Hectic

Hari yang sangat sibuk di stase Neurologi seolah tak pernah ada habisnya. Sama halnya yang kini sedang dirasakan oleh Jeva dan Biru. Setelah semalaman jaga di IGD, paginya pun mereka harus kembali memeriksa pasien di ruangan sebelum presentasi kasus. Sekarang, keduanya juga tengah melakukan visite dengan Konsulen mereka; Dokter Malik.

Jeva dan Biru bahkan nyaris tidak punya waktu untuk berbincang berdua sejak mereka harus mulai memeriksa masing-masing dua puluh lima pasien sebelum visite tadi. Meski begitu, mereka lantas menyempatkan diri untuk saling berbagi tatap sesekali walaupun dari kejauhan diikuti senyuman. Seolah hal itu menjadi salah satu cara untuk saling menyemangati.

Seperti sekarang, dimana Jeva yang sedang berdiri di samping bed pasien lantas tersenyum ke arah Biru. Pacarnya itu tengah menjelaskan kondisi pasien dari seberang tempatnya berdiri saat ini; tepatnya di sisi si Konsulen.

“Pasien berumur 34 tahun, Dok. Sejak empat hari lalu, pasien ini merasakan keluhan wajah merot ke kanan. Pasien juga tidak bisa menutup mata kiri, tidak bisa mengangkat alis.” tutur Biru.

“Tidak ada kejang, muntah dan penurunan kesadaran.” jelasnya.

Dokter Malik mengangguk kecil lalu beralih menanyakan hal yang sama ke pasien. Si Konsulen lalu menyocokkan keterangan Biru dengan pasien. Beruntung, sang pasien langsung membenarkan ucapan Biru. Pasalnya, tak sekali dua kali Biru, juga Koas lainnya, menemui pasien yang enggan menjelaskan kondisi sebenarnya ke Koas. Alhasil, mereka lantas memberi informasi yang beda pada Koas juga Dokter spesialis.

Tentunya hal itu bisa menjadi masalah bagi Koas. Sebab, pada akhirnya mereka yang diomeli karena dianggap tidak becus melakukan anamnesis ke pasien.

“Oke. Jadi bagaimana kriteria diagnosa penyakit ini, Biru?”

Biru menelan ludah. Dia melirik sejenak ke Jeva sebelum mulai menjawab pertanyaan Konsulen.

“Kriteria diagnosa untuk Bell’s palsy di antaranya Parese. N VII LMN, Lagophthalmus, Bell’s sign, Hyperacusis, serta Hypogeusia.”

“Tes untuk Hyperacusis namanya apa?” tanya Dokter Malik lagi.

“Stethoscope loudness balance test, Dok.” Biru bisa menjawab.

“Kalau untuk terapinya gimana, Jeva?” Dokter Malik beralih ke Jeva yang sedari tadi senyam-senyum melihat si pujaan hati.

Jeva yang hampir saja tertangkap basah memandangi Biru terus-terusan pun reflesk berdeham. Dia kemudian mulai menjawab.

“Untuk terapi Bell’s palsy, ada pemberian obat jenis Steroid, Methylprednisolone, 1mg/kgBB per hari selama enam hari, Dok.”

“Selanjutnya, ada pula pemberian Methylcobalamine 1000 sampai 1500 mg per hari dan pemberian Acyclovir 5x800 mg/hari selama 10 sampai 14 hari,” timpal Jeva.

“Cuma itu?” todong si Konsulen.

Jeva melirik Biru sesaat sebelum kembali menatap Dokter Malik.

“Tidak, Dok. Terapi selanjutnya ada Fisioterapi dengan prosedur Diathermi setelah hari ke empat,” sahut Jeva. “Kemudian, pasien diberikan komunikasi, informasi dan edukasi untuk mata. Pasien harus selalu memakai kaca mata, termasuk saat tidur. Mata yang Lagophthalmus ditutup kasa dan diberi salep atau artificial tears.”

Lagi, Dokter Malik mengangguk kecil sebelum kembali memberi atensi penuh kepada pasiennya. Dia membenarkan penjelasan Biru dan Jeva sebelum memberi tahu kepada pasien lebih rinci tentang kondisi yang dialami.

Saat itu pula Jeva dan Biru lantas menghela napasnya lega. Selain karena mereka bisa melewati tes dadakan dari konsulen, pasien ini pun menjadi pasien paling akhir yang mereka kunjungi sebelum jam istirahat makan siang nanti.

Usai Dokter Malik memeriksa dan berkomunikasi dengan si pasien, dia kemudian mengajak Jeva dan Biru untuk keluar dari ruangan. Kedua anak Koas itu berjalan bersisian di belakang si Konsulen yang kini bersuara.

“Biru nanti mau ngambil spesialis kayak Papa sama Mamanya ya?” tanya Dokter Malik. “Kalau saya perhatiin, kamu selama stase di sini udah tau banyak soal saraf.”

“Saya belum kepikiran sampai ke sana, Dok. Sekarang juga masih lagi banyak-banyak belajar.” Biru menjawab jujur. “Masih ada stase yang belum saya lewati juga, jadi belum tau yang cocok buat saya.”

“Kalau Jeva? Saya liat kamu juga semangat banget di Neurologi, udah tau banyak kayak Biru tadi.”

“Saya juga belum tau mau lanjut spesialis apa, Dok.” sahut Jeva.

“Tapi saya mau belajar banyak soal Neurologi, soalnya orang tua pacar saya Neurosurgeon.”

“Mana tau nanti saya diterima jadi mantu kalau paham obrolan soal saraf, Dok.” timpal Jeva yang membuat Biru refleks mencubit lengan Jeva. Dia lantas mendesis.

Dokter Malik yang mendengar hal itu sontak tertawa renyah.

“Belajar soal Neurologi itu buat nolong orang, bukan modus ke orang tua pacar. Kamu ini ada-ada aja,” tutur sang Konsulen.

Jeva pun hanya cengar-cengir ketika Dokter Malik berhenti melangkah. Konsulen itu pun berbalik ke arahnya dan Biru saat mereka telah sampai tepat di depan pintu ruang rawat pasien.

“Kalau gitu, selamat melanjutkan aktivitas kalian ya. Saya ke poli dulu,” pamit Dokter Malik lalu meninggalkan Jeva dan Biru.

“Akhirnyaa aku bisa berdua sama kamu, Bi.” Jeva seketika memelas.

Biru lantas geleng-geleng. Dia lalu menoyor pelan kepala Jeva diikuti kekehan sebelum berkata.

In your dream.”

“Loh, kan bener. Abis ini kita mau makan siang berdua di ruang Koas kan?” balas Jeva.

“Iya, tapi kamu duluan aja.” Biru menghela napas, “Aku harus ke Departemen Radiologi abis ini.”

“Ngapain? Sepuluh menit lagi jam istirahat, Bi.” Jeva heran.

“Pasien di bed ketiga tadi udah butuh CT Scan, Jev. Kalau aku bawa surat ke radiologi abis ini, hasilnya juga bakal cepet keluar.”

“Biar aku aja yang bawain,” tawar Jeva. “Pagi tadi kamu sarapannya udah dikit, masa makan siangnya juga telat? Kasian tubuh kamu.”

Biru tersenyum tipis. Ditepuknya pundak Jeva sejenak lalu berkata.

“Pasien itu di bawah pengawasan aku, entar malah jadi masalah loh buat kita kalau kamu yang bawa.”

“Udah ya? Aku nggak bakal lama.” timpalnya lalu berbisik di depan wajah si pacar, “See you, Sayang.”

Jeva mengangguk pasrah, “Oke.”

Biru lalu mencubit gemas hidung Jeva sesaat sebelum dia berjalan meninggalkan area ruang rawat. Sementara itu, Jeva sendiri tidak mampu lagi menahan gejolak di dalam dadanya. Jeva membekap mulutnya sendiri dan menahan teriakan sebelum berbalik badan ke arah tembok. Di sana pula dia menyembunyikan mukanya yang telah panas karena ulah si pacar.

Di lain tempat, Biru yang sedang dalam perjalanan ke departemen radiologi pun tak henti mengulas senyumnya. Meski nyatanya Biru sudah mulai merasa lemas juga lapar, tapi eksistensi Jeva selalu membuatnya sedikit lebih kuat untuk tetap melanjutkan harinya.

Seperti sekarang, saat beberapa staff rumah sakit mulai bersiap untuk makan siang, Biru justru masih berkeliaran di departemen Radiologi. Beruntung, surat yang dia bawa tadi langsung diterima. Alhasil, kini Biru hanya perlu ‘tuk kembali ke ruang rawat sejenak sebelum menyusul Jeva nantinya.

Namun, saat dalam perjalanan menuju ruang rawat, Biru lantas dibuat kaget kala seseorang tiba-tiba menjegal lengannya. Dia pun nyaris memberi perlawanan pada sosok yang menyeretnya ke arah tembok itu jika saja Biru tidak segera menyadari bahwa Jeva lah pelakunya. Biru pun mendengus.

“Kamu apa-apaan sih?” kata Biru pada Jeva yang berdiri di depan tubuhnya, membuat dia berada di dalam kurungan tubuh Jeva. “Aku lagi buru-buru, mau ke—”

“Hushh…” Jeva meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Biru, “Entar ada yang ngeliat kita, Bi.”

Penuturan Jeva sontak membuat kedua bola mata Biru terbelalak.

“Emang kamu mau ngapain?”

Jeva terkekeh sambil merogoh saku snelinya. Diraihnya onigiri yang dia bawa, dibuka, sebelum disodorkan di depan bibir Biru.

“Kamu gak boleh telat makan, Bi.” kata Jeva. “Ayo, dibuka mulutnya. Biar perut kamu ada isinya dikit.”

Tersenyum haru, Biru kemudian menuruti titah pacarnya itu. Dia melahap onigiri isi ayam kecap yang Jeva sodorkan kepadanya sambil menatap Jeva lekat-lekat.

Tanpa sadar, mata Biru lantas berkaca-kaca. Perlakuan Jeva padanya membuat Biru semakin sadar bahwa dirinya juga butuh seseorang untuk bersandar. Dia yang biasanya lebih memilih ‘tuk memendam segala sesuatu agar tak membuat orang lain khawatir justru tidak perlu melakukan hal itu lagi di hadapan Jeva. Sebab, si pacar sudah lebih dulu memberi perhatiannya dengan amat sigap.

“Nih, diminum airnya.” kata Jeva yang kali ini menyodorkan air mineral yang juga dia kantongi.

Lagi, Biru pun menurut. Setelah menenggak air itu, Biru lantas membelai lembut pipi pacarnya diikuti senyum semanis madu.

“Makasih ya, Jev.” ucap Biru. “Aku musti ke ruang rawat sekarang.”

“Oke,” Jeva mengusap pelan bahu Biru. “Semangat ya, Sayang. Abis ini kita udah bisa makan bare—”

Jeva tersentak saat Biru tiba-tiba mengecup kilat bibirnya. Alhasil, Jeva hanya mampu mematung sambil menatap Biru tak percaya.

“Mumpung gak ada orang,” kata Biru sambil menahan senyum. “Kamu ke ruang Koas gih. Bye.”

Kepala Jeva mengangguk kecil, sedang senyumnya dia kulum. Lagi, Biru membuatnya salah tingkah sebelum pergi. Membuat Jeva kini meninju udara seorang diri sambil menahan pekikannya.