru, “Tante ngerasa gagal jadi orang tua yang seharusnya jadi tempat ternyaman bagi Jeva bercerita.”

“Padahal Tante juga pengeeen banget Jeva berkeluh kesah ke Tante tentang gimana Koas dia, apa aja kesulitannya, capek gak.”

“Tapi Tante bersyukur Jeva bisa ketemu sama kamu dan ngoceh ke kamu,” katanya. “Makasih ya?”

Biru mengangguk kecil diikuti senyum simpul. Dia kemudian menoleh pada Jeva di sisinya.

“Tuh, dengerin Mama kamu. Dia juga pengen dengerin kamu, Jev.”

“Kenapa, Bi?” Jeva tertawa ringan sambil menahan air mata, “Kamu udah capek dengerin aku? Hm?”

“Bukan capek, tapi kamu bisa tau cerita juga sama Mama atau Papa kamu soal hal-hal yang anak dua puluh tahunan kek kita gak tau.”

“Pengalaman hidup mereka udah jauh lebih banyak dari kita,” kata Biru. “Kita bisa sharing, supaya mereka juga tau anak muda di jaman kita tuh kayak gimana.”

“Saling ngerti itu gak cuma ke pacar, tapi ke orang tua juga.”

Jeva tersenyum hingga ia refleks menciumi punggung tangan Biru yang sedari tadi digenggamnya. Alhasil, Biru yang kaget seketika melotot lalu buru-buru melepas tautan mereka. Terlebih, saat dia mendapati Mama dan Papa Jeva lantas menatap mereka berdua.

“Kamu apa-apaan sih,” bisik Biru kesal pada Jeva, “Kan malu, Jev.”

“Kok malu, Bi? Kan Mama Papa aku udah tau kalau kita pac—”

Biru yang sudah kepalang salah tingkah lantas meraih gorengan lalu menyumpal mulut si pacar. Hal itu nyatanya membuat Mama juga Papa Jeva seketika tertawa.

“Udah, udah, kalian lanjutin lagi makannya. Abis ini kalian mau ke bioskop,” Mama mengingatkan sebelum menatap ke piring Biru.

“Biru mau tambah gorengan gak, Sayang?” tanyanya, sedang Jeva yang mendengar itu berdeham.

“Mama belum jadi Mama mertua Biru udah manggil Sayang aja,” kata Jeva. “Kasih restu dulu kek.”

“Jev…” Biru mendesis.

Mama menghela napas, “Kalau aja Mama belum ngasih restu, gak mungkin Mama ngajakin kamu sama Biru makan, Dek.”

Jeva mengulum bibirnya sesaat, “Jadi Mama gak apa-apa, kalau nanti aku pengen nikahin Biru?”

“Gak apa-apa,” justru profesor Harry yang menjawab. “Tapi kalian harus jadi Dokter dulu.”

Jeva salah tingkah. Dia seketika menoleh ke Biru dengan senyum yang tertahan lalu bergumam.

“Oke.”

Tidak hanya itu, Biru pun sama salah tingkahnya. Alhasil, Biru hanya diam sebelum melahap gorengan yang ada di depannya.

“Halo, Pak. Saya udah di terminal 1C. Bapak di sebelah mana ya?” tanya Jaehyun kepada si atasan melalui sambungan teleponnya.

Sebentar ya, Jaehyun. Saya baru balik dari toilet,” jawab pria paruh baya itu. “Tunggu saya di sana.

“Baik, Pak.”

Jaehyun lantas menghela napas pelan tepat ketika atasannya itu telah memutus panggilannya. Alhasil, kini Jaehyun hanya bisa menunggu sedikit lebih lama lagi sambil merenungi nasibnya. Dia masih belum mampu melupakan rencananya untuk melamar sang pujaan hati—Taeyong—di tempat ini. Sayangnya, rencana yang dia pikir indah itu justru harus batal.

Tidak lama berselang, seseorang tiba-tiba menepuk pelan pundak Jaehyun dari belakang. Jaehyun pun buru-buru berbalik. Ia yakin bahwa sosok itu adalah bosnya.

Namun, tepat setelah dia balik badan, Jaehyun justru mendadak melongo. Pasalnya, sosok yang kini berdiri di hadapannya adalah pacar sekaligus calon suaminya. Taeyong memandangi wajahnya sambil melengkungkan senyum.

“Kak…” Jaehyun seolah tiba-tiba lupa cara untuk berbicara. “Kok kamu bisa ada di sini?” tanyanya.

“Ya karena aku pake pesawat lah, kamu pikir aku punya kekuatan teleportasi apa?” canda Taeyong.

“Kak...” Jaehyun memelas.

Terkekeh pelan, Taeyong lantas membelai lembut pipi Jaehyun dengan satu tangannya. Senyum di bibirnya tidak pernah hilang, sedang Jaehyun masih memberi ekspresi yang menuntut sebuah penjelasan; bercampur heran.

“Maafin aku ya udah bikin kamu sedih,” ucap Taeyong lembut.

Dia lalu menghela napas sebelum melepaskan tangannya dari pipi Jaehyun. Setelahnya, Taeyong kemudian beralih meraih jemari sang pujaan hati. Dia mengecup punggung tangan Jaehyun sesaat sebelum menatap wajah pemilik dua lesung pipi itu lekat-lekat.

Will you marry me, Jaehyun?

Napas Jaehyun tercekat selama beberapa detik. Setelahnya, dia seketika melepas tautan tangan pacarnya itu dengan miliknya.

“Bentar, Kak. Ini gak bener. Kok jadi kamu yang ngelamar aku?”

“Eh, tunggu!” Jaehyun kelabakan. “Jelasin dulu, kenapa kamu bisa ada di sini terus tiba-tiba nge—”

Ucapan Jaehyun lantas terhenti saat Taeyong tiba-tiba menarik tengkuknya. Taeyong kemudian menciumi bibir Jaehyun sambil memejamkan mata, tidak peduli dengan pekikan tertahan orang-orang di sekitar mereka. Sedang, Jaehyun sendiri lantas membeku. Dia hanya membiarkan Taeyong terus memagut bibirnya sampai akhirnya dia ikut membalasnya.

Cukup puas berbagi lumatan lembut, Taeyong menyudahi ciuman itu dengan kecupan singkat di bibir penuh Jaehyun. Dia kembali memandangi wajah Jaehyun yang jelas masih heran sekaligus terkejut karenanya.

“Aku cuma bercandain kamu kalau aku gak bisa pulang, Je.”

Jaehyun kembali melongo. Dia menatap pacarnya tak percaya.

“Sebenarnya, aku udah tau kalo kamu berencana buat ngelamar aku pas balik ke Indonesia.” jelas Taeyong, “Aku baca qrt-an kamu di reply-an Doyoung waktu itu.”

“Aku liat kok semuanya, tapi aku enggak tega kalau musti ngasih tau kamu.” katanya. “Karena aku yakin, kamu pasti nyiapin kejutan atau sesuatu buat ngelamar aku.”

“Aku gak tega buat bikin kamu ngerasa gagal bahkan sebelum kamu memulai,” kata Taeyong lalu membingkai wajah Jaehyun.

“Tapi aku bakal lebih nggak tega lagi kalau harus pura-pura gak tahu atau pura-pura kaget pas kamu ngelamar aku nanti.” lanjut Taeyong, “Sama aja kalau aku tuh ngasih kamu respon yang palsu.”

“Akhirnya, aku kemudian berpikir kalau lebih baik aku yang ngasih surprise dan ngelamar kamu, Je.”

“Jadi, malam itu aku mutar otak, aku langsung ngabarin Ten sama Doyoung buat nyari tau rencana kamu. Apalagi aku liat convo Jo, Ten sama Doyoung. Jelas kalau Johnny tau sesuatu,” tuturnya.

“Dan akhirnya, aku tau dari Jo kalau kamu pengen ngelamar aku di antara tiga pilihan tempat. Bandara, lift kampus, sama cafe.”

Taeyong terkekeh, “Si Jo sampai harus mastiin lagi kamu beneran mau ngelamar aku di sini apa gak tauu. Biar aku bisa ngatur waktu penerbangan aku buat pulang.”

“Abis itu, aku nyuruh Papa buat ngabarin atasan kamu. Aku minta tolong supaya dia tuh pura-pura pengen dijemput sama kamu di Bandara. Dan kebetulan, atasan kamu emang ada dinas di luar kota dan pulangnya hari ini kan?”

Jaehyun menghela napas panjang lalu mengangguk. Dia nyaris lupa kalau Papa Taeyong dan si atasan memang berteman cukup dekat.

So? What’s your answer?” tanya Taeyong diikuti senyum lembut. “Will you marry me, Jaehyun?”

“Aku gak mau jawab,” Jaehyun mencebik lalu melipat lengan. “Kan aku yang harusnya bilang gitu, Kak. Cincinnya juga udah aku siapin. Cicin kamu mana? Gak ada kan? Berarti gak sah.”

“Terus cincin yang kamu bilang itu mana?” balas Taeyong sengit, membuat pacarnya itu berdecak.

“Gak aku bawa,” cicit Jaehyun.

“Berarti sama aja kan?” Taeyong tertawa ringan. “Jawab aja deh.”

“Tapi aku juga mau ngelamar kamu, Kak Taeyong.” rengek Jaehyun yang membuat Taeyong lantas mencubit gemas pipinya.

“Iya, iya, abis ini kamu lagi yang ngelamar aku. Tapi jawab dulu.”

Jaehyun tersenyum, “Mau.”

“Mau apa?” Taeyong memicing.

“Aku mau jadi suami kamu, Yong.”

“Gak sopan,” desis Taeyong lalu mencubit pinggang pacarnya itu.

Namun setelahnya, Taeyong pun terkekeh dan berakhir mendekap erat tubuh bongsor si lelaki yang lebih muda. Taeyong menghirup aroma tubuh Jaehyun yang telah lama dirindukan olehnya sambil memejamkan mata. Di saat yang sama, Jaehyun membalas dekap hangat Taeyong tidak kalah erat.

“Kamu bahagia gak, Je?”

Jaehyun mengangguk pelan lalu mengecup pundak pacarnya itu.

“Bisa ngeliat kamu di sini udah bikin aku bahagia banget, Kak.”

“Akhirnya aku bisa nikah sama kamu,” timpalnya lalu terkekeh.

“Mm,” gumam Taeyong. “Finally, aku gak bakal bobo sendiri lagi. Aku juga udah punya chef pribadi yang bisa masakin aku pasta kalo aja aku kebangun tengah malem.”

Keduanya terkekeh bersamaan. Mereka lalu kembali melepaskan pelukannya guna memandangi wajah satu sama lain sebelum berbagi satu kecupan singkat di bibir; yang lagi-lagi membuat beberapa orang lantas memekik.

“Udah ah, aku malu. Kita pulang sekarang,” ajak Taeyong yang kini telah tersipu, wajahnya bersemu.

“Terus bos aku gimana?”

“Bos kamu yang di kantor udah pulang ke rumahnya dari tadi.”

Taeyong lalu menunjuk dirinya sendiri. “Tapi yang soon to be bos kamu di rumah udah mau pulang sekarang. Jadi cepetan diturutin perintahnya atau kamu dipecat.”

Jaehyun tertawa, “Siap, Bos!”

“Hahahaha!”

Biru mendengus melihat Jeva yang berbaring di sampingnya terbahak-bahak. Pasalnya, Biru baru saja bercerita kepada Jeva bahwa dia salah mengunggah foto di Twitter. Lebih tepatnya lupa mengganti ke akun private.

Tidak hanya itu, kini Biru juga harus menahan malu di depan Jeva. Karena di saat yang sama, dia pun ketahuan mengambil foto tangan mereka diam-diam saat Jeva menggenggamnya tadi. Bahkan, Biru mengunggah foto itu saat Jeva ke kamar mandinya untuk cuci muka dan gosok gigi.

“Udah puas ketawanya?” cebik Biru sambil menatap Jeva malas.

“Abisnya kamu lucu banget, Bi.”

Biru yang juga sedang berbaring terlentang di samping Jeva pun berdeham, menahan senyumnya. Pasalnya, kini Jeva menggunakan ‘aku-kamu’ secara langsung. Biru lalu kembali merasakan berjuta kupu-kupu memenuhi perutnya.

Rasanya asing, tapi penuh adiksi.

“Kenapa coba fotoinnya musti diem-diem?” timpal Jeva. “Terus kenapa tweet-nya dihapus sih?”

“Kan aku belum liaaat,” katanya.

Biru menghela napas. “Kan tadi kamu lagi telponan sama Mama kamu, masa aku menginterupsi cuma buat minta foto doang?”

Jeva ikut menahan senyumnya ketika mendengar pacarnya itu kembali menggunakan sapaan ‘aku-kamu’ sama sepertinya tadi. Jeva lantas salah tingkah, hingga dia buru-buru menatap ke arah langit-langit kamar kos-an Biru.

“Terus aku nge-hapus tweet aku tadi, ya karena aku takut orang lain pada salah paham gara-gara fotonya di atas ranjang.” jelasnya.

“Liat aja tadi Salsa udah nge-tag kita segala.” Biru berdecak pelan, “Pasti dia udah mikir aneh-aneh, terus besoknya ngeledekin kita.”

Jeva kemudian mengubah posisi berbaringnya jadi menyamping; menghadap ke Biru. Satu tangan Jeva lalu menopang kepalanya, membuat dia bisa memandangi wajah cantik Biru dengan leluasa.

“Orang lain gak bakalan mikirin yang aneh-aneh kok kalau besok mereka ngeliat kamu bisa jalan normal kayak biasanya, Bi.” goda Jeva diikuti kekehan merdunya.

Mata Biru refleks memicing. Dia kemudian ikut mengubah posisi tubuhnya seperti Jeva; berbaring menyamping sambil menopang kepala dengan satu tangan. Kini keduanya pun saling bertatapan dalam jarak yang cukup minim.

“Maksud kamu apa? Hah?”

Lagi, Jeva terkekeh. Sementara itu, Biru melanjutkan ucapannya.

“Kalau aku gak bisa jalan kayak biasanya, orang-orang bakalan mikir kalau aku abis dimasukin sama kamu? Gitu?” oceh Biru.

Jeva sontak kaget. Dia pun hanya tertawa renyah sebagai respon. Sebab, dia sangat senang ketika Biru mulai nyaman berceloteh. Alhasil, Jeva yang biasanya paling banyak bicara kini justru memilih ‘tuk lebih aktif mendengar Biru.

“Jangan pikir aku gak tau soal ginian ya, Jev.” decih Biru. “Aku udah tau loh soal posisi dalam hubungan cowok sama cowok.”

“Posisi gimana? Hm?” tanya Jeva lalu mencubit sekilas pipi Biru.

“Ya posisi atas sama bawah, yang dimasukin sama yang masukin.” Biru menahan senyum. “Enggak usah mancing. Kamu lebih tau.”

Jeva mengulum bibirnya. Pipinya pun mendadak bersemu karena ucapan Biru. Pun Biru yang juga ikut tersipu, sebab Jeva hanya diam sambil terus menatapnya.

“Kenapa kamu diem aja sih dari tadi? Biasanya juga nge-bawel.”

“Aku suka dengerin kamu banyak bicara gini, Bi.” jawab Jeva. “Aku juga mau dengerin kamu, jadi gak cuma aku yang didengerin mulu.”

Biru pun tersenyum lembut. Tapi saat kembali teringat dengan hal yang mungkin terjadi esok hari akibat kecerobohannya tadi, Biru lantas menghela napas panjang.

“Kok nge-hela napas kayak gitu?” Jeva terkekeh. “Mikirin apa, hm?”

“Mikirin gimana malunya aku besok kalau temen-temen kita pada ngeledekin soal foto tadi.”

Jeva pun meraih satu tangan Biru yang terbebas sambil tersenyum.

“Kan aku udah bilang tadi, orang lain gak bakal mikirin yang aneh-aneh kalau ngeliat kamu jalannya normal kayak biasa.” ulang Jeva.

“Kok aku?” kedua alis Biru saling bertaut, raut wajahnya nampak tidak terima. “Aku mau di atas ya, yang masukin, bukan dimasukin.”

Jeva refleks tergelak. Tawanya benar-benar menggelegar. Biru yang melihat hal itu mau tak mau dibuat ikut tertawa renyah lalu memukul pelan bahu pacarnya.

“Jangan kenceng-kenceng dong ketawanya. Udah malem,” Biru mengingatkan. “Kamu pengen diusir sama anak kos-an lain?”

“Bi,” suara Jeva bergetar karena sisa-sisa tawanya. “Kamu yakin mau masukin aku?” tanya Jeva.

Having sex sama cewek beda loh sama cowok,” ledek Jeva.

“Ya emang kenapa? Aku aja gak pernah having sex sama cewek, jadi aku mana tau bedanya?” Biru memicing. “Kamu pernah? Hah?”

“Gak pernaaah,” sahut Jeva. “Tapi kan aku denger dari pengalaman orang lain. Bacain literatur juga.”

Biru lantas tersenyum meledek.

“Pokoknya aku yang masukin. Aku yang jadi dominan kamu.”

Jeva tersenyum. Satu tangannya kembali mencubit pipi kiri Biru.

“Bi, posisi atas, bawah, dom, sub, masukin atau dimasukin itu hal yang bisa dikomunikasikan kok. Gak ada aturan siapa yang musti di atas atau di bawah,” jelasnya.

“Kita bukan pasangan hetero, yang hakikatnya ya emang si cewek yang dimasukin,” timpal Jeva. “Aku gak masalah kok kalau nanti kamu mau gantian posisi.”

“Gak mau. Pokoknya aku di atas,” kata Biru lalu menahan seyum.

Jeva menghela napasnya pelan. Senyum tak hilang di bibirnya.

“Kamu ngomong soal ginian dari tadi kayak udah siap banget ya?”

Biru terdiam sejenak lalu melirik ke arah lain. Dia salah tingkah.

“Pokoknya aku yang di atas,” cicit Biru lalu curi-curi pandang pada Jeva yang masih memandangnya.

“Emang kamu tau, gimana cara ada di atas cowok?” canda Jeva.

Biru yang mendengarnya lantas membuka sedikit mulutnya dengan tampang tidak percaya.

“Kamu underestimate aku?”

Jeva dibuat melotot saat Biru tiba-tiba bangkit dari posisinya. Pacarnya itu lalu mendorongnya, hingga Jeva terlentang, sebelum mengungkung tubuhnya. Biru bahkan mencengkeram kedua pergelangan tangan Jeva di sisi kepala pacarnya itu. Membuat Jeva lantas tidak bisa berkutik.

“Aku udah di atas kan?” kata Biru lalu menunduk hingga berakhir mengecup singkat pipi kiri Jeva.

Jeva tersenyum lembut sambil memejamkan mata. Tubuhnya pun sedikit bergetar karena dia menahan kekehannya. Terlebih, saat Biru kembali mendaratkan kecupan lain di pipi kanannya.

“Gimana?” tanya Biru diikuti senyum, “Gini kan caranya?”

Jeva menggeleng. Setelahnya, dia lantas mendorong pelan tubuh Biru dengan kakinya hingga dia berakhir membalikkan keadaan. Kini Jeva yang ada di atas Biru. Jeva mengungkung Biru seperti yang Biru lakukan padanya tadi.

“Biar aku tunjukin caranya.”

Dalam jarak wajah mereka yang hanya terlampau beberapa centi, Jeva bisa melihat rona merah di pipi pacarnya. Dengan sigap Jeva kemudian mengecup kedua pipi Biru bergantian lalu berlanjut ke dagu, mulut, hidung, hingga ke kedua kelopak mata pacarnya.

Sontak Biru terkekeh geli karena aksi Jeva, sedang lelaki yang kini memandanginya lekat-lekat itu tersenyum lembut di atasnya. Jeva tak henti-henti mengagumi betapa indah paras Biru, terlebih saat pujaan hatinya itu tertawa.

It’s getting late, Bi.” bisik Jeva sebelum mengecup kening Biru dan menahannya beberapa saat. Membuat Biru ikut memejamkan kedua mata, sama seperti Jeva.

Setelahnya, Jeva lantas kembali mempertemukan netra mereka. Satu tangannya beralih membelai pipi kanan Biru dengan lembut.

“Kita tidur sekarang ya,” katanya.

Biru mengangguk, “Mm.”

Good night, Sayang.”

Good night, my semicolon.”

Senyum malu-malu Jeva tidak mampu bersembunyi. Pun Biru yang juga ikut tersipu karena ucapan mereka sendiri. Alhasil, saat Jeva akhirnya kembali ke posisi berbaring menyamping dan menghadap ke arahnya, Biru dengan sigap mendekap Jeva. Wajah Biru bahkan tenggelam di dada bidang Jeva yang terkekeh gemas akan tingkahnya barusan.

“Padahal ranjang kamu kecil banget buat dua orang,” Jeva mulai berceloteh. “Tapi masih muat loh buat kita berdua, Bi.”

“Badan kamu kenapa jadi pocket size gini sih kalau lagi sama aku? Pas banget buat aku peluk kayak guling.” kata Jeva yang berhasil membuat Biru mendongak dan mempertemukan netra mereka.

“Bukannya bagus ya?” balas Biru, “Kan kamu jadi bisa meluk aku kayak gini di mana pun, entah itu lagi di tempat sempit atau luas.”

Jeva tersenyum. “Kamu secara gak langsung abis ngasih tau aku supaya meluk kamu mulu, Bi.”

Whatever.” bisik Biru sebelum menutup matanya. Namun, Jeva bisa melihat jelas kalau pacarnya itu hanya sedang salah tingkah.

Jeva menahan kekehan. Dia lalu menggesekkan ujung hidungnya dengan hidung Biru sekali. Biru pun kembali membuka mata lalu melakukan hal serupa pada Jeva sembari tersenyum manis. Jeva kemudian kembali mengesekkan ujung hidung mereka setelahnya; tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Membuat Biru tertawa kecil.

“Kita kapan tidurnya sih kalau gini?” tanya Biru. “Udah, besok ujian. Awas aja kamu kesiangan.”

“Gak bakal kesiangan.” kata Jeva, “Kan ada kamu yang bangunin.”

Biru hanya mendengus sebelum kembali menutup mata, bersiap untuk segera berlabuh ke alam mimpinya. Sementara itu, Jeva justru masih memandangi wajah Biru dengan sorot mata memuja.

Rasanya masih seperti mimpi bagi Jeva bahwa saat ini dirinya bisa memeluk Biru sepanjang malam. Dan Jeva harap, Biru bisa merasa aman dalam dekapannya.

Sleep tight, Bi.” Jeva mengecup kening Biru—lagi. “I love you.”

Tepat setelah Biru mendapatkan obat dan hendak meninggalkan gedung farmasi, kedua matanya lantas menangkap figur Jeva di depan pintu. Jeva berdiri di sana dengan satu tangan memegang payung, sedang tangannya yang lain ia masukkan ke saku celana.

Biru pun bergegas menghampiri pacarnya itu. Terlebih saat Biru sadar dan melihat dari kejauhan kalau sneli Jeva nampak basah.

“Jev.”

Jeva menoleh ketika mendengar suara Biru dari arah belakangnya. Dia lalu mengulas senyum cerah mendapati Biru telah berdiri di sisinya; dan menatapnya heran.

“Kenapa lo ngeliatin gue kayak gini, hm?” tanya Jeva sebelum mengacak pelan rambut Biru.

“Kok sneli lo basah?”

Biru jelas heran. Pasalnya Jeva membawa payung bersamanya.

“Oh,” Jeva cengar-cengir. “Tadi udah keburu hujan pas gue mau balik ke RS waktu abis dari kos-an, Bi. Terus karena gue bawa motor, jadi gue gak bisa make payung ini. Ya udah, gue basah.”

“Tapi gak basah-basah amat kok,” lanjut Jeva berceloteh. “Nih, liat.”

Biru menghela napas. “Lagian lo ngapain sih balik lagi ke RS buat bawain gue payung doang, Jev?”

“Gue kan bisa numpang bentar di payung orang-orang yang mau jalan ke gedung sebelah,” katanya sambil menatap Jeva khawatir.

“Kalau lo sakit gimana? Mana udah mau ujian gini,” omelnya.

Jeva menahan senyumnya.

“Lo khawatirin gue?”

“Menurut lo?” Biru mendengus.

Jeva terkekeh. “Menurut lo, gue bawain lo payung gini karena apa coba? Gue juga khawatirin lo, Bi.”

“Dan lo liat ada orang-orang yang bawa payung gak di sini?”

Biru melirik ke sekitaran gedung. Hanya ada beberapa Koas yang berlarian dengan modal snelinya sebagai payung. Sementara itu, beberapa orang memilih untuk berteduh di area dalam gedung sambil menunggu hujan reda.

“Gak ada kan?” timpal Jeva. “Gue tau, lo juga cuma bakal nerobos hujan kalau aja gak ada payung.”

“Dan gue gak mau lo sampe sakit karena itu. Cuaca lagi gak bagus, imun lo juga lagi gak kuat karena kita selalu begadang tiap malam.”

Jeva menghela napas panjang.

“Lagian gue kan udah bilang ke lo tadi, i’m trying to be a good boyfriend here.” Jeva tersenyum.

Biru menatap haru wajah Jeva. Satu tangannya lalu menepuk pelan pipi kanan pacarnya itu.

“Kemarin lo bilang gue whipped karena hapal wangi lo,” katanya.

But look at yourself now...” Biru terkekeh. “You are whipped, Jev.”

Jeva mengulum senyum. Dia tak mengatakan apa-apa sebelum membentangkan payung yang sedari tadi dia pegang dan bawa.

“Ayo, Bi. Lo musti bawa obatnya ke ruang rawat sekarang,” ajak Jeva sambil memayungi dirinya sendiri juga Biru di sampingnya.

Biru tersenyum tipis lalu geleng-geleng kepala. Setelahnya, Biru pun mengikuti langkah Jeva yang memegang payung itu untuknya.

“Tadi lo minjem motor siapa lagi buat balik ke kos-an?” tanya Biru ke Jeva di tengah derasnya rintik hujan yang jatuh di atas payung. Membuat suaranya tidak mampu didengar jelas oleh pacarnya itu.

“Lo bilang apa tadi, Bi?”

Biru lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Jeva. “Tadi lo minjem motor siapa lagi pas ke kos-an?”

“Oooh,” Jeva melirik Biru sambil cengengesan. “Motor Pak Andi.”

“Motor Pak Satpam lo bawa lari mulu perasaan,” Biru terkekeh.

“Soalnya motor dia yang selalu siap sedia.” Jeva ikut terkekeh.

Biru geleng-geleng kepala.

“Bi.”

Biru menoleh sekilas. “Mm?”

“Entar malem, makan Ayam Pak Gembus yuk?” Jeva menawarkan.

“Ayo,” sahut Biru. “Gofood aja?”

“Iya, gofood aja. Kayaknya hujan bakal awet sampai malem,” kata Jeva. “Kita juga musti belajar.”

“Oke.”

Tidak lama setelahnya, Biru dan Jeva sampai di gedung utama RS dimana ruang rawat berada. Jeva pun menghentikan langkahnya tepat di hadapan pintu masuk.

“Gue tunggu di sini ya, Bi.”

Biru mengangguk pelan. “Gue gak bakal lama. Give ten min—”

“Jangan pernah mikir buat lari ke dalem,” Jeva memotong ucapan Biru dengan sedikit penekanan guna mengingatkan Biru. “Liat sepatu lo udah basah kek gini, licin kalau udah jalan di lantai.”

“Mau lama juga gak apa-apa. Gue bisa nunggu kok, Bi.” tutur Jeva. “Nggak usah buru-buru banget.”

“Lo gak boleh jatuh, entar badan lo sakit.” timpal Jeva. “Kalau jatuh cinta sama gue, ya baru, boleh.”

“Soalnya gue gak bakalan bikin badan lo sakit,” Jeva tersenyum.

“Bawel,” gumam Biru.

Mengulum bibirnya, Biru lantas menoyor pelan kepala Jeva. Dia lalu berbalik, masuk ke dalam gedung hingga meninggalkan Jeva yang cengar-cengir sendiri.

Sepeninggal Biru, Jeva kemudian menyapa beberapa teman Koas juga senior yang berlalu lalang. Bahkan tidak sekali dua kali dia menyapa orang-orang yang baru ditemuinya hingga mengajaknya berbincang sambil menunggu hujan reda—juga Biru kembali.

“Ayo, Jev.”

Jeva yang semula asik mengobrol dengan salah seorang Koas pun menoleh. Tersenyum mendapati Biru telah kembali dan bersiap untuk pulang ke kos dengannya.

“Ayo, Bi.” Jeva lalu tersenyum ke Koas yang berdiri di sisi kirinya sejenak. “Gue balik duluan ya.”

Usai berpamitan, Jeva seketika kembali memayungi tubuh Biru. Meski hujan sudah tak sederas sebelumnya, namun tetesan air itu masih cukup mampu untuk membuat tubuh mereka basah.

Mereka berdua kemudian mulai berjalan di tengah hujan. Tanpa sadar, tangan Jeva dan Biru pun saling bergesekan. Hal itu lantas membuat Jeva memberanikan dirinya untuk menggenggam jemari Biru sambil melangkah.

Biru yang paham pun seketika membalas genggaman tangan sang pacar. Dari yang semula terasa ragu dan malu-malu berubah menjadi sangat erat.

Namun, ketika netra legam Biru tertuju kepada beberapa pasang mata yang juga berlalu lalang di sekitarnya dan Jeva, dia refleks membeku. Sorot mata mencela bahkan jijik pun dapat Biru baca.

Sebab, dia pernah melihat hal itu sebelumnya. Biru pernah melihat tatapan yang sama, tepat saat seksualitas sang Papa kandung diketahui olehnya, Mama hingga saudaranya. Semua tatapan sarat benci itu tertuju pada Papanya.

Dan kini, Biru merasa dia telah mendapatkan perlakuan serupa. Membuat sesuatu di dalam diri Biru lantas berteriak ketakutan.

Kedua kaki Biru lalu berhenti melangkah tanpa aba-aba. Pun tangan Biru yang buru-buru melepas genggaman pacarnya.

Jeva jelas terkejut. Membuatnya ikut mematung di samping Biru dengan tatapan heran sekaligus khawatir. Pasalnya, Biru nampak mengatur napasnya yang berat.

“Bi?” Jeva mencengkeram pelan pundak Biru. “Lo baik-baik aja?”

Biru menatap Jeva sedu. “Maaf.”

“Sa…”

“Sayang…”

“Aksanya Dika.”

Dikara noel-noel pipi Aksa yang masih setia berlabuh di alam mimpinya. Sampai saat suaminya itu mendengus pelan sambil merentangkan kedua tangan ke atas kepala, Dikara pun terkekeh.

Aksa membuka mata, berkedip-kedip sejenak sambil monyongin bibir yang bikin Dikara gak bisa nyia-nyiain kesempatannya itu. Alhasil, Dikara langsung ngecup bibir suaminya; karena gemas.

“Udah jam dua, Sayang...” bisik Dikara yang sekarang ini lagi nopang kepalanya pake tangan di samping bantal Aksa. “Kita musti siap-siap sekarang, takut si Yuda udah dateng aja kek pake buroq.”

“Kan dia bilangnya mau ke sini jam dua lewat,” kata Aksa sedikit ngerengek. “Belum juga di jalan.”

Dikara senyum. Satu tangannya kemudian ngusap lembut kepala Aksa. Dikara paham kalau saat ini suaminya masih ngantuk banget. Pasalnya, semalem Aksa enggak bisa tidur lebih awal kayak biasa.

Bukan karena suaminya itu harus ngerjain sesuatu atau lainnya, tapi Aksa mendadak insomnia saking kebawa mood-nya yang berantakan. Imbas dari bad day.

“Ya udah, kamu merem lagi aja bentar. Lima belas menit lagi aku bangunin yaa?” Dikara nawarin.

Tapi Aksa justru geleng-geleng. Setelahnya, Aksa ngubah posisi jadi berbaring menyamping. Kini badan Aksa sama Dikara saling berhadapan. Persekian sekon berselang, Aksa tiba-tiba narik tengkuk suaminya. Bikin Dikara yang gak siap untuk itu seketika melotot. Apalagi pas bibir Aksa menempel di atas miliknya itu.

Aksa ngecup bibir Dikara selama beberapa menit sambil merem.

Awalnya, Dikara pikir Aksa cuma pengen ‘a morning peck’ kayak biasanya. Kebiasaan itu sendiri udah mereka jalanin satu tahun terakhir, dimana Aksa semakin bisa nunjukin sisi clingy-nya ke Dikara tanpa gengsi-gengsian.

Tapi, pikiran Dikara itu langsung buyar pas Aksa ngebuka mulut. Aksa kemudian ngegoda bibirnya pake lidah, yang bikin Dikara gak bisa buat gak ikut buka mulutnya juga. Sampai akhirnya, ciuman intens pun tercipta. Baik Dikara maupun Aksa sama-sama hanyut di antara pagutan manis mereka.

Nyaris kehabisan napas karena ritme lumatan Dikara yang kian cepat, Aksa lalu ngelepas tautan lebih dahulu. Dia beralih natap wajah suaminya itu lekat-lekat.

“Ka…”

Dikara senyum, “Mm?”

“Gue boleh re-schedule rencana reservasi lo yang semalem gak?”

Telunjuk Aksa menari-menari di atas dada bidang Dikara, “Lima belas menit kayaknya… Cukup?”

Dikara yang paham kode Aksa itu pun nahan senyum lalu terkekeh.

“Kalau entar Yuda keburu dateng gimana, Sa?” katanya, “Mana kita juga musti keramas dulu nanti.”

“Kamu mau dijulidin sama Yuda kalau bikin dia nunggu lama?”

Bibir Aksa mencebik. Sementara tampangnya langsung memelas.

“Baru jam dua,” kata Aksa. “Gak bakal lama asal kamu gak minta nambah pas kita mandi nanti.”

“Mumpung aku lagi mood nih,” katanya. “Apa kamu gak mood?”

Dikara enggak ngasih jawaban dengan frasa, tapi dia refleks mengungkung tubuh Aksa. Bikin suaminya itu seketika udah ada di bawahnya. Wajah mereka pun udah sejajar, dengan Dikara yang senyum manis di hadapan Aksa.

“Aku gak yakin bakalan minta nambah apa gak, Sa.” bisik Dikara seduktif sebelum kembali nyium bibir tipis Aksa dengan tergesa.

Ya, mereka ngelakuin itu di luar perencanaan dan reservasi awal.

Jeva memasuki ruang Koas—yang secara tidak langsung sudah menjadi tempatnya dan Biru bertemu hingga makan siang berdua—sambil tersenyum tipis. Pasalnya, dia mendapati teman Koasnya itu tengah sibuk sendiri membaca jurnal dengan airpods menyumpal telinganya. Alhasil, Biru pun tidak sadar bahwa kini Jeva telah berdiri di belakangnya.

Kedua tangan Jeva kemudian terulur, hendak mencubit pipi Biru dari arah belakang. Namun, sebelum jemarinya mendarat di spot sasarannya, justru Jeva lah yang dibuat terkejut. Sebab Biru lantas menoleh lalu mendongak.

“Mau ngapain?” Biru memicing.

Jeva menjatuhkan pundak, “Mau nyubit pipi lo, tapi elo tiba-tiba noleh. Kan jadi gue yang kaget.”

“Kok lo bisa tau sih tadi, kalo gue udah di belakang lo?” lanjut Jeva berceloteh lalu duduk pada kursi di samping Biru. “Ini gak nyala?”

Biru tersenyum tipis saat Jeva mengetuk-ngetuk pelan airpods —yang tadi telah Biru matikan— di telinganya dengan tampang penasaran. Biru lalu menggeleng pelan sambil melepas airpods itu.

“Nyala kok, tapi gue nyium wangi parfum lo. Makanya gue tau kalo lo udah dateng tadi,” jawab Biru.

“Hafal banget ya,” ledek Jeva.

“Emang lo gak hapal wangi gue?” balas Biru lalu menopang dagu.

Jeva berdeham pelan lalu melirik ke arah lain sejenak. Sudut bibir Jeva pun mati-matian menahan senyum yang ingin melengkung.

“Gak,” sahut Jeva sambil menatap lurus ke dalam netra legam Biru.

“Keknya cuma orang-orang yang ‘whipped’ gak sih, Bi? Yang hapal banget sama wangi gebetannya?”

Biru menahan senyum. Tak lama berselang, dia pun memiringkan wajah. Kini terlihat seperti Biru sedang menyodorkan pipi kirinya kepada Jeva. Alhasil, Jeva yang menyadari itu refleks melotot.

Biru pengen dicium? Batin Jeva panik. Dia seketika salah tingkah.

“Bi… Lo… Serius?”

Biru melirik Jeva dengan mata memicing, “Serius soal apa?”

“Soal ini.”

Jeva menunjuk-nunjuk pipi Biru. Setelahnya, Biru mengangguk.

Jantung Jeva pun berdetak tidak karuan. Dia tentu bersemangat, tapi di saat yang bersamaan Jeva juga merasa gugup. Dia merasa seperti sedang bermimpi karena Biru memberikan free pass ini.

Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan langka, Jeva lalu menyondongkan badannya ke arah Biru. Wajahnya pun semakin mendekati pipi teman Koasnya itu. Namun, sebelum bibir Jeva mendarat di sana, Biru tiba-tiba menjauhkan kepalanya. Biru lalu menatap Jeva dengan raut heran.

“Mau ngapain lagi?”

Jeva melongo sesaat.

“Nyium pipi lo, Bi.” katanya ragu. “Lo… Pengen gue nyium pipi lo biar gue ngapalin wangi lo kan?”

Biru mengulum bibirnya sambil memejamkan mata sesaat. Biru mati-matian menahan tawanya.

Ketika Biru kembali membuka mata, Jeva masih menatapnya seperti seorang anak hilang. Jelas kalau kini Jeva juga kebingungan.

“Pas baru datang tadi, lo bilang pengen nyubit pipi gue. Jadi ya udah, gue ngizinin buat nyubit.”

“Kok malah jadi pengen nyium?”

Jeva seperti tersambar petir di siang bolong. Jika saat ini dia bisa tenggelam di bawah meja saking malunya, maka dia sudah tak lagi duduk di kursinya. Alhasil, yang bisa Jeva lakukan hanya berbalik badan membelakangi Biru sambil menutupi wajahnya dengan dua tangan. Jeva ingin berteriak saja.

Sementara itu, Biru yang melihat tingkah Jeva refleks tergelak. Dia lantas menggoyang-goyangkan tubuh Jeva saat temannya itu tak kunjung berbalik kepadanya lagi.

“Jev, lo kenapa sih? Sini, liat gue.”

“Gak sekarang, Bi. Jangan ngajak gue ngomong dulu,” jawab Jeva.

Biru kembali tertawa puas lalu menarik lengan Jeva agar teman Koasnya itu berbalik ke arahnya. Sampai saat wajah Jeva akhirnya bisa dia lihat dengan jelas, Biru lantas menangkupnya. Membuat Jeva tidak bisa membuang muka dan hanya mampu menatapnya.

Tanpa aba-aba, Biru kemudian mengecup lembut pipi kiri Jeva. Sementara itu, yang mendapat perlakuan demikian mematung. Jeva kehilangan kata sampai Biru berhenti mengecup pipinya dan kembali memandangi wajahnya.

“Udah hapal wangi gue gak?”

Jeva mengulum senyum sebelum bergantian mengecup kilat pipi kiri Biru hingga empunya kaget.

“Udah,” kata Jeva.

Kedua anak manusia itu sama-sama tersipu malu. Baik itu Jeva maupun Biru lantas mengubah posisi duduk mereka menjadi menghadap ke meja. Mereka tak mampu saling bersitatap sesaat.

“Lo… lagi baca jurnal ya tadi?”

Jeva lalu memecah keheningan dengan pertanyaan basa-basi.

“Mm,” gumam Biru. “Gue juga sambil latihan buat OSCE sih.”

Jeva melirik Biru. “Mau dibantu?”

“Gue bisa pura-pura jadi pasien sekaligus penguji lo.” tawar Jeva.

Biru menoleh, tersenyum lembut lalu mengangguk setuju atas usul dari teman Koas-nya itu. Alhasil, dia kembali mengubah posisinya menjadi duduk menghadap Jeva. Pun Jeva melakukan hal serupa.

Jeva berdeham, “Silakan.”

Biru terkekeh melihat Jeva sudah memulai acting sebagai penguji.

“Kenapa anda malah ketawa sih? Siap ujian atau nggak?” kata Jeva.

Biru ikut berdeham. “Maaf, Dok.”

“Oke.”

Biru meletakkan kedua tangan di depan dada, telapak tangannya pun telah saling menempel guna menunjukkan pose salam sopan.

“Selamat siang, Dokter.” sapanya.

“Perkenalkan saya Biru Alsaki Nasution, NIM 182018127. Saya izin untuk memulai ujian,” kata Biru, Jeva lantas mengangguk.

Setelahnya, Jeva lalu berdiri dari kursi. Dia berjalan menjauhi Biru. Biru pun menahan senyum kala Jeva mulai berpura-pura menjadi seorang pasien yang baru datang sambil mencengkeram dadanya.

“Silakan, Pak. Silakan duduk.”

Jeva menurut. Dia kembali duduk di kursinya, menghadap ke Biru.

“Selamat siang,” sapa Biru lagi.

Jeva mengangguk. “Siang, Dok.”

“Perkenalkan saya Dokter Biru, saya Dokter jaga yang bertugas hari ini. Dengan Bapak siapa?”

Jeva mendesis, masih sambil memegangi dadanya. Nampak kini dia berpura-pura kesakitan.

“Saya enggak mau jawab sebelum Dokter nurutin permintaan saya.”

Biru menahan senyumnya, “Maaf sebelumnya ya, Pak pasien. Saya mau mengingatkan kalo kita lagi di ruang ujian Kardiologi, bukan Kejiwaan. Tolong dalami peran.”

Jeva berkacak pinggang. “Lo tuh harus belajar ngadepin berbagai macam pasien, Bi. Kan nggak ada yang tau, besok di lapangan elo bakal ketemu pasien kayak gini.”

“Oke,” Biru pun pasrah. “Jadi, apa yang bisa saya bantu ya, Pak?”

Jeva tersenyum puas.

“Dok, tolong dong, suruh saya buat nyebutin nama-nama bulan dalam bahasa Inggris.” kata Jeva.

Biru geleng-geleng kepala, tapi pada akhirnya dia manut saja.

“Coba Bapak sebutin nama-nama bulan dalam bahasa Inggris, Pak.”

Jeva mengangguk, “Saya mulai ya, Dok. Dengerin baik-baik.”

Biru menghela napas. Senyum pun tertahan di sudut bibirnya. Jeva emang gak bisa serius, batin Biru lalu menyimak ucapan Jeva.

“January…”

“February…”

“March…”

“April…”

“May…”

“I…”

“Kiss…”

“You?”

Sadar kalau Jeva sedang ambil kesempatan untuk flirting, Biru lantas mengulum bibirnya rapat-rapat sebelum menoyor kepala Jeva. Temannya itu pun tertawa.

“Nyebelin lo emang,” decak Biru.

“Dokter kok noyor saya sih? Kalo gitu saya gak jadi periksa di sini.”

“Ah, maaf-maaf.” Biru pun ikut melanjutkan roleplay mereka.

“Abisnya, Bapak ngingetin saya sama temen Koas saya, namanya Jeva. Dia itu nyebeliiiiin banget.”

“Nyebelin gimana, Dok?”

Biru menghela napas. “Dia suka gangguin saya, suka ngebawelin juga, trus suka beliin saya Mixue padahal saya sukanya McFlurry.”

Jeva mendesis sambil menahan tawa. Dia lalu memicingkan mata sambil memandangi wajah Biru.

“Kalau dilihat-lihat, Dokter ini lucu pas lagi kesel.” kata Jeva.

“Saya yakin, temen Koas Dokter itu bikin Dokter kesel karena dia suka ngeliat muka lucu Dokter.”

Biru membuang muka sambil mengulum senyumnya. Sebab, secara tidak langsung, Jeva telah memberitahu alasan mengapa ia kerap sekali membuat Biru kesal. Setelahnya, Biru lantas kembali menoleh pada Jeva lalu berkata.

“Gitu ya, Pak?”

“Iya, Dok.” Jeva kembali menatap Biru dari kepala ke kaki berulang kali sejenak. “Mm… Kalau boleh tau, Dokter udah punya pacar?”

“Kenapa Bapak pengen tau?”

“Karena saya punya analisa saya soal sikap nyebelin temen Koas Dokter itu ke Dokter,” kata Jeva.

“Kalau Dokter belum punya pacar, berarti dia kayak gitu karena dia suka sama Dokter.” timpalnya, “Kayaknya dia seneng gangguin Dokter buat dapetin perhatian Dokter deh. Serius.”

Biru pun tersenyum tipis diikuti anggukan kecil. “Sebenarnya… sekarang ini saya belum punya pacar. Tapi kalo temen Koas saya itu nanya lagi, apa saya udah siap buat jadi pacarnya kayak yang semalam, yaa, saya udah punya.”

Sejenak Jeva terdiam, netranya menatap lurus ke dalam manik legam Biru yang kini juga tengah menyelami miliknya. Setelahnya, Jeva kemudian menarik napas. Ia lantas menopang kedua tangan di atas gagang kursi Biru yang sedang menghadap ke arahnya. Alhasil, Biru seolah terkunci di kursi dan Jeva tak ingin Biru lari.

“Emangnya Dokter udah siap ya buat jadi pacar dia?” tanya Jeva.

Biru mengangguk mantap. Jeva yang melihatnya kian berdebar.

“Awalnya, saya gak siap buat jadi pacar dia karena saya takut bakal nyusahin dia dengan efek trauma saya.” katanya. “Saya gak mau dia ada di posisi sulit karena saya… Meskipun dia bilang kalo dia bisa menerima apapun kondisi saya.”

“Saya gak mau dia terus-terusan nge-jagain orang sakit kek saya.” timpalnya. “Dia itu anak baik, he deserves to bo loved in a perfect way by a perfect person, not me.”

“Saya ini belum sembuh, bahkan saya sendiri ngerasa belum utuh. Makanya saya bilang pengen jadi pacar dia kalau saya udah utuh, supaya saya bisa mencintai dia in a perfect way as a perfect person.”

Mata Jeva lantas berkaca-kaca mendengar penuturan Biru, tapi si teman Koas justru mengukir senyum amat lembut kepadanya. Dari senyum itu pula Biru seakan memberitahu dirinya untuk tidak meneteskan air mata sekarang.

“Tapi, akhir-akhir ini saya mulai berpikir ulang lagi setelah ngeliat gimana dia selalu berusaha buat menerima perhatian kecil saya dengan cara yang sempurna…”

“Apapun yang saya lakuin ke dia, pasti bakalan selalu ada feedback yang nunjukin kalau hal kecil itu bikin dia seneng, yang bikin saya juga jadi mikir kalo saya mungkin udah sembuh,” katanya. “Sampai-sampai saya seolah gak inget lagi gimana rasanya sakit saya dulu.”

“Saya juga sadar kalau dia nggak pernah kok memperlakukan saya seperti orang sakit,” sambungnya lirih. “Dia cuma berusaha untuk selalu ada buat saya, bikin saya merasa berharga dan beruntung.”

“Dia bahkan siap buat ngelewatin tembok yang kelihatan bisa jadi penghalang cuma buat bisa tetap bersama saya,” katanya. “Dan itu bikin saya merasa berharga dan udah utuh untuk bersama dia lebih dari seorang teman,” jelas Biru lalu menghela napas pelan.

“Saat ini, saya mungkin belum sepenuhnya sembuh. Tapi saya udah ngerasa utuh di samping dia dan siap buat jadi pacarnya.”

“Saya pengen sembuh bareng dia sebagai pacar saya…” tegas Biru.

“Dan saya cuma mau sama dia.”

Kalimat terakhir Biru itu sukses membuat satu tangan Jeva lantas beralih membelai lembut pipi kiri Biru. Jeva lalu tersenyum haru.

Keduanya pun saling menyelami netra satu sama lain seperti dua magnet yang tak ingin terlepas. Sampai saat tatapan Biru lantas turun ke bibir Jeva, dia kemudian memejamkan matanya. Jeva yang paham akan hal itu pun perlahan mendekatkan wajahnya sembari memandangi celah ranum Biru.

Sayangnya, tepat sebelum bibir Jeva mendarat di atas milik Biru, gawai Biru di atas meja berdering nyaring. Alhasil, Jeva yang kaget refleks menoleh. Dia mendapati bahwa nomor si penelpon pada WhatsApp Biru itu menggunakan foto profil seorang laki-laki yang mengenakan jaket ojek online.

“Bi, kayaknya gofood—”

Baru saja Jeva hendak kembali menoleh dan memberitahu Biru, namun tangan teman—yang kini telah resmi jadi pacar—nya itu tiba-tiba menarik tengkuknya. Persekian sekon berikutnya, Jeva pun dibuat terbelalak saat bibir Biru mengecup miliknya. Saat itu pula Jeva ikut memejamkan mata seperti Biru. Dia membuka mulut dan membiarkan Biru mengambil pergerakan lebih dahulu. Setelah Jeva merasakan celah ranum Biru melumat bibir atasnya, dia lantas membalasnya dengan memagut bibir bawah pacar cantiknya itu.

Tempo ciuman mereka pelan nan lembut. Jeva dan Biru terkesan sangat berhati-hati dibanding ciuman pertama mereka dulu. Namun, dari situ pula Jeva dan Biru bisa merasakan manisnya cinta yang berusaha tuk mereka sampaikan pada satu sama lain.

Cukup puas berbagi cium mesra di tengah pekikan nyaring yang datang dari gawai Biru, Jeva pun mengakhiri pagutan itu terlebih dahulu. Dia menatap lamat Biru sesaat sebelum membuang muka ke arah lain. Pun Biru yang juga sama canggungnya dengan Jeva. Mereka sama-sama tersipu malu.

“Kasian Abangnya udah nunggu,” cicit Jeva lalu curi-curi pandang ke Biru yang juga masih terdiam.

Biru mengangguk kaku, meraih gawainya. “Gue keluar bentar.”

“Mm,” gumam Jeva.

Tepat setelah Biru meninggalkan ruang Koas, Jeva pun mengulum bibirnya. Dia masih merasakan jejak ciuman bibir Biru di sana.

Jeva kemudian berbalik ke badan kursi. Dia memeluk sandarannya itu sambil menahan pekikannya. Dia lalu menggoyang-goyangkan badan kegirangan dan cekikikan.

Rasanya masih seperti mimpi bagi Jeva bahwa kini Biru telah resmi menjadi kekasih hatinya.

Biru resmi berstatus pacarnya.