A Rainy Day

Tepat setelah Biru mendapatkan obat dan hendak meninggalkan gedung farmasi, kedua matanya lantas menangkap figur Jeva di depan pintu. Jeva berdiri di sana dengan satu tangan memegang payung, sedang tangannya yang lain ia masukkan ke saku celana.

Biru pun bergegas menghampiri pacarnya itu. Terlebih saat Biru sadar dan melihat dari kejauhan kalau sneli Jeva nampak basah.

“Jev.”

Jeva menoleh ketika mendengar suara Biru dari arah belakangnya. Dia lalu mengulas senyum cerah mendapati Biru telah berdiri di sisinya; dan menatapnya heran.

“Kenapa lo ngeliatin gue kayak gini, hm?” tanya Jeva sebelum mengacak pelan rambut Biru.

“Kok sneli lo basah?”

Biru jelas heran. Pasalnya Jeva membawa payung bersamanya.

“Oh,” Jeva cengar-cengir. “Tadi udah keburu hujan pas gue mau balik ke RS waktu abis dari kos-an, Bi. Terus karena gue bawa motor, jadi gue gak bisa make payung ini. Ya udah, gue basah.”

“Tapi gak basah-basah amat kok,” lanjut Jeva berceloteh. “Nih, liat.”

Biru menghela napas. “Lagian lo ngapain sih balik lagi ke RS buat bawain gue payung doang, Jev?”

“Gue kan bisa numpang bentar di payung orang-orang yang mau jalan ke gedung sebelah,” katanya sambil menatap Jeva khawatir.

“Kalau lo sakit gimana? Mana udah mau ujian gini,” omelnya.

Jeva menahan senyumnya.

“Lo khawatirin gue?”

“Menurut lo?” Biru mendengus.

Jeva terkekeh. “Menurut lo, gue bawain lo payung gini karena apa coba? Gue juga khawatirin lo, Bi.”

“Dan lo liat ada orang-orang yang bawa payung gak di sini?”

Biru melirik ke sekitaran gedung. Hanya ada beberapa Koas yang berlarian dengan modal snelinya sebagai payung. Sementara itu, beberapa orang memilih untuk berteduh di area dalam gedung sambil menunggu hujan reda.

“Gak ada kan?” timpal Jeva. “Gue tau, lo juga cuma bakal nerobos hujan kalau aja gak ada payung.”

“Dan gue gak mau lo sampe sakit karena itu. Cuaca lagi gak bagus, imun lo juga lagi gak kuat karena kita selalu begadang tiap malam.”

Jeva menghela napas panjang.

“Lagian gue kan udah bilang ke lo tadi, i’m trying to be a good boyfriend here.” Jeva tersenyum.

Biru menatap haru wajah Jeva. Satu tangannya lalu menepuk pelan pipi kanan pacarnya itu.

“Kemarin lo bilang gue whipped karena hapal wangi lo,” katanya.

But look at yourself now...” Biru terkekeh. “You are whipped, Jev.”

Jeva mengulum senyum. Dia tak mengatakan apa-apa sebelum membentangkan payung yang sedari tadi dia pegang dan bawa.

“Ayo, Bi. Lo musti bawa obatnya ke ruang rawat sekarang,” ajak Jeva sambil memayungi dirinya sendiri juga Biru di sampingnya.

Biru tersenyum tipis lalu geleng-geleng kepala. Setelahnya, Biru pun mengikuti langkah Jeva yang memegang payung itu untuknya.

“Tadi lo minjem motor siapa lagi buat balik ke kos-an?” tanya Biru ke Jeva di tengah derasnya rintik hujan yang jatuh di atas payung. Membuat suaranya tidak mampu didengar jelas oleh pacarnya itu.

“Lo bilang apa tadi, Bi?”

Biru lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Jeva. “Tadi lo minjem motor siapa lagi pas ke kos-an?”

“Oooh,” Jeva melirik Biru sambil cengengesan. “Motor Pak Andi.”

“Motor Pak Satpam lo bawa lari mulu perasaan,” Biru terkekeh.

“Soalnya motor dia yang selalu siap sedia.” Jeva ikut terkekeh.

Biru geleng-geleng kepala.

“Bi.”

Biru menoleh sekilas. “Mm?”

“Entar malem, makan Ayam Pak Gembus yuk?” Jeva menawarkan.

“Ayo,” sahut Biru. “Gofood aja?”

“Iya, gofood aja. Kayaknya hujan bakal awet sampai malem,” kata Jeva. “Kita juga musti belajar.”

“Oke.”

Tidak lama setelahnya, Biru dan Jeva sampai di gedung utama RS dimana ruang rawat berada. Jeva pun menghentikan langkahnya tepat di hadapan pintu masuk.

“Gue tunggu di sini ya, Bi.”

Biru mengangguk pelan. “Gue gak bakal lama. Give ten min—”

“Jangan pernah mikir buat lari ke dalem,” Jeva memotong ucapan Biru dengan sedikit penekanan guna mengingatkan Biru. “Liat sepatu lo udah basah kek gini, licin kalau udah jalan di lantai.”

“Mau lama juga gak apa-apa. Gue bisa nunggu kok, Bi.” tutur Jeva. “Nggak usah buru-buru banget.”

“Lo gak boleh jatuh, entar badan lo sakit.” timpal Jeva. “Kalau jatuh cinta sama gue, ya baru, boleh.”

“Soalnya gue gak bakalan bikin badan lo sakit,” Jeva tersenyum.

“Bawel,” gumam Biru.

Mengulum bibirnya, Biru lantas menoyor pelan kepala Jeva. Dia lalu berbalik, masuk ke dalam gedung hingga meninggalkan Jeva yang cengar-cengir sendiri.

Sepeninggal Biru, Jeva kemudian menyapa beberapa teman Koas juga senior yang berlalu lalang. Bahkan tidak sekali dua kali dia menyapa orang-orang yang baru ditemuinya hingga mengajaknya berbincang sambil menunggu hujan reda—juga Biru kembali.

“Ayo, Jev.”

Jeva yang semula asik mengobrol dengan salah seorang Koas pun menoleh. Tersenyum mendapati Biru telah kembali dan bersiap untuk pulang ke kos dengannya.

“Ayo, Bi.” Jeva lalu tersenyum ke Koas yang berdiri di sisi kirinya sejenak. “Gue balik duluan ya.”

Usai berpamitan, Jeva seketika kembali memayungi tubuh Biru. Meski hujan sudah tak sederas sebelumnya, namun tetesan air itu masih cukup mampu untuk membuat tubuh mereka basah.

Mereka berdua kemudian mulai berjalan di tengah hujan. Tanpa sadar, tangan Jeva dan Biru pun saling bergesekan. Hal itu lantas membuat Jeva memberanikan dirinya untuk menggenggam jemari Biru sambil melangkah.

Biru yang paham pun seketika membalas genggaman tangan sang pacar. Dari yang semula terasa ragu dan malu-malu berubah menjadi sangat erat.

Namun, ketika netra legam Biru tertuju kepada beberapa pasang mata yang juga berlalu lalang di sekitarnya dan Jeva, dia refleks membeku. Sorot mata mencela bahkan jijik pun dapat Biru baca.

Sebab, dia pernah melihat hal itu sebelumnya. Biru pernah melihat tatapan yang sama, tepat saat seksualitas sang Papa kandung diketahui olehnya, Mama hingga saudaranya. Semua tatapan sarat benci itu tertuju pada Papanya.

Dan kini, Biru merasa dia telah mendapatkan perlakuan serupa. Membuat sesuatu di dalam diri Biru lantas berteriak ketakutan.

Kedua kaki Biru lalu berhenti melangkah tanpa aba-aba. Pun tangan Biru yang buru-buru melepas genggaman pacarnya.

Jeva jelas terkejut. Membuatnya ikut mematung di samping Biru dengan tatapan heran sekaligus khawatir. Pasalnya, Biru nampak mengatur napasnya yang berat.

“Bi?” Jeva mencengkeram pelan pundak Biru. “Lo baik-baik aja?”

Biru menatap Jeva sedu. “Maaf.”