Officially Dating

Jeva memasuki ruang Koas—yang secara tidak langsung sudah menjadi tempatnya dan Biru bertemu hingga makan siang berdua—sambil tersenyum tipis. Pasalnya, dia mendapati teman Koasnya itu tengah sibuk sendiri membaca jurnal dengan airpods menyumpal telinganya. Alhasil, Biru pun tidak sadar bahwa kini Jeva telah berdiri di belakangnya.

Kedua tangan Jeva kemudian terulur, hendak mencubit pipi Biru dari arah belakang. Namun, sebelum jemarinya mendarat di spot sasarannya, justru Jeva lah yang dibuat terkejut. Sebab Biru lantas menoleh lalu mendongak.

“Mau ngapain?” Biru memicing.

Jeva menjatuhkan pundak, “Mau nyubit pipi lo, tapi elo tiba-tiba noleh. Kan jadi gue yang kaget.”

“Kok lo bisa tau sih tadi, kalo gue udah di belakang lo?” lanjut Jeva berceloteh lalu duduk pada kursi di samping Biru. “Ini gak nyala?”

Biru tersenyum tipis saat Jeva mengetuk-ngetuk pelan airpods —yang tadi telah Biru matikan— di telinganya dengan tampang penasaran. Biru lalu menggeleng pelan sambil melepas airpods itu.

“Nyala kok, tapi gue nyium wangi parfum lo. Makanya gue tau kalo lo udah dateng tadi,” jawab Biru.

“Hafal banget ya,” ledek Jeva.

“Emang lo gak hapal wangi gue?” balas Biru lalu menopang dagu.

Jeva berdeham pelan lalu melirik ke arah lain sejenak. Sudut bibir Jeva pun mati-matian menahan senyum yang ingin melengkung.

“Gak,” sahut Jeva sambil menatap lurus ke dalam netra legam Biru.

“Keknya cuma orang-orang yang ‘whipped’ gak sih, Bi? Yang hapal banget sama wangi gebetannya?”

Biru menahan senyum. Tak lama berselang, dia pun memiringkan wajah. Kini terlihat seperti Biru sedang menyodorkan pipi kirinya kepada Jeva. Alhasil, Jeva yang menyadari itu refleks melotot.

Biru pengen dicium? Batin Jeva panik. Dia seketika salah tingkah.

“Bi… Lo… Serius?”

Biru melirik Jeva dengan mata memicing, “Serius soal apa?”

“Soal ini.”

Jeva menunjuk-nunjuk pipi Biru. Setelahnya, Biru mengangguk.

Jantung Jeva pun berdetak tidak karuan. Dia tentu bersemangat, tapi di saat yang bersamaan Jeva juga merasa gugup. Dia merasa seperti sedang bermimpi karena Biru memberikan free pass ini.

Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan langka, Jeva lalu menyondongkan badannya ke arah Biru. Wajahnya pun semakin mendekati pipi teman Koasnya itu. Namun, sebelum bibir Jeva mendarat di sana, Biru tiba-tiba menjauhkan kepalanya. Biru lalu menatap Jeva dengan raut heran.

“Mau ngapain lagi?”

Jeva melongo sesaat.

“Nyium pipi lo, Bi.” katanya ragu. “Lo… Pengen gue nyium pipi lo biar gue ngapalin wangi lo kan?”

Biru mengulum bibirnya sambil memejamkan mata sesaat. Biru mati-matian menahan tawanya.

Ketika Biru kembali membuka mata, Jeva masih menatapnya seperti seorang anak hilang. Jelas kalau kini Jeva juga kebingungan.

“Pas baru datang tadi, lo bilang pengen nyubit pipi gue. Jadi ya udah, gue ngizinin buat nyubit.”

“Kok malah jadi pengen nyium?”

Jeva seperti tersambar petir di siang bolong. Jika saat ini dia bisa tenggelam di bawah meja saking malunya, maka dia sudah tak lagi duduk di kursinya. Alhasil, yang bisa Jeva lakukan hanya berbalik badan membelakangi Biru sambil menutupi wajahnya dengan dua tangan. Jeva ingin berteriak saja.

Sementara itu, Biru yang melihat tingkah Jeva refleks tergelak. Dia lantas menggoyang-goyangkan tubuh Jeva saat temannya itu tak kunjung berbalik kepadanya lagi.

“Jev, lo kenapa sih? Sini, liat gue.”

“Gak sekarang, Bi. Jangan ngajak gue ngomong dulu,” jawab Jeva.

Biru kembali tertawa puas lalu menarik lengan Jeva agar teman Koasnya itu berbalik ke arahnya. Sampai saat wajah Jeva akhirnya bisa dia lihat dengan jelas, Biru lantas menangkupnya. Membuat Jeva tidak bisa membuang muka dan hanya mampu menatapnya.

Tanpa aba-aba, Biru kemudian mengecup lembut pipi kiri Jeva. Sementara itu, yang mendapat perlakuan demikian mematung. Jeva kehilangan kata sampai Biru berhenti mengecup pipinya dan kembali memandangi wajahnya.

“Udah hapal wangi gue gak?”

Jeva mengulum senyum sebelum bergantian mengecup kilat pipi kiri Biru hingga empunya kaget.

“Udah,” kata Jeva.

Kedua anak manusia itu sama-sama tersipu malu. Baik itu Jeva maupun Biru lantas mengubah posisi duduk mereka menjadi menghadap ke meja. Mereka tak mampu saling bersitatap sesaat.

“Lo… lagi baca jurnal ya tadi?”

Jeva lalu memecah keheningan dengan pertanyaan basa-basi.

“Mm,” gumam Biru. “Gue juga sambil latihan buat OSCE sih.”

Jeva melirik Biru. “Mau dibantu?”

“Gue bisa pura-pura jadi pasien sekaligus penguji lo.” tawar Jeva.

Biru menoleh, tersenyum lembut lalu mengangguk setuju atas usul dari teman Koas-nya itu. Alhasil, dia kembali mengubah posisinya menjadi duduk menghadap Jeva. Pun Jeva melakukan hal serupa.

Jeva berdeham, “Silakan.”

Biru terkekeh melihat Jeva sudah memulai acting sebagai penguji.

“Kenapa anda malah ketawa sih? Siap ujian atau nggak?” kata Jeva.

Biru ikut berdeham. “Maaf, Dok.”

“Oke.”

Biru meletakkan kedua tangan di depan dada, telapak tangannya pun telah saling menempel guna menunjukkan pose salam sopan.

“Selamat siang, Dokter.” sapanya.

“Perkenalkan saya Biru Alsaki Nasution, NIM 182018127. Saya izin untuk memulai ujian,” kata Biru, Jeva lantas mengangguk.

Setelahnya, Jeva lalu berdiri dari kursi. Dia berjalan menjauhi Biru. Biru pun menahan senyum kala Jeva mulai berpura-pura menjadi seorang pasien yang baru datang sambil mencengkeram dadanya.

“Silakan, Pak. Silakan duduk.”

Jeva menurut. Dia kembali duduk di kursinya, menghadap ke Biru.

“Selamat siang,” sapa Biru lagi.

Jeva mengangguk. “Siang, Dok.”

“Perkenalkan saya Dokter Biru, saya Dokter jaga yang bertugas hari ini. Dengan Bapak siapa?”

Jeva mendesis, masih sambil memegangi dadanya. Nampak kini dia berpura-pura kesakitan.

“Saya enggak mau jawab sebelum Dokter nurutin permintaan saya.”

Biru menahan senyumnya, “Maaf sebelumnya ya, Pak pasien. Saya mau mengingatkan kalo kita lagi di ruang ujian Kardiologi, bukan Kejiwaan. Tolong dalami peran.”

Jeva berkacak pinggang. “Lo tuh harus belajar ngadepin berbagai macam pasien, Bi. Kan nggak ada yang tau, besok di lapangan elo bakal ketemu pasien kayak gini.”

“Oke,” Biru pun pasrah. “Jadi, apa yang bisa saya bantu ya, Pak?”

Jeva tersenyum puas.

“Dok, tolong dong, suruh saya buat nyebutin nama-nama bulan dalam bahasa Inggris.” kata Jeva.

Biru geleng-geleng kepala, tapi pada akhirnya dia manut saja.

“Coba Bapak sebutin nama-nama bulan dalam bahasa Inggris, Pak.”

Jeva mengangguk, “Saya mulai ya, Dok. Dengerin baik-baik.”

Biru menghela napas. Senyum pun tertahan di sudut bibirnya. Jeva emang gak bisa serius, batin Biru lalu menyimak ucapan Jeva.

“January…”

“February…”

“March…”

“April…”

“May…”

“I…”

“Kiss…”

“You?”

Sadar kalau Jeva sedang ambil kesempatan untuk flirting, Biru lantas mengulum bibirnya rapat-rapat sebelum menoyor kepala Jeva. Temannya itu pun tertawa.

“Nyebelin lo emang,” decak Biru.

“Dokter kok noyor saya sih? Kalo gitu saya gak jadi periksa di sini.”

“Ah, maaf-maaf.” Biru pun ikut melanjutkan roleplay mereka.

“Abisnya, Bapak ngingetin saya sama temen Koas saya, namanya Jeva. Dia itu nyebeliiiiin banget.”

“Nyebelin gimana, Dok?”

Biru menghela napas. “Dia suka gangguin saya, suka ngebawelin juga, trus suka beliin saya Mixue padahal saya sukanya McFlurry.”

Jeva mendesis sambil menahan tawa. Dia lalu memicingkan mata sambil memandangi wajah Biru.

“Kalau dilihat-lihat, Dokter ini lucu pas lagi kesel.” kata Jeva.

“Saya yakin, temen Koas Dokter itu bikin Dokter kesel karena dia suka ngeliat muka lucu Dokter.”

Biru membuang muka sambil mengulum senyumnya. Sebab, secara tidak langsung, Jeva telah memberitahu alasan mengapa ia kerap sekali membuat Biru kesal. Setelahnya, Biru lantas kembali menoleh pada Jeva lalu berkata.

“Gitu ya, Pak?”

“Iya, Dok.” Jeva kembali menatap Biru dari kepala ke kaki berulang kali sejenak. “Mm… Kalau boleh tau, Dokter udah punya pacar?”

“Kenapa Bapak pengen tau?”

“Karena saya punya analisa saya soal sikap nyebelin temen Koas Dokter itu ke Dokter,” kata Jeva.

“Kalau Dokter belum punya pacar, berarti dia kayak gitu karena dia suka sama Dokter.” timpalnya, “Kayaknya dia seneng gangguin Dokter buat dapetin perhatian Dokter deh. Serius.”

Biru pun tersenyum tipis diikuti anggukan kecil. “Sebenarnya… sekarang ini saya belum punya pacar. Tapi kalo temen Koas saya itu nanya lagi, apa saya udah siap buat jadi pacarnya kayak yang semalam, yaa, saya udah punya.”

Sejenak Jeva terdiam, netranya menatap lurus ke dalam manik legam Biru yang kini juga tengah menyelami miliknya. Setelahnya, Jeva kemudian menarik napas. Ia lantas menopang kedua tangan di atas gagang kursi Biru yang sedang menghadap ke arahnya. Alhasil, Biru seolah terkunci di kursi dan Jeva tak ingin Biru lari.

“Emangnya Dokter udah siap ya buat jadi pacar dia?” tanya Jeva.

Biru mengangguk mantap. Jeva yang melihatnya kian berdebar.

“Awalnya, saya gak siap buat jadi pacar dia karena saya takut bakal nyusahin dia dengan efek trauma saya.” katanya. “Saya gak mau dia ada di posisi sulit karena saya… Meskipun dia bilang kalo dia bisa menerima apapun kondisi saya.”

“Saya gak mau dia terus-terusan nge-jagain orang sakit kek saya.” timpalnya. “Dia itu anak baik, he deserves to bo loved in a perfect way by a perfect person, not me.”

“Saya ini belum sembuh, bahkan saya sendiri ngerasa belum utuh. Makanya saya bilang pengen jadi pacar dia kalau saya udah utuh, supaya saya bisa mencintai dia in a perfect way as a perfect person.”

Mata Jeva lantas berkaca-kaca mendengar penuturan Biru, tapi si teman Koas justru mengukir senyum amat lembut kepadanya. Dari senyum itu pula Biru seakan memberitahu dirinya untuk tidak meneteskan air mata sekarang.

“Tapi, akhir-akhir ini saya mulai berpikir ulang lagi setelah ngeliat gimana dia selalu berusaha buat menerima perhatian kecil saya dengan cara yang sempurna…”

“Apapun yang saya lakuin ke dia, pasti bakalan selalu ada feedback yang nunjukin kalau hal kecil itu bikin dia seneng, yang bikin saya juga jadi mikir kalo saya mungkin udah sembuh,” katanya. “Sampai-sampai saya seolah gak inget lagi gimana rasanya sakit saya dulu.”

“Saya juga sadar kalau dia nggak pernah kok memperlakukan saya seperti orang sakit,” sambungnya lirih. “Dia cuma berusaha untuk selalu ada buat saya, bikin saya merasa berharga dan beruntung.”

“Dia bahkan siap buat ngelewatin tembok yang kelihatan bisa jadi penghalang cuma buat bisa tetap bersama saya,” katanya. “Dan itu bikin saya merasa berharga dan udah utuh untuk bersama dia lebih dari seorang teman,” jelas Biru lalu menghela napas pelan.

“Saat ini, saya mungkin belum sepenuhnya sembuh. Tapi saya udah ngerasa utuh di samping dia dan siap buat jadi pacarnya.”

“Saya pengen sembuh bareng dia sebagai pacar saya…” tegas Biru.

“Dan saya cuma mau sama dia.”

Kalimat terakhir Biru itu sukses membuat satu tangan Jeva lantas beralih membelai lembut pipi kiri Biru. Jeva lalu tersenyum haru.

Keduanya pun saling menyelami netra satu sama lain seperti dua magnet yang tak ingin terlepas. Sampai saat tatapan Biru lantas turun ke bibir Jeva, dia kemudian memejamkan matanya. Jeva yang paham akan hal itu pun perlahan mendekatkan wajahnya sembari memandangi celah ranum Biru.

Sayangnya, tepat sebelum bibir Jeva mendarat di atas milik Biru, gawai Biru di atas meja berdering nyaring. Alhasil, Jeva yang kaget refleks menoleh. Dia mendapati bahwa nomor si penelpon pada WhatsApp Biru itu menggunakan foto profil seorang laki-laki yang mengenakan jaket ojek online.

“Bi, kayaknya gofood—”

Baru saja Jeva hendak kembali menoleh dan memberitahu Biru, namun tangan teman—yang kini telah resmi jadi pacar—nya itu tiba-tiba menarik tengkuknya. Persekian sekon berikutnya, Jeva pun dibuat terbelalak saat bibir Biru mengecup miliknya. Saat itu pula Jeva ikut memejamkan mata seperti Biru. Dia membuka mulut dan membiarkan Biru mengambil pergerakan lebih dahulu. Setelah Jeva merasakan celah ranum Biru melumat bibir atasnya, dia lantas membalasnya dengan memagut bibir bawah pacar cantiknya itu.

Tempo ciuman mereka pelan nan lembut. Jeva dan Biru terkesan sangat berhati-hati dibanding ciuman pertama mereka dulu. Namun, dari situ pula Jeva dan Biru bisa merasakan manisnya cinta yang berusaha tuk mereka sampaikan pada satu sama lain.

Cukup puas berbagi cium mesra di tengah pekikan nyaring yang datang dari gawai Biru, Jeva pun mengakhiri pagutan itu terlebih dahulu. Dia menatap lamat Biru sesaat sebelum membuang muka ke arah lain. Pun Biru yang juga sama canggungnya dengan Jeva. Mereka sama-sama tersipu malu.

“Kasian Abangnya udah nunggu,” cicit Jeva lalu curi-curi pandang ke Biru yang juga masih terdiam.

Biru mengangguk kaku, meraih gawainya. “Gue keluar bentar.”

“Mm,” gumam Jeva.

Tepat setelah Biru meninggalkan ruang Koas, Jeva pun mengulum bibirnya. Dia masih merasakan jejak ciuman bibir Biru di sana.

Jeva kemudian berbalik ke badan kursi. Dia memeluk sandarannya itu sambil menahan pekikannya. Dia lalu menggoyang-goyangkan badan kegirangan dan cekikikan.

Rasanya masih seperti mimpi bagi Jeva bahwa kini Biru telah resmi menjadi kekasih hatinya.

Biru resmi berstatus pacarnya.