Accepted

“Kayaknya kita emang ditakdirin buat ngedate berdua deh malam ini, Bi.” kekeh Jeva yang berjalan di samping kanan pacarnya; Biru.

Usai menjenguk Ray kemudian berpamitan kepada kedua orang tua teman Koas mereka itu, kini Jeva dan Biru telah bersiap untuk meninggalkan rumah sakit. Hari lantas sudah nyaris berganti jadi malam, langit mulai menjingga. Dimana artinya, rencana mereka untuk berkencan pun akan tiba.

“Mm,” Biru lalu bergumam setuju. “Kamu pasti seneng banget kan?”

Jeva cengar-cengir, “Seneng lah.”

“Tapi kamu pengen makan apa sih abis ini?” Biru mendongak pada si pacar yang sedikit lebih tinggi darinya. “Aku kek lagi gak pengen nasi deh, Jev. Tapi laper.”

“Ke Marugame aja yuk,” ajak Jeva lalu merangkul bahu Biru. “Udah lama juga kita gak makan berdua di sana, biasanya pasti ada Dara.”

“Ya kan kamu ngakunya pacaran sama Dara waktu itu,” kata Biru. “Makanya aku ajakin dia mulu.”

Jeva kembali terkekeh. “Kan yang sama Dara itu boongan, Sayang.”

“Kalau sekarang, aku beneran udah makan sama pacar aku.”

Biru tersenyum meledek lalu kembali menatap jalan di depan mereka. Dia menghela napasnya.

“Tapi gak seru ah,” katanya.

Sontak Jeva kaget. “Nggak seru gimana maksud kamu, Sayang?”

“Gak seru, soalnya kita gak bisa sharing terus makan semangkuk berdua gara-gara selera kita tuh beda.” sahut Biru, “Kamunya suka Niku Udon, aku suka Beef Curry.”

Jeva mengulum senyumnya. Biru selalu saja membuat Jeva salah tingkah dengan kata-kata yang menjurus ke arah flirting seperti saat ini. Namun, Jeva tidak ingin kalah. Alhasil, dia pun bersuara.

“Kamu mau makan semangkuk berdua sama aku?” tanya Jeva, sedang Biru lantas ikut menahan senyum sebelum mengangguk.

“Bisa kok,” kata Jeva. “Kita ambil jalan tengah, makan yang Abura.”

Biru tertawa kecil, “Kenapa jalan tengahnya malah menu yang kita sama-sama gak suka sih? Aneh.”

“Kan yang paling penting, kita-nya udah saling suka,” jawab Jeva.

“Jadi walau pun kita pesen menu yang gak kita suka, tapi kita bisa tetep ngerasa seneng tau, karena makannya sama orang yang kita suka.” ucap Jeva dengan bangga.

“Seneng iya, kenyang kaga.” ledek Biru lalu menoyor kepala Jeva, membuat rangkulan si pacar di pundaknya itu seketika terlepas.

Biru kemudian berjalan terlebih dahulu ke arah mobil Jeva yang ada di parkiran. Dia diam-diam tersenyum karena ucapan Jeva tadi. Sementara itu, Jeva yang tertinggal di belakang sana pun mengacak-acak rambut frustasi. Sebab, Jeva berpikir bahwa Biru mungkin geli dengan ucapannya.

Dia harus belajar flirting lebih keras lagi setelah ini, pikir Jeva.

Jeva hanya belum tahu saja kalau Biru lantas tersipu di depan sana.

Sampai saat Biru telah berdiri di samping mobil Jeva, pacarnya itu buru-buru membuka kunci juga pintu untuknya. Biru pun hanya tersenyum kecil sebagai ucapan terima kasih sebelum masuk ke dalam kendaraan Jeva lebih dulu.

Setelahnya, Jeva kemudian ikut masuk dan duduk di belakang kemudi. Namun, belum sempat Jeva menyalakan mesin, gawai di saku celananya lantas berbunyi.

“Bentar ya, Bi.”

“Mm.”

Biru pun bersandar di jok sambil memandangi Jeva dari samping. Dia memerhatikan Jeva yang kini melihat si penelpon di gawainya.

“Mama aku,” kata Jeva sebelum menunjukkan layarnya ke Biru.

Biru pun memicing, “Kok malah ditunjukin ke aku? Ya diangkat.”

“Gak apa-apa,” Jeva cengengesan. “Aku pengen kamu tau aja. Mana tau kamu udah cemburu kalau ada yang nelpon pacar kamu.”

Biru mendengus pelan.

“Aku gak bakalan cemburu selagi kamu gak telponan buat hal-hal yang gak guna, Jev. Apalagi kalau sama mantan kamu.” tegas Biru.

You are being possessive here, hm?” goda Jeva, tapi Biru hanya geleng-geleng kepala sebelum menunjuk ponsel pacarnya itu dengan dagu. “Cepet diangkat.”

Jeva pun menurut. Dia menjawab panggilan telepon dari Mamanya lalu menyalakan loud speakernya agar Biru juga dapat mendengar.

“Halo, Ma.”

“Dek, kamu hari ini gak pulang?”

Jeva yang sedari tadi tengah asik memandangi Biru lantas senyum, masih sambil menggenggam HP.

“Pulang kok, Maaa. Tapi aku mau nge-date dulu sama Biru. Abis ini kita bakal makan malam di luar.”

Biru yang mendengar hal itu pun refleks membuang pandangan ke luar jendela. Ia menahan senyum.

“Padahal baru aja loh Mama mau ngajakin kalian makan malam.”

“Entar Minggu depan aku bawa Biru ke rumah deh, Ma. Soalnya dia lagi pengen Marugame nih.”

“Kamu ya yang ngajak,” bisik Biru sambil menatap datar wajah Jeva.

“Oh? Kalau gitu jadi dong makan malamnya,” kata si wanita paruh baya dari seberang sana. “Mama tuh mau ngajakin kalian makan di sana, Papa kamu juga pengen.”

Biru menelan ludah, sementara Jeva tersenyum sambil menatap wajah gugup si pacar di sisinya.

“Gimana, Bi? Kamu mau gak?”

Biru berdeham, “Iya, boleh.”

Jeva tersenyum puas sebelum mengacak-acak sejenak surai hitam Biru. Setelahnya, dia pun kembali memusatkan atensinya kepada sang Mama di telepon.

“Biru setuju, Ma. Kalau gitu kita ketemu di sana aja ya,” katanya. “Mama sama Papa mau makan di cabang yang deket rumah kan?”

“Iya, Dek. Mama tunggu ya.”

“Oke, Ma. See you.”

Tepat setelah Jeva memutus sambungan teleponnya dengan si Mama, Biru lantas memukul pelan bahu sang pacar. Alhasil, Jeva yang kaget pun mendesis.

“Bi, kamu kok mukul aku?”

“Kamu sengaja ya ngajak aku ke Marugame biar kita ketemuan sama orang tua kamu?” Biru lalu mendesis, “Mana aku cuma pake pakaian yang kayak gini lagi, Jev.”

“Kamu nyebelin ah,” rengeknya.

Jeva terkekeh lalu menggeleng.

“Aku nggak tau kalau Mama mau ngajakin kita ke Marugame juga. Sumpah,” balas Jeva lalu menatap Biru dari kepala ke ujung kaki.

“Emang apa yang salah deh sama pakaian kamu?” timpal Jeva. “You are gorgeous, as always, Sayang.”

“Tapi aku kaos-an sama pakai kardigan gini doang, Jev.” Biru memelas, “Aku gak kayak anak kedokteran banget sekarang.”

Jeva tergelak. Dengan sisa-sisa tawanya, dia pun mencubit pipi Biru gemas. Membuat si empu seketika mendesis kesakitan.

“Terus kamu pengen make baju apa? Kemeja lengan panjang ya? Apa baju kaos berkerah, celana kain, terus luarannya sneli gitu?”

Jeva lalu membingkai wajah sang pacar, “Kamu tuh mau ketemuan sama calon mertua kamu, bukan mau ke RS. Pakai baju gini nggak apa-apa. Ini udah sopan kok, Bi.”

Mendengar Jeva menyebut sang Mama—juga Papa—dengan calon mertuanya membuat Biru refleks menahan senyum. Tapi, selang beberapa menit kemudian Biru lantas menghela napas sebelum menepis tangan Jeva di pipinya.

“Justru karena aku mau ketemu sama orang tua kamu, makanya aku harus ngasih kesan baik loh.”

Biru berdeham lalu membuang muka ke arah depan mobil, “Kan gak lucu kalau kita nggak dikasih restu gara-gara pakaian aku, Jev.”

“Apalagi Papa sama Mama kamu orang penting di Kedokteran…”

“Gimana aku gak mikirin kesan pertama mereka sampai ke cara berpakaian aku coba?” jelas Biru.

Mengulum bibirnya, Jeva lantas meraih kedua tangan Biru. Jeva menggenggam erat jemari lentik pacarnya itu hingga Biru seketika kembali menoleh ke arahnya.

“Aku emang nggak terlalu dekat sama orang tua aku,” kata Jeva.

“Tapi aku yakin kok, yang Mama sama Papa liat dari pasangan aku tuh bukan sekedar pakaian atau tampilan luar doang.” timpalnya.

Satu tangan Jeva pun bergerak, telunjuknya mendarat tepat di dada Biru, “Tapi di sini, Bi. Hati.”

“Dan tanpa aku ngeyakinin Papa sama Mama kalau hati kamu itu cantik sekali pun, aku yakin kok mereka bisa melihat itu ketika ketemu sama kamu.” jelas Jeva.

Biru tersenyum lembut. Dia lalu ikut membelai pipi pacarnya itu dengan satu tangan, membuat Jeva mendadak salah tingkah.

“Aku tersentuh banget dengerin apa yang kamu bilang,” kata Biru lalu beralih meraih tangan Jeva.

Biru lantas menuntun tangan si pacar agar kembali mendarat di dadanya seperti tadi, “Tapi hati manusia bukan di sini, Dek Koas.”

“Yang bener itu di sini,” lanjutnya usai menuntun tangan pacarnya hingga mendarat tepat di bawah diafragma pada sisi kanan-atas tubuhnya. “Kamu ini bener calon Dokter gak? Ini pelajaran dasar.”

Sontak Jeva tergelak. Alhasil, dia lantas memeluk erat leher Biru sebelum beralih menciumi kedua pipi pacarnya bergantian saking gemasnya. Biru hanya terkekeh.

“Udaaah,” rengek Biru saat Jeva masih mencium pipinya bertubi-tubi. “Entar kita telat ketemuan di Marugame sama Mama Papa.”

Jeva menatap lurus ke dalam mata Biru, “Apa? Mama Papa?”

Biru berdeham. Ia salah tingkah, “Maksud aku Mama Papa kamu.”

“Gak apa-apa, panggil mereka Mama Papa aja, Bi. Itung-itung latihan kan sebelum kamu jadi menantu mereka,” kekeh Jeva.

“Apaan sih,” Biru lalu mendorong pelan tubuh Jeva dan buru-buru mengubah posisi duduknya. Kini dia menghadap ke depan, bibir tipisnya pun Biru kulum sejenak.

“Ayo,” cicit Biru dengan pipinya yang telah memerah, dia tersipu.

Jeva yang melihatnya terkekeh, mengusap lembut rambut Biru, hingga dia lantas beralih untuk menyalakan mesin mobilnya. Tak lama setelahnya, kendaraan roda empat itu melaju, meninggalkan area rumah sakit menuju tempat makan yang akan mereka tuju.


Sejak sampai di restoran, Biru tak bisa menahan rasa gugupnya di hadapan Prof Harry dan si istri. Meskipun keduanya amat ramah dan terkesan sangat menerima kehadirannya bersama Jeva, tapi Biru tidak bisa berbohong kalau dia sangat berhati-hati di depan mereka. Kini Biru benar-benar merasa seperti sedang bertemu dengan kedua calon mertuanya guna meminta restu dari mereka.

“Biru rumahnya di mana?” tanya Mama Jeva, “Kata Papanya Jeva, dia pernah liat Biru jemput Jeva ya di rumah? Ketemu Biru juga.”

Biru lalu menelan ludah sebelum menjawab, “Deket kok dari sini, Tante. Cuma beda komplek sama alamat Tante. Jadi kalau jemputin Jeva paling berapa menit doang.”

“Di komplek mana, Nak?” si Papa menimpali, “Daerah yang deket-deket dari rumah kita rata-rata penghuninya juga orang RSCM.”

“Mana tau Om sama Tante kenal sama orang tua kamu,” katanya.

“Papa kenal banget malah, sama Papa Mamanya Biru,” Jeva lantas membantu untuk ikut bersuara.

Sebab, Jeva melihat Biru sedari tadi diam-diam meremas jarinya di bawah meja. Alhasil, Jeva lalu menggenggam tangan pacarnya itu sambil menjawab pertanyaan Papanya. Hal itu pun membuat Biru menahan senyum sembari melirik Jeva dengan raut lega.

“Oh ya?” Professor Harry kaget.

“Iya, Papa tau Dokter Adit sama istrinya kan?” Jeva tersenyum. “Mereka Papa Mamanya Biru.”

“Ya ampun,” Mama lalu melongo sambil menatap Biru, “Ternyata Biru ini anaknya couple Neuro.”

“Gak ada yang nggak kenal sama orang tua kamu, Bi.” timpal sang Mama, “Mereka itu sama-sama Dokter hebat, gak cuma partner sebagai suami istri, tapi juga di orang operasi. Mereka keren.”

Professor Harry mengangguk setuju diikuti senyum tipisnya.

“Kapan-kapan kita makan siang bareng Mama sama Papa kamu di kantor Om ya,” katanya. “Abis ini kalian Koasnya di RSCM kan?”

Biru mengangguk, “Iya, Prof.”

“Kamu dari tadi manggil Om Prof mulu,” Professor Harry terkekeh. “Panggil Om aja, kita gak di RS.”

Biru tersenyum kikuk, “Iya, Om.”

“Jadi… Gimana rasanya pacaran sama Jeva?” canda si Profesor, sedang Biru refleks menunduk lalu menyembunyikan senyum.

“Pa,” sang istri menyikut lengan Profesor Harry, “Kok nanya gitu sih? Kasian anaknya jadi malu.”

“Gimana, Bi? Aku juga mau tau,” timpal Jeva yang saat ini masih menggenggam erat tangan Biru di bawah meja. Jeva tersenyum.

Biru menghela napas. Dia lantas menoleh ke Jeva lalu menatap wajah pacarnya itu lamat-lamat.

“Sejak kita masih temenan, kamu selalu jadi orang yang paling bisa ngertiin aku meskipun watak kita bertolak belakang.” kata Biru lalu beralih mempertemukan netra bulatnya dengan Profesor Harry.

“Jeva ini bawel banget, Om. Suka ngoceh ke saya dari A sampai Z.” curhat Biru, “Mana dia gak bisa tenang, ada aja yang diomongin terus bikin sekampung ikut ribut. Tapi itu juga yang bikin Jeva jadi punya banyak temen sekarang.”

“Beda sama saya, kadang buat ke luar rumah sehari aja saya males. Apalagi buat ketemu ama banyak orang. Saya itu… Ibarat antonim dari Jeva,” kekehnya, sedang Jeva diam-diam tersenyum tipis lalu melihat reaksi si Mama dan Papa.

Nampak kedua orang tuanya itu begitu serius mendengar Biru. Namun, Jeva bisa melihat mata Mamanya berkaca-kaca. Mama lalu menatap sendu ke arahnya. Alhasil, Jeva buru-buru melirik Biru untuk menghindarinya.

“Tapi perbedaan itu justru bikin saya sama Jeva jadi saling ngerti,” sambung Biru. “Kita berdua jadi sama-sama belajar buat hidup di ‘dunia’ kita yang beda banget…”

“Jeva yang dunianya bebas dan lebih senang ada di luar, sedang dunia saya yang kaku dan lebih nyaman berdiam diri di kamar.”

“Dari Jeva saya belajar banyak hal soal dunia yang gak pernah saya tempati, Om. Dari dia juga saya belajar jadi orang yang lebih kuat dan terus belajar meski sempat gagal,” Biru lantas mengeratkan cengkeraman tangannya dengan Jeva. “Mungkin… Dari situ juga perasaan saya yang lebih dari seorang teman ke Jeva mulai tumbuh tanpa saya sadari.”

“Terlebih lagi, Jeva selalu ngasih saya perhatian yang gak pernah saya dapatin dari teman laki-laki saya yang lainnya. Jeva gak cuma bikin saya ngerasa nyaman, tapi juga aman.” katanya, “Jadi kalau Om nanya gimana rasanya jadi pacar Jeva, saya cuma bisa bilang kalo saya ngerasa utuh sama dia.”

Mata Jeva berkaca-kaca karena ucapan Biru kepada kedua orang tuanya. Pun sang Papa yang kini tersenyum haru kepadanya dan Biru. Sementara itu, sang Mama justru diam-diam menitikkan air mata. Nampak si wanita paruh baya menyeka kasar air matanya.

“Om ngerasa beruntung karena Jeva akhirnya bisa ketemu sama orang yang bikin dia bebas jadi dirinya sendiri,” tutur si Profesor.

“Om ngerasa lebih beruntung lagi karena kamu bisa nerima dia,” katanya, “Makasih ya, Bi.”

Biru tersenyum, “Sama-sama, Om. Saya juga beruntung bisa kenal dan pacaran sama Jeva.”

“Sekarang Tante jadi cemburu sama kamu, Bi.” celetuk Mama.

Biru mengangkat kedua alisnya heran, “Cemburu gimana, Tan?”

“Soalnya kamu bener-bener jadi tempat ternyaman Jeva ya, buat berbagi apapun yang pengen dia bilang.” katanya lalu memandangi sang anak dengan raut sendunya.

“Sejak kecil dulu, Jeva anaknya emang bawel. Suka ngoceh dan seneng banget main di luar,” jelas Mama, “Tapi sejak masuk SMP… Jeva jadi lebih tertutup di rumah. Dia suka ngumpet di kamar, gak mau bilang pengen makan apa, gak pernah cerita lagi hari-hari dia di sekolah gimana. Banyak.”

Si Mama kembali menatap Biru, “Tante ngerasa gagal jadi orang tua yang seharusnya jadi tempat ternyaman bagi Jeva bercerita.”

“Padahal Tante juga pengeeen banget Jeva berkeluh kesah ke Tante tentang gimana Koas dia, apa aja kesulitannya, capek gak.”

“Tapi Tante bersyukur Jeva bisa ketemu sama kamu dan ngoceh ke kamu,” katanya. “Makasih ya?”

Biru mengangguk kecil diikuti senyum simpul. Dia kemudian menoleh pada Jeva di sisinya.

“Tuh, dengerin Mama kamu. Dia juga pengen dengerin kamu, Jev.”

“Kenapa, Bi?” Jeva tertawa ringan sambil menahan air mata, “Kamu udah capek dengerin aku? Hm?”

“Bukan capek, tapi kamu bisa tau cerita juga sama Mama atau Papa kamu soal hal-hal yang anak dua puluh tahunan kek kita gak tau.”

“Pengalaman hidup mereka udah jauh lebih banyak dari kita,” kata Biru. “Kita bisa sharing, supaya mereka juga tau anak muda di jaman kita tuh kayak gimana.”

“Saling ngerti itu gak cuma ke pacar, tapi ke orang tua juga.”

Jeva tersenyum hingga ia refleks menciumi punggung tangan Biru yang sedari tadi digenggamnya. Alhasil, Biru yang kaget seketika melotot lalu buru-buru melepas tautan mereka. Terlebih, saat dia mendapati Mama dan Papa Jeva lantas menatap mereka berdua.

“Kamu apa-apaan sih,” bisik Biru kesal pada Jeva, “Kan malu, Jev.”

“Kok malu, Bi? Kan Mama Papa aku udah tau kalau kita pac—”

Biru yang sudah kepalang salah tingkah lantas meraih gorengan lalu menyumpal mulut si pacar. Hal itu nyatanya membuat Mama juga Papa Jeva seketika tertawa.

“Udah, udah, kalian lanjutin lagi makannya. Abis ini kalian mau ke bioskop,” Mama mengingatkan sebelum menatap ke piring Biru.

“Biru mau tambah gorengan gak, Sayang?” tanyanya, sedang Jeva yang mendengar itu berdeham.

“Mama belum jadi Mama mertua Biru udah manggil Sayang aja,” kata Jeva. “Kasih restu dulu kek.”

“Jev…” Biru mendesis.

Mama menghela napas, “Kalau aja Mama belum ngasih restu, gak mungkin Mama ngajakin kamu sama Biru makan, Dek.”

Jeva mengulum bibirnya sesaat, “Jadi Mama gak apa-apa, kalau nanti aku pengen nikahin Biru?”

“Gak apa-apa,” justru profesor Harry yang menjawab. “Tapi kalian harus jadi Dokter dulu.”

Jeva salah tingkah. Dia seketika menoleh ke Biru dengan senyum yang tertahan lalu bergumam.

“Oke.”

Tidak hanya itu, Biru pun sama salah tingkahnya. Alhasil, Biru hanya diam sebelum melahap gorengan yang ada di depannya.