Back 2 U

Senja yang semula sedang duduk termenung di tepi ranjang lantas tersentak ketika pintu kamarnya diketuk dari luar. Buru-buru ia bangkit sebelum membuka pintu hingga mendapati Bara berdiri di hadapannya. Sang mantan pacar kemudian tersenyum tipis sambil mengangkat dua paper bag yang Senja sendiri tak tahu isinya apa.

“Buat kamu,” tutur Bara seraya menyodorkan dua paper bag itu.

Namun, bukannya meraih paper bag pemberian Bara, Senja justru mendekap erat tubuh si mantan pacar. Saat itu pula tangis Senja yang sedari tadi ditahannya pun terbebas. Ia terisak dengan wajah yang tenggelam di pundak Bara.

Mendengar tangisan pilu Senja membuat Bara juga nyaris ikut terisak. Tapi ia berusaha untuk menahannya. Ia harus bisa selalu kuat untuk Senjanya, pikir Bara.

“Kamu kenapa nangis, hm?” bisik Bara sambil membalas pelukan Senja. Sesekali Bara mengusap lembut belakang kepala Senja.

“Aku kangen kamu,” lirih Senja.

Bara menipiskan bibirnya. Ia lalu mendorong pelan tubuh Senja guna melihat wajah cantik yang selalu ia puja. Satu tangan Bara kemudian bergerak, membelai pipi Senja yang telah sembab karena deraian air matanya.

“Aku juga kangen kamu, Nja.”

“Aku selalu kangen sama kamu.”

“Gak ada sedetik pun waktu aku yang terlewatkan tanpa mikirin kamu, Senjaku.” Bara menimpali.

“Terus kenapa kamu pengen ninggalin aku ke luar kota sih, Bang?” balas Senja, “Apa selama ini cuma aku ya, yang gagal move on dari kamu sejak kita putus?”

“Apa kamu udah gak punya rasa lagi buat aku, sampai kamu bisa pergi jauh gitu aja dari aku?” timpal Senja, Bara menggeleng.

“Hey,” telunjuk Bara mencolek pelan ujung hidung bangir Senja.

“Kalau aja aku udah move on dan gak punya rasa lagi sama kamu, aku gak mungkin datang ke sini buat pamitan kek sekarang, Nja.”

“Perasaan aku ke kamu enggak pernah berubah. Kamu masih sama pentingnya buat aku,” kata Bara. “Jadi aku ke sini buat pamit sekaligus ngasih tahu alasan aku harus pergi dan ninggalin kamu.”

Bara menghela napasnya pelan, “Aku dapat penugasan yang sulit, aku juga ga akan nutup-nutupin kalau ini beresiko buat aku, Nja.”

“Tapi aku bertekad buat berhasil dalam misi ini,” katanya. “Karena kalau aku berhasil, aku bakalan dipindah ke divisi lain, yang gak mengharuskan aku selalu terjun langsung ke lapangan lagi, Nja.”

“Dengan begitu juga, aku gak bakal bikin kamu takut lagi…” sambungnya, “Aku pun berharap besar kalau kamu mau kembali sama aku setelah aku dipindah divisi nanti. Aku mau kita berdua memulai kembali kisah kita lagi.”

Air mata Senja kembali mengalir deras. Kepalanya ia gelengkan.

“Bang, kamu gak perlu ngelakuin ini.” lirih Senja lalu terisak pelan.

“Aku bakalan berusaha buat lebih kuat untuk kamu. Kita bisa kok kembali lagi tanpa kamu harus pergi. Tolong, jangan pergi. Ya?”

Senja meraih satu tangan Bara lalu menciuminya sejenak, “Aku sayang kamu, Bang. Aku minta maaf karena belum bisa ngertiin kamu waktu itu. Tapi, sekarang aku bakalan berusaha. Aku janji.”

“Jadi gak usah pergi yaa?” pinta Senja lagi, “Gak usah bikin nyawa kamu dalam bahaya di luar kota.”

“Nja,” kini Bara yang menciumi tangan Senja sejenak sebelum berkata. “Kalau aku nggak pergi sekali pun, nyawa aku akan tetap ada dalam bahaya setiap saat…”

“Sedangkan kalau aku pergi, aku ada pegangan buat bisa nikahin kamu setelahnya,” kata Bara. “Aku mau nikahin kamu tanpa harus bikin kamu ngerasa tersiksa lagi.”

Satu tangan Bara lalu beralih mengusap lembut surai Senja.

“Kamu masih inget kan janji aku dulu? Aku selalu janji gak bakal kenapa-kenapa demi kamu, Nja.”

“Jadi kamu gak usah takut ya? Aku pergi untuk kembali. Aku pergi untuk pulang dan nikahin kamu, seperti mimpi kita dulu.”

Senja tidak mengatakan apa-apa, namun kedua lengannya lantas ia kalungkan di tenguk Bara. Senja kemudian menciumi bibir lelaki yang masih sangat ia cintai itu dengan amat bernafsu, seolah tidak akan ada lagi hari esok. Di sana pula ia menahan isakannya, meski air matanya tetap jatuh.

Tidak hanya Senja, kini Bara pun melakukan hal serupa. Perlahan Bara mendorong pelan tubuh si pujaan hati hingga mereka yang semula berdiri di ambang pintu akhirnya masuk ke dalam kamar.

Tanpa memutus ciuman mereka, satu tangan Bara lantas menutup pintu kamar. Setelahnya, ia pun menyempatkan dirinya untuk meletakkan dua paper bag—yang sedari tadi ia bawa—di atas meja.

Sampai saat Bara dan Senja telah berdiri di samping tempat tidur, masih sambil memagut mesra, Senja tiba-tiba menghentikan ciuman mereka. Senja beralih menatap wajah Bara lekat-lekat.

“Abang perginya kapan?”

“Masih tiga hari lagi, Nja.” jawab Bara sambil menyeka pipi Senja.

Senja mengangguk kecil, “Abang bisa nginep enggak, malam ini?”

“Kamu pengen aku nginep?”

“Mm,” gumam Senja dengan raut memohon. “Aku… Pengen meluk kamu semalaman sebelum pergi.”

“Oke, aku nginep.” Bara setuju, “Kalau gitu kamu rebahan gih, Nja. Katanya pengen meluk aku.”

Senja mencebik diikuti gelengan pelan, “Masih pengen ciuman.”

Tersenyum tipis, Bara kemudian memeluk erat pinggang ramping Senja. Sementara itu, dua lengan Senja yang sedari tadi tak pernah lepas dari tengkuk Bara pun kian ia eratkan di sana. Pasalnya, Bara tiba-tiba mengangkat tubuhnya. Membuat kedua kaki Senja lantas ikut melingkari pinggang Bara.

Kedua anak manusia itu pun kembali berbagi lumatan mesra dengan Bara yang menggendong Senja. Decak air ludah memenuhi kamar kos-an itu beberapa saat sebelum Bara meletakkan tubuh Senja di atas ranjangnya dengan posisi terlentang. Bara yang kini mengungkung tubuh Senja pun melepaskan pagutannya sejenak guna memandangi wajah Senja.

“Abang kenapa ngeliatin aku kek gitu sih?” Senja tersipu, sebab tatapan Bara sangat lah dalam.

“Kamu cantik, Nja.” jawab Bara. “Aku pengen puas-puasin liat wajah cantik kamu malam ini.”

Senja tersenyum tipis. Ia kembali memejamkan mata ketika Bara memagut bibirnya lagi. Berbeda dari sebelumnya, dimana ciuman yang mereka bagi sangat tergesa, kali ini Senja dan Bara saling melumat lembut. Pagutan itu amat hati-hati dan penuh afeksi.

Cukup puas saling berbagi kecup mesra, Bara lantas menyudahi aksi mereka. Ia kemudian beralih merebahkan tubuhnya di sisi kiri Senja; posisi Bara menyamping.

Dengan satu tangan yang Bara gunakan untuk menopang kepala nya, Bara lantas leluasa menatap wajah cantik Senja. Sedang yang diperlakukan demikian terdiam sejenak sambil menahan senyum.

“Abang…”

Bara tersenyum, “Mm?”

“Aku minta maaf ya,” ucap Senja.

“Maaf karena aku malah nyerah waktu itu,” timpalnya. “Aku pikir, dengan kita putus, aku gak bakal ngerasa takut dan tersiksa lagi karena selalu mikirin soal kamu.”

“Tapi nyatanya, aku jauh lebih tersiksa karena enggak ada di samping kamu. Aku makin takut karena gak tau apa-apa tentang kamu setelah kita putus.” katanya lalu menghela napas. “Aku nggak bisa ngelupain kamu, Bang. Aku gak bisa ngebiarin kamu berada di antara hidup dan mati sendiri.”

“Aku pengen jadi tempat kamu pulang. Aku pengen kamu mau berbagi kisah soal kerjaan kamu lagi sama aku,” timpalnya lirih.

“Aku pengen kuat buat kamu...” tutur Senja, “Aku pengen nerima kamu dan pekerjaan kamu meski aku tau kalau rasanya menyiksa.”

“Karena aku bakalan lebih sakit lagi kalau nggak ada di samping kamu, Bang. Aku nggak sanggup pura-pura gak peduli, padahal di dalam hati aku, aku ini khawatir.”

Bara mengangguk. Satu tangan Bara kemudian membelai pipi Senjanya dengan begitu lembut.

“Aku juga minta maaf ya, Nja.” katanya, “Aku juga gak ngertiin mau kamu waktu itu. Aku tau, kamu frustasi karena khawatir dan takut aku kenapa-kenapa.”

“Tapi aku malah nggak terbuka sama kamu saat itu juga cuma karena pikiran aku sendiri soal kamu,” jelasnya. “Maafin aku ya?”

Senja mengangguk. “Iya, Bang.”

“Jadi…” ibu jari Bara kemudian beralih mengusap bibir Senja. “Aku udah boleh manggil kamu ‘pacar cantikku’ lagi kan, Nja?”

“Bukannya tadi Abang bilang kalau pengen nikah sama aku?” Senja melirik ke arah lain, “Kok masih pacar? Apa gak jadi ya?”

Bara terkekeh, “Jadi, kalau kamu mau. Kan kamunya belum jawab.”

“Mau,” sahut Senja. “Aku mau.”

Menghela napas lega, Bara lalu mendekap erat tubuh Senja. Pun Senja yang juga telah berbaring menyamping, menghadap tepat ke arahnya. Kedua anak manusia itu berbagi pelukan sesaat sambil merasakan detak jantung mereka yang seirama bagai alunan nada.

“Nja, kamu tau nggak?” gumam Bara. “Di luar kota nanti, aku tuh bakal nyamar jadi tukang parfum refill lagi kayak pas kita ketemu.”

Senja pun mendongak, menatap wajah Bara sejenak sebelum ia tiba-tiba mendorong tubuh sang pacar. Alhasil, pelukan keduanya seketika terlepas. Membuat Bara yang kini kebingungan melotot. Terlebih, saat Senja justru beralih berbaring membelakangi dirinya.

“Terus nanti Abang bakal bikin parfum untitled lagi gitu buat seseorang?” Senja mencebik.

“Jangan-jangan, entar kamu juga bakal ketemu Senja lain di sana.”

Sadar jika Senjanya merajuk, Bara pun terkekeh lalu memeluk erat pinggang ramping pacarnya itu dari belakang. Bara kemudian mengecup lembut pipi kiri Senja.

“Parfum yang aku bikin kemarin itu cuma buat kamu, Nja.” tutur Bara, “Meskipun orang lain pake parfum serupa, tapi wanginya itu gak akan pernah sama kalo kamu yang pake, Cantikku. Wangi itu cuma tercipta buat kamu, Nja.”

“Abang cuma gombal kan?” tanya Senja lalu melirik ke arah Bara.

“Mulut aku emang jago bohong, aku pinter pura-pura kalau lagi kerja,” sahut Bara. “Tapi coba liat mata aku, Nja. Cari kebohongan di sana. Bilang ke aku kalau ada.”

“Aku mana tau bedain mata yang bohong sama gak,” kekeh Senja. “Aku bukan intelijen kek Abang.”

Bara ikut terkekeh pelan.

“Kamu liatnya pake dua mata aja sih, coba kamu pake mata yang ada di sini juga.” katanya sembari menuntun tangan Senja agar mendarat di dadanya sendiri.

Senja tersenyum, “Aku dan hati aku selalu percaya sama Abang.”

Bara lalu kembali menciumi pipi Senja, “Makasih ya, Sayang. Aku bakalan jaga kepercayaan kamu.”

“Aku pegang ucapan Abang ya,” tegas Senja diikuti kekehannya.

“Iya, Cantikku.” kekeh Bara.

“Oh iya, Bang. Tadi kamu bawa apa buat aku?” Senja penasaran.

“Yang di paper bag itu, Nja?”

“Mm,” gumam Senja.

“Aku bawain kamu parfum, mana tau besok-besok parfum kamu yang dari aku abis, terus di luar kota biangnya langka.” kata Bara, “Jadi aku udah bikinin stock yang banyak, biar kamu enggak ganti parfum ke merek yang lain, Nja.”

“Sama kayak yang bikin…” lanjut Bara, “Kamu juga jangan gantiin aku ke lain hati ya, Cantikku?”

Senja terkekeh, “Iya, Abaaang.”