Open Up
“Jul, gue duluan ya.”
Julian yang baru saja keluar dari kamar mandi seketika melongo. Pasalnya, Biru sudah sangat rapi dan kini bersiap meninggalkan kamar kos menuju rumah sakit.
“Sepagi ini?”
Julian jelas heran. Sebab, mereka biasanya akan berangkat ke RS jam enam pagi. Tentunya untuk melakukan follow up pasien lebih dulu sebelum kembali melakukan visite bersama konsulen mereka.
Aktivitas di stase Kardiologi pun baru dimulai pada jam tujuh pagi, namun Biru justru sudah ingin berangkat ke RS tiga puluh menit sebelum jam enam pagi. Padahal, jarak dari kos-an ke rumah sakit sendiri hanya memakan waktu perjalanan sepuluh sampai lima belas menit dengan jalan kaki.
“Gue pengen follow up lebih awal,” sahut Biru yang telah selesai memasang sepatunya.
“Biar ntar gue bisa belajar dikit buat presentasi kasus sebelum konsulen datang,” jelas Biru lalu tersenyum tipis kepada Julian.
“Ya udah, hati-hati lo.”
Biru mengangguk kecil sebelum melenggang pergi dari kamar. Tapi sesaat setelah membuka lalu menutup pintu kamar dari luar, Biru dibuat kaget ketika mendapati Jeva berdiri di depan kamarnya. Nampak kalau Jeva juga salah tingkah kala melihat Biru menatap lurus ke arahnya.
“Gue gak nungguin lo kok,” Jeva berdeham lalu menunjuk ke arah jalan menuju tangga, “Gue baru mau jalan tadi, terus lo tiba-tiba keluar dari kamar. Papasan deh.”
Jeva kemudian menelan ludah saat melihat Biru masih tetap diam sambil memandanginya. Dia bisa menebak kalau Biru mungkin tidak percaya dengan ucapannya barusan. Jeva pun harus mengakui kalau dirinya sendiri juga tidak akan percaya apabila ia berada di posisi Biru.
Pertama, jelas-jelas bahwa Biru mendapatinya asik mematung di depan pintunya tadi. Kedua, Biru sangat tau kalau dia bukan tipikal orang yang akan bangun se-pagi ini tanpa alasan yang penting.
Dan Jeva tidak punya alasan itu.
Ketiga, apa-apaan pula dengan respon awalnya tadi? Pikir Jeva. Secara tidak langsung, dia malah memberitahu Biru kalau dirinya memang menunggu lelaki itu. Ia terlalu panik dan tak menyiapkan jawaban terbaiknya sebelum Biru tiba-tiba keluar dari kamarnya.
“Lo kalau masih pengen sendiri, duluan aja.” Jeva bersuara, namun Biru masih tetap saja bungkam.
Perasaan Jeva jadi tidak enak. Tapi dia berusaha cengar-cengir.
“Atau gak, gue aja yang duluan.”
Jeva kemudian berbalik sebelum berjalan pelan meninggalkan Biru yang masih berdiri di posisinya. Sesekali Jeva mendesis sembari merutuki kebodohannya tadi.
Sampai saat Jeva sudah berada di depan tangga menuju lantai satu kos-an, dia seketika dibuat kaget. Pasalnya, satu lengan Jeva tiba-tiba dijegal dari belakang. Jeva pun berbalik, dia lantas semakin terkejut saat mendapati bahwa orang yang kini sedang menahan lengannya tidak lain adalah Biru.
Jeva bahkan tidak sadar kalau Biru mengikutinya dari tadi.
Dan belum sempat ia bersuara, Jeva sudah lebih dulu kehabisan kata. Pasalnya, kini Biru justru memeluk tubuhnya, amat erat.
Sejenak, Jeva tidak membalas pelukan itu. Dia masih terkejut. Namun saat Biru menyandarkan kepala di pundaknya, dia dengan sigap melingkarkan satu lengan di pinggang Biru. Sementara itu, tangannya yang lain mengusap lembut belakang kepala Biru.
“Kenapa lo selalu batu sih kalau gue bilangin?” gumam Biru lirih.
Jeva tidak menjawab. Dia lantas memberi Biru kesempatan untuk mengutarakan isi dari kepalanya.
“Gak mudah buat jalan bareng orang yang masih punya sakit karena trauma, Jev...” katanya.
“Apalagi lo sama gue udah sama-sama tau soal perasaan kita,” kata Biru. “Gue gak pengen lo sampai berharap kalau kita bakalan bisa ngejalanin hubungan setelah ini.”
“Enggak mudah buat ngejalanin hubungan sama orang kek gue.” timpalnya, “Udah cukup kemaren gue nyusahin lo, dan bikin lo tuh harus ngadepin efek trauma gue.”
Biru menarik napasnya dalam-dalam sejenak sebelum kembali bersuara. Masih memeluk Jeva.
“Nyembuhin sakit karena trauma itu butuh waktu, Jev.” tutur Biru, “Sakit karena trauma nggak bakal bisa sembuh cuma dengan cara memaafkan sesuatu yang udah bikin seseorang sampai depresi.”
“Karena luka dari trauma itu gak cuma ninggalin perasaan sakit, tapi juga bikin tubuh bereaksi terhadap kejadian di masa lalu.”
“Lo udah tau itu kan?” tanyanya, “Kita pernah dikasih tau soal ini sama Ayahnya Kak Maudy di RSJ.”
Jeva tidak bersuara, namun dia mengangguk sebagai responnya.
“In my case, meskipun gue udah maafin kesalahan Papa kandung gue, tapi ketika gue dihadapkan sama kejadian yang sama, respon tubuh gue bakalan tetap sama…”
“Kayak kemarin, pas gue tau kalo lo sama Dara nge-bohongin gue,” lanjutnya. “Gue pengen lari dari semua orang, gue takut dan sulit nerima kalau gue dibohongin lagi kayak yang pernah Papa lakuin…”
“Gue bahkan bikin lo sama Dara minta maaf, padahal gue yang ngerasa bersalah, Jev.” katanya.
“Gue ngerasa bersalah karena tubuh sama pikiran gue masih ngasih respon yang sama kayak waktu Papa bohongin gue dulu.”
“Gue belum sembuh. Gue belum lepas dari trauma itu,” lirih Biru.
“That’s why I told you to stop and let me heal myself first. Lo nggak perlu jagain gue lagi,” timpal Biru.
“Karena gue gak pengen lo jadi korban dari respon trauma gue untuk kesekian kalinya kalau lo tetep selalu ada di samping gue.”
“Di sisi lain, gue nggak tau kapan sakit gue bisa sembuh... Jadi gue enggak mau lo nunggu, apalagi berharap sama orang kek gue.”
Biru lalu memejamkan kedua matanya sambil menahan rasa sakit di kerongkongan karena usahanya untuk menahan tangis.
“Gue pengen ngejalin hubungan sama lo pas gue udah sembuh, dan pas gue udah ngerasa kalau diri gue udah utuh.” kata Biru.
“Tapi gue sendiri gak yakin, gue bisa sembuh apa gak.” lanjutnya.
Mengulum bibirnya sejenak, Biru pun kembali berucap. “Maaf ya.”
“Maaf untuk semua yang udah lo lewatin selama nge-jagain gue.” katanya, “Gue janji bakalan terus berusaha buat sembuh, but don’t wait for me. Waktu lo tuh terlalu berharga untuk lo buang-buang cuma buat orang kayak gue, Jev.”
Merasa jika Biru telah selesai mengungkapkan apa yang dia pikirkan, Jeva lantas mendorong pelan tubuh teman Koasnya itu. Jeva beralih membingkai wajah rupawan Biru, dimana dia bisa melihat netra kelam favorite-nya memerah bahkan berkaca-kaca.
“Bi…”
Jeva memberi usapan lembut di pipi Biru dengan ibu jarinya.
“Kalau lo berpikir, jalan atau nge-jalin hubungan sama orang kek lo itu gak mudah, seharusnya lo gak nyuruh gue berhenti sekarang.”
“Tolong lihat gimana usaha gue sejak awal buat bisa jadi temen lo dan selalu ada buat lo sampe hari ini,” kata Jeva. “Mungkin menurut lo gak mudah, tapi buktinya gue masih ada di sini kan? Gue gak pergi. Gak ninggalin lo. It means I can take it, Bi. Gue bisa jagain lo dan nerima apa pun kondisi lo.”
“Gue juga gak pernah ngerasa dibuat susah sama lo, termasuk yang kemarin. Karena gue tuh paham sama trauma lo ini, Bi.”
Jeva menipiskan bibirnya saat Biru tiba-tiba membuang muka guna menyembunyikan air mata yang telah menetes. Namun, Jeva kembali menuntun wajah teman Koasnya itu agar mata mereka kembali berjumpa. Saat itu pula Jeva menyeka pipi sembab Biru.
“Gue bisa ngerti kalau lo gak mau ngejalin hubungan sama siapa-siapa sebelum lo sembuh,” kata Jeva. “Gue tau kok gimana cara lo berpikir. Lo gak pengen nyusahin siapa-siapa, lo gak pengen orang lain sakit atau tersiksa karena lo. Lo mikirin semua ini dari A ke Z.”
“But let me remind you one thing, Bi...” Jeva menghela napas pelan. “Setiap manusia punya lukanya masing-masing, termasuk gue.”
“Lo tau gimana hubungan gue sama orang tua gue dulu,” kata Jeva. “Dan gue ngerasa kalau gue juga belum sepenuhnya sembuh.”
“Tapi ada seseorang yang selalu bikin gue feel safe, feel worthy, feel loved dan selalu bikin gue belajar buat bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Itu lo, Bi.”
“Lo bikin rasa sakit gue itu kalah dari apa yang gue rasain kalau lagi ada di samping lo,” jelas Jeva. “So I want you to feel the same.”
“Lo udah jadi safe place buat gue, jadi gue pengen lo nganggap gue sebagai safe place buat lo juga...”
“And that’s all that I need,” tutur Jeva. “Gue pengen selalu ada di samping lo bukan buat menuntut kesempurnaan, karena gue pun gak sempurna dan belum utuh.”
“Gue pengen kita saling mengisi kekurangan satu sama lain, Bi. I want to grow together with you, sampai nanti, kita bisa jadi utuh.”
Jeva mengusap puncak kepala Biru dengan satu tangannya.
“Gue pas tau kalau lo suka sama gue aja udah bersyukur banget, Bi. Karena sebelumnya, gue gak berani berharap apa-apa ke lo.”
“Jadi lo gak usah khawatir soal gimana gue bisa nunggu sampai lo mau ngejalin hubungan yang lebih dari teman sama gue ya?”
Jeva tersenyum meyakinkan.
“I can wait till forever,” katanya. “Karena cuma lo yang gue mau buat nemenin gue sampai mati.”
“Waktu gue terlalu berharga buat nyari yang sempurna, sementara udah ada lo yang selalu bisa bikin gue bahagia; apapun kondisinya.”
Jeva kemudian berdeham pelan.
“Lagian… Orang-orang sebelum pacaran juga musti PDKT kan?” tanya Jeva sebelum menghindari tatapan Biru dengan senyum yang tertahan di sudut bibirnya.
“Anggap aja sekarang kita lagi PDKT,” katanya lalu kembali memandangi Biru. “Gimana?”
Biru tidak mengatakan apa-apa dan hanya memeluk Jeva sambil menahan senyum setelahnya. Keduanya pun saling berbagi kehangatan hingga tak sadar jika ada orang-orang yang tengah asik menyaksikan aksi mereka.
“Ehm! Udah mau jam enam nih.”
Baik itu Biru maupun Jeva lantas tersentak saat mendengar suara Rayhan. Alhasil, mereka buru-buru melepaskan dekapannya lalu menoleh ke sumber suara.
Nyatanya tidak hanya Rayhan. Namun, Julian juga Salsa yang datang dari lantai tiga juga telah bergabung dan memandangi Jeva juga Biru dengan raut meledek.
“Udah baikan nih ceritanya?”
Julian bertanya sebelum melipat lengan sambil tersenyum tipis.
“Emang yang marahan siapa?” balas Jeva lalu merangkul pundak Biru, “Ayo, Bi. Kita duluan aja.”
Biru bisa mendengar bagaimana ketiga teman kelompoknya itu berseru meledek di belakang sana. Namun dia hanya menuruti Jeva yang kini telah menyeretnya untuk menuruni tangga kos-an.