Mutual Feelings

Entah sudah berapa puluh menit sejak Biru memejamkan mata di atas bed ruang istirahat bagi Koas. Namun, dia sama sekali tidak bisa tertidur. Biru bahkan bisa mendengar beberapa Koas lain yang tadi beristirahat lebih dulu telah keluar dari ruangan.

Sebab, sudah waktunya untuk mereka kembali mengecek para pasien yang diberikan konsulen. Kini yang tersisa dalam ruangan itu hanya lah dirinya dan Jeva.

Perlahan, Biru membuka mata. Dia kemudian menoleh ke arah Jeva yang nampak pulas di sisi kanannya. Sejenak, Biru lantas memandangi lekuk wajah Jeva.

Biru tidak cukup bodoh untuk menyadari bahwa kenyamanan yang dia rasakan ketika berada di sisi Jeva tidak lagi dalam ranah pertemanan. Terlebih, perhatian yang selalu Jeva berikan padanya mulai mengusik relung hatinya.

Selama beberapa hari terakhir, Biru telah mencobanya. Dia telah berusaha untuk memastikan rasa yang timbul di hatinya terhadap Jeva. Termasuk semua afeksi dan atensi yang juga telah mulai dia berikan kepada Jeva. Namun, semakin Biru yakin, rasa takut tentang pengalaman buruknya di masa lalu kembali menghantui.

Tapi Biru tidak ada pilihan lain. Dia harus melawan ketakutan itu untuk memperjelas semuanya—setidaknya sebelum dia berusaha untuk mengikis perasaannya itu.

Menelan ludahnya, tatapan Biru kemudian turun ke bibir penuh Jeva. Dia lalu mengubah posisi menjadi berbaring menyamping sebelum mendekatkan wajahnya dengan milik teman Koasnya itu.

Saat jarak wajahnya dengan Jeva hanya terlampau beberapa centi, Biru seketika menahan napas. Ia memejamkan matanya sebelum mendaratkan sebuah kecupan ringan nan singkat di bibir Jeva.

Setelahnya, Biru pun buru-buru kembali ke posisinya semula. Dia berbaring terlentang, menatap langit-langit ruangan sembari mengatur napas yang memburu.

Bayangan tentang hal-hal yang dilakukan oleh dua orang lelaki dalam hubungan sesama jenis kembali terbayang di kepalanya. Termasuk apa yang baru saja dia lakukan kepada Jeva. Biru bahkan masih bisa mengingat amat jelas betapa hancur dirinya kala itu; saat dia tau bahwa tidak semua pria berpasangan dengan wanita.

Namun anehnya, rasa sakit yang saat ini Biru rasakan tak separah dengan waktu itu. Bahkan, Biru hanya merasakan bahwa detak jantungnya yang tidak normal lah yang lebih mendominasi dirinya.

Apa ini adalah efek dari usahanya yang mencoba untuk menerima diri dan perasaannya? Batin Biru.

Menarik napasnya dalam-dalam, Biru lantas kembali menoleh ke arah Jeva. Saat itu pula kedua kaki Biru terasa lemas. Pasalnya, Jeva telah membuka mata dan menatap lurus tepat ke arahnya.

Biru lupa jika Jeva mudah untuk terbangun ketika sedang tidur.

Kedua anak manusia itu hanya terdiam. Biru tidak mampu lagi untuk sekedar mengeluarkan satu frasa dari celah ranumnya. Sampai saat Jeva tiba-tiba saja mengubah posisinya menjadi menyamping, Biru pun terkejut.

Terlebih, setelahnya, Jeva lantas menopang tubuhnya sendiri dengan siku di samping Biru. Membuatnya mengungkung setengah dari badan Biru, wajah mereka pun sudah saling sejajar. Sedang satu tangan Jeva yang lain menangkup pipi kiri Biru.

Tanpa apa-aba, Jeva kemudian mempertemukan kembali bibir mereka. Jeva mengecup lembut celah ranum Biru sebelum mulai melumatnya dengan hati-hati.

Sekujur tubuh Biru lemas. Dia tak bisa melakukan apa-apa, bahkan untuk sekedar mengeluarkan suara. Alhasil, Biru pun hanya mengikuti nalurinya. Dia lantas memejamkan mata sambil sedikit membuka mulut hingga Jeva kian memperdalam ciuman mereka.

Pagutan itu semakin intens kala Biru mulai membalas gerak bibir Jeva. Decak saliva menggema di dalam ruangan, bersahut-sahut dengan hela napas Jeva dan Biru.

Meski sempat larut dalam kecup dan cium mesra yang diberikan Jeva, seluruh akal sehat Biru pun kembali kala dia mencoba untuk membuka matanya. Saat itu pula Biru mendorong kuat tubuh Jeva agar menjauhinya sebelum dia bergegas bangun dari posisinya.

Kini Biru telah duduk di tepi bed, diikuti Jeva yang tak henti-henti memandangi Biru dari samping. Tidak ada kata yang terucap dari keduanya selama beberapa saat, sampai Biru akhirnya bersuara.

“Kenapa lo nyium gue?”

Jeva menelan ludah. Dia gugup.

“Gue gak bakal berani ngelakuin hal yang sensitif buat lo kek tadi kalau bukan elo yang mulai, Bi.”

Biru memberanikan diri untuk menoleh. Dia memandangi Jeva.

“Lo sadar nggak sih kalau lo baru aja nyium cowok, Jev?” lirih Biru.

“Kenapa?” timpalnya, “Lo cuma becandain gue kan? Iya kan, Jev?”

Kedua mata Jeva pun memanas. Senyum miring lalu terlukis di bibir bersama diam sesaatnya.

“Gue yakin lo udah tau perasaan gue ke lo, Bi.” sahut Jeva amat tenang. “Dan gue yakin kalau lo juga ngerasain hal yang sama.”

Mulut Biru setengah terbuka, sedang matanya menatap tak percaya ke arah temannya itu. Tapi Biru berusaha untuk tetap tenang dan kembali bersuara.

“Sejak kapan?”

“Sejak gue kenal sama lo.”

Biru tersenyum kecut. Tidak ada ekspresi kaget di wajahnya, tapi dari sorot matanya nampak rasa kecewa. Jeva seketika membeku.

“Sejak awal… Gue udah ngerasa kalau perlakuan lo ke gue agak aneh.” Biru akhirnya buka suara.

“Gue punya ketakutan kalau aja lo suka sama gue,” lanjutnya lirih.

“Makanya, sejak awal, gue juga langsung ngasih lo batasan. Gue cerita sama lo kalau gue enggak bisa nerima hubungan sejenis.”

Mata Biru berkaca-kaca, “Tapi lo nggak pernah pergi dari sisi gue setelah gue ngasih tau soal itu.”

“Lo masih baikin gue, merhatiin gue, dan selalu berusaha buat jadi temen gue meskipun sifat dan kebiasaan kita beda banget.”

“Jadi gue kembali berpikir, kalau gue mungkin cuma parno karena pengalaman buruk gue,” kata Biru, “Apalagi gue nggak punya temen deket cowok yang se-baik dan se-perhatian elo selama ini.”

“Sampai pas gue ngeliat kalau lo sering ngobrol sama Dara. Di situ gue udah ngerasa lega,” katanya.

“Karena gue udah bisa ngilangin ketakutan gue tentang perlakuan lo ke gue sejak awal,” timpal Biru.

“Dan gue pun nge-yakinin diri gue kalau lo emang pure pengen jadi temen gue supaya gue bisa mercayain Dara ke lo,” air mata Biru lantas menetes di pipinya.

“Tapi tetep aja, bahkan setelah lo pacaran sama Dara, perlakuan lo ke gue tetep sama.” Relung dada Biru tiba-tiba berdenyut pedih.

“Akhirnya ketakutan gue itu pun muncul lagi. Gue takut kalau aja lo tanpa sadar suka sama gue…”

“Tapi gue nggak pernah berani bilang sama lo. Gue takut kalau semua ini cuma efek dari isi kepala gue yang selalu khawatir banget sama hal-hal kayak gitu, terus bikin lo tersinggung,” jelas Biru. “Karena gimana pun juga, bagi gue, lo itu temen baik gue.”

“Gue gak mau lo ngerasa kalau gue nggak mengganggap semua perlakuan lo ke gue itu tulus…”

“Tapi elo bisa tulus ke seseorang juga didasari sama perasaan kan? Dan gue rasa perlakuan lo ke gue itu bukan gambaran rasa tulus dari teman ke teman,” katanya.

“Jadi yang selama ini gue lakuin cuma menghindari dan selalu mempertanyakan kebaikan lo, sekaligus nge-yakinin diri gue kalau itu cuma ketakutan gue.”

Biru mengusap kasar air mata di pipinya, sedang Jeva menunduk.

“Gue berusaha buat mengubur ketakutan-ketakutan itu, Jev...”

“Gue tuh selalu nyalahin diri gue sendiri karena sering mikir yang enggak-enggak soal kebaikan lo gara-gara trauma masa lalu gue.”

“Tapi tetep aja, gue enggak bisa ngilangin hal itu dengan mudah. Apalagi pas lo sama Dara putus.”

“Lo tau gak sih gimana takutnya gue waktu lo sama Dara putus?” Biru menarik napasnya dalam-dalam. “Gue takut kalau alasan lo sama Dara putus itu karena gue.”

“Dan sekarang… Apa yang gue takutin jadi kenyataan. Iya kan?”

“Kenapa, Jev?” Biru menatap ke arah Jeva di sampingnya, “Kok lo se-tega ini sih sama adek gue? Lo manfaatin Dara selama ini?”

Jeva mengangkat kepalanya lalu membalas tatapan sedu Biru.

“Gue gak manfaatin Dara, Bi.”

“Terus apa?” sela Biru, “Kenapa lo macarin dia padahal lo suka sama gue sejak awal? Jelasin.”

Mulut Jeva bungkam. Dia tidak akan mampu memberitahu Biru alasan yang sesungguhnya tanpa persetujuan Dara lebih dahulu. Pasalnya, Jeva yakin hal itu akan membuat Biru semakin sakit.

“Kenapa lo diem aja?”

“Gue bakal jelasin, Bi. Tapi gak sekarang,” suara Jeva bergetar.

Biru tersenyum hambar, kedua bola matanya semakin memerah.

“Kenapa harus gue sih, Jev?” lirih Biru, “Kenapa lo harus suka sama orang yang gak bisa nerima lo?”

Jeva mendongak sejenak untuk menahan laju air matanya yang nyaris menetes di atas pipinya. Setelahnya, ia kembali menatap wajah Biru dengan raut sedu.

“Perasaan gue, dan semua yang gue lakuin ke lo selama ini bukan buat bikin lo bisa nerima gue, Bi.”

“Terkesan munafik emang, kalau gue bilang gak pernah ngarep lo bisa bales perasaan gue. Tapi gue paham posisi lo kok, Bi. Gak akan mudah buat lo untuk nerima hal yang dulu pernah bikin lo sakit.”

“Dan gue gak bisa maksa lo buat sembuh,” jelas Jeva. “Karena gue juga paham… Di luar dorongan orang lain, faktor penentu biar lo bisa sembuh itu datang dari diri lo dan kemauan lo sendiri, Biru.”

“Jadi yang bisa gue lakuin cuma ada di samping lo, jadi support system lo dan jagain lo supaya lo gak kenapa-kenapa.” timpalnya.

“Setidaknya itu yang bisa gue lakuin buat lo, orang yang gue sayang. Karena gue gak pernah tau, kapan waktu dan keadaan bikin gue harus jauh dari lo, Bi.”

“Gue nggak pernah tau kapan lo bakal bilang ke gue kalau lo udah punya pasangan, yang itu artinya gue gak boleh gangguin elo lagi.”

Biru dan Jeva terdiam sejenak sambil menunduk. Bersamaan dengan air mata keduanya yang mengalir deras di pipi mereka.

“Lo… Nggak perlu jelasin apa-apa lagi ke gue, Jev.” Biru pun kembali angkat bicara, “Gue juga salah di sini, karena gak berani bilang ke lo soal ketakutan gue selama ini.”

“Andai dari awal gue bisa bikin lo berhenti, lo nggak bakal macarin Dara.” Biru melirik Jeva yang kini juga telah menoleh ke arahnya.

“Dan andai aja dari awal gue bisa bikin lo bersikap layaknya teman biasa, tanpa perhatian lebih, gue juga gak bakalan punya perasaan yang sama kayak lo.” timpal Biru.

Jeva pun bungkam. Secara tidak langsung Biru telah menyatakan bahwa dia juga menyukai Jeva.

“Sekarang… Gue emang marah sama lo,” tutur Biru, “Tapi gue jauh lebih marah sama diri gue sendiri, karena gue yang bikin adek sama temen gue kek gini.”

“Bi, gue yang salah.” sela Jeva.

Biru menggeleng, “Udah gak ada waktu buat kita salah-salahan, Jev. Semuanya udah terjadi kan?”

Netra Jeva menatap lamat wajah Biru, “Jadi lo mau kita gimana?”

“Gue mau lo berhenti ngasih gue perhatian,” sahut Biru yang kini juga tengah memandangi wajah Jeva lekat-lekat. “Gue juga mau lo bersikap kayak teman biasa, yang sebatas kenal nama doang.”

“Kita gak perlu sedeket dulu lagi, kita gak perlu chat-an setiap hari lagi, kita juga enggak perlu saling peduli lagi.” suara Biru bergetar.

“Gue rasa, dengan gitu juga, kita bisa ngilangin perasaan kita, Jev.”

Biru tersenyum hambar, “Gue mungkin bisa nerima diri gue sendiri yang suka sama laki-laki.”

“Tapi gue gak akan pernah bisa nerima kalau laki-laki yang gue suka itu mantan adek gue,” kata Biru, “It sounds so wrong to me.”

Biru kemudian bangkit dari bed, sementara Jeva masih terdiam di posisinya. Sebab, kedua kakinya amat lemas karena ucapan Biru.

“Gue ke bangsal duluan ya, Jev.”

Biru berpamitan, tapi sebelum kakinya melangkah menjauhi Jeva, temannya itu bersuara.

“Kalau aja gue bisa ngilangin perasaan gue ke lo, gue udah ngelakuin itu dari dulu, sejak lo bilang kalau hubungan sesama jenis nyakitin lo, Bi.” lirih Jeva.

Biru tidak mengatakan apa-apa. Dia pun hanya menghela napas sebelum melanjutkan langkahnya yang tertunda. Dia meninggalkan Jeva yang masih di posisi semula.