Cozy Dinner

Jeva menghembuskan napasnya pelan melalui mulut saat sadar bahwa sebentar lagi mobil yang dia kemudikan akan berhenti di depan rumah Biru. Sangat jelas bahwa dia gugup, dan Biru yang duduk di sampingnya lantas bisa menyadari hal itu; amat mudah.

Sampai saat laju mobilnya telah berhenti di depan rumah Biru, Jeva lalu mematikan mesinnya. Dia kemudian beralih menoleh ke arah Biru diikuti senyum tipis.

“Gugup ya?”

“Mm,” gumam Jeva.

Biru terkekeh, “Sama.”

Setelahnya, Biru menengadahkan tangannya di depan Jeva. Sedang Jeva yang sudah paham tentang hal itu dengan sigap meletakkan telapak tangannya di atas milik Biru, lalu saling menggenggam.

We can do this, Jev.”

Jeva tersenyum lembut sebelum mengangguk kecil. “Ayo, Bi. Gue udah laper banget sebenernya.”

“Dasar,” decih Biru.

Tautan tangan mereka kemudian terlepas saat Jeva memilih untuk turun dari mobil lebih dahulu. Ia lalu membuka pintu mobil untuk Biru, membuat yang diperlukan demikian menahan senyumnya.

Kedua anak manusia itu lantas berjalan beriringan memasuki rumah setelahnya. Sampai saat mereka sudah sampai di ruang tengah, si Mama yang nyatanya telah menunggu di sana bersama Dara seketika menghampiri Biru.

“Kak…”

Senyum haru terukir di bibir Biru ketika Mama menghampirinya sambil merentangkan lengan. Ia pun dengan sigap memeluk erat-erat tubuh si wanita paruh baya.

“Kamu sehat-sehat kan?”

“Iya, Maaa.” jawab Biru sebelum menjauhkan tubuhnya dari sang Mama. Dia lalu melirik sekilas ke sofa, hanya ada Dara di sana.

“Mama gimana? Sehat?”

“Iya. Mama juga sehat.”

“Terus Papa mana?” tanya Biru.

“Papa lagi di dapur,” sahut Mama, “Dia yang ngotot banget pengen masak buat kita malam ini, Kak.”

“Apalagi pas Mama bilang kalau kamu mau pulang,” timpal Mama. “Mama sama Dara sampai nggak diizinin bantu-bantu di dapur.”

Biru tersenyum haru mendengar hal itu. Meski dulu Biru sempat merasa amat kurang beruntung karena kehilangan figur sosok Ayah, tapi kehadiran sang Papa sambung lantas memberikan kehidupan yang baru untuknya.

Sementara Biru dan Mama asik melepas rindu, Jeva yang diam-diam memerhatikan mereka pun ikut tersenyum lembut. Namun, tarikan bibir Jeva seketika makin lebar kala si wanita paruh baya tiba-tiba menoleh ke arahnya.

“Jeva, makasih ya udah datang sekaligus nganterin Biru pulang.”

“Gak masalah, Tante.”

“Masakan Papa udah jadi gak ya kira-kira, Ma?” celetuk Biru. “Si Jeva udah laper banget katanya.”

“Bi…”

Jeva mendesis sambil menyikut pelan lengan kiri Biru. Dia malu.

Biru begitu juga Mama tertawa ringan. Pun Dara yang sedari tadi menyimak obrolan itu dari sofa.

“Kayaknya udah sih,” pikir Mama. “Pas tadi Mama ngecek, sebelum kalian dateng, Papa sisa nyiapin lalapan kesukaan kamu soalnya.”

“Kita ke ruang makan sekarang yuk,” ajak si Mama yang dibalas anggukan mantap oleh anaknya.

Mereka kemudian melenggang ke ruang makan, dimana macam-macam makanan telah tersaji di atas meja. Papa yang semula asik menyiapkan buah di kitchen bar pun seketika berseru senang saat sadar jika Biru menghampirinya.

“Anak Papa udah pulang,” kata si Papa sambil memeluk Biru erat. “Gimana Koas di Kardio, Kak?”

“Capek, Pa. Kakak jarang tidur,” curhat Biru lalu melepas tautan dengan sang Papa. “Papa sehat?”

“Sehat. Tuh, liat. Papa abis masak banyak buat kamu, Kak. Sendiri.”

Melihat sang Papa begitu bangga akan ucapannya, Biru terkekeh.

“Kalau gitu, aku pengen nyoba semua masakan Papa sekarang.”

Papa sumringah, “Ayo, Kak.”

Biru dan Papa lantas menyusul ke meja makan, dimana Mama, Dara dan Jeva telah duduk dan menunggu di sana. Si pria paruh baya kemudian mempersilakan mereka untuk mencicipi segala jenis makanan yang dimasaknya.

Alhasil, Biru yang melihat bahwa ada Capcay—yang notabennya salah satu menu kesukaan Jeva—pun menggeser pelan piring itu tepat ke depan Jeva yang duduk di sampingnya. Meski dalam hati Biru sempat timbul keinginan untuk menyendok masakan itu ke piring si teman Koas, tapi dia lantas teringat dengan tingkah si Papa kandung saat dia kecil dulu.

Papanya mengajak pria yang dulu diakuinya hanya seorang teman makan siang bersama Biru. Papa kandungnya pun menyendokkan lauk untuk pria itu di depan Biru, dan saat itu Biru hanya menaruh rasa herannya sendirian tanpa menceritakan hal itu ke Mama. Biru selalu mencoba berpikir bahwa hal semacam itu mungkin lumrah di antara dua orang pria.

Sampai setelah Biru tahu semua tentang Papanya, ingatan itu pun menyimpan memori yang kelam. Dimana Biru kerap menyalahkan dirinya sendiri karena tak pernah bercerita tentang hal-hal yang ia lihat kepada si Mama waktu itu.

Jika saja dia bercerita, Mamanya mungkin tidak akan dibohongi bertahun-tahun lamanya oleh Papa kandungnya, lalu berakhir bertengkar hebat di depan mata kepalanya kala itu, pikir Biru.

Alhasil, kini Biru tidak sanggup untuk melakukan hal yang sama. Apalagi di depan Mamanya yang juga memiliki memori serupa.

Sementara itu, Jeva yang sadar bahwa Biru mencoba memberi Capcay untuknya tersenyum. Ia lalu menyendok sedikit sebelum bergumam pelan, “Makasih, Bi.”

Tanpa keduanya sadari, Mama juga Dara yang duduk di depan mereka menyaksikan tingkah Jeva dan Biru. Si wanita paruh baya pun melihat dengan jelas bagaimana Jeva dan Biru sangat hati-hati ketika ingin memberi atensi satu sama lain. Seperti sekarang, dimana giliran Jeva yang mengambil tisu untuk Biru dan justru menyodorkannya di bawah meja. Mama tersenyum.

“Kalian berdua udah pacaran?”

“Uhuk!”

“Uhuk!”

Jeva dan Biru kompak terbatuk. Kedunya lantas menatap Mama yang jelas memandangi mereka.

“Belum, Ma.”

“Belum, Tante.”

Lagi, keduanya amat kompak. Membuat Dara menahan tawa. Sebab si Kakak dan Jeva seperti maling yang tertangkap basah.

“Beneran,” Biru meyakinkan.

Mama lalu mengangguk diikuti senyum meledek, “Mama cuma nanya kok. Gak usah panik gitu.”

“Aku gak panik,” elak Biru. “Siapa yang panik? Lo juga ga kan, Jev?”

Jeva nyaris menyemburkan tawa.

“Tapi ekspresi lo emang keliatan lagi panik sih, Bi.” ledek Jeva yang membuat Biru menginjak kakinya di bawah meja. “Aduh! Iyaa, gak.”

“Kalian nunggu apa lagi?” tanya Mama santai, “Bukannya kalian udah tau, kalian itu saling suka?”

Jeva cengar-cengir, “Saya nunggu Biru siap, Tante.”

“Jev…” desis Biru. “Udah, makan.”

Mama geleng-geleng kepala.

“Jangan kelamaan ya, Kak.” tutur Mama. “Inget pesen Mama, gak mudah ketemu orang yang bisa mempertahankan rasa cintanya.”

“Kayak Papa kan?” celetuk Papa.

“Iya,” Mama pasrah lalu terkekeh.

Biru tersenyum simpul sebelum dia melirik sekilas ke arah Jeva yang juga memandanginya. Biru dan Jeva lantas berbagi senyum lembut lalu kembali melanjutkan makan malam; seperti yang lain.

“Oh iya, Kak. Abis Kardio, kalian pindah stase ke Neurologi kan?” tanya si Papa. “Di RSCM dong?”

“Iya, Pa.” Biru menghela napas. “Papa bakal puas ngeliatin Biru bolak-balik di RSCM setiap hari.”

Si pria paruh baya lantas tertawa renyah, “Neurologi bakalan bikin capek, kayak bukan stase minor.”

“Tapi kan kamu punya Papa sama Mama di sana, Kak.” timpal Papa. “Kalau ada yang bisa Papa sama Mama bantu, bilang aja. Oke?”

“Jeva juga ya,” Papa tersenyum ke Jeva yang refleks mengangguk.

Biru mengulum bibirnya sesaat.

“Aku selama di RSCM kayaknya gak bakalan kesulitan deh, Pa.” katanya, “Soalnya backing-an aku selain Mama sama Papa tuh anak Direktur. Jadi bakal aman.”

“Gimana, Kak?” si Mama kaget. “Kamu kenal anak Prof. Harry?”

Biru mengangguk, “Mhm.”

Jeva geleng-geleng kepala sambil menahan senyumnya. Terlebih saat Mama dan Papa Biru tiba-tiba bersemangat untuk tau.

“Kok kamu bisa kenal, Kak?” Papa menatap serius wajah anaknya. “Papa pernah liat orangnya gak?”

Biru tidak mampu lagi menahan tawanya. Ia lalu menoleh ke Jeva.

“Bentar…” Dara ikut buka suara, “Nggak mungkin Kak Jeva kan?”

“Kok gak mungkin?” Balas Biru, “Emang dia keliatan gak cocok buat jadi anak Direktur RS ya?”

Dara, begitu juga Papa dan Mama kompak melotot dengan mulut setengah terbuka. Tatapan ketiga orang itu pun tertuju pada Jeva. Alhasil, Jeva lantas angkat bicara.

“Kata orang-orang, wajah saya emang gak ada mirip-miripnya sama Papa atau Mama saya, Om.” kata Jeva, “Jadi wajar banget kalo Om sama Tante enggak ngenalin kalau saya anaknya Prof. Harry.”

“Wajar juga kalau beberapa orang ngira saya anak hasil hubungan gelap, sampai Papa saya nggak pernah ngenalin saya ke publik.”

Dara, Mama juga Papa masih terdiam dalam keterkejutannya.

“Terus wajah lo mirip siapa sih?” tanya Biru yang juga penasaran.

“Mirip mendiang Kakek gue, Bi. Katanya wajah gue sama Kakek pas masih muda mirip banget.”

Biru mengangguk, “Kakek lo ganteng banget dong berarti.”

Jeva berdeham sambil menahan senyumnya. Dia lalu menenggak segelas air di hadapannya karena salah tingkah atas pujian Biru itu.

“Terus apa yang bikin status Kak Jeva as anaknya Direktur RSCM disembunyiin?” Dara menimpali. “Orang-orang udah pada mikir yang enggak-enggak tau, Kak.”

Jeva tersenyum, “Panjang kalau mau diceritain, Dar. Entar deh kamu tanya ke Biru. Kakak kamu udah tau semuanya kok soal aku.”

“Aduh, Papa jadi deg-degan nih.” celetuk si Papa, “Ternyata yang Papa masakin anak atasan Papa.”

“Jangan gitu, Om.” Jeva terkekeh. “Om nggak usah nganggap saya anaknya atasan Om. Lihat saya sebagai calon pacarnya Biru aja.”

Ya. Kini giliran Biru yang salah tingkah karena ucapan Jeva ke Papanya. Dia buru-buru melahap nasi sambil menahan senyum.

“Abisin nasi lo, Jev. Udah malem.”

Biru bergumam masih sambil mengunyah nasi di mulutnya.

“Pipi lo merah, Bi.” bisik Jeva.

“Diem!”


Usai makan malam bersama, kini Jeva telah bersiap untuk pulang ke rumahnya. Biru mengantarnya menuju halaman depan, dimana mobilnya berada. Keduanya pun berbicara sambil berjalan pelan.

“Gue salut banget sama Mama lo deh, Bi.” kata Jeva. “Dia supportif banget sama lo dan seksualitas lo meskipun dia punya pengalaman pahit sama orang yang kek kita.”

“Mhm,” Biru menarik napasnya dalam-dalam. “Tapi gue harus berterima kasih juga sama Papa sambung gue. Sebelum Mama ketemu sama dia lagi, gue tuh sering banget ngeliat Mama gue nangis sendiri pas dia mikir kalo anak-anaknya udah pada tidur.”

“Bertahun-tahun gue pura-pura gak tau,” timpal Biru lirih. “Dan selama itu juga gue selalu ikutan ngerasa sakit sekaligus bersalah liat Mama hancur karena Papa.”

“Tapi setelah Papa Adit datang, Mama jadi punya sandaran yang bikin dia lebih kuat.” jelas Biru. “Mama gue beruntung ada yang mencintai dia kayak Papa Adit.”

Jeva mengangguk kecil sebelum menghentikan langkah tepat di samping mobil. Begitu pun Biru.

“Sekarang gue sadar kalau cita-cita gue bukan cuma pengen jadi Dokter,” kata Jeva, Biru kemudian mengernyitkan alis penasaran.

“Terus apa?”

“Gue pengen jadi orang yang mencintai dan menemani lo kayak Papa Adit ke Mama lo.”

Biru mendengus, “Gak perlu.”

“Kok gak perlu sih, Bi?” Jeva cemberut, “Kan gue pengen bikin lo ngerasa beruntung juga.”

“Lo udah bikin gue ngerasa beruntung, Jev.” balas Biru.

“Bagi gue, lo tuh udah jadi orang yang sayang dan jagain gue kayak Papa Adit ke Mama sebelum lo bilang kayak gini.” sambungnya.

Jeva membuang muka sambil menyembunyikan senyumnya.

“Lo pulang sekarang gih,” titah Biru sambil mendorong pelan tubuh Jeva. “Hati-hati di jalan.”

Jeva mendesis. Dia tidak ingin menggerakkan kakinya hingga dirinya masih berdiri tepat di hadapan Biru sambil senyam-senyum. Biru memicing heran.

“Apa lagi?”

Jeva merentangkan kedua lengan di samping tubuhnya. Senyum di bibirnya pun kembali merekah sejenak sebelum dia bersuara.

Can you give me a little hug?”

Terkekeh pelan, Biru kemudian memberikan pelukan hangatnya kepada Jeva. Mereka lalu saling berbagi dekap selama beberapa saat sambil merasakan detak jantung tak biasa satu sama lain. Senyum pun tidak pernah lepas dari bibir dua anak manusia itu.

“Semoga malam ini tidur lo lebih nyenyak lagi dari biasanya ya, Bi.”

Biru mengangguk. “Mm. Lo juga.”