Cigarettes

Sepuntung rokok bertengger di celah ranum Senja. Kepulan asap pun kemudian berhembus pelan dari sana. Ditemani dengan satu cangkir kopi di atas meja, Senja benar-benar mencoba membuat pikirannya untuk lebih tenang.

Saat ini Senja tengah duduk di meja Warkop yang tak terlalu jauh dari kantornya. Sebelum pulang ke kos-an, Senja lantas memilih untuk mampir sejenak.

Sebab, ia merasa bahwa dirinya hanya akan semakin kepikiran tentang Bara jika berdiam diri saja di kamarnya. Alhasil, Senja pun menerima ajakan teman-teman kantornya ke Warkop.

“Permisi, Mas. Ini kursinya masih kosong apa ada yang punya ya?”

Lamunan singkat Senja seketika buyar saat seseorang datang dan menghampiri mejanya. Senja pun mendongak guna memandangi si pria yang baru saja bersuara. Dan alangkah kagetnya Senja ketika ia sadar bahwa sosok itu ialah Bara.

Meskipun Bara tengah memakai topi hitam serta menggunakan kumis yang sudah jelas palsu itu, Senja lantas bisa mengenali sang pacar dengan mudah. Seakan ia telah terbiasa melihat wujud lain dari Bara ketika berganti peran.

Tak hanya Senja, Bara pun sama kagetnya. Namun, ia lantas tak menunjukkan hal itu. Bara tetap terlihat tenang lalu tersenyum ramah kepada Senja. Seolah ia tidak mengenali pacarnya itu.

“Kosong kok, Bang. Duduk aja.”

Salah satu teman kantor Senja pun bersuara, mempersilakan Bara agar duduk di meja mereka. Sebab, memang masih ada satu buah kursi kosong yang tersisa. Sementara itu, Senja sendiri tak berkutik. Ia kemudian menelan ludah kala Bara duduk di sisinya.

Gue harus gimana? Batin Senja.

“Warkopnya lagi rame banget ya, sampai penuh-penuh gini kursi sama mejanya.” kata Bara yang jelas mencoba untuk berbaur di tengah-tengah teman pacarnya.

“Iya nih, Bang.” kata teman Senja yang lain, “Abang sering ke sini?”

“Sering, saya kan orang sini. Tuh, rumah saya ada di jalan belakang. Tinggal masuk dikit,” jawab Bara.

Ya, Senja tau pasti bahwa saat ini Bara tengah berbohong. Lebih tepatnya mendalami peran. Senja tau rumah Bara bukan lah di sini. Namun, secara tidak langsung, kini Senja telah tau bahwa Bara bertugas di sekitaran Warkop.

“Mas-Masnya udah dari tadi?”

Bara kembali bertanya sebelum menoleh ke arah Senja yang kini masih berlanjut menghisap pelan rokoknya. Gulungan bakau yang semula Senja gunakan untuk bisa melepas stress kini lantas beralih fungsi ’tuk menahan rasa gugup.

Rasanya sangat aneh saat harus berpura-pura tidak mengenali sang pacar. Namun, sejak awal ia telah siap dan sepakat menerima konsekuensi ini. Bara pun sudah mewanti-wanti dirinya dahulu.

“Udah, Bang.” kata Senja, sedang kedua teman kantornya yang lain lantas mengangguk menyetujui.

Bara tersenyum. Satu tangannya kemudian bergerak, mengelus-elus kumis palsu yang ia pakai. Hal itu membuat Senja seketika menahan diri agar tidak tertawa. Jika tidak, penyamaran si pacar mungkin akan segera tercium.

“Mas-nya perokok aktif ya?”

Senja berdeham. Padahal Bara sudah tau jawabannya. Ia bukan lah seorang perokok aktif. Bara bahkan baru kali ini melihatnya merokok secara langsung. Sebab, sebelumnya ia sempat bercerita ke Bara jika dirinya pernah coba-coba merokok saat masih kuliah.

“Bukan, Bang. Saya ngerokok kalau lagi banyak pikiran aja.”

“Mm,” Bara mengangguk pelan, “Mas-nya udah punya pacar?”

Senja tersenyum kikuk sebelum melirik sejenak ke dua teman kantornya. Kedua laki-laki yang duduk di seberang kursinya itu jelas sedang menahan tawanya. Mereka mungkin berpikir kalau Senja kaget karena ditanyai soal pacar oleh bapak-bapak random.

Belum tau aja kalau yang mereka liat ini tuh pacar gue, batin Senja.

“Udah, Bang.” jawab Senja.

“Pacar dia Polisi, Bang.” timpal salah seorang teman Senja.

Selama ini, yang teman-teman Senja tau, pacarnya memang lah Polisi yang bekerja di kantor saja. Padahal, Bara adalah Polisi tidak berseragam. Namun, Senjak tak boleh memberitahu tentang itu.

“Pantes Masnya banyak pikiran.” kekeh Bara, “Kangen pacar kali.”

“Iya, Bang.” balas Senja.

“Pacar Mas ini ngizinin Masnya ngerokok ya?” tanya Bara lagi.

Senja berdeham. Bara memang tidak pernah melarangnya untuk melakukan sesuatu yang ia suka. Namun, pacarnya itu kerap kali memberitahunya agar menjauhi rokok. Senja merasa tertangkap basah lalu sidang Bara sekarang.

“Pacar saya gak pernah bilang ngelarang, gak bilang ngizinin juga.” sahut Senja, “Tapi pacar saya selalu berpesan supaya saya ngusahain jauh-jauh dari rokok.”

“Ayah pacar saya pernah sakit dan hampir meninggal karena rokok soalnya.” sambung Senja.

Bara mengangguk. “Pacar Mas ini sayang banget sama Mas berarti. Dia takut tuh kehilangan si Mas.”

“Saya juga gitu ke calon suami saya,” timpal Bara. “Saya selalu mendukung apapun yang calon suami saya sukai atau senangi.”

“Tapi kalau itu membahayakan dirinya sendiri terus bisa bikin saya kehilangan dia, saya nggak mungkin ngeliatin aja. Termasuk masalah rokok juga,” kekeh Bara.

“Kalau sekali atau dua kali sih gak apa-apa,” tuturnya, “Tapi yang namanya rokok, dicoba sekali atau dua kali bisa bikin kecanduan juga kan akhirnya?”

Senja mengangguk. “Iya, Bang.”

Puntung rokok yang masih Senja pegang lantas ia letakkan di atas asbak sejenak. Setelahnya, ujung rokok itu ia pertemukan dengan permukaan asbak hingga kepulan asap dari sana perlahan padam.

“Udah malem nih, Bang. Kalau gitu saya sama temen-temen saya duluan ya,” pamit Senja.

Senja kemudian memberi kode kepada dua orang temannya itu. Mereka pun telah selesai dengan kopi serta rokoknya sedari tadi.

“Silakan, Mas.” balas Bara.

Bangkit dari kursinya, Senja dan kedua temannya pun perlahan beranjak dari Warkop. Sesekali Senja menoleh ke arah Bara saat ia sampai di parkiran. Sembari menunggu teman-temannya itu mengambil motor, Senja lantas menahan senyum melihat Bara juga tengah memandanginya dari jauh. Namun hal itu nyatanya tak berlangsung lama, sebab si pacar kembali fokus kepada tugasnya.